Pembahasan ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

Hawkins, Mothersbaugh Best 2010 mendefenisikan postpurchase dissonance sebagai suatu keraguan atau kecemasan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permananen. Dalam penelitian ini dikatakan informan I, II, dan III mengalami postpurchase dissonance di dalam kehidupan pembeliannya. Informan I, II, dan III mengalami keraguan dan kecemasan terhadap harga produk yang sudah dibelinya dan hasil keputusan tersebut tidak dapat diganti atau diubah. Informan I mengalami postpurchase dissonance pada pembelian produk parfum, alat make up, pakaian, emas dan alat tulis kantor. Informan II mengalaminya pada pembelian produk laptop, pakaian, sepatu dan sandal, alat make up, dan handphone. Informan III mengalami postpurchase dissonance pada pembelian produk buku, pakaian, laptop, tablet, modem, pakaian, dan sepatu. Informan I,II, dan III dinyatakan mengalami postpuchase dissonance karena pembelian dan penggunaan produk tersebut juga dilakukan untuk kepentingan diri sendiri. Ketiga informan di dalam membuat keputusan pembelian sama-sama menitikberatkan faktor harga sebagai faktor utama yang harus dipertimbangkan. Informan I,II, dan III menunjukkan pentingnya harga produk dengan membuat budget plan setiap pembelian produk yang disesuaikan dengan kemampuan finansial yang mereka miliki. Informan I seringkali melakukan pembelian produk melampaui budget Universitas Sumatera Utara plan yang telah dibuatnya. Hal ini terjadi ketika merasa tertarik secara psikologis terhadap produk dan ingin memilikinya padahal harga produk tersebut jauh dari budget plan yang telah dibuat. Faktor harga yang kurang dipertimbangkan di awal sebelum membuat keputusan inilah seringkali memicu munculnya postpurchase dissonance pada informan I. Berbeda halnya dengan informan II, pembelian produk harus benar-benar disesuaikan dengan budget plan yang telah dibuat sebelumnya. Informan II merasakan keputusan pembelian yang ia telah buat benar ketika harga produk yang dibelinya tidak melebihi budget plan. Oleh karena itu, ketika setelah pembelian Informan II menyadari bahwa harga produk yang dibelinya lebih tinggi dari budget plan yang ia sudah tentukan maka memicu munculnya postpurchase dissonance. Informan III sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan budget yang harus ia keluarkan dalam pembelian produk. Harga murah bukan menjadi alasan utama informan III dalam melakukan pembelian. Sebab, informan III mentitikberatkan pembelian produknya pada dua hal yaitu kesesuaian harga dengan kualitas produk yang dibelinya dan harga produk yang dibeli tersebut tidak boleh lebih mahal dari produk yang sama dibeli oleh orang lain yang ia ketahui. Seperti yang dinyatakan oleh Sweeney, Hausknecht Soutar 2000 terdapat 3 tiga dimensi yang bisa mengukur postpurchase dissonance yaitu emotional, wisdom of purchase, dan concern over deal. Ketiga dimensi ini dapat dilihat dalam Universitas Sumatera Utara pengalaman postpurchase dissonance yang dialami oleh Informan II. Pada informan I dan III, dimensi concern over deal tidak terlihat berperan besar dalam menimbulkan postpurchase dissonance. Dimensi Kondisi emosi emotional membuat perasaan ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi atas keputusan yang telah dibuat. Pada penelitian ini, informan I, II, dan III mengalaminya. Informan I merasakannya dalam bentuk keraguan, kecemasan, dan pada kasus pembelian produk parfum berakhir dengan kekesalan. Keraguan setelah pembelian terjadi pada pembelian produk parfum, alat make up, pakaian, dan alat tulis kantor yang dibelinya. Keraguan setelah pembelian sejak proses pengorderan terjadi pada pembelian parfum sedangkan keraguan setelah pembayaran terjadi pada pembelian alat tulis kantor, pakaian, dan alat make up. Keraguan terhadap produk parfum tersebut sudah terjadi sejak pengorderan karena adanya perasaan harga produk yang sudah dibayar terlalu mahal. Keraguan ini juga diperkuat dengan system pembelian produk yaitu system order dimana informan I tidak menerima sampel produk terlebih dahulu. Informan