Postpurchase Dissonance LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

A. Postpurchase Dissonance

A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance Sebelum membahas tentang postpurchase dissonance, terlebih dahulu perlu dipahami tentang cognitive dissonance. Teori cognitive dissonance ini dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Festinger Loundon dan Bitta, 1993; Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000 mendefinisikan cognitive dissonance sebagai berikut: “Cognitive dissonance is as a psychological state which results when a person perceives that two cognitions thoughts, both of which he believes to be true, do not fit together” Hal ini berarti bahwa cognitive dissonance ialah keadaan psikologis yang dihasilkan ketika seseorang merasakan bahwa kedua pengertian yang dipercayai sebagai kebenaran, tidak sesuai satu sama lain. Sebagai contohnya, ketika konsumen membuat suatu komitmen – sudah membayar atau memesan suatu produk, khususnya yang harganya mahal seperti sebuah mobil atau laptop. Mereka mungkin mulai merasakan cognitive dissonance ketika mereka berpikir keunikan, kualitas positif dari merek produk yang tidak mereka pilih. Universitas Sumatera Utara Festinger Loundon Bitta, 1993 menyatakan bahwa ada dua prinsip cognitive dissonance yaitu 1 dissonance itu membuat tidak nyaman dan akan memotivasi seseorang untuk menguranginya; dan 2 seseorang yang mengalami dissonance akan menghindari situasi yang menghasilkan lebih banyak dissonance. Dissonance ketidaknyamanan dapat ditimbulkan oleh tiga hal. Pertama, hal yang diterima logika tidak berjalan konsisten, contohnya: semua permen memiliki rasa manis, namun permen yang dibeli tersebut rasanya pahit. Kedua, ketika pengalaman seseorang tidak konsisten, baik antara sikapnya dengan perilakunya; atau di antara kedua perilakunya. Ketiga, ketidaknyamanan dissonance dapat terjadi ketika pengharapan tidak tercapai. Di saat cognitive dissonance terjadi setelah suatu pembelian, hal inilah yang dinamakan dengan postpurchase dissonance Schiffman dan Kanuk, 2004. Postpurchase dissonance ketidaknyamanan pasca pembelian merupakan bentuk cognitive disssonance yang berhubungan dengan ilmu pemasaran. Assael 1992 menyatakan bahwa postpurchase dissonance merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan presepsi ketika konsumen merasa terjadi konflik informasi setelah pembuatan keputusan dan mencoba untuk mengubah informasi untuk menyesuaikan dengan perilaku sebelumnya. Ketidaknyamanan pasca pembelian ini terjadi ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah merek dari berbagai merek dalam kategori produk yang sama. Universitas Sumatera Utara Hawkins, Mothersbaugh dan Best 2007 menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah salah satu bentuk keraguan yang terjadi pada tahap pasca pembelian postpurchase suatu produk oleh konsumen. Tahap ini sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan mencari penguatan reinforcement atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan. Hoyers MacInnis 2010 menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah adanya suatu perasaan cemas terhadap keputusan yang benar yang telah dibuat dan konsumen akan berusaha untuk menguranginya, khususnya ketika motivasi, kemampuan, dan kesempatan yang ada tinggi. Salah satu cara mengurangi dissonance tersebut ialah mencari informasi tambahan dari sumber-sumber seperti ahli dan majalah. Di bawah ini, Hawkins, Mothersbaugh Best 2007 membuat suatu diagram yang menggambarkan bagaimana perilaku konsumen yang terjadi dimulai dari saat pembelian barang, dimana beberapa pembelian diikuti dengan fenomena yang disebut postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ketika kosumen meragukan kebijakan pembelian wisdom of purchase yang telah dilakukan. Pembelian lainnya diikuti dengan nonuse. Konsumen mengembalikan atau menyimpan barang tersebut tanpa menggunakannya. Kebanyakan pembelian akan berakhir pada penggunaan barang, meskipun juga terjadi postpurchase dissonance pada saat tersebut. Ketidakpuasan mungkin menimbullkan complaint behaviors sedangkan kepuasan satisfaction dapat memberikan peningkatan dan pengulangan pembelian kembali dari konsumen. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan diagram yang ada dibawah ini, dapat disimpulkan bahwa hadirnya postpurchase dissonance dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk kembali membeli produk atau malah menolak sama sekali produk tersebut di masa mendatang. Skema II.1 Alur Postpurchase Dissonance dalam Pembelian A.2. Dimensi Postpurchase Dissonance Sweeney, Hausknecht, dan Soutar 2000 mengemukakan 3 dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Emotional Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli. Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah orang tersebut membeli suatu produk yang dirasakan sebagai produk yang penting bagi dirinya, maka dapat dikatakan orang tersebut mengalami postpurchase dissonance. 2. Wisdom of purchase Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan individu, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dia lakukan. Apabila individu merasa bahwa keputusan pembelian yang dia lakukan adalah benar, dimana produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance. 3. Concern over deal Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual sales staff terhadap keyakinan mereka sendiri atas terhadap produk yang dibeli. Individu Universitas Sumatera Utara yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan diri sendiri individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk akan dihadapkan pada informasi-informasi dari luar diri individu tersebut yang dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance. A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Postpurchase Dissonance Hawkins, Mothersbaugh, dan Best 2007 menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu : 1. The degree of commitment or irrevocability of the decision Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan dissonance. Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut. Universitas Sumatera Utara 2. The importance of the decision to the consumer Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami dissonance. Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada postpurchase dissonance yang akan dialami oleh konsumen tersebut. 3. The difficulty of choosing among alternatives Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Atau dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli. . 4. The individual’s tendency to experience anxiety Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir nature ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan nurture. Oleh karena Universitas Sumatera Utara itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance. Holloway dalam Loudon Bitta, 1993 dalam penelitiannya mengenai disonansi yang dialami konsumen menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan keraguan pasca pembelian postpurchase dissonance adalah: 1. Adanya sejumlah hal yang menarik dari sejumlah alternatif produk yang tadinya ditolak oleh konsumen; 2. Munculnya faktor negatif dari produk alternatif yang menjadi pilihan utama; 3. Banyaknya alternatif produk yang muncul; 4. Kekacauan kognitif yang muncul pada saat melakukan pemilihan; 5. Keterlibatan kognitif pada produk; 6. Bujukan dan pujian; 7. Ketidaksesuaian atau perilaku yang dipandang negatif pada saat membeli; 8. Ketersediaan informasi; 9. Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan 10. Tingkat pengetahuan dan pengenalan produk.

B. Harga