Hidup Selibat Pada Komunitas Calon Biarawan (Studi kasus: Komunitas Calon Biarawan di Biara ST. Fransiskus Asisi Seminari Tinggi Filsafat Teologi ST. Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HIDUP SELIBAT PADA KOMUNITAS CALON BIARAWAN

(Studi Kasus : Pada Komunitas Calon Biarawan Di Biara ST.Fransiskus Asisi Seminari Tinggi ST. Yohanes Kab.Simalungun Pematang Siantar)

S K R I P S I

Diajukan Oleh :

LENA MARIANA Br HALOHO

030901055

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Lena Mariana Br Haloho Nim : 030901055

Departemen : Sosiologi

Judul : HIDUP SELIBAT PADA KOMUNITAS CALON BIARAWAN

(Studi Kasus Pada Komunitas Calon Biarawan Di Biara ST. Fransiskus Asisi Seminari Tinggi ST. Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar)

Dosen pembimbing Ketua Departemen

(Drs. Muba Simanihuruk, M. Si,) (Dr. Badaruddin, M. Si) NIP : 132 059 106 NIP : 131 996 175

Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP : 131 757 010


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Departemen Sosiologi

Hari : Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim penguji

Ketua penguji : Dra Rosmiani, M.A ( ) Penguji I (Reader) : Dra. Ria Manurung, M. Si ( ) Penguji II (Pembimbing) : Dra. Muba Simanihuruk, M. Si ( )


(4)

ABSTRAKSI

HIDUP SELIBAT PADA KOMUNITAS CALON BIARAWAN

(Studi kasus : Komunitas Calon Biarawan di Biara ST. Fransiskus Asisi Seminari Tinggi Filsafat Teologi ST. Yohanes kab. Simalungun Pematang Siantar)

Selibat atau hidup tidak kawin merupakan perkembangan dari gagasan berpantang sexual atau tarak seksual. Pantang seksual ini pada umumnya dibuat berkaitan dengan upacara religius. Sedang selibat atau hidup tidak kawin yang terdapat dalam Gereja Katolik Roma sungguh lain artinya. Selibat disini berarti pantang sementara saja. Letak bedanya adalah pada kata sementara dan seumur hidup. Pantang seksual itu sifatnya aksidental, sedang selibat sifatnya tetap. Penulis berangkat dari pengertian leksikal dan pengertian pada umumnya, artinya bagaimana orang pada umumnya mengerti selibat itu. Maka selibat dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang diambil secara sadar dan bebas untuk tidak mengikat diri dalam hubungan seksual bersifat sosial, yaitu hubungan yang diucapkan baik kepada pasangan maupun kepada masayarakat yang menyaksikan. Selibat berarti tidak mengikat diri dalam hubungan seksual yang bersifat sosial. Ini berarti tidak terikat oleh perkawinan. Agar tidak ditafsirkan secara keliru maka perlu diterangkan. Hidup selibat juga berarti tidak melakukan hubungan seksual, karena di dalam selibat terkandung pantang seksual untuk seumur hidup. Maka hidup selibat perlu diberi arti teologis.

Secara khsusus banyak orang mengartikan bahwa selibat berarti tidak kawin. Sebenarnya selibat itu bukan hanya tidak kawin. Pengertian Selibat dari sudut pandang Teologis berarti tertangkap oleh Kristus. Kristus begitu mempesona, sehingga karenanya orang tidak dapat kawin. Sebagaimana Paulus seorang rasul Kristen menyatakan bahwa : “…. segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus. Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya” (Fil.3:7.8). dan Yesus yang merupakan tokoh Sentral dalam agama Kristen pun mengatakan, “…. ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga” (Mat 19 : 12). Selibat itu mempunyai dua jenis yang berlainan yaitu : selibat religius atau regula dan hidup selibat eklesiastik. Selibat Religius atau Regula adalah mereka / klerikus yang menjalankan hidup selibat dan telah menerima tahbisan suci, seperti Uskup, Imam, dan Diakon. Sedangkan hidup selibat eklesiastik adalah mereka yang tidak menerima tahbisan suci, anatara selibat regula dan hidup selibat eklesiastik itu sendiri memiliki cara atau bentuk hidup yang berbeda. Selibat yang dimaksud Gereja Katolik adalah selibat yang dihidupi oleh para imam yang mau menyerahkan diri demi nama Kristus serta kaum religius (Biarawan-Biarawati) yang ingin mengabdikan diri lewat pelayanan kepada sesama. Selain itu juga harus mentaati kaul – kaul yang ada, ketiga kaul yang harus dijalankan itu adalah : Kaul Kemurnian, Kaul Ketaatan, Kaul Kemiskinan. Selibat telah diatur dalam hukum Gereja dan Gereja telah kerap kali mengukuhkannya. Namun begitu masih terdapat upaya-upaya agar hukum yang mengikat itu dicabut kembali dengan alasan dasar yaitu pelaksanaannya sukar. Hal ini dekemukakan pada Konsili Trente tahun 1545.- 1563.

Mengacu pada tulisan keterangan diatas, penelitian ini menggunakan metode studi kasus tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengangkat keberadaan komunitas Biarawan yang menjalani Hidup Selibat di Seminari Tinggi ST. Yohanes (STFT). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk menjalani hidup selibat di STFT haruslah memilih motivasi yang kuat agar dapat menjalaninya, bukan dengan motivasi yang hanya sebagai pelampiasan saja. Karena selibat itu sungguh – sungguh merupakan keputusan yang telah dipertimbangkan. Selibat itu bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilaksanakan. Terlalu banyak tantangan – tantangan yang akan dihadapi kedepannya terutama tantangan dari luar. Dengan banyaknya tantangan ini membuat kaum Biarawan diharapkan dapat memiliki kematangan dalam hal berfikir atau pun juga kematangan biologis dan psikologis. Selain itu didalam komunitas Biarawan tidak selamanya ada kedamaian. Justru di Seminari ST. Yohanes ini intensitas konflik itu cukup besar, konflik yang terjadi itu terbagi dua, ada konflik besar dan ada konflik kecil. Terkadang ketidakmatangan fraksis dengan hidup selibat merupakan persoalan yang paling sering terjadi, sehingga berujung sengketa atau konflik dengan sesame selibater. Untuk itu keutuhan selibat harus dijaga agar tidak goyah, jauhkan diri dari hal – hal yang merusak keutuhan hidup selibat. Dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Seminari ST. Yohanes ini adalah konflik Laten.


(5)

KATA PENGANTAR Syallom……….!!!

Dengan hati dan budi yang teramat dalam penulis menyampaikan Yang pertama, tak lain tak bukan …Tuhanku! Thanks for giving me more than I expected. Lagi – lagi Tuhan memberikan satu hal yang membuat aku tidak sombong. Karena aku tahu, ini semua dapat terwujud karena berkat- Nya. Sungguh teramat luar biasanya Engkau Tuhan Yesus Allah Bapa Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Terlalu banyak pengalaman, bentukan – bentukan, serta perjalanan yang panjang yang penulis rasakan ketika menjalani penulisan Skripsi ini. Penulis sangat meyakini semuanya itu oleh karena kasih Tuhan Yesus Kristus yang memberikan kesempatan kepada penulis dalam melaksanakannya. Di saat penulis tak berdaya, terbaring dalam sakit, saat penulis merasakan ketidakmampuan, ketidaksanggupan, bahkan di saat tuhan mencobai keluargaku yang sangat kucintai. bencana Gempa dan Tanah longsor mengguncang kota kelahiranku. Tuhan engkau tahu dikala itu aku butuh dukungan dari keluargaku tetapi engkau memberikan cobaan kepada kami. Aku merasa jatuh tersungkur namun, Tuhan mengulurkan tangan kepadaku. Tuhan menguji, sabarkah aku dan keluargaku? Tegarkah aku dan kelurgaku? Begitu banyak cobaan itu datang silih berganti saat penulis menyelesaikan skripsi ini. Dari awal penulisan hingga akhir penulisan. Hal ini tak membuat penulis gentar dan semakin terlarut, penulis percaya walaupun hati hancur dan bersedih namun penulis yakin dikemudian hari akan ada cahaya matahari yang menyinari kehidupan penulis dan keluarga penulis. Tuhan Yesus akan memberikan keindahan lebih dari yang penulis alami. “orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata,


(6)

sebuah kemungkinan yang tidak tampak” biarlah segala pujian, hormat dan syukur penulis panjatkan kepada Sang Penguasa kehidupan. Amin !

Skripsi yang berjudul “HIDUP SELIBAT PADA KOMUNITAS CALON BIARAWAN” ini di susun dalam rangka menyelesaikan program studi strata S-1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara. Selama menyelesaikan Skripsi ini banyak hal yang penulis rasakan. Ketekunan, kesabaran, keberanian, kemandirian to make the best time Selanjutnya kepekaan untuk memahami kondisi atau gejala-gejala sosial serta fenomena sosial yang berada dimasyarakat. Penulis meyakini bahwa penulisan skripsi ini merupakan suatu pengalaman yang teramat berharga dan tak ternilai. Kiranya ucapan “Terima Kasih” setidaknya menjadi sebuh bukti bahwa kehidupan bisa dihargai sesederhana apa pun. Namun setulusnya penulis tujukan kepada sederet nama – nama diantaranya :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, MA Selaku Dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak DR. Badaruddin, M.si sebagai Ketua Jurusan dan Ibu Dra. Rosmiani, MA selaku sekretaris Jurusan yang telah membantu memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan skripi ini.

3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.si selaku dosen pembimbing, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan rasa kagum, hormat yang tidak dapat dilukiskan. Walau dalam keadaan sibuk dengan pekerjaan dan proyek diluar, tetapi Bapak masih menyempatkan diri memberikan dukungan, semangat dan telah mencurahkan waktu, tenaga, pikiran, maupun ide-ide dalam mengevaluasi


(7)

4. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Pastor Hieronimus Simorangkir selaku Rektor di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) ST. Yohanes yang telah meberikan izin kepada penulis untuk meneliti di STFT ini. Para Bapak asrama di masing-masing Biara. Pastor Harry dan Romo Carles Sinaga (Biara ST.Petrus), Pastor Maxi (Biara San Bona Ventura), Pastor Frans (Biara Alverna), Pastor Richard (Biara ST. Fransiskus Asisi) serta semua Frater yang telah bersedia memberikan informasi dan bantuannya baik dari segi pinjaman buku, Komputer, CD, Dokumentasi, juga dalam hal Saran serta Kritikan juga Bantuan dari segi Pemikiran dll. Doa-ku semoga cepat tertahbis dan juga cepat selesai dalam hal studi dan juga hidup Selibatnya Bertahan hingga menyandang status Pastor atau Romo. Thanks before!

5. Above all ….

BAPAK-KU KORNELIUS SIHALOHO dan IBUNDA TIO.

