1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Driyakara dalam buku Selibat Para Imam menyatakan bahwa manusia merupakan persoalan, suatu problem bagi dirinya sendiri. Maka tidak heran kalau
sejarah umat manusia selalu ditandai oleh upaya manusia untuk mengerti dirinya. Sejarah peradaban dapat dipahami sebagai sejarah ide-ide manusia sendiri.
Karena itu sejarah manusia menunjukkan beberapa banyak pengetahuan manusia tentang dirinya. Namun sampai kini manusia masih merupakan rahasia besar dan
suci. Ia merupakan barang keramat bagi dirinya dalam dirinya terkandung banyak keajaiban, sehingga banyak pertanyaan yang tak terjawab oleh manusia. Manusia
merupakan rahasia yang menakutkan sekaligus menarik sehingga mengajak manusia itu sendiri memahami dirinya 1981 : 87.
Kiranya sudah menjadi keyakinan umum bahwa mengerti, memahami, dan mengenal diri merupakan suatu hal yang hakiki dalam hidup sebagai manusia
kenyataan ini digaris bawahi oleh Thomas Merton dalam Mardi Prasetyo mengatakan :
Tak seorang pun akan berhasil menyumbangkan jasa buat Sesama masyarakat tanpa lebih dahulu mengenal kehidupan Diri, keutuhan pribadi, kebebasan dan
kemampuan untuk mencintai sesama, sebab tanpa itu ia tak punya apa-apa yang dapat disumbangkan pada sesama.Paling jauh ia hanya dapat menularkan
angan-angan hidupnya. Idealnya Ambisi cinta dirinya obsesi dan agresinya. 1987 : 67.
Universitas Sumatera Utara
2 Menyadari akan hal itu, perlulah kita berusaha terus menerus untuk
semakin mengenal diri dan memperbaharui diri. Agaknya pengenalan akan diri ini juga merupakan sarana yang ampuh bagi manusia dipanggil untuk hidup bahagia
bersama Allah. Untuk dapat masuk kedalam golongan klerikal, Gereja katolik telah menentukan persyaratan- persyaratan yang harus dipenuhi oleh para calon
imam tertahbis. Salah satu syarat adalah Kewajiban untuk menjalani hidup selibat. Hal tersebut telah diperkuat dalam Dokumen Gereja katolik yang secara
khusus memperhatikan tentang Selibat imam dalam Gereja latin adalah Ensiklik Paus Paulus VI, Sacerdotalis Caelibatus yang dikeluarkan pada tanggal 24 juni
1967 bahwa Gereja akan tetap mempertahankan hidup selibat bagi para Imam dan para Religius. Gereja akan mewajibkan para imam serta kaum religius hidup
dalam selibat. Keserasian antara selibat dengan imamat itu direfleksikan sebagai tanda penyerahan diri secara total bagaimana tugas pelayanan kepada Allah dan
sesama, serta mengemban martabat dan misi dari mediator dan iman abadi. Kata selibat berasal dari kata latin Caelibatus yang berarti tidak kawin atau
tidak menikah. Namun istilah selibat dewasa ini dipakai secara umum untuk orang yang tidak kawin. Gereja memaksudkan cara hidup tidak kawin atau status
berselibat itu mencakup seluruh hidup selibater yang menuntut sikap radikal dan tidak mengenal kompromi atau kontrak Simorangkir 2000 : 45 .
Universitas Sumatera Utara
3 Selibat atau hidup tidak kawin merupakan perkembangan dari gagasan
berpantang sexual atau tarak seksual. Pantang seksual ini pada umumnya dibuat berkaitan dengan upacara religius. Sedang selibat atau hidup tidak kawin yang
terdapat dalam Gereja Katolik Roma sungguh lain artinya. Selibat disini berarti pantang sementara saja. Letak bedanya adalah pada kata sementara dan seumur
hidup. Pantang seksual itu sifatnya aksidental, sedang selibat sifatnya tetap. Dalam merumuskan pengertian selibat secara umum ini, penulis berangkat
dari pengertian leksikal dan pengertian pada umumnya, artinya bagaimana orang pada umumnya mengerti selibat itu. Maka selibat dapat diartikan sebagai sikap
seseorang yang diambil secara sadar dan bebas untuk tidak mengikat diri dalam hubungan seksual bersifat social, yaitu hubungan yang diucapkan baik kepada
pasangan maupun kepada masayarakat yang menyaksikan. Selibat berarti tidak mengikat diri dalam hubungan seksual yang bersifat sosial. Ini berarti tidak terikat
oleh perkawinan. Agar tidak ditafsirkan secara keliru maka perlu diterangkan. Hidup selibat juga berarti tidak melakukan hubungan seksual, karena di dalam
selibat terkandung pantang seksual untuk seumur hidup. Maka hidup selibat perlu diberi arti teologis Widodo 1990 : 11- 12 .