I hanya melihat katalog produk dan menilai informasi tentang harga dan informasi sebelumnya yang ia ketahui bahwa beberapa teman kantor informan I juga menggunakan produk tersebut. Melalui hal tersebut, dapat dilihat bahwa informan I melupakan faktor harga yang penting ketika membeli produk yang menarik bagi penampilannya. Keraguan tersebut berakhir dengan kekecewaan ketika informan I menerima produk tersebut. Informan I Universitas Sumatera Utara merasakan harga parfum tidak sesuai dengan kuantitasnya, untuk menghilangkan perasaan tersebut akhirnya produk tersebut diberikan kepada orang lain. Di dalam penelitian ini, informan II juga mengalami keraguan setelah pembelian produk laptop. Keraguan muncul dikarenakan harga produk yang telah ia beli tersebut yang dianggap lebih murah dari produk yang sama di toko-toko lainnya. Harga yang dianggap ‘tidak wajar’ tersebut malah membuat informan II merasa ragu terhadap kualitas produk laptop yang dibelinya. Kecemasan untuk membawa dan menggunakan produk tersebut juga membuat informan II menjadi tidak nyaman. Keraguan tersebut seiring waktu seakan-akan terjawab karena belum genap sebulan pembelian ternyata hard disknya rusak dan harus diganti. Akhirnya, keraguan tersebut berlanjut menjadi suatu penyesalan bagi informan II dan membuatnya enggan untuk melakukan pembelian produk elektronik dalam waktu dekat. Informan III mengalami ketidaknyamanan berupa rasa ragu dan cemas terhadap harga produk yang telah ia beli. Munculnya pikiran-pikiran tak terkontrol tentang harga produk yang ia rasa sering kali masih terlalu mahal. Keraguan ini muncul sering kali di awal-awal pembelian. Di saat ini, informan III membutuhkan orang lain untuk membantunya meyakinkan diri sendiri bahwa produk yang sudah dibelinya tersebut harganya sudah sesuai. Berdasarkan pengalaman informan I, II, dan III tersebut dapat diketahui bahwa adanya perasaan tidak nyaman yang dirasakan karena harga produk yang Universitas Sumatera Utara dianggap tidak sesuai. Ketidaksesuaian yang dirasakan juga berbeda dimana informan I merasakan ketidaksesuaian harga produk yang telah dibeli dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas produk yang didapatkan. Dimana perbandingan harga terhadap kualitas produk terjadi pada produk make up, alat tulis kantor, dan dompet yang dinilai memanglah berdasarkan fitur-fitur yang didapat. Faktor harga dibandingkan dengan kuantitas produk ketika membeli produk pakaian dan parfum. Informan II merasakan keraguan setelah pembelian karena harga produk yang jauh lebih murah dibandingkan produk lain dengan merek dan tipe yang sama yang ia temui berdasarkan screening harga dari toko ke toko. Pengalaman informan II menunjukkan bahwa faktor harga yang dianggap murah juga dapat menyebabkan keraguan setelah pembelian, tidak terbatas terhadap harga yang mahal saja. Persepsi harga yang ‘tidak wajar’ ini mengarah kepada kecurigaan terhadap kualitas produk tersebut tidak baik. Kemudian, pada Informan III diketahui bahwa keraguan setelah pembelian yang dialami karena faktor harga produk yang dianggap terlalu mahal yang terus-menerus membuatnya berpikir dan tidak yakin pada keputusan mengeksekusi harga produk sebelumnya serta adanya kecemasan ketika harga produk yang dibeli lebih mahal dari orang lain khususnya temannya yang membeli produk yang sama. Pada situasi ini, informan III mengalami keraguan lebih dikarenakan ketakutannya untuk dinilai buruk oleh pandangan orang lain melalui harga produk hasil pembeliannya. Universitas Sumatera Utara Setiap proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dilakukan. Sweeney, Hausknecht Soutar 2000 menyatakan bahwa ketika individu merasa bahwa keputusan pembelian yang telah dilakukan adalah benar, dimana produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance. Berdasarkan penelitian ini, informan I, II, dan III merasa bahwa keputusan pembeliannya seringkali salah, tidak tepat guna, dan tepat waktu pembelian. Informan I merasakan hal tersebut ketika membeli produk perhiasaan emas yang dianggap tidak tepat waktu karena pada saat pembelian harga