MINA BR. SIJABAT. Orang yang telah menjadi bagian yang tidak dapat

terpisahkan dalam pembentukan Karakter dan Pribadi penulis “gapailah langit, karena jika meleset pun, kau tetap akan berada di antara bintang- bintang” (Rosa Torcasio). Berpedoman hidup dengan kutipan diatas panulis berjuang. Pak…. Mak…. Akhirnya doa kita terkabul juga, dengan penuh kesabaran dan perjuangan yang sangat berat Bapak & Mamak menanti, akhirnya selesailah semuanya. Doa, dukungan, dan kasih sayang serta kesabaran dari Bapak & Mamak membuatku berjuang memberikan yang terbaik. Thank”s For All. God Bless Papa en Mama, Where ever When ever You Are ! I LOVE U FOREVER


(8)

6. Kedua AbangKu Tersayang.

Riston Yulius Sihaloho

(Dumai) with

EdaKu Lilis

Br. Turnip

(Batam), Thank”S atas dukungan, Doa serta bantuan materi yang Abang berikan. B”… sekarang perjuanganmu dan perjuanganku tlah usai, jangan ada lagi kerisauanmu padaku, pikirkanlah masa depan Abang (I LOVE U……) 7. Abangku yang telah menjadi idolaku, dan sumber inspirasiku,

Dingot Vlarus

Sihaloho

(Jakarta) yang telah sabar mengajariku dari SLTP menjadi seorang Pe-Basket yang bisa di handalkan…. Ketika aku dipanggil main di club Halilintar (Bukittinggi) hingga sekarang aku bisa berkarya di club Carasto (Medan). B” .. kita masih punya Cita-cita membangun rumah kecil untuk hari tua Bapak & Mamak dan Menyekolahkan si Bungsu kita ( I LOVE U…… )

8. Si Bungsu kami yang cantik dan imut-imut

Theresia Lina Waty Br Haloho

(Bukittinggi) Dek… tumpuan dan harapan Bapak & Mamak ditangan kita, mari berjuang mewujudkan impian Bapak & Mamak, rajin-rajin belajar ya Dek….!!jangan lupa berdoa dan untuk tetap berkarya di rumah Tuhan. Sebab apapun yang kita rencanakan dan kita mau, semuanya akan terwujud bila Tuhan yang berkehendak ( I LOVE U….)

9. Say thank”s to keluarga

Bapak J. Sinaga (+) & Ibunda T. Br. Sijabat

(Sinaksak Siantar) jaga kesehatan ya Nang, jangan terlalu banyak berfikir, nanti sakit lho! K2k-ku Romaida Br. Sinaga serta pasukan2 kecilnya (veronica, Bastian, Valent) LOVE U ALL (Be a Good Mom kak… ) K2k-ku yang Super kalem K”Dormauli & B”Mukti (Malaysia) serta si Kecil Bienda Elma Ulina (Love U Forever …) Tuhan Menyertai !!


(9)

10. Kost Barus Gg. Melati II No: 6. Sihol 766-HI, Siganteng Kakak beradik Robby & Riko Nainggolan (Sos”06), B”icos sang pejuang, My sister Doris Pandiangan SE (Thanks 4 All…. Most Of All, Thanks For Being Such Aprecious My Sister dah mendengarkan keluh kesahku & selalu mendukungku thank”s … easy going bo, Tante Chu Eriyanti en Bro Jumagar Malau, Next B”Florence vs K’lina, Adriana & Si ganteng Leo Manullang (Thanks 4 all…) LOVE U

11. By the way … say thanks to rekan seperjuanganku di Departemen Sosiologi, Sahabatku yang selalu mendengarkan keluh kesahku Arlisa Rakhmadani alias Sarah (Selamat berjuang sobat ), Vorta (Thanks ya To maju terus), Cecep (Thanks keretanya ya…), Rinda, Noel, Helen & Herman, Hardi, Ganti (Thanks Bukunya), ilham (thanks Tape recordernya ….), Ferdinan, Kiki (dua2nya), Endah, Sri, Grace, Lastri, Asri, Krisma, Eva (Dua-duany), Chandra, Hasrat, Nahwa, Dicky, Acong, Dewi dkk, teman2 seperjuangan yang telah pergi dari komunitas Sosiologi (Abet, Esron (Kalimantan), David (jakarta), Eka Fernita, Indra, dll yang tak disebut jangan marah ya…), untuk KING “03 Alexander, Madhan, Bastian, Sebastian. Special Thanks for Patner T-A ku “Mansyur” (thanks Friend) Alumni sosiologi B”Wahyono S.sos, Ratna S. Sibuea S.sos, Hendra Sipayung S.sos (Salutku …. Friend), yang gak disebut jangan marah ya….? Sosiologi “04, “05 dan “06 I LOVE SOSIOLOGI...Ga lupa Say Thanks buat teman2 seperjuangan di Departemen Antropologi Horhon, si jugul (Novita), Martha S.sos, Nanik, Beben, Yenni, Annis, yang gak disebut jangan marah Teman2ku semua jurusan di FISIP USU.


(10)

12. Team Basket Carasto , UKM Basket USU + official terutama Team Basket Fisip (PERBASIP) seluruh official B’Dian (Sos”98), B’apin, B” Ando, B’ Toni, B’aswan, Si Gondrong Andre Idolaku. Thank”s …. Atas semua ilmu & Trik2, pola2 permainannya. semua pebasket Fisip Cowok en Ceweknya yang pernah maen gabung denganku mulai tahun “04, “05, “06 dan “07 Teman – teman pebasket di FK, FKG. HUKUM, PERTANIAN, MIPA, FE, I LOVE BASKET ….. BASKET IS MY LIFE …….

13. Teman2 selama aku di Medan menempuh pendidikan, Ito-Ku Roy Tambunan, Kakak beradik Nita & Ester (Eko” 06 Unika), Say Thanks To ABENK (Ilkom Unika”04) sang teknisi, sang programmer Salutku…..!! Hotman Sumarsoit (ilkom unika”03) Salutku friend… K”Molly Thanks 4 All…. Most Of All, Thanks For Being Such Aprecious My Sister….. (Kalimantan), Seseorang yang tak pernah kukenal dan kujumpai yang selalu mendukungku via sms K” Elly (Tanjung Pinang) Thanks 4 All…. Most Of All, Thanks For Being Such Aprecious My Sister….., B” Ferry (Aceh), Sijangkung Hokky (Teknik Nomensen”06) thanks, Lolop (Cowok kalem), Juniandi (Pontianak), Kak” Nelly SH (Tanjung Pinang) Thanks 4 All…. Most Of All, Thanks For Being Such Aprecious My Sister….., Murnie Smart (FBS Unimed”03), & Imah Rumahorbo (Thanks Komputernya? Teman2ku di ITM Sumanto Sihombing, Thank”s Bro atas pinjaman LAP TOP-nya David Tamba ST, Marco (Thanks PrinterTOP-nya) & Dewi, Ito-Ku Bolis & Herry Simamora (Salut-Ku for you ….. Be A Good Friend) LOVE U ALL …… 14. Sahabat2 di masa kecilku di Kota Kelahiranku. Yoeliana (Sidempuan), Yoesyanti


(11)

BAND gereja kita….? Paulinus (Padang), Rudianto (Bandung), Sang Atlet Kempo Togu Marulak (Bukittinggi), Samson & Ferry Simarmata (Pekan baru), Teman2 sesama Atlet di Cabang Atletik, Basket, Renang, Karate, Kempo, Tenis dan Volley (Bukittinggi dan Medan) jaya terus teman2 en yang tak disebutkan jangan marah ya…..? LOVE U MY FRIEND ……

The Last But Not Least….

Special Thanks for Some One in My Heart …..

Skripsi ini kupersembahkan ubtuk orang yang kusayang, kucintai dengan segenap hati dan segenap jiwaku

“Junius Sinaga ” (ANDESPO)

You are My inspiration… thanks buat semua hal – hal berharga yang telah engkau berikan pada-ku, hal – hal penting dalam mengarungi kehidupan,

belajar Tegar, Mandiri, Kuat dalam Cobaan dan juga mengajariku untuk tidak Manja, dan tidak Cengeng!!

Thank’s 4 All…

Akhirnya dengan rendah hati penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk segala saran – saran, tanggapan dan kritik dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaannya. Semoga tulisan ini membantu kita untuk semakin memantapkan Opsi Fundamental Positif.

Medan, oktober 2007 Penulis

Lena Mariana Br Haloho 030901055


(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ………i

LEMBAR PENGESAHAN ………ii

ABSTRAK ………..iii

KATA PENGANTAR ………iv

DAFTAR ISI ………...xi

DAFTAR TABEL DAN BAGAN………..xiv

DAFTAR GAMBAR ………..xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……….. ...1

1.2 Perumusan Masalah ………. 14

1.3 Tujuan Penelitian ………. 14

1.4 Manfaat Penelitian ………15

1.5 Defenisi Konsep ………...16

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Respon Agama Terhadap Globalisasi ……….. .19

2.2 Defenisi Agama Menurut Sosiologi ………. 30

2.3 Tipe – tipe Keagamaan dan Fungsi Agama ………. 35

2.4 Dasar dan Pedoman Hidup Selibat ………38

2.5 Konflik Dalam Hidup Membiara ……….. 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ………. ….. 46

3.2 Lokasi Penelitian ………. 47

3.3 Unit Analisa dan Informan ……….. 48

3.4 Teknik Pengumpulan Data …..……… 49

3.5 Interpretasi dan Analisa Data ……….. 51


(13)

BAB IV DESKRIPSI dan INTERPRETASI DATA LAPANGAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ……….54

4.1.1. Sumatera Dalam Peta Sejarah Gereja Katolik………..54

4.1.2 Sejarah Seminari Tinggi ………...57

4.1.3 Fakultas Filsafat UNIKA ST. THOMAS ………...61

4.1.4 Seminari Tinggi Filsafat Teologi STFT. ST. YOHANES .62 4.1.4.1 Nama dan Lambang ………..64

4.1.4.2 Bidang Bina ………...65

4.1.4.3 Jenjang Bina ………..68

4.1.4.4 Sarana Bina ………....69

4.1.5 Pemilik STFT. ST. YOHANES ………...69

4.2 Profil Informan 4.2.1 Profil Informan Kunci ………70

4.2.2 Profil Informan Biasa ………73

4.2.2.1 Biarawan dari Biara ST. Fransiskus Asisi ……..74

4.2.2.2 Biarawan dari Biara San Bona Ventuira ……….79

4.3 Makna dan Arti Selibat ……….82

4.3.1 Selibat Gerejawi ……….82

4.3.2 Selibat Eskatologis ……….82

4.4 Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Calon Biarawan Menjalani Hidup Selibat………...84

4.4.1 Tantangan Dalam Hidup Selibat ………84

4.4.1.1 Tantangan Dari Dalam Diri ……….84

4.4.1.2 Tantangan Dari Luar Diri ………89

4.4.2 Upaya atau Strategi Menjaga Keutuhan Hidup Selibat ….93 4.4.2.1 Dalam Relasi Dengan Tuhan ………..93

4.4.2.2 Dalam Relasi Dengan Sesama ………94


(14)

4.5 Konflik Yang Dihadapi Calon Biarawan Yang Menjalani

Hidup Selibat Di Seminari Tinggi ST. Yohanes ………96

4.5.1 Teori Konflik ………96

4.5.2 Hal – hal Pemicu terjadinya Konflik ………99

4.5.3 Intensitas Konflik ……….………...101

4.5.4 Proses Penylesaian Konflik ……….102

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan……….104

5.2 Saran ………...107

DAFTAR PUSTAKA ……….110 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Tabel 1.1 Keadaan Jumlah Komunitas Calon Biarawan Sekolah Tinggi ST. Yohanes

Tabel 1.1.2. Keadaan Ragam Suku Bangsa Komunitas Calon Biarawan di Seminari Tinggi ST. Yohanes


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Biara Calon Imam Konventual Biara San Bonaventura (BITORA). (59) Gambar 2. Biara Calon Imam Konventual Biara San Bonaventura (BITORA). Gambar 3. Komunitas Calon Imam Projo atau Praja (60)

Gambar 4. Komunitas Calon Imam Konventual (60)

Gambar 5. Batu Peresmian Seminari Tinggi ST. Yohanes Sebagai Fakultas Filsafat UNIKA. (61)

Gambar 6. Plangkat Seminari Tinggi ST.Yohanes (63)

Gambar 7. Lokasi Gedung Perkuliahan Seminari Tinggi ST. Yohanes(63) Gambar 8. Lambang Seminari Tinggi ST. Yohanes (64)

Gambar 9. Salah satu Kegiatan Calon Imam Konventual di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Memberikan bimbingan mental kepada Muda – mudi katolik (67) Gambar 10 Kegiatan – kegiatan positif yang sering dilakukan Calon imam salah satunya

Olah Raga.(95)

Gambar 11. Kegiatan – kegiatan positif yang sering dilakukan Calon imam, Calon imam membersihkan pekarangan Biara masing – masing.(95)

Gambar 12. Kegiatan – kegiatan positif yang sering dilakukan Calon imam, Calon Imam melangsungkan kegiatan olah raga (96)

Gambar 13. Kegiatan – kegiatan positif yang sering dilakukan Calon imamCalon imam membersihkan Gereja. (96).


