37 meningkat ; ia juga dapat menimbulkan berbagai konflik dengan kelompok-
kelompok masyarakat lain. Scharf, R Betty 2004 :79 – 80
2.3. Dasar dan Pedoman Hidup Selibat
Model hidup yang sering digunakan untuk adalah model hidup Gereja Perdana. Dalam hidup ini mereka saling membantu penuh persaudaraan. Mereka
saling sehati, saling berbagi pengalaman bahkan milik mereka menjadi milik bersama. Dalam hidup itu mereka rela berbagi baik hal rohani maupun jasmani ;
hidup spiritual dan hidup sehari – hari seperti membantu secara ekonomi. Kerelaan berbagi itulah kiranya yang dapat membuat persaudaraan mereka
sungguh erat dan hidup masing – masing dikuatkan. Tidak mustahil bahwa hidup mereka itu menarik bagi orang disekitar mereka.
Meniru hidup jemaat perdana itu, jelas bahwa hidup mereka dalam biara, disatukan oleh Tuhan, dari berbagai tempat, keadaan, suku, dan latar belakang.
Maka mereka memilih teman yang cocok. Mustahil bahwa ada yan tidak cocok antara yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk membangun
persaudaraan diperlukan beberapa sikap antara lain : • Kerelaan untuk saling melayani, berkorban baggi yang lain.
• Saling memperhatikan, mengembangkan, meneguhkan, menghargi pribadi masing – masing.
• Kesatuan dengan Tuhan secara pribadi.
Universitas Sumatera Utara
38 • Menghargai perbedaan dan rela hidup dalam perbedaaan.
• Keterbukaan dalam berkomunikasi. Dasar hidup bersama dalam hidup selibat jelas bukanlah kesamaan hobby,
sifat, suku atau karakter, melainkan panggilan Tuhan sendiri. Masing – masing Klerikus atau klerus dalam bahasa Italia tetap pribadi lain yang berbeda dengan
segala kekhasan sifat,watak, kelebihan dan kekurangan masing – masing karena dasarnya adalah panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing –masing dengan
Tuhan menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunikasi, hidup dalam persaudaraan sejati.
2.4. Konflik Dalam Hidup Membiara
Secara teoritis, konflik merupakan bagian dan dinamika sosial. Di samping itu juga konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju pada
penciptaan keseimbangan sosial. Bahkan bila konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu, maka dapat juga dipakai sebagai alat perekat antara yang
satu dengan yang lain. Namun konflik sosial juga dapat menjadi sumber biang malapetaka dan kehancuran dalam kehidupan berbangsa ketika konflik disertai
dengan tindakan anarkis dan kebrutalan. Terjadinya berbagai konflik dalam komunitas calon biarawan antara lain
disebabkan karena perbedaan visi dan misi juga perbedaan fraksis atau penghayatan terhadap panggilan. Atau ketika panggilan tidak sejalan lagi dengan
Universitas Sumatera Utara
39 akademik, yang mengakibatkan terganggunya komunikasi antara yang satu
dengan yang lain. Perbedaaan visi kepentingan juga merupakan potensi konflik yang ada didalam masyarakat disebabkan karena adanya kepentingan dalam
memelihara atau bahkan mengukuhkan status dari pola – pola hubungan, selalu disadari adanya kenyataan bahwa pola hubungan – hubungan social yang
berkembang diantara para anggotanya terbentuk melalui proses yang tidak disadari Naskum, 1983 : 18
Defenisi konflik menurut Coser adalah perselisihan mengenai sumber – sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak – pihak
yang berkonflik tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang – barang yang diinginkan melainkan juga menonjolkan, merugikan atau melemahkan lawan –
lawan mereka Weger 211, 1986 Konflik juga dapat berupa pertentangan ide, pendapat, paham dan
kepentingan diantara satu pihak dengan pihak lain, menurut Coser konflik tidak selamanya memberikan kerugian pada orang karena dapat juga bersifat
instrumental dalam pembentukannya, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial Coser juga mengatakan bahwa konflik dapat bersifat positif sejauh ia
mendekatkan kelompok dan dapat berupa negative sejauh konflik tersebut mengganti struktur sosial.
Kemudian konflik juga merupakan stimulus untuk integrasi antar suatu kelompok lainnya serta menghasilkan perubahan dalam sikap mereka, seperti
Universitas Sumatera Utara
40 yang dikemukakan Coser konflik sering memperkuat batas antara kelompok M.
Poloma 1987 : 108. Secara teoritis konflik sosial juga dapat terjadi dalam berbagai tipe dan
bentuk, konflik dapat berwujud konflik tertutup latent, mencuat emerging dan terbuka manifest. Konflik tersembunyi diartikan dengan adanya tekanan –
tekanan yang tidak tampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat kepuncak konflik, sering kali satu atau dua pihak boleh jadi belum
menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak – pihak yang berselisih teridentifikasi
dan mereka mengalami adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya belum berkembang, disisi lain konflik terbuka adalah konflik dimana pihak – pihak yang
berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi dan mungkin mencapai jalan buntu Widjardja 2001 : 54
Merujuk pada gambaran diatas tepatlah pada dasarnya konflik social itu nyata, bisa destruktif dan kadang kala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang
terpenting adalah bagaimana respon kita terhadap koflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru yang ditumbuhkan agar dapat menghadapi dan mengelola
konflik. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan
terhadap disintegrasi sosial. Teori konflik menilai menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat, itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau
Universitas Sumatera Utara
41 pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Kekuasaan dan
wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap individu yang tidak
tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi. Dahrendorf menyebutkan masyarakat sebagian persekutuan yang terkoordinasi secara paksa
imperatively coordinated association. Kekuasaan selalu memisahkan antara penguasa dengan yang dikuasai sehingga dalam masyarakat selalu terdapat dua
golongan yang saling bertentangan. Pertentangan ini terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha untuk mempertahankan status Quo, sedangkan
yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan. Ritzer, 2002 : 26 – 27. Alat Bantu untuk menganalisis konflik ada beberapa, salah satunya adalah
penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap – tahapannya adalah :
1. Pra konflik
Merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik
tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat
ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.
2. Konfrontasi
Universitas Sumatera Utara
42 Pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak
yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.
3. Krisis
Merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang,
ketika komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus. Pernyataan – pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang
pihak lainnya. 4.
Akibat atau dampak Kedua belah pihak yang bertikai mungkin setuju bernegosiasi dengan atau
tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk
menghentikan pertikaian. 5.
Pasca Konflik Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai
konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah kelebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu – isu dan masalah –
masalah yang timbul karma sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi
dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
43 Dasar hidup selibat itu sendiri telah mereka tetapkan, namun untuk
membentuk suatu jalinan antara yang satu dengan yang lain belumlah tentu dapat berjalan dengan baik dan sempurna serta mulus – mulus saja itu semua terbukti
dengan masih adanya terjadi konflik diantara sesama calon biarawan. Konflik di lingkungan masyarakat umum sudah biasa kita dengar, akan
tetapi inil lah kenyataan ada konflik dikalangan para Biarawan. Konflik itu hadir dan terjadi, berbagai macam konflik yang mereka hadapi, ada konflik yang bisa
terselesaikan dan ada juga konflik yang tidak bisa terselesaikan atau diredakan. Konflik diantara klerikus tidak akan menjadi lebih kecil apabila para klerikus
tidak membicarakannya secara terbuka tetapi hanya disimpan dalam hati. Terkadang hal – hal seperti ini menjadi acuan andai saja ada soal kecil lainnya
maka akan mudah menjadikan konflilk. Dari penelitian penulis, banyak konflik terjadi pada saat Biarawan tidak
oke dengan hidup selibatnya, pada saat para klerikus tidak tenang dengan hidupnya, pada saat ragu pada panggilannya disitu konflik mudah terjadi. Sangat
penting bagi para klerikus bila komunitas dapat sedikit membuat lebih santai dalam situasi tegang tersebut. Atau para klerikus harus peka terhadap situasi itu
sehingga tidak ikut menyulutkan api dalam “bara atau bensin” dalam saat seperti itu, para klerikus perlu sedikit hati – hati dalam berkomunikasi dan berkomentar
terhadapa orang lain.
Universitas Sumatera Utara
44 Antara klerikus yang satu dengan yang lain bisa saja terjadi konflik, tidak
hanya sekali dua kali tetapi konflik itu sering terjadi. Apakah itu konflik besar atau konflik kecil. Dalam praktek kehidupan di Seminari justru konflik itu sering
terjadi, karena memang dialami sehari-hari, oleh karena itu kita tidak dipilih berdasarkan kesamaan sifat, budaya, latar belakang watak, dan hobby secara
probabilitas, konflik pasti terjadi. Konflik yaitu : perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti
nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya, dimana tujuan dari mereka yang berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk
menundukkan saingannya. Konflik ini dibicarakan terutama dalam hubungannya dengan pertanyaan
apakah konflik itu merupakan sesuatu yang dihindari atau tidak. Kalau konflik itu merupakan sesuatu yang dihindari maka konflik merupakan sesuatu yang bersifat
negative. Mereka yang berpendirian bahwa konflik bersifat negatif mengemukakan bahwa dengan adanya konflik, solidaritas social dalam kelompok
itu menjadi rusak ; lalu karena itu terjadilah perepecahan. Selanjutnya mereka mengemukakan bahwa konflik merupakan sesuatu yang diinginkan ; malah kalau
terjadi konflik dalam suatu kelompok, maka konflik itu segera diatasi. Dengan kata lain, konflik itu merupakan suatu keadaan yang sementara sifatnya.
Mereka yang menganggap konflik itu berfungsi positif mengemukakan alasan bahwa dengan adanya konflik dalam suatu anggota social itu akan menilai
Universitas Sumatera Utara
45 dirinya sendiri, dan mungkin juga akan disusul dengan perubahan yang terjadi.
Jadi fungsinya konflik disini adalah perubahan social. Solidaritas social akan menjadi lebih tinggi dalam suatu kelompok social kalau kelompok social tersebut
mengalami konflik dengan kelompok luar Lawang 2000 : 332 – 334. Hidup Selibat bukanlah putusan yang satu kali dibuat. Kedewasaan dalam
hidup Selibat adalah hal pencapaian keutamaan dari setiap tahap dan semua tahap. Kehidupan Selibat memiliki kelebihan, bukan hanya sekedar soal ketidakaktifan
sexual, tidak menikah, gersang atau hidup sendiri. Tiap tahap menuntut kekhususan motivasinya sendiri dan memiliki rationalitasnya sendiri. Hidup harus
masuk akal jika kita mau orang lain memahaminya dan bertahan terhadap tantangan dalam perziarahan hidup yang kita pilih sendiri. Tantangan selalu
berbeda-beda seturut perjalanan umur dan juga rationalitasnya berbeda pula Morangkir 2000 : 36-37.
Universitas Sumatera Utara
46
BAB III METODE PENELITIAN