produk sedang naik dibandingkan dengan beberapa minggu setelahnya. Informan I juga merasakan keputusan pembelian salah karena kualitas produk dan harga dompet tidak sesuai harapannya, serta ketika membeli parfum merasa keputusannya sangat merugikan dirinya karena merasa tidak sesuai harga produk yang mahal dengan kuantitas parfum yang sangat sedikit menurutnya. Informan II merasakan bahwa dirinya kurang bijaksana dalam membuat keputusan pembelian yang telah dibuatnya ketika dirinya merasa kurang mendalam membuat pertimbangan harga sebelum memutuskan pembelian. Pertimbangan yang dimaksud adalah ketika informan II melakukan pembelian di pasar tradisional ada perasaan kurang melakukan penawaran hingga harga yang terendah sehingga setelah pembelian ada perasaan kurang puas terhadap harga produk yang sudah terbayarkan. Universitas Sumatera Utara Informan II merasakan keputusan pembeliannya tidak tepat waktu saat membeli produk-produk yang sedang diberikan potongan harga diskon. Informan II menjadi impulsif dalam membeli tanpa memperhitungkan apakah produk tersebut urgent atau tidak. Hal ini terjadi karena faktor harga yang murah merupakan hal yang penting bagi informan II dalam setiap melakukan pembelian. Seperti sebelumnya yang telah dinyatakan bahwa informan II berusaha untuk melakukan pembelian produk dengan harga murah dan tidak terlalu mempertimbangkan kualitas produk. Informan III mengalami keputusan pembelian yang dirasakan tidak tepat dalam mengeksekusi harga saat melakukan pembelian produk. Pada saat pembelian dilakukan terburu-buru dan tanpa teman yang ikut menemani informan III merasakan keputusan pembeliannya tidak tepat, karena ia membutuhkan pertimbangan dari orang lain dalam membuat keputusan pembelian yang tepat terutama untuk harga dan kualitas produk yang dibelinya. Informan II juga merasa keputusannya salah dalam pembelian produk ketika mengetahui harga beli produk orang lain lebih murah daripada yang ia beli. Dimensi ketiga yang dinyatakan oleh Sweeney, Hausknecht Soutar 2000 merupakan concern over deal. Kadangkala individu yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri akan dihadapkan pada informasi- informasi dari luar dirinya yang membuat individu mengalami postpurchase Universitas Sumatera Utara dissonance. Di dalam penelitian ini, ditemukan bahwa peranan dimensi ketiga ini terjadi pada pengalaman pembelian informan II. Informan II yang dari awal perencanaan pembelian sudah membuat rancangan sendiri seringkali membeli produk yang akhirnya tidak sesuai harganya dengan budget plan yang telah ia buat. Hal ini terjadi karena pengaruh adanya orang lain yang ikut dengannya di saat melakukan pembelian dan memberikan komentar terhadap keputusan pembelian informan II. Komentar terhadap informan II dalam mengekesekusi harga harus sesuai tepat dengan budget plan yang ia buat membuat dirinya akhirnya tidak melakukan keputusan pembelian berdasarkan pertimbangan dirinya sendiri karena terpengaruh oleh orang lain. Hal ini terjadi pada pembelian produk bedak, sepatu, lipgloss, dan handphone. Ketika pembelian sudah terjadi, informan II menganggap ketidaksesuaian yang ia alami dikarenakan oleh pengaruh orang lain, dalam hal ini temannya yang bersamanya melakukan pembelian produk. Dimensi concern over deal tidak terdapat pada pengalaman postpurchase dissonance yang dialami oleh informan I dan III. Pada informan I, dirinya memiliki keyakinan kuat terhadap dirinya sendiri dalam pertimbangan pembelian. Ia merasakan bahwa setiap keputusan pembelian yang ia lakukan karena keinginannya secara penuh untuk melakukannya tanpa pengaruh orang lain baik teman-temannya maupun penjual. Universitas Sumatera Utara Begitu halnya dengan informan II, dimensi concern over deal tidak terdapat pada pengalaman munculnya postpurchase dissonance. Hal ini cukup unik karena di sebelum dan sesudah pembelian sebenarnya informan III sangat banyak berinteraksi dengan orang lain untuk membantunya membuat pertimbangan pembelian produk. Pengaruh orang lain dalam memberikan pendapat tentang harga produk yang dibelinya sesuai atau tidak setelah pembelian sebenarnya cukup besar. Hal ini dikarenakan informan III sangat membutuhkan pendapat orang lain untuk membantunya mereduksi keraguan setelah pembelian terhadap harga produk dan meyakinkan dirinya terhadap keputusan pembelian yang sudah dilakukan. Oleh karena itu, dapat dikatakan pendapat orang lain setelah pembelian lebih sebagai cara informan III mereduksi keraguannya bukan menjadi salah satu bagian memunculkan postpurchase dissonance. Informan III menyadari keputusan pembelian yang ia lakukan benar atau salahnya karena keputusan yang ia buat sendiri bukan karena ada pengaruh orang lain yang ikut serta denganya dalam pembelian maupun yang memberikan pendapat atas pembelian produk yang ia lakukan. Hawkins, Mothersbaugh Best 2010 menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah tahap yang sangat kritis bagi para konsumen, dimana tahap ini konsumen akan mencari penguatan reinforcement atas keputusan membeli yang telah dilakukan. Hal ini terjadi pada informan III dalam menguatkan keputusan pembelian produk yang ia lakukan. Informan III mencari penguatan dengan meminta Universitas Sumatera Utara pendapat-pendapat orang lain terhadap produk yang sudah dibelinya dari segi harga produk dan kualitasnya. Informan III akan terus-menerus bertanya kepada orang-orang yang ia anggap mengenal karakternya sehingga ada harapan bahwa orang-orang yang ditanyainya akan menguatkan dirinya telah membuat keputusan yang benar. Hal ini akan dilakukannya sampai ia merasa tidak ragu lagi terhadap keputusan yang telah dibuatnya tersebut seiring waktu berjalan dan penggunaan produk. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan Hoyers MacInnis 2010 dimana konsumen yang merasa cemas terhadap keputusan pembelian yang telah dibuat akan berusaha untuk menguranginya, khususnya ketika motivasi, kemampuan, dan kesempatan yang ada tinggi. Informan III merasa bahwa ketidaksesuaian yang ia alami harus dihilangkan dan caranya adalah dengan menanyakan pendapat orang lain yang ia presepsikan akan memberikannya penguatan positif. Loundon Bitta 1993 menyatakan bahwa postpurchase dissonance menyebabkan ketidaknyamanan dan akan memotivasi seseorang untuk menguranginya. Hal ini juga terjadi pada informan I, II, dan III untuk mengurangi postpurchase dissonance yang ia rasakan dengan cara yang berbeda-beda. Informan I mengurangi perasaan ragu dan ketidaksesuaian produk yang ia alami dengan cara bercerita tentang keluhannya terhadap harga produk yang tidak sesuai kepada teman- temannya tanpa mengharapkan respon balik. Informan I juga mereduksi Universitas Sumatera Utara ketidaknyamanan tersebut dengan meyakinkan dirinya bahwa suatu saat akan membutuhkan produk yang sudah dibelinya tersebut. Informan II mereduksi ketidaknyamanan yang dialaminya dengan berusaha meninggalkan situasi tempat pembelian produk yang tidak sesuai dengan harga produk yang diharapkan agar tidak terus-menerus dikejar oleh perasaan bersalah dan cemas atas keputusan yang telah dibuat. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Loundon Bitta 1993 tentang salah satu prinsip dasar terjadinya postpurchase dissonance bahwa individu yang mengalami dissonance akan menghindari situasi- situasi yang menghasilkan kemungkinan dissonance lebih besar lagi. Informan II yang menyadari dirinya seringkali terpengaruh oleh orang lain sehingga mengesampingakan pertimbangan pribadinya dalam membuat keputusan pembelian berusaha untuk mengurangi ketidaksesuaian setelah pembelian produk dengan melakukan pembelian seorang diri tanpa ditemani oleh siapapun sehingga pengaruh orang lain dapat dihilangkan. Informan III berusaha mengurangi keraguan setelah pembelian yang ia alami dengan cara menanyakan pendapat orang lain tentang keputusan pembelian yang telah ia buat sampai ia merasa yakin bahwa keputusannya benar. Hal ini sesuai dengan salah satu bentuk dissonance reduction yang dikemukakan oleh Loundon Bitta 1993 bahwa salah satu cara mengurangi ketidaksesuaian yang dirasakan Universitas Sumatera Utara adalah dengan mencari tambahan informasi untuk mengkonfirmasi kebijaksanaan dalam membuat pilihan pembelian produk yang sudah dilakukan. Ketika konsumen meragukan kebijaksanaan dalam pembelian wisdom of purchase yang telah dilakukan kadang dapat diikuti dengan tanpa pengunaan produk nonuse. Hal ini dialami oleh informan I,II,dan III dalam pembelian produk pakaian. Informan I juga mengalaminya disaat melakukan pembelian produk parfum yang pada akhirnya sama sekali tidak menggunakannya dan memberikannya kepada orang lain. Informan II juga mengalaminya pada saat pembelian sepatu yang sangat mengecewakan dirinya. Dapat dilihat, bahwa pada ketiga informan dalam penelitian ini terdapat kesamaan yaitu dalam adanya nonuse produk pakaian. Dimana produk adalah produk yang lebih menunjukkan kesan pada penampilan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Hoyer MacInnis 2010 bahwa perempuan cenderung membeli barang-barang simbolis dan yang mampu mengekspresikan dirinya, yang berkaitan dengan penampilan dan emosional, seperti pakaian, wardrobe, dan aksesoris. Berdasarkan gambaran produk dan dimensi postpurchase dissonance yang terdapat dalam pengalaman pembelian informan I, II, dan III dapat dilihat bahwa faktor harga mempunyai peranan dalam memicu postpurchase dissonance pada ketiga responden. Pada informan I, faktor harga sudah memiliki peranan sebagai Universitas Sumatera Utara salah satu bahan pertimbangan sebelum melakukan pembelian. Namun, seringkali informan I melupakan faktor harga tersebut ketika ada keinginan yang tak terkontrol terhadap suatu produk yang ia rasakan mengikat dirinya secara emosional. Akhirnya, faktor harga seringkali yang membuat ketidaksesuaian setelah pembelian. Faktor harga memicu munculnya postpurchase dissonance ketika merasa harga produk tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitas produk. Pada informan I dapat dilihat bahwa faktor harga memicu postpurchase dissonance pada dimensi emotional dan wisdom of purchase. Hal ini dapat dilihat bahwa faktor harga yang mahal yang sudah dibayarkan oleh informan I membuat dirinya mengekspektasikan kuantitas produk yang lebih banyak. Hal ini terjadi pada pembelian produk parfum. Sedangkan persepsi harga menentukan kualitas membuat wisdom of purchase informan I rendah. Hal ini sesuai dengan salah satu bentuk konstruk persepsi yang dikemukakan dalam Budiadi 2009 tentang persepsi harga- kualitas price quality schemedimana anggapan bahwaharga produk sebanding dengan kualitasnya. Faktor harga juga memicu munculnya postpurchase dissonance pada informan II dimana berperan besar dalam ketiga dimensi, yaitu emotional, wisdom of purchase dan concern over deal. Informan II mempunyai pertimbangan pembelian untuk membeli produk-produk dengan harga murah dan tidak boleh melewati budget plan yang ia sudah buat. Informan II tidak terlalu mempertimbangkan kualitas produk yang akan dibelinya, sehingga persepsi harga-kualitas tidak mempengaruhinya. Universitas Sumatera Utara Budiadi 2009 menyatakan salah satu konsep yang berhubungan dengan presepsi harga yaitu price consciousness, dimana adanya kesadaran konsumen akan pentingnya harga rendah dalam membeli produk. Konsumen mempertimbangkan harga yang rendah di atas pertimbangan- pertimbangan lainnya. Hal ini terjadi pada informan II dalam dimensi wisdom of purchase. Produk yang sedang mendapat potongan harga diskon juga menjadi hal yang menarik bagi informan II yang seringkali memunculkan pembelian impulsif yang pada akhirnya ia sadari merugikan dirinya setelah pembelian. Pandangan terhadap faktor potongan harga ini sesuai dengan salah satu konstruk yang dikumkakan oleh Budiadi 2009 yaitu persepsi potongan harga sale proneness yaitu adanya anggapan konsumen menganggap untung produk yang ada potongan harganya karena harga lebih rendah dari semestinya. Di dalam dimensi concern over deal¸ faktor harga juga memberikan pengaruh. Dimana, faktor harga yang rendah yang menjadi faktor utama dalam setiap pembelian informan II seringkali tidak sejalan dengan pertimbangan yang diberikan oleh teman yang bersamanya di dalam melakukan pembelian. Karena adanya persepsi informan II yang merasa gengsi ketika membeli produk dengan harga yang rendah, sesuai dengan dirinya ketika melakukan pembelian bersama orang lain membuat dirinya sering terpengaruh oleh pertimbangan temannya. Universitas Sumatera Utara Budiadi 2009 menyatakan bahwa salah satu konsep persepsi harga yang berhubungan dengan hal tersebut ialah price-prestige sensitivity. Adanya hubungan harga-prestis berkaitan dengan anggapan bahwa produk yang dibeli menunjukkan status atau gengsi. Semakin tinggi harga semakin dipilih, dianggap semakin memberikan prestige dan sebaliknya. Persepsi inilah yang dimiliki informan II sehingga menimbulkan postpurchase dissonance khususnya dimensi low concern over deal. Suatu kali, harga murah yang menjadi incaran informan II ternyata dapat menimbulkan postpurchase dissonance juga. Hal ini terjadi saat pembelian laptop. Harga produk laptop yang lebih murah dibandingkan dengan produk yang sama di sebagian besar toko-toko yang sudah dikelilingi informan II sebelumnya untuk screening harga malah menimbulkan keraguan terhadap pembelian yang sudah ia lakukan. Keraguan setelah pembelian tersebut karena adanya anggapan harga yang ‘tidak wajar’. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa adanya persepsi informan II bahwa harga produk yang rendah, sesuai dengan preferensinya juga terhadap harga rendah dianggap semakin menurun kualitasnya. Konsep ini seperti yang dinyatakan oleh Budiadi 2009 yang disebut dengan price quality scheme. Faktor harga yang memicu munculnya postpurchase dissonance dalam kehidupan pembelian yang dialami oleh informan III dapat dilihat pada dimensi kondisi emosi emotional dan wisdom of purchase. Informan III mempunyai persepsi harga produk harus sesuai dengan kualitas yang dimiliki. Harga murah Universitas Sumatera Utara bukanlah tujuan utama pembelian yang dilakukan oleh informan III melainkan kesesuaian harga dan kualitas. Hal ini sesuai dengan salah satu bentuk konsep persepsi harga yang dinyatakan dalam Budiadi 2009 yaitu persepsi harga-kualitas price quality scheme. Semakin tinggi harga semakin dipilih karena dianggap mencerminkan kualitas yang bagus dan sebaliknya. Persepsi harga yang dimiliki oleh informan III inilah membuatnya menjadi sangat fokus dalam membuat keputusan tapi tidak mau dirugikan juga dengan harga yang terlampau mahal jika dibandingkan dengan harga produk yang sama dibeli oleh orang lain. Harga produk yang sudah dibeli oleh informan III seringkali ia evaluasi tepat atau tidak dengan harga produk yang dibeli oleh orang lain. Di dalam penelitian ini, ditemukan bahwa faktor harga ternyata mempunyai peranan sebagai pemicu munculnya postpurchase dissonance pada informan I,II, dan III dimana pada informan I dan III, faktor harga sebagai pemicu di dalam dimensi emotional dan wisdom of purchase. Faktor harga sebagai pemicu pada ketiga dimensi terjadi pada informan II. Universitas Sumatera Utara Gambar 5. Dinamika Faktor Harga sebagai Pemicu Postpurchase Dissonance pada Konsumen Perempuan Antar- Responden Dimensi postpurchase dissonance Informan I Informan II Informan III Emotional 1.Ketidaknyamanan psikologis: - Keraguan - kecemasan dan - Kasus produk parfum berakhir dengan kekesalan 2.Produk: aparfum, bmake up, c pakaian, d ATK 3.Keraguan setelah pembayaran terhadap produk b c d 4.Keraguan sejak proses pengorderan terhadap produk a 5.Ketertarikan emosional terhadap produk a membuat melupakan faktor harga 6.Keraguan terhadap produk a karena merasah harga terlalu 1. Ketidaknyamanan psikologis: - Keraguan - Kecemasan 2. Produk: a laptop, b pakaian 3. Keraguan karena harga produk yang dianggap lebih murah dari produk yang sama di toko-toko lainnya, produk laptop 4. Keraguan terhadap harga laptop akhirnya memunculkan keraguan terhadap kualitas produk 5. Keraguan tersebut memunculkan kecemasan setiap kali membawa dan menggunakan produk laptop 6. Keraguan tersebut seakan terjawab ketika belum genap sebulan pembelian 1. Ketidaknyamanan psikologis: - Keraguan yang terjadi di awal-awal setelah pembelian - Terjadi pada pembelian produk-produk yang tujuan pemakaiannya untuk jangka panjang 2. Produk: a buku, b pakaian,c laptop, d tablet, dan e modem 3. Keraguan setelah pembelian terhadap harga produk yang sudah dibeli terlalu mahal dibandingkan dengan kualitas produk b 4. Keraguan terus menerus meningkat dengan munculnya pikiran-pikiran tak terkontrol memikirkan sudah benar atau tidaknya Universitas Sumatera Utara mahal, tidak sesuai dengan harapan kuantitasnya 7.Setelah penerimaan produk a, keraguan menjadi kekecewaan karena harga tidak sesuai kuantitas, Berakhir dengan nonuse produk a 8. Produk b c d , kecemasan setelah beli karena tidak sesuai harga dengan kualitas produk , tapi masih dipakai use 9. Mereduksi dengan bercerita pada orang lain, meyakinkan diri suatu saat akan butuh produk tersebut ternyata hard disk laptop rusak 7. Setelah kejadian tersebut, informan menjadi menyesal dan memunculkan pikiran negatif kalau produk yang dibeli bukan produk asli keluaran pabrik dikuatkan lagi dengan harga produk saat pembelian di toko itu lebih murah daripada toko-toko lainnya yang sebelumnya sudah dicek informan b 8. Keengganan untuk melakukan pembelian produk elektronik di waktu dekat keputusan harga pembelian produk yang sudah dibuat 5. Keraguan tersebut berubah menjadi kecemasan ketika tidak direduksi 6. Mereduksi perasaan tidak nyaman setelah pembelian tersebut, informan menanyakan pendapat orang lain tentang keputusan pembelian yang telah ia buat sampai ia merasa yakin bahwa keputusannya telah benar. Wisdom of Purchase 1. Faktor harga menjadi pertimbangan utama informan dalam memutuskan pembelian produk sbb: - Harga produk yang hendak dibeli harus disesuaikan dengan kemampuan finansial 1. Informan merasa keputusan pembelian yang ia lakukan dalam pembelian produk baju di pasar tradisional belum tepat secara harga karena merasa kurang menawar lebih rendah 2. Perasaan tersebut semakin 1. Merasa kurang tepat dalam mengeksekusi harga saat melakukan pembelian produk 2. Merasa keputusan pembelian produk sepatu sangat tidak tepat karena pembelian dilakukan terburu-buru dan tanpa ada Universitas Sumatera Utara - Harga harus sesuai dengan kualitas yang didapatkan - Faktor selanjutnya yang diperhitungkan adalah kualitas dan fungsi produk 2. Informan memahami presepsi faktor harga sejalan dengan kualitas tapi pengalaman setelah pembelian seringkali berbeda yaitu: - Pembelian produk dompet yang dianggap tidak sesuai kualitas dengan harga yang dibayarkan 3. Pembelian produk emas yang dianggap terlalu mahal karena waktu pembelian yang tidak tepat 4. Pembelian produk parfum yang dianggap tidak sesuai kuantitas dengan harga yang dibayarkan, sehingga dianggap merugikan diri kuat ketika mendapati ternyata setelah pembelian menemukan produk yang sama dengan harga yang lebih murah. 3. Informan merasa tidak membuat keputusan dengan tepat saat merasa tertarik dan terbawa perasaan yang sebenarnya tidak jelas asal muasalnya ketika melihat produk pakaian underwear sehingga kurang mempertimbangkan dengan baik faktor harga produk 4. Merasa tidak membuat keputusan yang tepat, merugikan dirinya ketika membeli produk-produk pakaian dan sepatu yang sedang diskon. Proses pertimbangan pengambilan keputusan menjadi terburu-buru karena perilaku impulsive ketika produk diskon. Setelah pembelian, merasa teman yang ikut menemani yang biasanya memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan. 3. Harga produk sepatu dianggap tidak sesuai dengan kualitasnya dan membanding-bandingkan dengan produk merek lain yang dianggap lebih bagus dan tidak menggunakan produk tersebut sama sekali 4. Merasakan ketidaksesuaian produk yang telah dibeli ketika harga produk yang dibelinya lebih mahal daripada hasil pembelian orang lain terutama teman- temannya pada produk yang sama 5. Keputusan yang tepat setelah pembelian adalah harga produk yang dibeli sesuai dengan kualitasnya dan tidak boleh melampaui harga produk yang sama yang dibeli orang lain yang ia tanyakan setelah Universitas Sumatera Utara responden 5. Keputusan yang salah terjadi karena pertimbangan harga yang kurang mendalam di keputusan awal pembelian dimana: - Produk yang dibeli tidak dipertimbangkan dalam jangka waktu yang panjang - Perasaan tertarik yang tak terhindarkan memicu perilaku implusivitas - Sehingga informan terburu-buru dalam membuat keputusan pembelian 6. Informan kemudian menyesali keputusannya dengan membanding- bandingkan produk yang sudah dibeli dengan produk alternative yang mungkin didapatkan dengan kuantitas lebih banyak membeli produk yang sebenarnya bukan tepat waktu karena bukan produk yang urgent, dan menimbulkan rasa bersalah terlalu boros 5. Mereduksinya dengan berusaha meninggalkan situasi tempat pembelian produk yang tidak sesuai dengan harga produk yang diharapkan agar tidak terus-menerus dikejar oleh perasaan bersalah dan cemas atas keputusan yang telah dibuat pembelian 6. Informan merasakan keputusan pembeliannya salah saat mengetahui produk modem jenis yang sama yang telah dibelinya jauh lebih mahal dari yang dibeli oleh teman kost nya 7. Informan komplain kepada penjual produk modem karena merasa harga produk modem yang ia beli terlalu mahal setelah dibandingkan 8. Informan tidak akan bertanya kepada siapapun dan bahkan menghindar dari orang-orang yang mungkin berpendapat tentang produk yang sudah dibelinya yang ia sadari kalau ia sudah membuat keputusan yang salah dalam pembelian. 9. Menghindar karena merasa malu dan tidak mau dinilai orang lain mudah tertipu. Concern over Deal 1.Informan memiliki keyakinan kuat terhadap 1. Sangat mudah terpengaruh oleh teman yang 1. Pendapat orang lain dalam pembelian yang informan Universitas Sumatera Utara diri sendiri dalam pertimbangan pembelian tanpa pengaruh teman- teman maupun agen penjual 2.Informan menyalahkan diri sendiri ketika pembelian tidak sesuai dengan yang diharapkan 3.Informan jarang komplain kepada agen penjual atas produk yang tidak sesuai dengan harapannya setelah pembelian mendampingi atau bersama dengannya ketika melakukan pembelian 2. Pengaruh yang diberikan oleh teman informan membuat dirinya merasa tidak bebas dalam melakukan pertimbangan seperti biasanya faktor harga harus sesuai dengan budget 3. Adanya perasaan takut mengecewakan teman ketika sarannya tidak diterima, merasa berhutang karena sudah ditemani berbelanja, dan karena merasa sudah dekat secara personal dengan teman tersebut membuat informan tidak bisa menolak pertimbangan temannya terhadap produk yang akan dibelinya 4. Tidak dapat mengeksekusi harga sesuai pertimbangannya seperti biasanya ketika melakukan pembelian lakukan sebelum pembelian adalah sebagai bahan pertimbangan saja 2. Pendapat orang lain setelah pembelian yang ditanyakan informan bertujuan untuk menghilangkan keraguannya terhadap keputusan pembelian yaitu harga produk yang dibeli sudah sesuai 3. Informan menyadari bahwa setiap keputusan pembeliannya adalah karena kontrolnya secara pribadi bukan orang lain yang ia tanyai baik sebelum dan sesudah pembelian 4. Informan tidak merasakan ketidaksesuaian harga produk dengan kualitas produk yang ia telah beli karena pengaruh orang lain melainkan karena dirinya secara pribadi yang tidak membuat keputusan yang tepat dalam pembelian 5. Dimensi ini tidak menjadi Universitas Sumatera Utara sendiri, yaitu mencari harga produk serendah mungkin karena adanya gengsi dinilai buruk dan pelit oleh temannya saat melakukan pembelian bersama 5. Hal ini terjadi pada pembelian produk bedak, sepatu, lipgloss, dan handphone 6. Rasionalisasi muncul saat ketidaksesuaian produk yang telah dibeli dilakukan informan dengan menyalahkan orang lainteman yang bersama dengannya saat melakukan pembelian produk padahal sebenarnya yang mempengaruhinya adalah harga produk yang ‘terpaksa’ dibayarkan 7. Pada akhirnya, informan menyadari bahwa ketidakmampuannya untuk membuat pertimbangan sendiri lah bagian penting ynag signifikan menimbulkan ketidaksesuaian setelah pembelian produk dalam kehidupan pembelian informan meskipun dalam setiap aspek informan memerlukan pendapat orang lain sebagai bahan pertimbangan sebelum dan sesudah pembelian. Universitas Sumatera Utara yang memunculkan ketidaksesuaian setelah pembelian Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN