Defenisi Agama Menurut Sosiologi

29

2.2. Defenisi Agama Menurut Sosiologi

Agama sebagai suatu institusi social. Institusi religius ialah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola – pola kelakuan, peranan – peranan dan relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenan dengan dunia supra empiris. Dalam institusi keagamaan, orang menginginkan tercapainya kebutuhan dasar yang berkenan dengan dengan kebutuhan supra empiris. Bagi manusia, religius kepentingan dari kategori “dunia yang lain”, kepentingan akhirat, merupakan kepentingan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu semua harus dapat dicapai dengan pasti, karena itu semua dijadikan norma satu –satunya dan segala – galanya. Dalam skala kognitif, nilai – nilai religius ditempatkan pada tingkt hirarki nilai – nilai yang tertinggi diatas skala ilmu pengetahuan positif dan filosofis dalam skala evaluatif. Nilai – nilai religius dirumuskan dalam keadaan moral dengan jangkauannya yang membentang paling jauh dan paling akhir Agus 2003:116. E.B Taylor dalam Scharf mendefenisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap adanya wujud – wujud spiritual”, namun ketidakpuasan dikemukakan terhadap defenisi ini atas dasar bahwa defenisi itu terlalu bercorak intelektualis, dan tidak mengacu kepada emosi – emosi khidmad dan hormat yang secara Universitas Sumatera Utara 30 khusus bercorak keagamaanyang berkaitan dengan kepercayaan – kepercayan semacam itu. Berbeda dengan E.B Taylor, Radcliffe – Brown seorang ahli antropologi, mengatakan bahwa agama dimanapun merupakan ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan diluar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakana sebagai kekuatan spiritual kekuatan moral. Bagi Radcliffe ekspresi penting dari rasa ketergantungan ini adalah peribadatan. Mengenai defenisi itu Radcliffe mengulas lebih lanjut mengenai kata sakral, ia mengatakan bahwa gagasan sakral itu terlalu kabur dan cenderung kepada unsur memuakan dalam defenisi agama itu. Namun demikian jelas bahwa “yang sakral” atau “yang terpisah dan terlarang” itu adalah yang hanya bisa diancang dengan peribadatan, karena kekuatannya bisa membahayakan dan juga bisa menguntungkan. Perpindahan dari dunia sehari – hari yang profane lawan dari sakral harus ditanggapi secara cermat dan hati – hati, dan hanya dengan cara – cara yang disetujui masyarakat. Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat tradisi – tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat komulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena pada hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola – pola interaksi tertentu yang melibatkan dua orang atau lebih dan dari pola – pola tersebut para anggotanya Universitas Sumatera Utara 31 secara bersama memiliki satu tujuan atau tujuan – tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan – tindakan berpola Scharf 2004 : 33-36. Kehidupan manusia dimana pun, tidak selamanya mulus, selalu dibayangi oleh kegagalan atau frustasi , dan rasa ketidakadilan. Agama menjadi fungsional dalam struktur kehidupan manusia dalam usaha untuk mengatasi dan menetralkan bayangan – bayangan buruk tersebut. Usaha – usaha menetralkan dan mengatasi hal –hal buruk dalam kehidupan menuasia yang dibandingkan dengan usaha – usaha secara pribadi, karena dalam kelompok usaha – usaha tersebut dapat diletakkan dalam suatu konteks system yang lebih besar dari kegiatan – kegiatan kelompok dengan beban yang ditanggung bersama. Kelestarian agama dalam struktur kehidupan manusia juga disebabkan antara lain, oleh hakikat dari kehidupan dan kegiatan – kegiatan kelompok keagamaan. Setiap kelompok keagamaan, kelompok keagamaan ada pun dan dimana pun, serta kapan pun, selalu menaruh perhatian pada peremajaan atau regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan tersebut. Ini dilakukan dengan menarik para anggota yang terdiri dari anggota – anggota keluarga dankerabat dari anggota kelompok, khususnya para anggota muda dan anak – anak. Keagamaan menyajikan pendidikan keagamaan bagi para anggota baru melalui pendidikan formal maupun melalui sosialisasi yang dilakukan oleh para orang tua yang menjadi anggota kelompok, dalam lingkkungan keluarga, kepada anak – anak dan kerabat yang lebih muda. Dengan adanya anggota – Universitas Sumatera Utara 32 anggota muda menyebabkan kelompok – kelompok keagamaan yang dianut, walaupun proses regenerasi berlangsung secara alamiah, generasi sebelumnya menjadi tua lalu mati Roland 1993: IX-XII. Kelompok – kelompok keagamaan juga tidak hanya melakukan kegiatan – kegiatan peribadatan dan pendidikan saja, tetapi juga melaksanakan berbagai kegiatan social dan derma bagi masyarakat pada umumnya, dan memproduksi benda – benda yang berguna dalam kehidupan manusia khususnya benda – benda dan bacaan - bacaan keagamaa dan memberikan jasa – jasa dan pelayanan keagamaan ataupun social kemasyarakatan yang terpusat pada simbol- simbol utama dan suci dari agama yang dianut, gereja, totem, mesjid atau lainnya. Dengan melalui kegiatan – kegiatan kelompok keagamaan tersebut mata agama dari zaman ke zaman tetap ada dalam struktur kehidupan manusia. Agama memang mengalami perubahan – perubahan tetapi yang berubah adalah tradisi – tradisi keagamaan atau system – system keyakinan keagamaan sedangkan teks suci, doktrin agama itu sendiri, sebagaimana tertuang dalam kitab suci, tidak berubah. Jadi agama tidak akan hilang dan diganti karena dengan system kehidupan sekuler demikian diramalkan oleh para ahli sosiologi. Perubahan keyakinan keagamaan, antara lain, disebabkan oleh adanya perbedaan – perbedaan interpretasi oleh para penganut agama dan oleh situasi – situasi berubah dan di interpretasikan oleh para penganut agama tersebut secara Universitas Sumatera Utara 33 berlainan. Ini menyebabkan adanya tingkat – tingkat keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh para penganutnya Roland 1993: IX-XII. Keyakinan keagamaan yang dipunyai penganutnya juga dipunyai komunitas calon biarawan yang berada di Seminari. Seminari adalah wadah yang lebih memperdalam ilmu Teologi khususnya yang beragama Katolik. Dimana didalam lokasi seminari ini terdapat Biara tempat tinggal komunitas yang menjalankan hidup bakti menurut Tiga nasihat injil. Biara harus didirikan dengan sah, dihuni suatu komunitas, dikepalai seorang pemimpin yang diangkat menurut hukum gerejani yang berlaku dan mempunyai tempat ibadah untuk perayaan ekaristi serta penyimpanan sakramen Maha Kudus Hauken S.J, 1991-1994 : 765 Biara dari segi fisik biasanya dilengkapi sarana-sarana seperti Gereja atau gedung pendidikan, beserta Doa, ceremony, Seminar juga bermusyawarah dan lain sebagainya. Sejalan dengan perkembangan zaman, seminari berkembang. Seminari Tinggi ST. Yohanes bukan hanya mempelajari pelajaran keagamaan, tetapi mata pelajaran umum dalam kurikulum seperti Bahasa Inggris, bahasa Daerah, Bahasa Latin dan Bahasa Jerman, ilmu –ilmu manusia seperti Antropologi, Psikologi dan mata pelajaran lainnya. Sudut pandang Sosiologi terkhususnya kajian Sosiologi Agama, mengkaji tentang bagaimana agama itu menjadi sebuah satu sistem keyakinan pada masyarakat berisikan sebuah ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya Universitas Sumatera Utara 34 selamat dalam kehidupan setelah mati Robertson, R 1993 : VII. Empat tipe keagamaan yaitu :  Tingkat Kerahasiaan yakni, seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya itu untuk dirinya sendiri dan tidak untuk didiskusikan dengan atau dinyatakan kepada orang lain.  Tingkat Privat atau Pribadi yakni, dia mendiskusikan dengan, atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi amat dekat hubungannya dengan dirinya.  Tingkat Denominasi yakni, individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu – individu lainnya dalam kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat.  Tingkat Masyarakat yakni, individu memiliki keyakinan keagamaan yang sama dengan keyakinan dari warga masyarakat tersebut. Dalam skala kognitif, nilai-nilai religius ditempatkan pada tingkat hirarki nilai yang tertinggi di atas skala ilmu pengetahuan positif dan filosofis. Dalam skala evaluatif, nilai-nilai religius di rumuskan dalam kaidah moral dengan jangkauannya yang membentang paling jauh dan paling akhir Geertz. Clifford 1974 . Universitas Sumatera Utara 35 Kehidupan agama terdapat serangkaian fungsi atau peran yang harus dilaksanakan oleh fungsionaris yang kompeten. Fungsi – fungsi religius yang ada dalam semua agama dapat diringkus dalam tiga kelas : 1. Fungsi pelayanan Sabda Tuhan; mewartakan ajaran yang diterima agama yang bersangkutan dari Tuhan. 2. Fungsi penyucian; membagikan rahmat penyelamatan dari Tuhan. Pelayanan ini dipergakan dalam kegiatan kebaktian religius atau perayaan liturgis. 3. Fungsi penggembalaan; umat beragama mendapatkan pimpinan dan bimbingan yang terarah baik ke dalam maupun keluar. Tiga jenis fungsi pelayanan tersebut di atas tidak dapat diharapkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila tidak ada suatu institusi yang mengaturnya. Sosiologi agama besar dan punya sejarah panjang, sebenarnya kesempatan untuk berbeda pendapat ini diperlukan karena tidak mungkin semua suku bangsa dari berbagai tempat dan waktu akan diatur dengan aturan yang sama sampai kepada masalah yang sekecil-kecilnya. Kesamaan hanya diperlukan dalam hal – hal pokok prinsip dalam ajaran agama. Sedangkan masalah teknis dan detail patut berbeda diantara satu daerah dan masyarakat dengan yang lain. Kalau tidak ada peluang yang menjadikan ajaran suatu agama fleksibel, dapat berubah dengan perubahan sosial budaya dalam hal rincian masalah, atau hal –hal sekunder dan teknis. Agus 2003 : Universitas Sumatera Utara 36 Yang terpenting yang dapat disimpulkan dari pendapat tersebut diatas adalah bahwa agama merupakan masalah-masalah individual yang sifatnya pribadi atau personal yang penuh dengan muatan emosi atau perasaan serta pemikiran-pemikiran mengenai manusia dan dunianya yang gaib dan yang nyata, yang secara keseluruhan merupakan keyakinan pribadi, tetapi juga merupakan pemikiran-pemikiran dan emosi-emosi serta perasaan-perasaan kelompok atau masyarakat yang terwujud dalam berbagai tindakan dan gejala keagamaan kelompok atau masyarakat. Agama juga menghasilkan keanekaragaman interpretasi dan keyakinan agama pada tingkat sosial dan kelompok dan bahkan juga pada tingkat masyarakat Roland 1993 : XII – XIV Berbeda dari pendapat Roland yang mengatakan bahwa agama merupakan masalah – masalah individu yang sifatnya pribadi atau personal yang penuh dengan emosi. Malinowski, mengatakan Agama memungkinkan manusia melakukan hal-hal paling besar yang mampu dilakukannya, dan ia menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain; ia memberikan kepadanya kedamaian dan kebahagian, keharmonisan dan kesadaran akan tujuannya, dan ia memberiakan semuanya ini dalam bentuk mutlak. Meskipun nampaknya Malinowski berpendapat bahwa pandangan mengenai agama ini berlaku bagi semua jenis masyarakat, dia yakin bahwa agama mendatangkan akibat–akibat lain disamping keyakinan dan keharmonisan yang Universitas Sumatera Utara 37 meningkat ; ia juga dapat menimbulkan berbagai konflik dengan kelompok- kelompok masyarakat lain. Scharf, R Betty 2004 :79 – 80

2.3. Dasar dan Pedoman Hidup Selibat