(17)

ABSTRAKSI

HIDUP SELIBAT PADA KOMUNITAS CALON BIARAWAN

(Studi kasus : Komunitas Calon Biarawan di Biara ST. Fransiskus Asisi Seminari Tinggi Filsafat Teologi ST. Yohanes kab. Simalungun Pematang Siantar)

Selibat atau hidup tidak kawin merupakan perkembangan dari gagasan berpantang sexual atau tarak seksual. Pantang seksual ini pada umumnya dibuat berkaitan dengan upacara religius. Sedang selibat atau hidup tidak kawin yang terdapat dalam Gereja Katolik Roma sungguh lain artinya. Selibat disini berarti pantang sementara saja. Letak bedanya adalah pada kata sementara dan seumur hidup. Pantang seksual itu sifatnya aksidental, sedang selibat sifatnya tetap. Penulis berangkat dari pengertian leksikal dan pengertian pada umumnya, artinya bagaimana orang pada umumnya mengerti selibat itu. Maka selibat dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang diambil secara sadar dan bebas untuk tidak mengikat diri dalam hubungan seksual bersifat sosial, yaitu hubungan yang diucapkan baik kepada pasangan maupun kepada masayarakat yang menyaksikan. Selibat berarti tidak mengikat diri dalam hubungan seksual yang bersifat sosial. Ini berarti tidak terikat oleh perkawinan. Agar tidak ditafsirkan secara keliru maka perlu diterangkan. Hidup selibat juga berarti tidak melakukan hubungan seksual, karena di dalam selibat terkandung pantang seksual untuk seumur hidup. Maka hidup selibat perlu diberi arti teologis.

Secara khsusus banyak orang mengartikan bahwa selibat berarti tidak kawin. Sebenarnya selibat itu bukan hanya tidak kawin. Pengertian Selibat dari sudut pandang Teologis berarti tertangkap oleh Kristus. Kristus begitu mempesona, sehingga karenanya orang tidak dapat kawin. Sebagaimana Paulus seorang rasul Kristen menyatakan bahwa : “…. segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus. Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya” (Fil.3:7.8). dan Yesus yang merupakan tokoh Sentral dalam agama Kristen pun mengatakan, “…. ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga” (Mat 19 : 12). Selibat itu mempunyai dua jenis yang berlainan yaitu : selibat religius atau regula dan hidup selibat eklesiastik. Selibat Religius atau Regula adalah mereka / klerikus yang menjalankan hidup selibat dan telah menerima tahbisan suci, seperti Uskup, Imam, dan Diakon. Sedangkan hidup selibat eklesiastik adalah mereka yang tidak menerima tahbisan suci, anatara selibat regula dan hidup selibat eklesiastik itu sendiri memiliki cara atau bentuk hidup yang berbeda. Selibat yang dimaksud Gereja Katolik adalah selibat yang dihidupi oleh para imam yang mau menyerahkan diri demi nama Kristus serta kaum religius (Biarawan-Biarawati) yang ingin mengabdikan diri lewat pelayanan kepada sesama. Selain itu juga harus mentaati kaul – kaul yang ada, ketiga kaul yang harus dijalankan itu adalah : Kaul Kemurnian, Kaul Ketaatan, Kaul Kemiskinan. Selibat telah diatur dalam hukum Gereja dan Gereja telah kerap kali mengukuhkannya. Namun begitu masih terdapat upaya-upaya agar hukum yang mengikat itu dicabut kembali dengan alasan dasar yaitu pelaksanaannya sukar. Hal ini dekemukakan pada Konsili Trente tahun 1545.- 1563.

Mengacu pada tulisan keterangan diatas, penelitian ini menggunakan metode studi kasus tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengangkat keberadaan komunitas Biarawan yang menjalani Hidup Selibat di Seminari Tinggi ST. Yohanes (STFT). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk menjalani hidup selibat di STFT haruslah memilih motivasi yang kuat agar dapat menjalaninya, bukan dengan motivasi yang hanya sebagai pelampiasan saja. Karena selibat itu sungguh – sungguh merupakan keputusan yang telah dipertimbangkan. Selibat itu bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilaksanakan. Terlalu banyak tantangan – tantangan yang akan dihadapi kedepannya terutama tantangan dari luar. Dengan banyaknya tantangan ini membuat kaum Biarawan diharapkan dapat memiliki kematangan dalam hal berfikir atau pun juga kematangan biologis dan psikologis. Selain itu didalam komunitas Biarawan tidak selamanya ada kedamaian. Justru di Seminari ST. Yohanes ini intensitas konflik itu cukup besar, konflik yang terjadi itu terbagi dua, ada konflik besar dan ada konflik kecil. Terkadang ketidakmatangan fraksis dengan hidup selibat merupakan persoalan yang paling sering terjadi, sehingga berujung sengketa atau konflik dengan sesame selibater. Untuk itu keutuhan selibat harus dijaga agar tidak goyah, jauhkan diri dari hal – hal yang merusak keutuhan hidup selibat. Dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Seminari ST. Yohanes ini adalah konflik Laten.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Driyakara dalam buku Selibat Para Imam menyatakan bahwa manusia merupakan persoalan, suatu problem bagi dirinya sendiri. Maka tidak heran kalau sejarah umat manusia selalu ditandai oleh upaya manusia untuk mengerti dirinya. Sejarah peradaban dapat dipahami sebagai sejarah ide-ide manusia sendiri. Karena itu sejarah manusia menunjukkan beberapa banyak pengetahuan manusia tentang dirinya. Namun sampai kini manusia masih merupakan rahasia besar dan suci. Ia merupakan barang keramat bagi dirinya dalam dirinya terkandung banyak keajaiban, sehingga banyak pertanyaan yang tak terjawab oleh manusia. Manusia merupakan rahasia yang menakutkan sekaligus menarik sehingga mengajak manusia itu sendiri memahami dirinya (1981 : 87).

Kiranya sudah menjadi keyakinan umum bahwa mengerti, memahami, dan mengenal diri merupakan suatu hal yang hakiki dalam hidup sebagai manusia kenyataan ini digaris bawahi oleh Thomas Merton dalam Mardi Prasetyo mengatakan :

Tak seorang pun akan berhasil menyumbangkan jasa buat Sesama masyarakat tanpa lebih dahulu mengenal kehidupan Diri, keutuhan pribadi, kebebasan dan kemampuan untuk mencintai sesama, sebab tanpa itu ia tak punya apa-apa yang dapat disumbangkan pada sesama.Paling jauh ia hanya dapat menularkan angan-angan hidupnya. Idealnya Ambisi cinta dirinya / obsesi dan agresinya. (1987 : 67).


(19)

Menyadari akan hal itu, perlulah kita berusaha terus menerus untuk semakin mengenal diri dan memperbaharui diri. Agaknya pengenalan akan diri ini juga merupakan sarana yang ampuh bagi manusia dipanggil untuk hidup bahagia bersama Allah. Untuk dapat masuk kedalam golongan klerikal, Gereja katolik telah menentukan persyaratan- persyaratan yang harus dipenuhi oleh para calon imam tertahbis. Salah satu syarat adalah Kewajiban untuk menjalani hidup selibat.

Hal tersebut telah diperkuat dalam Dokumen Gereja katolik yang secara khusus memperhatikan tentang Selibat imam dalam Gereja latin adalah Ensiklik Paus Paulus VI, Sacerdotalis Caelibatus yang dikeluarkan pada tanggal 24 juni 1967 bahwa Gereja akan tetap mempertahankan hidup selibat bagi para Imam dan para Religius. Gereja akan mewajibkan para imam serta kaum religius hidup dalam selibat. Keserasian antara selibat dengan imamat itu direfleksikan sebagai tanda penyerahan diri secara total bagaimana tugas pelayanan kepada Allah dan sesama, serta mengemban martabat dan misi dari mediator dan iman abadi.

Kata selibat berasal dari kata latin Caelibatus yang berarti tidak kawin atau tidak menikah. Namun istilah selibat dewasa ini dipakai secara umum untuk orang yang tidak kawin. Gereja memaksudkan cara hidup tidak kawin atau status berselibat itu mencakup seluruh hidup selibater yang menuntut sikap radikal dan tidak mengenal kompromi atau kontrak (Simorangkir 2000 : 45 ).


(20)

Selibat atau hidup tidak kawin merupakan perkembangan dari gagasan berpantang sexual atau tarak seksual. Pantang seksual ini pada umumnya dibuat berkaitan dengan upacara religius. Sedang selibat atau hidup tidak kawin yang terdapat dalam Gereja Katolik Roma sungguh lain artinya. Selibat disini berarti pantang sementara saja. Letak bedanya adalah pada kata sementara dan seumur hidup. Pantang seksual itu sifatnya aksidental, sedang selibat sifatnya tetap.

Dalam merumuskan pengertian selibat secara umum ini, penulis berangkat dari pengertian leksikal dan pengertian pada umumnya, artinya bagaimana orang pada umumnya mengerti selibat itu. Maka selibat dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang diambil secara sadar dan bebas untuk tidak mengikat diri dalam hubungan seksual bersifat social, yaitu hubungan yang diucapkan baik kepada pasangan maupun kepada masayarakat yang menyaksikan. Selibat berarti tidak mengikat diri dalam hubungan seksual yang bersifat sosial. Ini berarti tidak terikat oleh perkawinan. Agar tidak ditafsirkan secara keliru maka perlu diterangkan. Hidup selibat juga berarti tidak melakukan hubungan seksual, karena di dalam selibat terkandung pantang seksual untuk seumur hidup. Maka hidup selibat perlu diberi arti teologis (Widodo 1990 : 11- 12 ).

