61
3.6 Sistem Kekerabatan Orang Jawa di Berastagi
Sistem kekeluargaan orang Jawa di Berastagi didasarkan pada prinsip keturunan bilateral. Sedangkan istilah kekeluargaannya diklasifikasikan menurut
angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu beserta isteri-isteri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi
satu dengan istilah “siwa atau uwa”. Sementara adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelaminnya,
yakni apabila para adik laki-laki maka disebut “paman” dan apabila para adik perempuan disebut “bibi”.
Pada masyarakat Jawa di Berastagi berlaku adat-adat yang menentukan bahwa 2 dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka adalah saudara sekandung,
apabila mereka itu adalah “pancer lanang” yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, apabila mereka itu adalah misan dan akhirnya apabila pihak laki-
laki lebih muda menurut ibunya dari pihak wanita. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan kekeluargaan seperti tersebut diatas
diperkenankan. Salah satu perkawinan yang diperbolehkan adalah “ngarang wulu serta
wayuh”, yakni suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum isterinya. Perkawinan seperti ini disebut juga dengan perkawinan
“sororat”. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan yang lebih dari seorang isteri poligami.
62 Kelanjutan dari adanya perkawinan adalah timbulnya keluarga “batih” atau
kaluwarga. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri serta memegang peranan dalam proses sosialisasi dan anak-anak
yang menjadi anggotanya. Suatu bentuk kelompok kekeluargaan yang lain ialah “sanak sedulur”.
Kelompok kekeluargaan ini terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang sampai derajat ketiga. Biasanya kelompok kekeluargaan ini saling
bantu membantu jika ada peristiwa penting dalam rangka kehidupan keluarga. Misalnya pada pertemuan upacara dan perayaan yang diadakan berhubung dengan
tingkat sekitar lingkungan hidupnya salah seorang anggota kerabat, pada perayaan hari ulang tahun, upacara kematian dan pemakaman dan selamatan pada hari ke-7,
ke-100 dan ke-1000 sesudah kematian. Selain itu, mereka juga akan berkumpul pada hari Lebaran Riyadi dan hari besar Islam Sura dan lain-lain. Lumrahnya dalam
masyarakat Jawa di Berastagi tata kramadilahirkan dalam berbagai bentuk seperti melalui perawakan atau sikap seseorang, gerak tubuh atau badan, nada suara dan
bahasa yang digunakan. Perlakuan seperti ini bertujuan untuk membuktikan sejauh mana mereka masih dapat mempertahankan tradisi leluhur mereka.
Kedudukan seseorang dari segi hierarkinya dalam masyarakat bergantung kepada ukuran utama dalam masyarakat itu. Ukuran utama yang membedakan
kedudukan seseorang itu adalah kedudukannya dalam sebuah keluarga. Hierarki inilah yang menjadi penentuan dalam hubungan sosial dalam masyarakat.
Dalam beberapa hal konsep tata krama amat dipentingkan dan dilakukan yakni sewaktu menjemput tamu menghadiri kenduri, melayani tamu, munjung dan
63 pamitan. Tingkah laku dan tutur kata sewaktu mengundang tamu amat diambil
perhatian oleh masyarakat yang dikaji, lebih-lebih lagi bagi mereka yang diundang amat diperlukan juru rewang ataupun orang yang diundang itu lebih tinggi
kedudukannya dari segi umur atau status. Sementara munjung berasal dari kata dasar kunjung yang artinya
mengunjungi atau menemui. Melalui perlakuan ini anggota masyarakat melahirkan ras hormat dalam bentuk berkunjung sambil memberi buah tangan dan yang lebih
umum ialah makanan. Munjung dilakukan atas faktor-faktor ikatan kekeluargaan, faktor umur, jiran atau hubungan ketetanggaan, keakraban hubungan,dan sebagainya.
Dari segi ikatan kekeluargaan, seseorang seharusnya melakukan kunjungan kepada pihak yang lebih tua dari segi umur dan urutan kekeluargaan. Selain itu
hubungan di antara satu individu dengan individu yang lain juga dapat menentukan kunjung mengunjungi itu perlu dilakukan atau tidak, contohnya murid kepada guru,
kepada jiran dan kepada orang yang sering memberi pertolongan. Individu yang sering melakukan kunjungan dan orang yang dikunjungi akan merasa bahagia kalau
hal-hal seperti ini terus dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi buah tangan atau
pemberian bukanlah suatu hal yang penting bagi si pemberi dan si penerima akan tetapi lebih didasari oleh emosi pengunjung atau penerimanya.
Pamitan lumrahnya dilakukan oleh golongan muda kepada orang-orang yang lebih tua dari pada mereka. Fenomena ini agak menonjol dalam situasi seperti
seorang individu ingin berpindah ke rumah baru, merantau, melanjutkan pendidikan atau untuk meninggalkan rumah dalam beberapa hari. Orang yang ingin keluar rumah
64 diharuskan untuk pamitan kepada kedua orang tuanya. Bagi yang sudah
berumahtangga pamitan akan dilakukan kepada jiran terdekat sebagai tanda untuk menitipkan rumah. Menitipkan rumah adalah suatu sikap yang sering dilakukan jika
hendak meninggalkan rumah lebih dari dua hari. Seseorang yang pergi tanpa memberitahukan jirannya dianggap kurang tata kramanya.
Kerukunan ini dapat dilahirkan dari gerak sosial seperti gotong royong karena dapat mewujudkan perasaan saling pengertian, membina hubungan yang harmonis,
penyatuan dan kerelaan untuk memikul tanggung jawab bersama. Kerukunan dapat meningkatkan rasa solidaritas antara sesama anggota masyarakat dalam satu
lingkungan dan juga dengan lingkungan lainnya yang saling berdekatan. Salah satu sistem gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Jawa di
Berastagi adalah rewang, yakni gotong royong yang dilakukan sewaktu mengadakan kenduri. Lumrahnya masyarakat Jawa di Berastagi menganggap rewang adalah
sebagai tanggung jawab yang harus dipikul bersama. Rewang sering melibatkan semua anggota masyarakat baik yang tua, muda, laki-laki maupun perempuan.
Mereka yang terlibat akan melibatkan diri dalam upacara pakatan yaitu membagi- bagikan tugas dan kepercayaan dalam mengendalikan pekerjaan agar pekerjaan yang
diadakan itu berjalan lancar. Anggota masyarakat yang mengikuti rewang ini adakalanya sanggup
mengorbankan waktu dan kepentingan diri untuk memeriahkan acara perkawinan yang diadakan oleh anggota masyarakat tersebut. Bahkan hari-hari perkawinan
tersebut menjadi hari cuti bagi mereka untuk bekerja. Dalam istilah mereka disebut dengan ngeranjang-ngeranjang.
65 Dalam masyarakat Jawa yang sedang melakukan rewang dalam rangka acara
kenduri tersebut juga dikenal istilah nyumbang atau memberikan sumbangan. Sumbangan yang diberikan tidak hanya berbentuk tenaga saja tetapi adakalanya
disertai dengan sumbangan material. Sumbangan yang berupa material ini lah yang lebih dikenali sebagai istilah nyumbang, yakni memberikan pemberian berupa uang
atau bahan-bahan makanan seperti minyak, beras, telor dan gula. Anggota masyarakat yang tidak terlibat dalam rewang biasanya menyumbang dalam bentuk uang dan di
kalangan masyarakat dikenali sebagai kondangan. Dalam masyarakat Jawa juga dikenal Njagong Bayi, yakni suatu upacara yang
dilakukan sewaktu mengunjungi anggota masyarakat yang baru mendapat cahaya mata anak. Upacara ini melibatkan kaum laki-laki dan wanita. Kaum laki-laki
biasanya mengadakan kunjungan pada waktu malam sedangkan kaum wanita melakukannya pada waktu sore yaitu setelah Ashar. Mereka yang datang akan
membawa oleh-oleh atau yang kerap dilakukan masyarakat adalah uang. Pemberian uang tersebut selalu mengikuti keikhlasan dari si pemberi.
Selain itu, dikenal juga upacara Sambatan, upacara atau kegiatan ini berkaitan dengan hajat seseorang anggota masyarakat dalam kegiatan mendirikan rumah,
memindahkan rumah atau membersihkan kebun. Orang tersebut akan mengundang sebagian anggota masyarakat termasuk jiran dan sanak saudara ke rumahnya. Dalam
sambatan ini, tuan rumah akan menyediakan makanan untuk tamu yang diundang dan yang diharapkan akan memberikan bantuan. Upacara ini seringkali dijalankan sehari
suntuk yakni sejak pagi hingga sore hari.
66 Seluruh kegiatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat ini bertujuan untuk
menciptakan kerukunan diantara mereka. Kerukanan sangat didambakan dan sama pengertiannya dengan selamat atau slamet dalam masyarakat. Sesuatu fenomena yang
tidak selaras antara masa dan tempat akan menimbulkan suasana kurang senang dalam masyarakat. Keadaan tegang atau yang tidak seimbang ini dipercayai akan
menyebabkan bahaya atau kecelakaan yang akan menimpa seseorang. Untuk mencari masalah keselarasan ini masyarakat Jawa masih memegang amalan yang diwarisi.
Slametan adalah bentuk upacara yang merupakan pernyataan masalah syukuran. Kata slametan berasal dari kata slamet yang bermakna selamat. Slametan
merupakan suatu aktivitas sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa di Berastagi. Setiap anggota masyarakat ini sedari dini telah dididik untuk mengadakan
slametan sebagai tanda syukuran terhadap sesuatu peristiwa yang dialami. Situasi ini diimbangi pula oleh anggota masyarakat yang lain dengan cara
memenuhi undangan slametan yang diadakan oleh orang yang mengadakan slametan tersebut, misalnya kenduri perkawinan, khitan dan sebagainya. Untuk kegiatan seperti
ini dianggap formal karena lingkungan daerah anggota yang diundang agak lebih lebar, biasanya melibatkan seluruh kampong. Sehingga waktu dan tenaga sangat
diharapkan oleh orang yang mengadakan kenduri tersebut agar upacara dapat dilaksanakan dengan baik.
Slametan juga kadangkala diadakan dalam suasana kecil tetapi meriah seperti menunaikan hajat setelah berhasil dalam ujian atau memperoleh pekerjaan. Slametan
kecil ini lebih dikenal sebagai “bancaan”. Dalam bancaan ini, anggota masyarakat yang diundang tidak begitu ramai hanya sekedar jran terdekat. Adakalanya upacara
67 ini hanya dilaksanakan dalam lingkungan keluarga saja dengan cara membaca doa
dan kemudian makanan yang disediakan akan diantar ke rumah jiran terdekat. Hidangan yang disediakan biasanya mudah dan ringkas.
BAB IV HUBUNGAN SOSIAL ETNIS JAWA DI BERASTAGI
4.1 Prinsip Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa