Interaksi Sesama Anak Tunanetra

dari situ manusia harus dapat saling bertukar pikiran dengan manusia lainnya hal seperti itu sering juga dikatakan berinteraksi. Dengan berfikir manusia akan mencetuskan ide-ide untuk itu maka manusia akan melakukan berbagai aktivitasnya, manusia tidak hanya melakukan aktivitas secara individual, melainkan dia akan kerja sama dengan orang lain. Dalam hal ini manusia harus dapat hubungan timbal balik dengan baik tanpa menguntungkan satu pihak saja. Dalam hubungan interaksi akan terjalin hubungan antara siswa dengan siswa pada masa pubertas, orang tua dengan anak serta peran-peran orang tua terhadap anak terkhusus pada anak yang sedang memasuki masa pubertas, hubungan antara onrang tua dengan guru, guru dengan siswa serta peran guru dalam menghadapi anak saat pubertas.

3.2.1 Interaksi Sesama Anak Tunanetra

Interaksi bisa terjadi kapan dan dimana saja. Seorang berinteraksi tidak harus saling tatap wajah bisa dilakukan dimana saja. Berinteraksi tidak harus memandang orang itu bagaimana, selagi manusia masih dalam ruang lingkup kehidupan maka akan sering mengalami hal tersebut. Berinteraksi terjadi tanpa unsur paksaan tetapi bisa terjadi karena unsur kesengajaan. Begitu juga siswa-siswi tunanetra di sekolah luar biasa Karya Murni mereka setiap hari setiap waktu melakukan interaksi tersebut, walaupun tidak bisa saling melihat tetapi mereka bisa berinteraksi dengan baik. Kelihatan sekali dalam kegiatan sehari-hri yang mereka lakukan di sekolah seperti yang dapat saya perhatiakan ketika saya beradadi sekolah bersama mereka. RudI : idaaaa… sinilah duduk Ida : di mana kau rudi? Rudi : di sini, dekat rasyid… Universitas Sumatera Utara Sambil mendekat ida mendengar kan suara teman-temannya sambil dia bertepuk-tepuk tangan, agar teman yang memanggilnya tadi mendengarkansuara tepuk tangannya. Jesen : tya,,,, mari kita bermain kakikukekok tya : kakikukekokok kakikukekoksambil berteriak mengatakan kakikukekok dan menepuk-nepuk tangan Walau pun mereka berjauhan tetapi mereka selalu bisa saling berhubungan. Namun tidak semua anak duduk di depan ruang PKS, anak smp lebih banyak bermain di dalam kelas, karena mereka lebih suka bermain dengan teman sekelas mereka. Anak sd satu unit dengan anak smp bermain bersama, karena umur mereka tergolong sama. Banyak cerita yang mereka ceritakan ketika mereka duduk bersama-sama walaupun terkadang perbincangan mereka tidak terarah. “Siang itu, pulang sekolah sesama anak tunanetra selalu berjalan bersama menuju pintu gerbang, Ida seorang anak kelas tiga yang selalu pulang lebih awal dari Henita selalu menunggu di depan gedung pkk. Ida banyak bercerita terntang kelasnya, tentang teman-temannya, tentang ibadah. Mereka dua kompak tetapi terkadang Henita tidak tau sifatnya bagaimana. Mereka berjalan saling cerita, biar mereka bisa jalan dengan bersamaan menuju gerbang keluar. Cerita dari seorang anak kelas tiga yang terbiasa pulang sendiri ke asrama kini tidak berani lagi karena dia takut tersesat di tengah jalan. Saat itu dia bercerita dengan kami, setelah bell untuk kelas empat sampai kelas enam berbunyi Ida langsung bersiap-siap untuk pulang, mereka berjalan bersama terkadang mereka diam dan mereka berjalan menurut felling mereka masing-masing sehingga mereka sering berjalan berjauhan. Ada anak yang senang dengan kesibukannya sendiri seperti makan dan ada juga anak yang senang bercerita terus yang tidak peduli ada yang mendengarkannya sehingga snack yang di beri tidak di habiskan. Kebiasaan ini yang terjadi pada mereka karena sewaktu snack terkadang tidak ada yang memperhatikan karena mereka sudah biasa mandiri dalam hal apa pun. Kesal melihat teman maka emosi muncul, jika sedang emosi terkadang mereka tidak bisa menahan rasa kesal kepada teman sehingga satu kelas ikut tidak disukai dan suka marah- Universitas Sumatera Utara marah tidak jelas. Seorang anak yang seperti ini tidak dapat dihadapi dengan cara memberi peringatan saja karena dalam pikirannya cuma dirinya sendiri yang benar sehingga sering mengejek teman yang tidak dia suka, teman yang tidak disukainya bisa saja teman dekatnya sendiri. Seperti yang terjadi pada Tya dengan Rudi Tya : Rudi, aku snack ku banyak, aku di antar ke sekolah tadi pagi sama ibu aku nanti yang jemput ayah aku.. gak enak lah rudi panas-panas naik keretaasik bercerita Rudi : tidak mendengarkan tya karena asik sendiri dengan teman yang di sebela Tya : rudiii... sini lahhh Rudi : iya kenapa tya Sambil ketawa mendengarkan cerita teman yang di sebelah Tya : diam dan sambil memukul Rudi aku gak kawan sama rudi Berbeda dengan anak smp yang memasuki usia remaja lebih banyak diam dan bermain sama teman-teman mereka. Kawan laki-laki suka sekali mengusuli mereka. Namun Aisyah adalah murid yang tidak mau bergabung dengan banyak orang. Namun dia bersyukur karena orang tua tidak membuat dia ke asrama. Jadi bimbingan dan asuhan orang tua masih dapat dilaksanakan walaupun sedikit menentang dari dirinya. Seperti wawancara yang mendukung : “Sewaktu saya memasuki usia remaja ibu saya lebih banyak memberikan perhatian kepada saya dan tidak tanggung-tanggung ibu saya mengajarkan tentang apa yang akan di alami oleh seorang anak perempuan nantinya. Anak perempuan yang dikatakan sudah remaja dari mensturasi pertama. Awalnya memang geli untuk mendengarlkan cerita ibu yang begitu, namun selalu di kasih tahu agar saya mau menggunakan pembalut jika sudah waktunya. Saya merasakan hal yang tidak enak jika mens itu datang karena rasa risih dan lebih banyak yang tidak enak saya rasakan. Karena saya masih melihat cahaya tapi tidak dapat melihat bagaimana mens itu hanya dapat merasakan?” tutur Aisyah Hubungan sosialisasi anak asrama dengan orang tua mereka memiliki batasan karena ada bertemu sekali enam bulan, sekali setahun bahkan ada yang mungkin tidak akan bertemu Universitas Sumatera Utara orang tua mereka lagi. Anak yang tinggal dengan orang tua biasanya lebih manja karena orang tua mereka beranggapan seorang anak yang memiliki kebutaan harus di jaga dan juga harus di bimbing dalam hal agama sehingga mereka yang di rumah lebih banyak waktu mereka bermain dan belajar. Mereka selalu mengandalkan orang tua mereka ketika tidak bisa lagi menanyakan teman-teman mereka di dalam kelas.

3.2.2 Interaksi Guru dengan Siswa