Secara khsusus banyak orang mengartikan bahwa selibat berarti tidak kawin. Sebenarnya selibat itu bukan hanya tidak kawin. Pengertian Selibat dari sudut pandang Teologis berarti tertangkap oleh Kristus. Kristus begitu mempesona, sehingga karenanya orang tidak dapat kawin. Maksudnya, orang


(21)

telah sedemikian utuhnya tertawan oleh Kristus dan kerajaannya, sehingga tidak dapat tidak ia menyerahkan diri kepada Kristus secara utuh. Sebagaimana Paulus seorang rasul Kristen menyatakan bahwa : “…. segala sesuatu kuanggap rugi karena pengenalan akan Kristus Yesus. Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya” (Fil.3:7.8). dan Yesus yang merupakan tokoh Sentral dalam agama Kristen pun mengatakan, “…. ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga” (Mat 19 : 12 dalam Van.Bremen 1983 : 213) Hidup tidak kawin atau selibat itu mempunyai dua jenis yang berlainan yaitu : selibat religius atau regula dan hidup selibat eklesiastik. Selibat Religius atau Regula adalah mereka / klerikus yang menjalankan hidup selibat dan telah menerima tahbisan suci, seperti Uskup, Imam, dan Diakon. Sedangkan hidup selibat eklesiastik adalah mereka yang tidak menerima tahbisan suci, anatara selibat regula dan hidup selibat eklesiastik itu sendiri memiliki cara atau bentuk hidup yang berbeda. (Darmawijaya, 1987 : 12-14 ). Oleh sebab itulah Mengapa penulis memilih pokok ini karena merasa tertarik akan sejumlah masalah selibat, selain ingin melihat kehidupan mereka antara sesama klerikus dengan masyarakat terkhususnya umat katolik juga terhadap keluarga klerikus. Hal yang paling utama Penulis ingin mengetahui apa sebenarnya faktor – faktor apa sajakah yang mempengaruhi calon Biarawan menjalani hidup selibat ? Penulis juga ingin mengetahui konflik-konflik apa sajakah yang terjadi di antara Calon Biarawan selama di Seminari Tinggi ST. Yohanes Pematang Siantar ? Didalam Seminari


(22)

Tinggi ini kegiatan belajar mengajar bagi para Calon Biarawan telah diatur secara sistematis. Pengaturan jadwal bagi para klerikus ini pun terkadang membawa satu konflik antara yang satu dengan yang lain, apakah itu konflik besar atau konflik kecil. Konflik besar adalah konflik yang prinsipial, yang menyangkut hal – hal pokok bertarekat seperti : tentang Visi, Misi serta pilihan karya yang besar, tentang cara hidup apakah hidup miskin atau tidak. Sedangkan konflik kecil adalah konflik dalam kehidupan sehari – hari tentang hal – hal kecil didasarkan pada rasa kesenangan, kebiasaan budaya yang berbeda – beda. Walaupun kesehari - hariannya para klerikus hidup dalam ajaran religius, kenyataannya sebagai seorang manusia yang terkadang tak luput dari perasaan iri, dengki, syirik, ataupun segala macam perilaku manusia yang bisa membawa klerikus kearah konflik. Selama yang penulis meneliti di Seminari Tinggi ST. Yohanes konflik antara sesama klerikus memang sering terjadi. Kenyataannya itulah yang mendorong penulis untuk menulis tentang pokok bahasan tersebut.

Kumpulan orang yang terpanggil dan dipermandikan lalu menjalankan hidup Selibat itu sendiri disebut Klerikus atau Selibater atau Calon Imam diosesan atau juga Imam Biarawan. Dan untuk komunitas sosialnya lebih sering disebut dengan Tarekat atau ordo atau konggregasi. Konggregasi- konggregasi ini muncul pada Abad 16. Undang-undang umum yang menyangkut konggregasi- konggregasi religius ini tercantum dalam Kanon nomor 573 sampai dengan 709 dalam Buku II bagian III KH (Kanon) Gereja. Dan semua institusi Religius


(23)

tersebut memiliki perbedaan-perbedaan antara Ordo dan Konggregasi (id.wikipedia.org / wiki / ordo_keagamaan_katolik).

Selibat yang dimaksud Gereja Katolik adalah selibat yang dihidupi oleh para imam yang mau menyerahkan diri demi nama Kristus serta kaum religius (Biarawan-Biarawati) yang ingin mengabdikan diri lewat pelayanan kepada sesama. (Indah, 1992 : 54-55). Selain itu klerikal juga harus mentaati kaul – kaul yang ada dimana kaul itu terbagi tiga dan antara Selibat dengan ketiga kaul sama – sama harus dijalankan. Tiga kaul itu adalah :

Kaul Kemurnian :

Motivasi Kaul Kemurnian Seseorang yang memelihara nasihat injil kemurnian mengungkapkan cinta kasih tidak dengan laku cinta yang sempit, melainkan dengan sikap dan laku kasih yang semakin dalam dan luas. Ketika kaul ini tidak lagi bergema dalam diri, maka tingkah laku akan aneh-aneh. Mulai lekat dengan seseorang yang dianggap berjasa dalam panggilan, pilih kasih dalam persahabatan yang menghasilkan satu persahabatan yang tidak sehat.

Kaul Kemiskinan

Yang menjadi unsur utama dalam Kaul Kemiskinan adalah ketergantungan dan keterbatasan dalam menggunakan harta milik. Kaul kemiskinan juga menyangkut kesederhanaan hidup dan kedermawanan kepada orang-orang miskin. Keaslian dalam kemiskinan nampak dalam persaudaraan dengan orang-orang kecil.


(24)

Kaul ketaatan

Motivasi dasar Kaul Ketaatan adalah cinta akan kehendak Allah. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa-Nya sampai mati. Ketaatan kepada Allah secara konkret diwujudkan dalam ketaatannya kepada pimpinan tarekat. (H.J Kachmadi 1981 : 18).

Dewasa ini ada gejala bahwa banyak imam dan kaum religius yang tidak setia pada janji dan kaul-kaul yang telah mereka ucapkan. Kenyataan yang didapat penulis setiap angkatan tahun masuk, di Seminari Tinggi ST. Yohanes selalu ada klerikus atau Calon Biarawan yang keluar karena tidak dapat sanggup menjalankan hidup selibat dan juga tidak bisa mentaati ketiga kaul tersebut. (Tergambar pada table I.I.I dibawah ini ).

Tabel. I.1.1

Keadaan Komunitas Biarawan Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar

T.h akademik Mhs.baru Mhs. Keluar Lulus

2001 / 2002 43 orang 13 orang 9 orang 2002 / 2003 29 orang 17 orang 9 orang 2003 / 2004 60 orang 12 orang 20 orang 2004 / 2005 61 orang 7 orang 26 orang 2005 / 2006 63 orang 11 orang 22 orang

Sumber Data : Statistika kantor Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar Tahun ajaran 2001-2006


(25)

Bagi banyak pihak selibat masih menimbulkan banyak pertanyaan mengapa imam tidak kawin . Umat katolik sendiri pun masih banyak yang mempertanyakan mengapa para imam hidup selibat? Secara tidak langsung Paus Yohanes Paulus II menyanggah orang yang mempersoalkan tuntutan gereja akan selibat bagi para Imam. (Paus membela “Selibat Dalam Hidup”, 18/ XXXVI 2 mei 1982 : 19). Gereja Katolik akan tetap mempertahankan hidup selibat bagi para imam dan para religius. Gereja mewajibkan para imam serta kaum religius hidup dalam selibat. Kewajiban itu sendiri dirumuskan dalam dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para imam (Presbyterorum Ordinis) mereka selibat bukan karena adanya unsur paksaan dari luar dirinya melainkan kehendak pribadi. (Kitab Hukum Kanonik Codex Iuris canonici, 1983 Sekretariat KWI 1991)

Hidup selibat adalah “karunia” dan bukan hasil bina. Karunia selibat tersebut diberikan kepada seseorang dan melalui peningkatan motivasi karunia selibat itu semakin berkembang hingga akhirnya menjadi matang. Dan untuk menjadi seorang selibater hati tidak boleh bercabang-cabang, ia harus melayani dan mengabdi dengan sebulat hati (Sinaga 1996 : 276-277).

Selibat itu mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Setiap orang yang memilih untuk hidup selibat pasti melihat bahwa selibat itu mempunyai arti bagi hidupnya. Karena terpikat oleh nilai-nilai yang terkandung dalam selibat, tentu dengan sendirinya rela untuk menghidupinya secara taat dan konsekuen. Karena hidup berselibat juga merupakan salah satu bentuk panggilan hidup sebagaimana


(26)

hidup berkeluarga lainnya. (Paulus VI Ensiklik Sacerdotalic Caelibatus 26-33) Cukup banyak orang khususnya umat katolik, mau hidup sebagai selibater. Tentu saja setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Pada umumnya motivasi orang untuk dapat hidup selibat adalah bahwa cara hidup yang demikian itu lebih memungkinkannya untuk mengabdikan diri seutuhnya kepada Tuhan dan sesama. Motivasi hidup selibat disetiap zaman mempunyai tekanan motivasi tersendiri. Sebagai contoh kita tinjau kembali motivasi hidup selibat pada abad permulaan. Motivasi selibat pada abad pertama adalah bahwa dengan berselibat orang dapat dengan sebulat hati mengabdi kepada Tuhan. Disini dimensi vertical cukup ditonjolkan.

Bila hendak ditelusuri motif-motif yang sepanjang sejarah pernah dikemukakan, kiranya perlu diperhatikan bahwa semua motivasi itu mengungkapkan inspirasi asli dan mendasar, yakni yang tertulis dalam injil Matius 19 :12 “……. Dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga”. Motivasi yang paling umum ditemukan guna menjalani hidup selibat itu bersifat religius. (Hardwiryana 1979:7-8).

Menghidupi selibat tidak mudah, hal ini terlihat dari apa adanya para klerikus yang melakukan skandal seks atau pun mengundurkan diri dari status klerikalnya karena alasan tidak sanggup hidup berselibat. Oleh karena itu para klerikus hendaknya hati-hati membina atau memelihara pergaulannya dengan


(27)

orang-orang tertentu. Pergaulan itu hendaknya tidak membahayakan kewajiban untuk berselibat sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi umat beriman.

Skandal seks bisa terjadi dalam bentuk hubungan seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Berbagai kasus bisa diketahui lewat mas media. Salah satu contoh yang diekspos secara luas adalah mengenai Pastor John Geoghan, seorang Pastor berkebangsaan Amerika telah melakukan Paedofilia (ketertarikan seksual terhadap anak-anak) lebih dari 130 orang selama 30 tahun karirnya sebagai Pastor. John Geoghan dikenal sebagai tokoh sentral dalam skandal seks. Gereja Katolik Roma atas kejahatannya itu telah mengeluarkan uang lebih 10 juta $ AS. Untuk membendung tuntutan hukum. Dihukum 10 tahun penjara tetapi didalam penjara dia mati dibunuh oleh penghuni penjara lainnya. (John Geogham : Pastor Pelaku Paedofilia Terbunuh Dipenjara 2004 )

Pemaparan di atas Dinyatakan dengan jelas bahwa dunia kebangkitan merupakan dunia manusia yang sudah terpenuhi, tersempurnakan ; seksual tidak berperanan lagi. Kegiatannya telah terpenuhi dalam waktu dan kini menuju keeksistensi transeksual. Ada anggapan bahwa segala yang berbau seksual itu mencemarkan, oleh karena itu tidak dapat diselaraskan dengan keinginan untuk mendekati Tuhan. Hubungan seksual dianggap bertentangan dengan altar. (Oraison 1973 : 21).


(28)

Keharusan selibat itu sendiri mendapat pertentangan sengit, mengapa ? karena tidak gampang menjalankannya. Dikatakan sukar karena banyak orang hidup dalam pergundikan, promiskuitas. Meskipun banyak pertentangan, namun usaha-usaha kearah hukum selibat sungguh mengikat. Hal ini Banyak dilakukan pada zaman Paus Leo I (440-461) selibat yang sebelumnya mengikat diakon, imam, dan Uskup malah diperluas hingga mengikat subdiakon. (Oraison 1979 : 6)

Selibat menjadi keharusan yuridis bagi para Klerikus ditetapkan pada Konsili Bouges (Perancis) tahun 1031. dan pada tahun 1123 Paus Kaliktus II membawa hukum tersebut kepada puncaknya dengan mengumumkan bahwa pernikahan para klerikus itu kosong dan tidak sah. Saelibat yang telah menjadi hukum dikukukhkan lagi pada Konsili Lateran II tahun 1139. Konsili menetapkan bahwa sesudah tahbisan tinggi perkawinan bukan hanya tidak diperbolehkan, tetapi bahkan tidak sah. Hal itu dikuatkan lagi oleh Paus Alexander III tahun 1180 dan Paus Calectinus II tahun 1198 (Hardawiryana 1979:6)

Selibat telah diatur dalam hukum Gereja dan Gereja telah kerap kali mengukuhkannya. Namun begitu masih terdapat upaya-upaya agar hukum yang mengikat itu dicabut kembali dengan alasan dasar yaitu pelaksanaannya sukar. Hal ini dekemukakan pada Konsili Trente tahun 1545.- 1563. Protestan yang merupakan aliran besar dalam Kristen tidak menerima selibat, karena itu bukan nilai yang lebih besar (tinggi) dari pada perkawinan. Kalvin seorang reformator Protestan sangat menentang para penulis Kristen yang menyatakan bahwa selibat


(29)

lebih baik dari pada perkawinan. Dan Konsili ini kembali mengukuhkan selibat para klerikus. Konsili melihat bahwa selibat bukan merupakan suatu hukum ilahi melainkan hukum Gerejawi (Douglas 1979 : 6).

Sekitar abad ke-17 sesudah terbentuknya seminari-seminari hukum selibat menjadi kenyataan. Namun demikian hukum selibat yang diberlakukan itu tetap merupakan persoalan, tetap menjadi topik debat guna menangani hal ini secara bijaksana. Paus Paulus VI meminta agar para Bapa Konsili tidak memperdebatkan hal itu secara terbuka, tetapi hendaknya semua soal mengenai hal itu disampaikan kepadanya. Dengan itu segala kekacauan dihindarkan dan segala ketegangan dikendurkan. Konsili Vatikan II (1962-1965) ini berbicara tentang selibat sebagai sesuatu yang mempermudah pelayanan baik kepada umatnya. Konsili menekankan bahwa selibat bukan tuntutan essensial untuk jabatan imam. (Oraison 1979 : 120)

Hasil dari Konsili Vatikan II yang berbicara tentang Selibat sebagai suatu wadah yang mempermudah pelayanan baik kepada umatnya itu ternyata pada Seminari Tinggi ST Yohanes sangat dipergunakan dengan baik oleh para Klerikus. Itu tampak dari kegiatan – kegiatan terjadwal yang ada pada masing – masing lingkungan stasi atau juga pada tiap minggu dalam lingkungan Muda – Mudi Katolik, para Klerikus ikut bergabung dikegiatan – kegiatan tersebut. Antara klerikus dengan Umat terjalin satu kemudahan, apakah itu kemudahan


(30)

dalam berhubungan dengan Para Pastor Gereja atau pun juga apabila umat ingin mengurus segala sesuatu yang berhubungan kepada Gereja.

Seminari Tinggi ST. Yohanes merupakan suatu bentuk wadah pendidikan yang lebih memperdalam Ilmu Teologi. Hal tersebut bukan berarti ilmu pengetahuan umum lain dinomorduakan. Didalam Seminari Tinggi ini kegiatan belajar mengajar bagi para Calon Biarawan telah diatur secara sistematis. Kegiatan bagi para Klerikus tersebut dimulai dari pagi hari Pukul 06.00 Wib dimulai dengan ibadat, pukul 07.00 Sarapan, pukul 08.45 – 12.45 Perkuliahan, pukul 13.00 wib ibadat di Biara Masing – masing, makan siang, istirahat, pukul 15.00 Wib Studi Pribadi, 17.00 wib sesuai jadwal bisa olah raga, bebas atau kerja, pukul 18.00 wib disesuikan dengan jadwal ibadat bacaan atau mendengar bacaan – bacaan atau tulisan – tulisan Khotbah, pukul 18.30 wib renungan pribadi atau meditasi digereja atau diruang doa, makan malam bersama, pukul 19.45 wib studi pribadi, pukul 21.00 wib bebas (dunia dalam berita), 22.30 ibadat malam penutu atau kompletorium, istirahat masing – masing. Begitulah kegiatan calon Biarawan sehari-harinya Di Seminari Tinggi St Yohanes.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini untuk mengetahui hal atau faktor apa yang yang muncul bagi calon Biarawan dalam menjalani hidup selibat secara social di Seminari Tinggi ST. Yohanes Pematang Siantar.


(31)

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian diatas yang menjadi perumusan masalah penelitian iniadalah : 1) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi calon Biarawan

menjalani hidup selibat di Seminari Tinggi ST. Yohanes ?

2) Apa sajakah konflik yang dihadapi calon Biarawan yang menjalani hidup selibat di Seminari Tinggi ST. Yohanes ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Calon Biarawan menjalani hidup selibat Seminari Tinggi ST. Yohanes ?

2) Untuk mengetahui apa sajakah konflik yang dihadapi calon Biarawan yang menjalani hidup selibat di Seminari Tinggi ST. Yohanes ?


(32)

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan penting bagi para Calon Biarawan yang mendalami pendidikan selama di Seminari Tinggi khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan komparatif yang masih relevan dalam penelitian yang sejenis dikemudian hari.

1.4.3 Manfaat Bagi Penulis

Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh.


(33)

1.5 Defenisi Konsep

Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian adalah : 1. Motif

Motif adalah suatu keadaan batiniah yang memberikan energi kepada aktivitas- aktivitas / menggerakkannya, karena itu menjadi motivasi dan mengarahkan / menyalurkan tingkah laku menuju pada suatu tujuan.

2. Selibat dibagi kedalam dua bahagian

Selibat awam

Selibat awam adalah mereka yang tidak menerima tahbisan suci, akan tetapi memiliki cara dan bentuk hidup yang berbeda.

Selibat religius

Selibat Religius adalah para pelayan rohani, yang dalam hukum disebut para klerikus. Para klerikus adalah mereka yang menerima tahbisan suci, yaitu Uskup, Imam, dan Diakon.

3. Komunitas

Komunitas adalah Suatu kelompok sebagai bagian dari masyarakat yang didasarkan pada perasaan yang sama, sepenanggungan dan saling memerlukan, serta bertempat tinggal di suatu wilayah tempat kediaman tertentu. Komunitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunitas biarawan yang sama-sama menjalani hidup selibat diSeminari Tinggi ST. Yohanes.


(34)

4. Biarawan

Biarawan adalah angota- anggota lembaga religius. Artinya persekutuan yang anggota-anggotanya mengucapkan kaul kekal atau sementara yang diterima oleh pembesar yang berwenang atas nama gereja.

5. Biara

Biara adalah rumah tempat tinggal komunitas yang menjalankan hidup bakti menurut tiga nasihat injil. Biara harus didirikan dengan sah, dihuni suatu komunitas, dikepalai seorang pemimpin yang diangkat menurut hukum gerejani yang berlaku, dan mempunyai tempat ibadah untuk perayan ekaristi serta penyimpanan sakramen maha kudus.

6. Konflik

Konflik adalah perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya.

7. Klerus / Klerikus

Klerus / Klerikus adalah kelompok orang beriman yang berkat tahbisan dkhususkan untuk pelayanan ibadat kepada Allah dan kekhasan rohani kaum beriman ; kelompok – kelompok klerus meliputi Diakon, imam, uskup. Seorang beriman memasuki kelompok klerus pada saat ia ditahbiskan.


(35)

8. Konggregasi

Konggregasi adalah suatu departemen – konia Romana / persekutuan keagamaan yang diakui oleh Paus atau Uskup. Anggota – anggotnya hidup sesuai dengan aturannya dan tiga kaul yang disebut sederhana yang bersifat sementara / tetap ). Di Indonesia semua tarekat imam, bruder dan suster yang tidak disebut. (sidang para wakil dari seluruh konggregasi) 9. Konsili

Konsili adalah sidang para Uskup untuk mengambil sikap dan keputusan tentang masalah ajaran iman, tata tertib dan tindakan pastoral serta administrative yang mendesak.

10.Novisiat

Novisiat adalah masa pencobaan bagi para calon anggota ordo dan konggregasi, biara, tempat masa novisiat dijalankan itu juga disebut novisiat. Para novis mendiami rumah tersbut dibawah bimbingan seorang pemimpin Novis.


(36)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1. Respon Agama Terhadap Globalisasi

Globalisasi bukan sekadar istilah baru soal hegemoni Barat, kendati tak dapat dipungkiri barat memiliki posisi istimewa. Perkembangan komunikasi dan transportasi menyebabkan proses globalisasi berlangsung intensif, ekstensif, dan cepat. Masalah jarak ruang dan waktu tidak lagi menjadi penting. Dunia seakan menjadi kian sempit dan menyatu, atau seperti digambarkan David Harley, dunia menjadi global village. Berbagai perkembangan baru masuk ke lingkungan-lingkungan yang semula eksklusif dan tertutup. (1994: 9).

Menyadari bahwa globalisasi dengan segala dampaknya pasti menyentuh sendi-sendi agama dan kehidupan beragama, maka dapat dimengerti jika umat beragama merasa perlu merespons fenomena globalisasi yang melanda kehidupannya. Dampak sampingan globalisasi komunikasi, perdagangan, politik, dan mobilitas internasional, masyarakat kian sadar akan keragaman dan urgensi melakukan refleksi kritis atas berbagai asumsi yang selama ini taken for granted.

Proses globalisasi mengakselerasi kesadaran umat akan pluralitas agama. Tradisi-tradisi yang melegitimasi identitas dan homogenitas keagamaan mendapat tantangan serius globalisasi. Kita bukan saja disadarkan akan keniscayaan pluralisme agama, namun juga ada pluralitas dalam pluralisme agama Perubahan


(37)

persepsi diyakini akan mempengaruhi berbagai organisasi keagamaan. Sejauh ini, isu globalisasi lebih banyak memunculkan kekhawatiran. Globalisasi dipandang sebagai upaya untuk memperluas model Amerika untuk mencakup seluruh dunia. Karena itu, banyak kalangan mengkritik globalisasi sebagai Amerikanisasi, atau ekspansi universal gagasan dan nilai-nilai Amerika. (Driyakarna 2003 : 1-2).

Dengan kata lain, globalisasi tak lebih dari bentuk lain kolonialisme atau pasca-kolonialisme. Pertanyaan yang selalu menghantui adalah, bagaimana pengaruhnya terhadap negara-negara yang bercita-cita untuk membangun negara bangsa (nation state) dan mencapai perkembangan ekonominya, seperti negara-negara Muslim?

Proses globalisasi mengharuskan kita merenung dan mengantisipasi kebijakan dengan tepat. Dari sudut pandang keagamaan, kehadiran globalisasi tidak hanya bersifat negatif. Sebagai keniscayan sejarah, globalisasi tidak bisa ditolak, namun perlu disikapi secara arif dan bijaksana sebagai tantangan bagi umat beragama.

Pengaruh globalisasi terhadap agama, setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan. Agama-agama bisa saja merambah dunia global atau malah menentangnya. Yang pertama, jalan universalisme: pandangan kultural yang menegaskan, kita semua ada dalam kebersamaan dan kita lebih baik belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama. Hal ini dapat melibatkan ragam kultural yang akhirnya mengantar


(38)

umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga. Namun, bisa juga muncul kecenderungan sebaliknya. Ideologi-ideologi agama atau quasi-agama bisa merespons konteks global baru dengan mengasingkan diri sembari menekankan keberbedaan (Kompas 2004 ; 15 juni 2004)

Kalangan umat beragama perlu lebih mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman. Dengan semangat itu kita bisa menjawab tantangan globalisasi, seperti hilangnya batas-batas atau sekat-sekat etnik, golongan, bahkan negara. Kita harus membuang. Dengan jangkauan media yang worldwide kita memiliki kesempatan membentangkan esensi agama sehingga dapat mewarnai etika perdagangan dunia. Kini masyarakat dunia telah menjadi lebih multi-religius, tidak lagi eksklusif.