Secara khsusus banyak orang mengartikan bahwa selibat berarti tidak kawin. Sebenarnya selibat itu bukan hanya tidak kawin. Pengertian Selibat dari
sudut pandang Teologis berarti tertangkap oleh Kristus. Kristus begitu mempesona, sehingga karenanya orang tidak dapat kawin. Maksudnya, orang
Universitas Sumatera Utara
4 telah sedemikian utuhnya tertawan oleh Kristus dan kerajaannya, sehingga tidak
dapat tidak ia menyerahkan diri kepada Kristus secara utuh. Sebagaimana Paulus seorang rasul Kristen menyatakan bahwa : “…. segala sesuatu kuanggap rugi
karena pengenalan akan Kristus Yesus. Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya” Fil.3:7.8. dan Yesus yang merupakan tokoh Sentral dalam agama Kristen pun
mengatakan, “…. ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga” Mat 19 : 12 dalam Van.Bremen 1983 : 213
Hidup tidak kawin atau selibat itu mempunyai dua jenis yang berlainan yaitu : selibat religius atau regula dan hidup selibat eklesiastik. Selibat Religius
atau Regula adalah mereka klerikus yang menjalankan hidup selibat dan telah menerima tahbisan suci, seperti Uskup, Imam, dan Diakon. Sedangkan hidup
selibat eklesiastik adalah mereka yang tidak menerima tahbisan suci, anatara selibat regula dan hidup selibat eklesiastik itu sendiri memiliki cara atau bentuk
hidup yang berbeda. Darmawijaya, 1987 : 12-14 . Oleh sebab itulah Mengapa penulis memilih pokok ini karena merasa tertarik akan sejumlah masalah selibat,
selain ingin melihat kehidupan mereka antara sesama klerikus dengan masyarakat terkhususnya umat katolik juga terhadap keluarga klerikus. Hal yang paling utama
Penulis ingin mengetahui apa sebenarnya faktor – faktor apa sajakah yang mempengaruhi calon Biarawan menjalani hidup selibat ? Penulis juga ingin
mengetahui konflik-konflik apa sajakah yang terjadi di antara Calon Biarawan selama di Seminari Tinggi ST. Yohanes Pematang Siantar ? Didalam Seminari
Universitas Sumatera Utara
5 Tinggi ini kegiatan belajar mengajar bagi para Calon Biarawan telah diatur secara
sistematis. Pengaturan jadwal bagi para klerikus ini pun terkadang membawa satu konflik antara yang satu dengan yang lain, apakah itu konflik besar atau konflik
kecil. Konflik besar adalah konflik yang prinsipial, yang menyangkut hal – hal pokok bertarekat seperti : tentang Visi, Misi serta pilihan karya yang besar,
tentang cara hidup apakah hidup miskin atau tidak. Sedangkan konflik kecil adalah konflik dalam kehidupan sehari – hari tentang hal – hal kecil didasarkan
pada rasa kesenangan, kebiasaan budaya yang berbeda – beda. Walaupun kesehari - hariannya para klerikus hidup dalam ajaran religius, kenyataannya sebagai
seorang manusia yang terkadang tak luput dari perasaan iri, dengki, syirik, ataupun segala macam perilaku manusia yang bisa membawa klerikus kearah
konflik. Selama yang penulis meneliti di Seminari Tinggi ST. Yohanes konflik antara sesama klerikus memang sering terjadi. Kenyataannya itulah yang
mendorong penulis untuk menulis tentang pokok bahasan tersebut. Kumpulan orang yang terpanggil dan dipermandikan lalu menjalankan
hidup Selibat itu sendiri disebut Klerikus atau Selibater atau Calon Imam diosesan atau juga Imam Biarawan. Dan untuk komunitas sosialnya lebih sering disebut
dengan Tarekat atau ordo atau konggregasi. Konggregasi- konggregasi ini muncul pada Abad 16. Undang-undang umum yang menyangkut konggregasi-
konggregasi religius ini tercantum dalam Kanon nomor 573 sampai dengan 709 dalam Buku II bagian III KH Kanon Gereja. Dan semua institusi Religius
Universitas Sumatera Utara
6 tersebut memiliki perbedaan-perbedaan antara Ordo dan Konggregasi
id.wikipedia.org wiki ordo_keagamaan_katolik. Selibat yang dimaksud Gereja Katolik adalah selibat yang dihidupi oleh
para imam yang mau menyerahkan diri demi nama Kristus serta kaum religius Biarawan-Biarawati yang ingin mengabdikan diri lewat pelayanan kepada
sesama. Indah, 1992 : 54-55. Selain itu klerikal juga harus mentaati kaul – kaul yang ada dimana kaul itu terbagi tiga dan antara Selibat dengan ketiga kaul sama
– sama harus dijalankan. Tiga kaul itu adalah : Kaul Kemurnian :
Motivasi Kaul Kemurnian Seseorang yang memelihara nasihat injil kemurnian mengungkapkan cinta kasih tidak dengan laku cinta yang sempit,
melainkan dengan sikap dan laku kasih yang semakin dalam dan luas. Ketika kaul ini tidak lagi bergema dalam diri, maka tingkah laku akan aneh-aneh. Mulai lekat
dengan seseorang yang dianggap berjasa dalam panggilan, pilih kasih dalam persahabatan yang menghasilkan satu persahabatan yang tidak sehat.
Kaul Kemiskinan Yang menjadi unsur utama dalam Kaul Kemiskinan adalah
ketergantungan dan keterbatasan dalam menggunakan harta milik. Kaul kemiskinan juga menyangkut kesederhanaan hidup dan kedermawanan kepada
orang-orang miskin. Keaslian dalam kemiskinan nampak dalam persaudaraan dengan orang-orang kecil.
Universitas Sumatera Utara
7 Kaul ketaatan
Motivasi dasar Kaul Ketaatan adalah cinta akan kehendak Allah. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa-Nya sampai mati. Ketaatan kepada Allah
secara konkret diwujudkan dalam ketaatannya kepada pimpinan tarekat. H.J Kachmadi 1981 : 18.
Dewasa ini ada gejala bahwa banyak imam dan kaum religius yang tidak setia pada janji dan kaul-kaul yang telah mereka ucapkan. Kenyataan yang
didapat penulis setiap angkatan tahun masuk, di Seminari Tinggi ST. Yohanes selalu ada klerikus atau Calon Biarawan yang keluar karena tidak dapat sanggup
menjalankan hidup selibat dan juga tidak bisa mentaati ketiga kaul tersebut. Tergambar pada table I.I.I dibawah ini .
Tabel. I.1.1 Keadaan Komunitas Biarawan Sekolah Tinggi ST.Yohanes
Kab. Simalungun Pematang Siantar T.h akademik
Mhs.baru Mhs. Keluar
Lulus
2001 2002 43 orang
13 orang 9 orang
2002 2003 29 orang
17 orang 9 orang
2003 2004 60 orang
12 orang 20 orang
2004 2005 61 orang
7 orang 26 orang
2005 2006 63 orang
11 orang 22 orang
Sumber Data : Statistika kantor Sekolah Tinggi ST.Yohanes Kab. Simalungun Pematang Siantar Tahun ajaran 2001-2006
Universitas Sumatera Utara
8 Bagi banyak pihak selibat masih menimbulkan banyak pertanyaan
mengapa imam tidak kawin . Umat katolik sendiri pun masih banyak yang mempertanyakan mengapa para imam hidup selibat? Secara tidak langsung Paus
Yohanes Paulus II menyanggah orang yang mempersoalkan tuntutan gereja akan selibat bagi para Imam. Paus membela “Selibat Dalam Hidup”, 18 XXXVI 2
mei 1982 : 19. Gereja Katolik akan tetap mempertahankan hidup selibat bagi para imam dan para religius. Gereja mewajibkan para imam serta kaum religius
hidup dalam selibat. Kewajiban itu sendiri dirumuskan dalam dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para imam Presbyterorum Ordinis mereka selibat
bukan karena adanya unsur paksaan dari luar dirinya melainkan kehendak pribadi. Kitab Hukum Kanonik Codex Iuris canonici, 1983 Sekretariat KWI 1991
Hidup selibat adalah “karunia” dan bukan hasil bina. Karunia selibat tersebut diberikan kepada seseorang dan melalui peningkatan motivasi karunia
selibat itu semakin berkembang hingga akhirnya menjadi matang. Dan untuk menjadi seorang selibater hati tidak boleh bercabang-cabang, ia harus melayani
dan mengabdi dengan sebulat hati Sinaga 1996 : 276-277. Selibat itu mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Setiap orang yang
memilih untuk hidup selibat pasti melihat bahwa selibat itu mempunyai arti bagi hidupnya. Karena terpikat oleh nilai-nilai yang terkandung dalam selibat, tentu
dengan sendirinya rela untuk menghidupinya secara taat dan konsekuen. Karena hidup berselibat juga merupakan salah satu bentuk panggilan hidup sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
9 hidup berkeluarga lainnya. Paulus VI Ensiklik Sacerdotalic Caelibatus 26-33
Cukup banyak orang khususnya umat katolik, mau hidup sebagai selibater. Tentu saja setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Pada umumnya
motivasi orang untuk dapat hidup selibat adalah bahwa cara hidup yang demikian itu lebih memungkinkannya untuk mengabdikan diri seutuhnya kepada Tuhan dan
sesama. Motivasi hidup selibat disetiap zaman mempunyai tekanan motivasi tersendiri. Sebagai contoh kita tinjau kembali motivasi hidup selibat pada abad
permulaan. Motivasi selibat pada abad pertama adalah bahwa dengan berselibat orang dapat dengan sebulat hati mengabdi kepada Tuhan. Disini dimensi vertical
cukup ditonjolkan. Bila hendak ditelusuri motif-motif yang sepanjang sejarah pernah
dikemukakan, kiranya perlu diperhatikan bahwa semua motivasi itu mengungkapkan inspirasi asli dan mendasar, yakni yang tertulis dalam injil
Matius 19 :12 “……. Dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemaunnya sendiri oleh karena kerajaan surga”. Motivasi yang paling umum
ditemukan guna menjalani hidup selibat itu bersifat religius. Hardwiryana 1979:7-8.
Menghidupi selibat tidak mudah, hal ini terlihat dari apa adanya para klerikus yang melakukan skandal seks atau pun mengundurkan diri dari status
klerikalnya karena alasan tidak sanggup hidup berselibat. Oleh karena itu para klerikus hendaknya hati-hati membina atau memelihara pergaulannya dengan
Universitas Sumatera Utara
10 orang-orang tertentu. Pergaulan itu hendaknya tidak membahayakan kewajiban
untuk berselibat sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi umat beriman. Skandal seks bisa terjadi dalam bentuk hubungan seksual baik dengan
lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Berbagai kasus bisa diketahui lewat mas media. Salah satu contoh yang diekspos secara luas adalah mengenai Pastor
John Geoghan, seorang Pastor berkebangsaan Amerika telah melakukan Paedofilia ketertarikan seksual terhadap anak-anak lebih dari 130 orang selama
30 tahun karirnya sebagai Pastor. John Geoghan dikenal sebagai tokoh sentral dalam skandal seks. Gereja Katolik Roma atas kejahatannya itu telah
mengeluarkan uang lebih 10 juta AS. Untuk membendung tuntutan hukum. Dihukum 10 tahun penjara tetapi didalam penjara dia mati dibunuh oleh penghuni
penjara lainnya. John Geogham : Pastor Pelaku Paedofilia Terbunuh Dipenjara http:www.kompas.com kesehatan news 0308 25 082002.htm, 30 mei
2004 Pemaparan di atas Dinyatakan dengan jelas bahwa dunia kebangkitan
merupakan dunia manusia yang sudah terpenuhi, tersempurnakan ; seksual tidak berperanan lagi. Kegiatannya telah terpenuhi dalam waktu dan kini menuju
keeksistensi transeksual. Ada anggapan bahwa segala yang berbau seksual itu mencemarkan, oleh karena itu tidak dapat diselaraskan dengan keinginan untuk
mendekati Tuhan. Hubungan seksual dianggap bertentangan dengan altar. Oraison 1973 : 21.
Universitas Sumatera Utara
11 Keharusan selibat itu sendiri mendapat pertentangan sengit, mengapa ?
karena tidak gampang menjalankannya. Dikatakan sukar karena banyak orang hidup dalam pergundikan, promiskuitas. Meskipun banyak pertentangan, namun
usaha-usaha kearah hukum selibat sungguh mengikat. Hal ini Banyak dilakukan pada zaman Paus Leo I 440-461 selibat yang sebelumnya mengikat diakon,
imam, dan Uskup malah diperluas hingga mengikat subdiakon. Oraison 1979 : 6 Selibat menjadi keharusan yuridis bagi para Klerikus ditetapkan pada
Konsili Bouges Perancis tahun 1031. dan pada tahun 1123 Paus Kaliktus II membawa hukum tersebut kepada puncaknya dengan mengumumkan bahwa
pernikahan para klerikus itu kosong dan tidak sah. Saelibat yang telah menjadi hukum dikukukhkan lagi pada Konsili Lateran II tahun 1139. Konsili menetapkan
bahwa sesudah tahbisan tinggi perkawinan bukan hanya tidak diperbolehkan, tetapi bahkan tidak sah. Hal itu dikuatkan lagi oleh Paus Alexander III tahun 1180
dan Paus Calectinus II tahun 1198 Hardawiryana 1979:6 Selibat telah diatur dalam hukum Gereja dan Gereja telah kerap kali
mengukuhkannya. Namun begitu masih terdapat upaya-upaya agar hukum yang mengikat itu dicabut kembali dengan alasan dasar yaitu pelaksanaannya sukar.
Hal ini dekemukakan pada Konsili Trente tahun 1545.- 1563. Protestan yang merupakan aliran besar dalam Kristen tidak menerima selibat, karena itu bukan
nilai yang lebih besar tinggi dari pada perkawinan. Kalvin seorang reformator Protestan sangat menentang para penulis Kristen yang menyatakan bahwa selibat
Universitas Sumatera Utara
12 lebih baik dari pada perkawinan. Dan Konsili ini kembali mengukuhkan selibat
para klerikus. Konsili melihat bahwa selibat bukan merupakan suatu hukum ilahi melainkan hukum Gerejawi Douglas 1979 : 6.
Sekitar abad ke-17 sesudah terbentuknya seminari-seminari hukum selibat menjadi kenyataan. Namun demikian hukum selibat yang diberlakukan itu tetap
merupakan persoalan, tetap menjadi topik debat guna menangani hal ini secara bijaksana. Paus Paulus VI meminta agar para Bapa Konsili tidak memperdebatkan
hal itu secara terbuka, tetapi hendaknya semua soal mengenai hal itu disampaikan kepadanya. Dengan itu segala kekacauan dihindarkan dan segala ketegangan
dikendurkan. Konsili Vatikan II 1962-1965 ini berbicara tentang selibat sebagai sesuatu yang mempermudah pelayanan baik kepada umatnya. Konsili
menekankan bahwa selibat bukan tuntutan essensial untuk jabatan imam. Oraison 1979 : 120
Hasil dari Konsili Vatikan II yang berbicara tentang Selibat sebagai suatu wadah yang mempermudah pelayanan baik kepada umatnya itu ternyata pada
Seminari Tinggi ST Yohanes sangat dipergunakan dengan baik oleh para Klerikus. Itu tampak dari kegiatan – kegiatan terjadwal yang ada pada masing –
masing lingkungan stasi atau juga pada tiap minggu dalam lingkungan Muda – Mudi Katolik, para Klerikus ikut bergabung dikegiatan – kegiatan tersebut.
Antara klerikus dengan Umat terjalin satu kemudahan, apakah itu kemudahan
Universitas Sumatera Utara
13 dalam berhubungan dengan Para Pastor Gereja atau pun juga apabila umat ingin
mengurus segala sesuatu yang berhubungan kepada Gereja. Seminari Tinggi ST. Yohanes merupakan suatu bentuk wadah pendidikan
yang lebih memperdalam Ilmu Teologi. Hal tersebut bukan berarti ilmu pengetahuan umum lain dinomorduakan. Didalam Seminari Tinggi ini kegiatan
belajar mengajar bagi para Calon Biarawan telah diatur secara sistematis. Kegiatan bagi para Klerikus tersebut dimulai dari pagi hari Pukul 06.00 Wib
dimulai dengan ibadat, pukul 07.00 Sarapan, pukul 08.45 – 12.45 Perkuliahan, pukul 13.00 wib ibadat di Biara Masing – masing, makan siang, istirahat, pukul
15.00 Wib Studi Pribadi, 17.00 wib sesuai jadwal bisa olah raga, bebas atau kerja, pukul 18.00 wib disesuikan dengan jadwal ibadat bacaan atau mendengar bacaan
– bacaan atau tulisan – tulisan Khotbah, pukul 18.30 wib renungan pribadi atau meditasi digereja atau diruang doa, makan malam bersama, pukul 19.45 wib studi
pribadi, pukul 21.00 wib bebas dunia dalam berita, 22.30 ibadat malam penutu atau kompletorium, istirahat masing – masing. Begitulah kegiatan calon Biarawan
sehari-harinya Di Seminari Tinggi St Yohanes. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini
untuk mengetahui hal atau faktor apa yang yang muncul bagi calon Biarawan dalam menjalani hidup selibat secara social di Seminari Tinggi ST. Yohanes
Pematang Siantar.
Universitas Sumatera Utara
14
1.2 Perumusan Masalah