Mata Pencaharian Kehidupan Sosial, Ekonomi Dan Budaya Etnis Jawa Di Berastagi (1968-1986)

46 BAB III KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA ETNIS JAWA DI BERASTAGI

3.1 Mata Pencaharian

Berastagi merupakan daerah yang sangat subur dan sejuk serta disertai dengan kekayaan alam yang melimpah sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan seperti pertanian maupun pariwisata. Kedua aktifitas kehidupan tersebut menjadi sektor perekonomian yang sangat menonjol di daerah tersebut. Sektor pertanian umumnya banyak dikelola oleh para penduduk asli yang beretnis Karo dan Batak Toba demikian juga halnya dengan sektor pariwisata senantiasa juga dikelola oleh penduduk asli sendiri di bawah naungan pemerintah daerah. Sektor perdagangan banyak dikelola oleh penduduk beretnis Tiong Hoa dan kemudian oleh penduduk asli etnis Karo. Orang Karo senantiasa memegang peranan dalam setiap sektor perekonomian. Hal ini terjadi karena makmurnya Berastagi sangat menggiurkan bagi banyak orang untuk mengecap kemakmurannya tersebut sehingga banyak orang berusaha untuk datang ke Berastagi. Hal ini tentunya menimbulkan suatu kekuatiran bagi penduduk asli, yakni orang-orang Karo bahwa suatu saat akan tergeser kedudukannya sebagai penduduk asli ataupun pemilik daerah tersebut. Orang-orang Karo sebagai penduduk asli umumnya bekerja sebagai pemilik lahan yang hendak dikerjakan dan disewakan kepada para penduduk pendatang seperti orang Batak Toba, Nias, dan sebagainya. Dalam hal ini tentunya orang Batak 47 Toba bekerja pada lahan yang dimiliki oleh orang Karo tersebut sebagai aron maupun bekerja di lahan yang telah disewanya dari orang Karo tersebut sebagai pemilik lahan dengan menanami lahan tersebut dengan tanaman-tanaman sayuran dalam jangka waktu yang telah disepakati bersama dalam surat perjanjian sewa lahan tersebut. Orang Tiong Hoa umumnya bekerja sebagai pedagang di pusat kota dengan ukuran dagang yang telah besar, seperti membuka toko pupuk dan obat-obatan pertanian, toko barang-barang dagangan kelontong atau kebutuhan sehari-hari, toko pakaian dan sebagainya. Masyarakat Jawa yang masih tradisional baik bagi mereka yang bertempat tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Mereka hanya tahu bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu keharusan dalam mempertahankan hidup. Karena itu, bagi mereka dikenal istilah ngupaya upa, yang berarti bekerja hanya untuk mencari makan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman yang sangat cepat yang menuntut setiap orang dilaluinya untuk dapat mengikutinya maka masyarakat Jawa pun semakin berpikiran lebih modern. Mereka telah memiliki tujuan dari hakekat kerja yang mereka lakukan, sehingga segala sesuatu usaha yang dilakukan selalu dihubungkan dengan hasil yang ingin dicapai. Falsafah ini dipahami dengan jer basuki mawa beya, yang artinya bahwa bekerja merupakan segala upaya yang 48 dilakukan dalam mencapai sesuatu yang dicita-citakan sehingga harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. 28 Hal ini terlihat jelas pada awal kedatangan orang-orang Jawa datang ke Berastagi, mereka mau bekerja apa saja dengan orang-orang penduduk asli yang mereka temui di daerah tersebut. Mereka bekerja pada orang-orang Karo baik sebagai buruh tani atau yang lebih dikenal dengan aron, buruh bangunan dan sebagainya. Mereka tidak sungkan ataupun terlalu menjaga gengsinya, bagi mereka apapun harus dilakukan demi memperoleh sesuap nasi terutama di daerah perantauan. Mereka mau bekerja bagi orang-orang Karo sebagai pemilik lahan asalkan mereka diberi makan maupun diizinkan tinggal di rumah orang yang mempekerjakan mereka tersebut. 29 Orang Jawa biasanya bekerja sebagai buruh baik buruh tani, buruh bangunan maupun buruh-buruh lainnya. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka dalam mengelola tanah pertanian serta kurangnya modal. Selain itu, orang-orang Jawa juga menggantungkan hidupnya dalam bidang perdagangan akan tetapi masih dalam ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk beretnis Tiong Hoa. Selain itu, dalam jumlah yang lebih kecil lagi, Pada masa masih berkuasanya penjajahan Belanda di Tanah Karo khususnya Berastagi hal serupa juga mereka lakukan. Mereka bekerja pada sebagai pembantu atau pesuruh di villa-villa yang dibangun serta adimiliki oleh para penguasa kolonial Belanda tersebut. 28 Margaret P. Gautama, “ Peta Budaya Masyarakat Jawa: Hasil Survei Terkini” dalam Budaya Jawa dan Masyarakat Modern, Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT,2003, hal.16-17. 49 orang-orang Jawa di Berastagi ada yang bekerja sebagai pegawai baik swasta maupun yang telah menjadi pegawai negeri. Seiring dengan perkembangan kehidupan yang lebih baik, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, cara pikir dan sebagainya yang mereka peroleh selama berada di Kecamatan Berastagi lambat laun mereka pun tidak lagi hanya bekerja untuk makan saja tetapi telah memiliki rencana yang lebih baik untuk waktu yang akan datang. Dengan pemikiran seperti itu, mereka tidak hanya telah dapat makan saja tetapi mereka pun telah dapat mewujudkan keinginannya seperti menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, memiliki rumah dan sebagainya. Perdagangan yang dijalankan oleh etnis Jawa tersebut biasanya seperti dengan berjualan makanan- makanan baik dalam jumlah yang besar seperti rumah makan, toko kue atau makanan, warung pecal, warung wajit, berjualan kue keliing, berjualan bakso dan sebagainya yang sangat berkaitan dengan usaha makanan atau masakan. Hal ini terjadi akibat adanya suatu anggapan dari suku-suku lain seperti halnya suku Batak Toba dan kenyataan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa merupakan orang yang pandai dalam hal masak-memasak atau membuat makanan. 30 29 Hasil wawancara dengan Eddy Sofyan pada tanggal 12 September pada pukul 14.40, di Jalan Jamin Ginting Gg. Karya No. 36. 30 Hasil wawancara dengan Karti pada tanggal 22 September pada pukul 10.20, di Jalan Gundaling, Desa Gongsol No 37. Sehingga mereka memanfaatkan kepandaian atau bakat mereka tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi ada juga diantara mereka walaupun jumlahnya masih terbilang sedikit yang tidak berdagang dalam usaha makanan tetapi berdagang barang dagangan kebutuhan sehari-hari atau kelontong. Usaha seperti ini biasanya dilakukan 50 dengan membuka warung-warung atau yang lebih dikenal dengan sebutan kedai yang menjual barang kebutuhan sehari-hari di depan rumah mereka. Perdagangan yang dilakukan orang-orang Jawa memang tidak sebesar yang dilakukan oleh orang-orang beretnis Tionghoa akan tetapi dengan usaha-usaha mereka tersebut mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bahkan dapat memiliki rumah ataupun barang-barang yang dianggap telah baik. Hal ini biasanya menimbulkan kecemburuan dari para tetangganya yang beretnis Batak Toba, Karo dan sebagainya.

3.2 Pola Pemukiman