84
4.4 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CALON BIARAWAN MENJALANI HIDUP SELIBAT
4.4.1 TANTANGAN DALAM HIDUP SELIBAT
Dalam setiap bentuk kehidupan apa pun dan dalam zaman mana pun selalu ada tantangannya. Begitu pula dengan hidup selibat yang dihayati oleh para
imam atau klerikus. Yang dimaksud dengan tantangan disini ialah hal – hal atau pengaruh – penaruh yang dapat mengakibatkan hidup selibat terancam atau
sekurang – kurangnya tidak aman. Sumber – sumber yang menyebabkan timbulnya tantangan ini secara garis
besar dapat di bagi dua macam, yakni dari dalam diri dan dari luar diri. Tantangan yang muncul dari dalam diri yaitu : situasi kejiwaan manusia itu sendiri terutama
yang langsung berkaitan dengan hidup selibat, yakni dimensi afektif seksual. Dan tantangan yang muncul dari luar diri yaitu pengaruh – pengaruh yang timbul dari
masyarakat zaman sekarang.
4.4.1 .1 TANTANGAN DARI DALAM DIRI.
Manusia adalah mahluk sosial dan juga mahluk seksual Klerikus juga sebagai mahluk seksual dan juga mahluk sosial, keseksualan itu bisa
menimbulkan masalah yang pelik atau rumit yang berkaitan dengan hidup selibat yang sedang dijalani klerus, jika tidak ditangani dengan tepat guna. Kaum klerus
harus dapat mengolahnya dengan baik, agar klerus tahu apa sesungguhnya yang
Universitas Sumatera Utara
85 dimaksud dengan seksualitas manusia dan juga agar kaum klerus tahu sampai
diambang batas mana seksualitas dalam dirinya. Sebagai seorang mahluk sosial dan juga mahluk seksual, klerus sebagai
seorang lelaki yang saat ini sedang menempuh pendidikan guna mencapai pentahbisan, seorang klerus pun memiliki masalah dalam hal seksualnya.
Tantangan dari dalam diri sendiri ini jauh lebih besar atau lebih sulit meredakannya. Belum tentu klerus menang dengan selibatnya dan bisa meredakan
tantangannya ini, dan belum tentu juga klerus kalah. Tantangan yang dialami klerus dalam hal seksualitas sama dengan
manusia biasa yaitu : afektifitas dan seksualitas genital. Hanya saja perbedaannya klerus tidak boleh terlalu mngeindahkan seksualitasnya, sedangkan manusia biasa
tergantung pada dirinya, apakah akan dituruti atau cukup dengan hanya diredam saja. Afektifitas itu sendiri adalah kasih sayang, pengertian, penghargaan,
pengakuan dan penerimaan. Sedangkan yang termasuk kedalam seksualitas genital ialah : seperti Masturbasi, persetubuhan, perasaan – perasaan fantasi –
fantasi serta kerinduan – kerinduan yang mengarah keseksualitas genital, dalam kenyataan yang ada, seksualitas genital itu tidak jarang menimbulkan masalah –
masalah yang sangat runit dalam kehidupan klerus dalam penghayatan hidup selibatnya.
Semua mahluk hidup termasuk kaum klerus ingin pemenuhan hidup seksualnya dengan normal dan wajar, kenormalan dan kewajaran itu terletak atau
Universitas Sumatera Utara
86 ada dalam perkawinan, walaupun klerus tidak bisa menikmati atau memenuhi
perkawinan, hidup klerus tetap utuh atau lengkap sebagai seorang manusia tepatnya sebagai seorang laki – laki. Keutuhannya itu terletak pada selibatnya itu
sendiri. Klerikus sebagai seorang mahluk seksual tidaklah harus mutlak menunjukkan afektifias seksualnya demi menjaga keseimbangan biologis dan
psikologis karena hubungan seksualnya, demi menjaga keseimbangan biologis dan psiologis yang bebas dan sifatnya dalam dirimasing – masing individu. Klerus
tidak memungkiri atau menyangkal bahwa energi seksual itu adalah sangat kuat dan asasi. Namun dalam energi seksual itu sendiri merupakan kecenderungan
kepada aktifitas yang senantiasa bersifat “sesuka hati atau mana suka” untuk perkembangan dan pembentukan pribadi masing – masing terutama pribadi
klerus. Sebagai seorang klerus, kebutuhan dasar yang hendak dipuaskan dalam
hidup sebagai seorang mahluk seksual, sama dengan kebutuhan manusia biasa yaitu dorongan persatuan kesempurnaan dan persahabatan timbal balik. Disadari
oleh masing –masing klerus dalam pribadinya dengan selibat, bahwa klerus telah merelakan hidup persatuan seksual, merelakan dalam arti disini adalah dengan
sengaja tidak mau mengambil persatuan hidup itu, akan tetapi kebutuhan tetap saja kebutuhan dan terus terdorong untuk dipenuhi klerus. Dan disini akan muncul
konflik manakala klerus tidak sanggupmengintegrasikannya.
Universitas Sumatera Utara
87 Selain hal itu,kleus juga sangat membuthkan pemuasan terhadap
kebutuhan akan kehadiran seorang sosok orang lain atau kerinduan akan sesorang. Dimana seorang klerikus ingin menemukan cinta, kasih sayang, dan pengakuan
berfikir dalam hal sosok orang lain tersebut. Hal ini memanglah normal untuk dialami seorang klerus karena klerikus adalah mahluk seksual. Apabila dalam hal
membutuhkan seorang sosok ini menyebabkan ketidakmatangan pemikirannya dan kurang dewasa dan sukar menerima orang lain, hal ini akan membuat klerikus
tersebut gigih atau kuat untuk memenuhinya. Maka hukum selibat yang selama ini dipegang klerus dengan teguh tidak akan berhasil dipenuhinya.
Hati dan energi klerikus tidak boleh lebih dipusatkan untuk menangkap hati orang lain guna mendapatkan perhatiannya. Akibatnya apabila semuanya itu
tidak terpenuhi maka klerikus akan gampang merasa kesepian, kekosongan, cemas, dan gelisah karena merasa ditinggalkan. Klerikus arusa dapat
menyeimbangkan hati dan perasaannya ini demi selilbat yang sedang dijalaninya. Ketidakmatangan klerikus dalam hal seksualitasnya ini bisa menyebabkan
kekurangwajaran dalam bersikap, kurang wajar dalam melihat seksualitasnya. Dorongan – dorongan seksual yang sebenarnya wajar dan normal untuk dijalani
seorang klerus bisa dilihat sebagai sesuatu yang tidak sehat. Sebagai contoh klerikus cenderung menyamakan kebutuhan akan cinta dengan keinginan untuk
kemesraan genital.
Universitas Sumatera Utara
88 Ketidakmatangan klerikus dalam hal kebutuhan seksual ini cenderung
akan membuat penekanan – penekanan perasaan – perasaan genital yang muncul pada penekanan kebawah sadaran. Akibatnya kaum klerikus atau pribadi itu
sendiri akan menjadi stress. Dan akibat dari stress ini cenderung akan membuat kompensasi. Seksualitas seorang selibater memang sangat rumit dan dapat
mengakibatkan semua orang yang kurang mengerti apa itu selibat menjadi kebingungan. Hal ini pun menjadi tantangan sebagai seorang selibater, dan
walaupun begitu, klerikusklerikus haruslah tahu hendak klerus apakan perasaan – perasaaan yang mendesak dan menuntut untuk dipenuhi, hendakkah klerikus
mengelusnya? Atau mencumbunya? Atau membiarkan terjadi secara alamiah? Sebagai seorang klerikus yang sedang menjalani hidup selibat, hal itu terkadang
dilanggarnya demi memenuhi kebutuhan yang ingin dipenuhinya tersebut harus tersalurkan.
Manusia biasa terkadang cenderung menyamakan kebutuhan akan cinta dengan keinginan untuk kemesraan genital. Hal ini tentulah salah besar, semua itu
ada baasannya, sampai dimanakah kebutuhan akan cinta itu dipenuhi dan keinginan kemesraan genital itu sendiri harus diambang batas mana? Untuk kaum
kleikus hal ini harus dipagari dengan pemikiran yang sangat matang jika tidak maka selibat yang selama ini dijalaninya tidak akan ada artinya.
Klerikus harus tahu dan sadar untuk menjunjung tinggi nilai hidup selibat.demi mewujudkan kerajaan Allah, sesama dan diri sendiri, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
89 dilain pihak kaum klerikus juga harus sadar bahwa sirinya sebagai mahluk
seksual, sebagai seorang laki – laki yang gagah dan sehat klerikus tetap mau menikmati kemesraan, keakraban dan juga nafsu birahi, fantasi – fantasi dan
untuk kerinduan untuk memuaskan tidak boleh terlalu menggebu – gebu.
4.4.1.2 TANTANGAN DARI LUAR DIRI.
Tantangan yang paling sulit dikendalikan oleh klerikus adalah tantangan yang berasal dari luar dirinya. Salah satunya mengenai hidup seksual, dari segi
kehidupan yang wajar ada dua sikap yang didapat dari hidup seksual tersebut. Pertama : ada sikap seseorang atau sekumpulan orang – orang yang sangat
mengagung – agungkan atau mendewakan hidup seksual, dan yang kedua : ada orang – orang yang melihat seksualitas sebagai sesuatu hal yang kotor atau tabu.
Tak dapat dipungkiri dari kenyataan yang ada, komunitas klerikus pun ada yang seperti terungkap diatas tadi.
Ketika ada sikap seseorang yang terlalu mengagung – agungkan seks maka, orang tersebut akan melihat kalau selibat itu adalah sesuatu yang tidak
normal atau ketidaknormalan, bahkan bisa saja kaum selibater dianggap gila. Kaum selibater atau klerikus adalah mahluk seksual dan secara alamiah
kebutuhan akan seks harus juga dipenuhi klerikus, sebagai seorang klerikus, banyak sekali godaan – godaan dari luar yang datang pada dirinya yang membuat
klerikus mengerti dan atau berusaha mencari tau tentang seks, seperti : Buku atau
Universitas Sumatera Utara
90 gambar – gambar pornografi, film – film pornodan lain – lainnya yang berbau
seperti itu, hal ini tidak dapat dipungkiri ini kenyataan yang ada disekitar kehidupan komunitas kaum klerikus, dan komunitas ini pun ingin mengetahuinya.
Apabila seorang selibater itu telah matang pemikiran dan pribadinya, maka hal – hal seperti yang diatas tadi yang termasuk kedalam tantangan untuk
dirinya tersebut tidak akan disentuhnya atau diliriknya. Jika hal itu dilakukannya maka selamatlah pribadinya dan tidak melanggar hukum selibatnya. Akan tetapi
jika selibater menyentuhnya, maka disinilah letak tantangan terbesar, jika dilakukan klerikus maka celakalah selibatnya klerikus tersebut dan hal ini akan
mengakibatkan atau mendatangkan kehancuran bagi pribadi klerikus. Sebagai pribadi yang telah memilih pilihannya untuk hidup selibat,
seorang klerikus blum tentu tahan akan godaan dunia yang telah diwarnai dengan seks. Kematangan pribadi dan kematangan pemikiran sangatlah dibutuhkan oleh
seorang klerus. Agar tidak terhanyut dan terbawa oleh dunia yang berorientasi pada kenikmatan seks tersebut. Walaupun begitu sebagai seorang klerikus seks
itujarang dianggap sebagai barang kotor atau tabu, tetapi sedapat mungkin agar klerus berusaha jangan menyentuhnya. Menekan perasaan – perasaan serta
dorongan – dorongan yang muncul dari dalam diri akan membuat seorang klerikus memiliki perasaan menjadi frustasi, jengkel, marah, dan bahkan akan anti
dengan keakraban, anti menjalin hubungan yang erat, karena takut kalau menimbulkan dorongan – dorongan dan getaran seksual. Pada komunitas klerikus
Universitas Sumatera Utara
91 hal seperti ini akan dianggap tidak sopan, menyimpang dan tidak layak menjadis
eorang selibater. Kasus seperti ini sering menjadi awal mula munculnya konflik diantara sesama klerikus dan terkadang berlarut – larut menjadi lama.
Situasi yang seperti ini menjadi satu tantangan untuk seorang selibater, tantangan untuk tetap tegar. Dalam situasi seperti ini tak jarang membuat
hidupnya sendiri tidak tertahankan dan tidak jarang pula klerikus itu sendiri membuat kesempatan untuk krisis dalam hidup selibat yang sedang dijalaninya.
Solusi yang tepat agar situasi seperti ini netral adalah seorang klerikus haruslah kreatif. Contohnya : berusaha untuk menganl diri mencari paham usaha yang
kreatif, contohnya berusaha untuk mengenali dirinya, mencari paham atau pengathuan tentang hal – hal yang berkaitan dengan seksualitas manusia,
berusaha memulai pembicaraan dengan komunitas yang kurang menerima model hidup selibat, dll. Dilain pihak apabila klerikus ingin menyesuaikan diri, hal yang
dibutuhkan adalah keseimbangan psikis dan kematangan pribadi serta kematangan pribadinya, disinilah letak tantangan yang dihadapi kaum selibater.
Tantangan yang di alami klerikus tidak hanya itu saja, hal – hal yang tidak tertarik juga menantang para selibater. Biasanya tantangan itu muncul keetika
memenuhi kebutuhan umat : mereka yang sakit menjelang ajal, tua, marah, terluka, lapar, dipenjara, bersemangat, gembira. Bersama umat selibater saling
membagi perhatian, semangat dan duka cita. Klerikus dan umat bersuka cita, menangis, kaum selibater merasakan apa yang mereka rasakan peristiwa –
Universitas Sumatera Utara
92 peristiwa seperti itu menyakitkan sekaligus mendatangkan kepuasan, melelahkan,
menjenuhkan akan tetapi bisa juga sekaligus mendatangkan kepuasan, melelahkan sekaligus menggugah perasaan, tak jarang justru meunculkan tantangan untuk
pribadi klerikus. Tantangan yang dihadapi klerikus itu sendiri adalah sebagai pencobaan
untuk kekuatan selibat yang telah mereka tekuni selama di Seminari. Contoh kecil yang didapat dilapangan : Seorang Frater atau Klerus yang sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi Pastor. Frater ini paling suka tinggal dirumah, atau didalam kamar di Biara. Paling – paling Frater ini keluar bila mendapatkan
tugas komunitas seperti : membersihkan ruang makan atau yang lain. Frater ini kurang atau tidak menaruh perhatian pada apa pun yang terjadi diluar. Frater ini
tidak tahu tentang keadaan politik, masyarakat dan tidak berusaha untuk tahu. Frater ini puas danmerasa damai bila sudah melakukan tugasnya, beroa dan ikut
ibdah harian. Frater ini juga tidak berminat untuk mengerti pergulatan umat disekitarnya. Pada waktu selesai tahbisan, oleh Uskupnya Frater ini ditugaskan
untuk mengurusi kaarya pendidikan yang lama tidak diperhatikan. Frater ini kaget dan protes. Frater ini tidak dapat menerima penugasan Bapak Uskup tersebut.
Menurut Frater ini, ”tugas imam adalah untuk paroki dan bukan untuk pendidikan, kesucian terletak pada perayaan ibadat sakramental, bukan pada
karya duniawi seperti itu. Biarlah semua ditangani awam”.
Universitas Sumatera Utara
93
4.4.2 UPAYA ATAU STRATEGI MENJAGA KEUTUHAN HIDUP