Realitas sosial ini dengan sendirinya mendorong kita untuk menyingkirkan sikap eksklusif dan mengembangkan orientasi universal terhadap agama sehingga dapat lebih mengakomodasi "yang lain" (the other). Satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari arus globalisasi adalah, seluruh masyarakat lambat laun akan menyadari perihal "kemanusiaan sebagai satu keluarga" (dikutip tanggal 11 mei 2007 pukul 11.49 Wib

Kondisi ini mengakibatkan disorientasi sosial di tengah-tengah masyarakat berkembang menjadi sangat tinggi. sistim nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat mengalami goncangan yang luar biasa. Apabila kita meminjam pemikiran Durkheim − tanpa harus sepakat dengan pendekatan konsensusnya − di


(39)

mana agama dipandang sebagai sistim nilai yang merupakan indikator non-material dari masyarakat (cara masyarakat mengekspresikan diri mereka dalam fakta sosial non-material), maka kita dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya guncangan sistim nilai tersebut dalam masyarakat yang hidup dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional ini.

Meskipun begitu harus disadari bahwa pemikiran Durkheim kurang memadai untuk menganalisa agama dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional. Hal ini mengingat pemikiran Durkheim cenderung bercorak status quo, sebagai akibat penekanan yang sangat kuat terhadap karekter fungsional dalam masyarakat. Masyarakat cenderung dipahami sebagai kekuatan moral (moral power) di mana individu terikat di dalamnya dan menemukan segala yang baik berkaitan dengan dirinya di dalam masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Giovanni E. Reyes, bahwa salah satu yang juga penting dalam globalisasi adalah transfer aspek kultural. Sebuah aspek yang ditransfer − nilai-nilai kultural melalui sistim komunikasi ke seluruh masyarakat. Dengan demikian mendukung kesatuan proses produksi multinasional tersebut.

Penempatan agama sebagai fakta sosial non-material di sini tidak dimaksudkan menempatkan agama dalam skema Durkheim. Sebaliknya, penempatan ini hanya sekedar untuk menunjukan bahwa agama dan masyarakat adalah dua hal yang saling terkait. Dalam membaca kedua hal ini, penulis lebih berorientasi untuk menempatkan agama dalam basis material. Dengan demikian


(40)

gagasan agama yang dominan akan sangat terlihat berdiri tegak lurus proses ekonomi yang tidak simetris tanggal 11 mei 2007 pukul 10.58 wib)

Dalam kesatuan dunia yang bercorak multinasional, di mana ketimpangan begitu mencolok, agama sebagai sistim nilai mengalami guncangan yang luar biasa. Di Indonesia misalnya, agama telah menjadi jerami yang kering dan senantiasa siap untuk dibakar. Oleh karena itu, disorientasi sosial terlihat begitu kental, tampak pada konflik horisontal di mana agama begitu kental bermain di dalamnya. Otoritas moral kalangan rohaniwan semakin luntur di mata rakyat kebanyakan yang mengalami distribusi yang tidak simetris dalam proses ekonomi.

Pemikiran-pemikiran keagamaan dalam kesatuan dunia yang bercorak multinasional merupakan produksi industri kebudayaan − meminjam Adorno

yang mengendalikan kesadaran masa dalam menopang proses produksi multinasional yang hanya menguntungka jarinngan multinasional dan para elit politik-ekonomi lokal. Salah satu contoh mengenai hal ini dapat dilihat dalam kiprah gereja-gereja melalui DGI/PGI di Indonesia. Pada era tahun 1980-an, gereja-gereja melalui DGI/PGI sangat gencar melakukan adalah penafsiran atas Injil dengan menyetarakannya dengan ideologi Pancasila yang saat itu menjadi ideologi penguasa. Injil kemudian sejajar dengan Pancasila dan keduanya teraktualisasi dalam proses pembangunan nasional (dikutip Tgl 24 april 2007 Pukul 11. 39 WIB http://www.bartleby.com/65/li/liberali.html Hal 33).


(41)

Masyarakat kita jelas akan menghadapi banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan sebelumnya, kemajuan pesat (IPTEK) serta pengaruh globalisasi. Satu hal yang tidak mungkin dihindari adalah kegiatan pembangunan nasional akan semakin terkait erat dengan perkembangan internasional.

Secara teoritis, kegiatan pembangunan nasional suatu bangsa yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional suatu bangsa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan internasional akan menumbuhkan apa yang lazim disebut Global Governance. Dewasa ini, pada kenyataannya, hal itu telah menjadi kecenderungan yang semakin terasakan kehadirannya setidak – tidaknya, kecenderungan itu dapat dilihat dari dua Hal berikut :

1) Kegiatan pembangunan masyarakat sudah semakin luas dan menembus batas – batas administratif.

2) Unit – unit social telah tumbuh semakin kompleks dan konsekuensinya kemudian adalah semakin sulitnya menekan keunikan cultural suatu masyarakat (Usman 1994 : 3-5)

Dengan adanya globalisasi agama tetap bertahan pada ajaran – ajarannya, terhadap norma – norma sosial, serta hukum – hokum yang mengatur jemaatnya serta hukum yang telah ditetapkan oleh agama tersebut. Dengan adanya globalisasi belum tentu juga agama bisa berubah, contoh sederhana : Spekulasi –


(42)

spekulasi teoritis seperti sekarang sedang jamannya “terkisisnya nilai – nilai dan norma – norma”, disaat dunia mengalami perubahan besar / pesat masaih ada sebahagian individu secara pribadi mempertahankan duani sakral yaitu orang – orang yang menempuh pendidikan di seminari untuk menjalankan hidup selibat. Komunitas ini tidak terlalu mengikuti perkembangan dan kebutuhan duniawi. Buktinya mereka menjalankan hidup selibat di seminari yang telah mereka pilih.

Sangat menggembirakan bahwa pada zaman semodern ini yang serba gemerlap, masih banyak pemuda yang bercita-cita menjadi imam. Ini terbukti dari jumlah calon biarawan Seminari Tinggi Filsafat Teologi ST. Yohanes Penginjilan pada tahun kuliah 1986/1987. gedung Seminari Tinggi Filsafat Teologi yang kegiatan akademisnya dibuka pada tanggal 15 agustus 1986 ini berpenghuni 134 mahasiswa dari tingkat I hingga tingkat VI.

Melihat calon biarawan yang berasal dari berbagai suku dan kebudayaan ini, kiranya mampu menjawab semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Mereka terdiri atas suku dan budaya : Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Dairi, dayak, Tionghoa, Flores, Ogan, Nias, dan Jawa (lihat tabel 1.1.2). Tentulah kemajemukan budaya asal ini akan saling memperkay satu sama lain.

Disamping berasal dari berbagai suku dan budaya, mereka juga berasal dari berbagai keuskupan di sumatera dan Kalimantan (lihat tabel 1.1.3). Para calon biarawan ini mengabdikan diri bagi Gereja Katolik di Keuskupan – keuskupan tersebut. Yang tidak kalah menarik, bahwa hingga saat ini, yang terdiri


(43)

dari calon imam diosesan (projo), imam atau biarawan kapusin dan biarawan Conventual.

Sekalipun mereka berasal dari beraneka suku, berbagai keuskupan dan berbeda ordo atau tarekat namun toh bersatu. Bersatu sebagai bangsa Indonesia, bersatu dalam iman dan bersatu dalam cita – cita pengabdian bagi Gereja dan tanah air. Di dinilah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” terwujud.

Tabel I.1.2

Keadaan Ragam Suku Komunitas Biarawan

di Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar

SUKU TINGKAT JUMLAH

I II IIIA IIIB IV V VI

B.TOBA 8 13 7 2 5 4 - 39

B.KARO 2 2 3 - - 1 - 8

SIMALUNGUN 4 1 - - 1 - - 6

TIONGHOA 2 1 - 2 - - 1 5

DAYAK 3 3 2 2 1 1 - 12

FLORES 1 1 - - 1 - - 3

OGAN - 1 - - - 1

MENTAWAI - 1 - - - 1

JAWA 13 10 8 10 2 1 - 44

NIAS 2 3 3 1 3 2 - 14

JUMLAH 35 36 23 18 12 9 1 134

Sumber Data : Statistika kantor Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar. Tahun ajaran 2005/2006


(44)

Tabel I.1.3

Asal Keuskupan Komunitas Biarawan di Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar

KEUSKUPAN T I N G K A T JUMLAH

I II III A III B IV V VI

K. A Medan 15 14 12 1 5 4 - 51

Sibolga 3 5 2 2 4 3 - 20

Padang 3 3 - 2 - - 1 9

Pangkal Pinang 1 2 - - - 3

Palembang 4 1 1 2 - - - 8

Tjg. Karang 4 6 5 6 - - - 21

Pontianak 4 3 - 3 3 1 - 14

Sanggau 1 2 2 2 - 1 - 8

Jumlah 35 36 23 18 12 9 1 134 Sumber Data : Statistika kantor Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun

Pematang Siantar. Tahun ajaran 2005/2006 Catatan :

• Tingkat IIIA adalah Para Frater yang belum menjalani TOP (Tahun Orientasi Pastoral)

• Tingkat IIIB adalah Para Frater yang sudah menjalani TOP

Seluruh calon Biarawan STFT ST. Yohanes dapat juga di kelompokkan berdasarkan cita – cita dasar mereka yang berbeda satu sama lain. Pada dasarnya STFT ini terbuka menerima siapa saja yang berminat mendalami filsafat dan teologi dalam iman katolik. Namun pada saat ini para calon biarawan STFT ini adalah calon – calon imam. Dan ini terdiri dari tiga kelompok, yakni calon imam praja, calon imam Conventual dan calon imam kapusin.


(45)

A. Calon Imam Praja

Praja adalah sebutan Indonesia untuk “diocesan priest”. Biasanya juga disebut imam diosesan (diosesan = keuskupan). Berbeda dari imam regulir (=anggota suatu ordo), maka imam praja bukan anggota biara atau ordo tetapi imam keuskupan. Pada akhirnya nama sering ditambah “Pr” sebagai singkatan dari “Presbyter” yang artinya Imam (jubah mereka berwarna putih ).

B. Calon Imam Conventual

Secara internasional, dikenal dengan nama “OFM CONV” (ordo fratrum Minorum conventualium = ordo saudara- saudara dina Konventual). Inilah cabang pertama dari ordo Saudar-saudarinya. Yang didirikan oleh ST. Fransiskus dari Asisi pada awal abad ke 13. ordo ini berdiri tanggal 17 mei 1517, dan kini beranggotakan 4267 orang diantaranya ada di Indonesia. (jubah mereka berwarna keabu - abuan).

C. Calon Imam kapusin

Secara internasional, dikenal dengan nama “OFM CAP” (ordo Fratrum Minorum Cappucinorum = saudara- saudara Dina kapusin). Ini merupakan cabang ke dua dari ordo yang didirikan oleh ST. Fransiskus dari Asisi. Ordo ini berdiri resmi tanggal 3 juli 1528. kini anggotanya tersebar diseluruh dunia, dan di Indonesia berkarya di keuskupan Agung Medan dan Keuskupan Sibolga. (jubah mereka berwarna coklat).


(46)

2.2. Defenisi Agama Menurut Sosiologi

Agama sebagai suatu institusi social. Institusi religius ialah suatu bentuk organisasi yang tersusun relative tetap atas pola – pola kelakuan, peranan – peranan dan relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenan dengan dunia supra empiris. Dalam institusi keagamaan, orang menginginkan tercapainya kebutuhan dasar yang berkenan dengan dengan kebutuhan supra empiris. Bagi manusia, religius kepentingan dari kategori “dunia yang lain”, kepentingan akhirat, merupakan kepentingan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu semua harus dapat dicapai dengan pasti, karena itu semua dijadikan norma satu –satunya dan segala – galanya.

Dalam skala kognitif, nilai – nilai religius ditempatkan pada tingkt hirarki nilai – nilai yang tertinggi diatas skala ilmu pengetahuan positif dan filosofis dalam skala evaluatif. Nilai – nilai religius dirumuskan dalam keadaan moral dengan jangkauannya yang membentang paling jauh dan paling akhir (Agus 2003:116).

E.B Taylor dalam Scharf mendefenisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap adanya wujud – wujud spiritual”, namun ketidakpuasan dikemukakan terhadap defenisi ini atas dasar bahwa defenisi itu terlalu bercorak intelektualis, dan tidak mengacu kepada emosi – emosi khidmad dan hormat yang secara


(47)

khusus bercorak keagamaanyang berkaitan dengan kepercayaan – kepercayan semacam itu.

Berbeda dengan E.B Taylor, Radcliffe – Brown seorang ahli antropologi, mengatakan bahwa agama dimanapun merupakan ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan diluar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakana sebagai kekuatan spiritual / kekuatan moral. Bagi Radcliffe ekspresi penting dari rasa ketergantungan ini adalah peribadatan. Mengenai defenisi itu Radcliffe mengulas lebih lanjut mengenai kata sakral, ia mengatakan bahwa gagasan sakral itu terlalu kabur dan cenderung kepada unsur memuakan dalam defenisi agama itu. Namun demikian jelas bahwa “yang sakral” atau “yang terpisah dan terlarang” itu adalah yang hanya bisa diancang dengan peribadatan, karena kekuatannya bisa membahayakan dan juga bisa menguntungkan.

Perpindahan dari dunia sehari – hari yang profane (lawan dari sakral) harus ditanggapi secara cermat dan hati – hati, dan hanya dengan cara – cara yang disetujui masyarakat. Dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat tradisi – tradisi keagamaan yang dimiliki oleh individu menjadi bersifat komulatif dan kohesif, yang menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem keyakinan keagamaan. Penyatuan keanekaragaman itu dapat terjadi karena pada hakikatnya dalam setiap kehidupan berkelompok terdapat pola – pola interaksi tertentu yang melibatkan dua orang atau lebih dan dari pola – pola tersebut para anggotanya


(48)

secara bersama memiliki satu tujuan atau tujuan – tujuan utama yang diwujudkan sebagai tindakan – tindakan berpola (Scharf 2004 : 33-36).

Kehidupan manusia dimana pun, tidak selamanya mulus, selalu dibayangi oleh kegagalan atau frustasi , dan rasa ketidakadilan. Agama menjadi fungsional dalam struktur kehidupan manusia dalam usaha untuk mengatasi dan menetralkan bayangan – bayangan buruk tersebut. Usaha – usaha menetralkan dan mengatasi hal –hal buruk dalam kehidupan menuasia yang dibandingkan dengan usaha – usaha secara pribadi, karena dalam kelompok usaha – usaha tersebut dapat diletakkan dalam suatu konteks system yang lebih besar dari kegiatan – kegiatan kelompok dengan beban yang ditanggung bersama.

Kelestarian agama dalam struktur kehidupan manusia juga disebabkan antara lain, oleh hakikat dari kehidupan dan kegiatan – kegiatan kelompok keagamaan. Setiap kelompok keagamaan, kelompok keagamaan ada pun dan dimana pun, serta kapan pun, selalu menaruh perhatian pada peremajaan atau regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan tersebut. Ini dilakukan dengan menarik para anggota yang terdiri dari anggota – anggota keluarga dankerabat dari anggota kelompok, khususnya para anggota muda dan anak – anak. Keagamaan menyajikan pendidikan keagamaan bagi para anggota baru melalui pendidikan formal maupun melalui sosialisasi yang dilakukan oleh para orang tua (yang menjadi anggota kelompok), dalam lingkkungan keluarga, kepada anak – anak dan kerabat yang lebih muda. Dengan adanya anggota –


(49)

anggota muda menyebabkan kelompok – kelompok keagamaan yang dianut, walaupun proses regenerasi berlangsung secara alamiah, generasi sebelumnya menjadi tua lalu mati (Roland 1993: IX-XII).

Kelompok – kelompok keagamaan juga tidak hanya melakukan kegiatan – kegiatan peribadatan dan pendidikan saja, tetapi juga melaksanakan berbagai kegiatan social dan derma bagi masyarakat pada umumnya, dan memproduksi benda – benda yang berguna dalam kehidupan manusia (khususnya benda – benda dan bacaan - bacaan keagamaa) dan memberikan jasa – jasa dan pelayanan keagamaan ataupun social kemasyarakatan yang terpusat pada simbol- simbol utama dan suci dari agama yang dianut, gereja, totem, mesjid atau lainnya. Dengan melalui kegiatan – kegiatan kelompok keagamaan tersebut mata agama dari zaman ke zaman tetap ada dalam struktur kehidupan manusia.

Agama memang mengalami perubahan – perubahan tetapi yang berubah adalah tradisi – tradisi keagamaan atau system – system keyakinan keagamaan sedangkan teks suci, doktrin agama itu sendiri, sebagaimana tertuang dalam kitab suci, tidak berubah. Jadi agama tidak akan hilang dan diganti karena dengan system kehidupan sekuler demikian diramalkan oleh para ahli sosiologi. Perubahan keyakinan keagamaan, antara lain, disebabkan oleh adanya perbedaan – perbedaan interpretasi oleh para penganut agama dan oleh situasi – situasi berubah dan di interpretasikan oleh para penganut agama tersebut secara


(50)

berlainan. Ini menyebabkan adanya tingkat – tingkat keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh para penganutnya (Roland 1993: IX-XII).

Keyakinan keagamaan yang dipunyai penganutnya juga dipunyai komunitas calon biarawan yang berada di Seminari. Seminari adalah wadah yang lebih memperdalam ilmu Teologi khususnya yang beragama Katolik. Dimana didalam lokasi seminari ini terdapat Biara tempat tinggal komunitas yang menjalankan hidup bakti menurut Tiga nasihat injil. Biara harus didirikan dengan sah, dihuni suatu komunitas, dikepalai seorang pemimpin yang diangkat menurut hukum gerejani yang berlaku dan mempunyai tempat ibadah untuk perayaan ekaristi serta penyimpanan sakramen Maha Kudus (Hauken S.J, 1991-1994 : 765)

Biara dari segi fisik biasanya dilengkapi sarana-sarana seperti Gereja atau gedung pendidikan, beserta Doa, ceremony, Seminar juga bermusyawarah dan lain sebagainya. Sejalan dengan perkembangan zaman, seminari berkembang. Seminari Tinggi ST. Yohanes bukan hanya mempelajari pelajaran keagamaan, tetapi mata pelajaran umum dalam kurikulum seperti Bahasa Inggris, bahasa Daerah, Bahasa Latin dan Bahasa Jerman, ilmu –ilmu manusia seperti Antropologi, Psikologi dan mata pelajaran lainnya.

Sudut pandang Sosiologi terkhususnya kajian Sosiologi Agama, mengkaji tentang bagaimana agama itu menjadi sebuah satu sistem keyakinan pada masyarakat berisikan sebuah ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya


(51)

selamat dalam kehidupan setelah mati (Robertson, R 1993 : VII). Empat tipe keagamaan yaitu :

Tingkat Kerahasiaan yakni, seseorang memegang ajaran agama yang dianut dan diyakininya itu untuk dirinya sendiri dan tidak untuk didiskusikan dengan atau dinyatakan kepada orang lain.

Tingkat Privat atau Pribadi yakni, dia mendiskusikan dengan, atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang secara pribadi amat dekat hubungannya dengan dirinya.

Tingkat Denominasi yakni, individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu – individu lainnya dalam kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau privat.

Tingkat Masyarakat yakni, individu memiliki keyakinan keagamaan yang sama dengan keyakinan dari warga masyarakat tersebut.

Dalam skala kognitif, nilai-nilai religius ditempatkan pada tingkat hirarki nilai yang tertinggi di atas skala ilmu pengetahuan positif dan filosofis. Dalam skala evaluatif, nilai-nilai religius di rumuskan dalam kaidah moral dengan jangkauannya yang membentang paling jauh dan paling akhir (Geertz. Clifford 1974 ).


(52)

Kehidupan agama terdapat serangkaian fungsi atau peran yang harus dilaksanakan oleh fungsionaris yang kompeten. Fungsi – fungsi religius yang ada dalam semua agama dapat diringkus dalam tiga kelas :

1. Fungsi pelayanan Sabda Tuhan; mewartakan ajaran yang diterima agama yang bersangkutan dari Tuhan.

2. Fungsi penyucian; membagikan rahmat penyelamatan dari Tuhan. Pelayanan ini dipergakan dalam kegiatan kebaktian religius atau perayaan liturgis.

3. Fungsi penggembalaan; umat beragama mendapatkan pimpinan dan bimbingan yang terarah baik ke dalam maupun keluar.

Tiga jenis fungsi pelayanan tersebut di atas tidak dapat diharapkan akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila tidak ada suatu institusi yang mengaturnya. Sosiologi agama besar dan punya sejarah panjang, sebenarnya kesempatan untuk berbeda pendapat ini diperlukan karena tidak mungkin semua suku bangsa dari berbagai tempat dan waktu akan diatur dengan aturan yang sama sampai kepada masalah yang sekecil-kecilnya. Kesamaan hanya diperlukan dalam hal – hal pokok prinsip dalam ajaran agama. Sedangkan masalah teknis dan detail patut berbeda diantara satu daerah dan masyarakat dengan yang lain. Kalau tidak ada peluang yang menjadikan ajaran suatu agama fleksibel, dapat berubah dengan perubahan sosial budaya dalam hal rincian masalah, atau hal –hal sekunder dan teknis. (Agus 2003 : )


(53)

Yang terpenting yang dapat disimpulkan dari pendapat tersebut diatas adalah bahwa agama merupakan masalah-masalah individual yang sifatnya pribadi atau personal yang penuh dengan muatan emosi atau perasaan serta pemikiran-pemikiran mengenai manusia dan dunianya (yang gaib dan yang nyata), yang secara keseluruhan merupakan keyakinan pribadi, tetapi juga merupakan pemikiran-pemikiran dan emosi-emosi serta perasaan-perasaan kelompok atau masyarakat yang terwujud dalam berbagai tindakan dan gejala keagamaan kelompok atau masyarakat. Agama juga menghasilkan keanekaragaman interpretasi dan keyakinan agama pada tingkat sosial dan kelompok dan bahkan juga pada tingkat masyarakat (Roland 1993 : XII – XIV)

Berbeda dari pendapat Roland yang mengatakan bahwa agama merupakan masalah – masalah individu yang sifatnya pribadi atau personal yang penuh dengan emosi. Malinowski, mengatakan Agama memungkinkan manusia melakukan hal-hal paling besar yang mampu dilakukannya, dan ia menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain; ia memberikan kepadanya kedamaian dan kebahagian, keharmonisan dan kesadaran akan tujuannya, dan ia memberiakan semuanya ini dalam bentuk mutlak.

Meskipun nampaknya Malinowski berpendapat bahwa pandangan mengenai agama ini berlaku bagi semua jenis masyarakat, dia yakin bahwa agama mendatangkan akibat–akibat lain disamping keyakinan dan keharmonisan yang


(54)

meningkat ; ia juga dapat menimbulkan berbagai konflik dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. (Scharf, R Betty 2004 :79 – 80)

2.3. Dasar dan Pedoman Hidup Selibat

Model hidup yang sering digunakan untuk adalah model hidup Gereja Perdana. Dalam hidup ini mereka saling membantu penuh persaudaraan. Mereka saling sehati, saling berbagi pengalaman bahkan milik mereka menjadi milik bersama. Dalam hidup itu mereka rela berbagi baik hal rohani maupun jasmani ; hidup spiritual dan hidup sehari – hari seperti membantu secara ekonomi. Kerelaan berbagi itulah kiranya yang dapat membuat persaudaraan mereka sungguh erat dan hidup masing – masing dikuatkan. Tidak mustahil bahwa hidup mereka itu menarik bagi orang disekitar mereka.

Meniru hidup jemaat perdana itu, jelas bahwa hidup mereka dalam biara, disatukan oleh Tuhan, dari berbagai tempat, keadaan, suku, dan latar belakang. Maka mereka memilih teman yang cocok. Mustahil bahwa ada yan tidak cocok antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk membangun persaudaraan diperlukan beberapa sikap antara lain :

• Kerelaan untuk saling melayani, berkorban baggi yang lain.

• Saling memperhatikan, mengembangkan, meneguhkan, menghargi pribadi masing – masing.


(55)

• Menghargai perbedaan dan rela hidup dalam perbedaaan.

• Keterbukaan dalam berkomunikasi.

Dasar hidup bersama dalam hidup selibat jelas bukanlah kesamaan hobby, sifat, suku atau karakter, melainkan panggilan Tuhan sendiri. Masing – masing Klerikus atau klerus (dalam bahasa Italia) tetap pribadi lain yang berbeda dengan segala kekhasan sifat,watak, kelebihan dan kekurangan masing – masing karena dasarnya adalah panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing –masing dengan Tuhan menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunikasi, hidup dalam persaudaraan sejati.

2.4. Konflik Dalam Hidup Membiara

Secara teoritis, konflik merupakan bagian dan dinamika sosial. Di samping itu juga konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada penciptaan keseimbangan sosial. Bahkan bila konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu, maka dapat juga dipakai sebagai alat perekat antara yang satu dengan yang lain. Namun konflik sosial juga dapat menjadi sumber biang malapetaka dan kehancuran dalam kehidupan berbangsa ketika konflik disertai dengan tindakan anarkis dan kebrutalan.

Terjadinya berbagai konflik dalam komunitas calon biarawan antara lain disebabkan karena perbedaan visi dan misi juga perbedaan fraksis atau penghayatan terhadap panggilan. Atau ketika panggilan tidak sejalan lagi dengan


(56)

akademik, yang mengakibatkan terganggunya komunikasi antara yang satu dengan yang lain. Perbedaaan visi kepentingan juga merupakan potensi konflik yang ada didalam masyarakat disebabkan karena adanya kepentingan dalam memelihara atau bahkan mengukuhkan status dari pola – pola hubungan, selalu disadari adanya kenyataan bahwa pola hubungan – hubungan social yang berkembang diantara para anggotanya terbentuk melalui proses yang tidak disadari (Naskum, 1983 : 18)

Defenisi konflik menurut Coser adalah perselisihan mengenai sumber – sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak – pihak yang berkonflik tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang – barang yang diinginkan melainkan juga menonjolkan, merugikan atau melemahkan lawan – lawan mereka (Weger 211, 1986)

Konflik juga dapat berupa pertentangan ide, pendapat, paham dan kepentingan diantara satu pihak dengan pihak lain, menurut Coser konflik tidak selamanya memberikan kerugian pada orang karena dapat juga bersifat instrumental dalam pembentukannya, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial Coser juga mengatakan bahwa konflik dapat bersifat positif sejauh ia mendekatkan kelompok dan dapat berupa negative sejauh konflik tersebut mengganti struktur sosial.

Kemudian konflik juga merupakan stimulus untuk integrasi antar suatu kelompok lainnya serta menghasilkan perubahan dalam sikap mereka, seperti


(57)

yang dikemukakan Coser konflik sering memperkuat batas antara kelompok (M. Poloma 1987 : 108).

Secara teoritis konflik sosial juga dapat terjadi dalam berbagai tipe dan bentuk, konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tersembunyi diartikan dengan adanya tekanan – tekanan yang tidak tampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat kepuncak konflik, sering kali satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak – pihak yang berselisih teridentifikasi dan mereka mengalami adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya belum berkembang, disisi lain konflik terbuka adalah konflik dimana pihak – pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin mencapai jalan buntu (Widjardja 2001 : 54)

Merujuk pada gambaran diatas tepatlah pada dasarnya konflik social itu nyata, bisa destruktif dan kadang kala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang terpenting adalah bagaimana respon kita terhadap koflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru yang ditumbuhkan agar dapat menghadapi dan mengelola konflik.

Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Teori konflik menilai menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat, itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau


(58)

pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dahrendorf menyebutkan masyarakat sebagian persekutuan yang terkoordinasi secara paksa (imperatively coordinated association). Kekuasaan selalu memisahkan antara penguasa dengan yang dikuasai sehingga dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan ini terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha untuk mempertahankan status Quo, sedangkan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan. (Ritzer, 2002 : 26 – 27).

Alat Bantu untuk menganalisis konflik ada beberapa, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap – tahapannya adalah :

1. Pra konflik

Merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.


(59)

Pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis

Merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus. Pernyataan – pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Akibat atau dampak

Kedua belah pihak yang bertikai mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian.

5. Pasca Konflik

Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah kelebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu – isu dan masalah – masalah yang timbul karma sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi dengan baik.


(1)

2. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CALON BIARAWAN MENJALANI HIDUP SELIBAT DI SEMINARI 1. Sebelum saudara menjalani hidup selibat di Seminari ini, apakah sebelumnya

saudara telah mengetahui tentang selibat itu sendiri? 2. Apa yang saudara ketahui tentang selibat?

3. Menurut pendapat saudara, apakah menjalani hidup selibat itu adalah sesuatu hal yang wajar?

4. Apa motivasi saudara menjalani hidup selibat di Seminari ini?

5. Hingga saat ini, pernahkah saudara mendapatkan cobaan dari segi biologis agar tidak menghidupi selibat itu sendiri?

6. Apa tantangan terbesar dari dalam diri yang saudara hadapi selama menjalani hidup selibat?

7. Selama saudara menjalani hidup selibat di Seminari ini, adakah pandangan negative dari lingkungan tempat tinggal saudara, atau pun dari teman- teman, atau juga dari keluarga saudara, karena saudara memilih hidup selibat?

8. Jika diberikan dua pilihan, mana yang lebih saudara pilih, hidup Selibat atau menikah?

9. Apa tanggapan saudara terhadap situasi dunia saat ini, terutama dengan kondisi Indonesia sendiri, dimana orang – orang telah meninggalkan atau melupakan hal – hal yang sakral dan mementingkan kepentingan Duniawai?


(2)

3. KONFLIK – KONFLIK YANG PERNAH DIHADAPI 1. Selama saudara menjalani hidup selibat, pernahkah terjadi konflik? 2. Apa yang memicu terjadinya konflik itu sendiri?

3. Siapa oknum atau orang yang terlibat atau mengalami konflik?

4. Pernahkah saudara mengalami konflik dengan sesama yang menjalani hidup selibat? Berikan alasan?

5. Apa hal – hal yang memicu terjadinya konflik tersebut?

6. Biasanya siapakah yang terlebih dahulu memicu terjadinya konflik? 7. Siapa yang paling sering mengalami konflik?

8. Konflik apa yang paling sering terjadi?

9. Intensitas konflik yang terjadi lebih mengacu ke konflik besar atau konflik kecil?

10.Hal – hal apa yang sering memicu terjadinya konflik itu? 11.Apa yang saudara perbuat jika terjadi konflik?

12.Siapakah yang biasanya menjadi pendamai?

13.Ketika saudara berinteraksi dengan lingkungan sekitar, apakah itu di lingkungan seminari atau pun dengan masyarat\kat sekitar, atau juga dengan Bapak asrama, pernahkah saudara mendengar terjadi konflik?

14.Apa yang memicu terjadinya konflik tersebut? 15.Siapakah yang menjadi pendamai konflik itu sendiri?


(3)

16.Selain konflik dengan sesama atau pun dengan Bapak asrama, pernahkah saudara mengalami konflik dengan masyarakat sekitar?

17.Apa yang memicu terjadinya konflik tersebut?


(4)

INTERVIEW GIUDE

Nama : Lena Mariana Br Haloho Nim : 030901055

Judul Penelitian : Hidup Selibat Pada Komunitas Calon Biarawan

BAPAK ASRAMA

PANDUAN WAWANCARA

I. PROFIL INFORMAN

A. DATA PRIBADI INFORMAN

1. Nama :

2. Jenis kelamin : 3. Tmpt / Tgl Lahir :

4. Asal :

5. Alamat :

6. Agama :

7. Suku :

8. Pendidikan terakhir :


(5)

B. DATA – DATA

1. Bisakah Pastor menjelaskan sedikit tentang pengertian hidup selibat? 2. Sejak kapan Pastor menjadi Bapak Asrama ?

3. Siapakah yang menjabat sebagai Bapak asrama sebelum Pastor ? 4. Bolehkah saudara atau keluarga atau teman datang berkunjung?

5. Selama Pastor menjadi Bapak asrama, pernahkah pihak keluarga dari calon Biarawan datang berkunjung?

6. Apakah pada saat berkunjung tersebut ada ketentuan yang harus dipatuhi? 7. Apa ketentuan - ketentuan atau peraturan- peraturannya?

8. Apa saja kegiatan yang dilakukan setiap harinya oleh calon biarawan, Mulai dari pagi hari hingga malam hari?

9. Kapankah para calon biarawan boleh keluar dari asrama? 10.Apakah ada syarat yang harus dipatuhi apabila hendak keluar?

11.Apa saja syarat atau peraturan yang harus dipatuhi apabila hendak keluar? 12.Selama yang Pastor ketahui, apa alasan calon birawan memilih hidup selibat? 13.Apakah motivasi atau alasan mereka hidup selibat itu karena masalah pribadi

atau karena memang kemauan dari dalam diri sendiri?

14.Diantara dua pilihan diatas manakah alasan yang lebih mndominasi?

15.Selama Pastor menjadi Bapak Asrama apakah ada calon biarawan yang kurang mematuhi peraturan?


(6)

16.Adakah terjalin interaksi yang baik antara Bapak asrama dengan Calon Biarawan?

17.Selama Pastor menjadi Bapak asrama, pernahkah terjadi Konflik antara sesama?

18.Pernahkah terjadi konflik antar sesama dengan yang lainnya? 19.Apakah yang menyebabkan terjadinya konflik itu ?

20.Pernahkah terjadi konflik antara Bapak asrama dengan calon biarawan? 21.Mengapa konflik itu bisa terjadi?

22.Siapakah yang menjadi pendamai apabila konflik terjadi?

23.Konflik apa yang paling sering terjadi diantara sesama calon biarawan? 24.Konflik besar atau konflik kecil yang sering melanda calon biarawan?