Analisis kelembagaan penyuluhan pertanian di propinsi Riau

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN PENYULUHAN

PERTANIAN DI PROPINSI RIAU

EL SYABRINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Bersama ini saya menyatakan sebenarnya, bahwa Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau Tugas Akhir adalah karya dan pemikiran saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun dan oleh siapapun kepada perguruan tinggi manapun dimana karya tulis ini murni muncul dari pemikiran saya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tugas Akhir ini.

Bogor, Februari 2009

El Syabrina NRP. A15305025


(3)

ABSTRACT

EL SYABRINA. Analysis of Agricultural Extension Institutions in the Province of Riau. Under the Supervision of DEDI BUDIMAN HAKIM and FREDIAN TONNY.

This era of regional autonomy with its emphasis on the efficiency of institutions and improved human resources has made some changes in the extension paradigm. Different regions have different responses. Some still maintain their extension institutions as they were in the past while others have changed the extension system. The varied institutions that are responsible for agricultural extension have certainly resulted in different performance, and consequently affected the main target of agricultural development, namely farmers.

This study was intended to: (1) identify the structure of agricultural extension institutions in the regional autonomy era in the Province of Riau, (2) analyze the implementation of agricultural extensions in different institutions, and (3) analyze the effect of different extension implementation on the performance of extension workers and the degree of technological application among farmers. This is a descriptive study through a survey conducted from March to April 2008 in three regencies/towns, namely Pekanbaru, Kampar Regency and Pelalawan Regency.

The data collected for the study consist of primary and secondary data. The primary data were obtained from a structured interview by using questionnaires and a focus group discussion. The secondary data were collected by examining documents or reports from the related institutions. To determine alternative strategies in developing the extension institutions in the Province of Riau, an analysis was made on the internal and external factors, followed with a further analysis of SWOT (strengths, weakness, opportunities, and threat); and to determine the strategy priorities, the study used the method of quantitative strategic planning matrix (QSPM).

The study results showed that the implementation of Laws Number 22/1999 and Number 32/2004 along with the regulations under the laws has


(4)

caused the agricultural extensions in the Province of Riau to experience co-evolution in the social infrastructure of agricultural extensions in both regencies/towns and districts. In the implementation, the functions of services and arrangement still dominate the working system of extension. The existence of extension institutions has not been able to accommodate the interests of extension, and the frequency of LAKU is not fully implemented yet. The condition of an extension institution can influence the performance of agricultural extension and give different views on appropriate recommendations in the technology application by farmers. The formulated strategy in developing the agricultural extension institutions in the Province of Riau is to form a separate and specific institution that regulates agricultural extension through the following programs: a) reorganization of the agricultural extension institutions, b) improvement of human resource for agricultural extension, c) improvement in the quality of agricultural extension activities. Therefore, it is urgent to unite extension workers under one institution that can accommodate the interests of agricultural extension workers and farmers as the implementation of Law Number 16/2006.


(5)

RINGKASAN

EL SYABRINA. Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau. Dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai ketua dan FREDIAN TONNY sebagai anggota komisi pembimbing.

Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Keragaman kelembagaan yang menangani penyelenggaraan penyuluhan pertanian mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut, dan konsekuensinya berpengaruh terhadap sasaran utama pembangunan pertanian yaitu para petani. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien.

Kajian ini bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau, (2) Menganalisis pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan yang berbeda, (3) Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani. Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan survey, di laksanakan pada bulan Maret sampai April 2008 di 3 (tiga) kabupaten/kota yaitu : Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan. Data yang dikumpulkan pada kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang peroleh melalui metoda wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan Focus Group Discusion. Sedangkan data sekunder yang diperoleh dengan telahan dokumen dari


(6)

laporan-laporan dari instansi terkait. Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threat) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM).

Hasil kajian mengungkapkapkan : 1). Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi Riau mengalami perubahan bersama ( co-evolution) pranata sosial kelembagaan penyuluhan baik di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan penyuluhan pertanian yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Kelembagaan di penyuluhan pertanian pada kabupaten Kampar dinilai cukup baik dibandingkan dengan kelembagaan penyuluhan di kabupaten Pelalawan dan kota Pekanbaru; 2). Pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan masih mendominasi sistim kerja penyuluhan. Keberadaan kelembagaan penyuluhan belum dapat mengakomodir kepentingan penyuluh dan petani Frekuensi LAKU belum sepenuhnya terlaksana. Penyuluh pada lembaga penyuluhan di Kabupaten Kampar menyelenggarakan penyuluhan yang baik dibanding pada penyuluh yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru, 4) Rumusan strategi dalam pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Provinsi Riau adalah membentuk badan sendiri yang spesifik menaungi penyuluhan pertanian. Program yang dapat mewujudkan pembentukan lembaga penyuluhan pertanian tersendiri di provinsi Riau adalah : a) Program Penataan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, b) Program Peningkatan Ketenagaan Penyuluh Pertanian, c) Program Peningkatan Mutu Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian.

Program penataan kelembagaan penyuluhan pertanian diimplementasikan melalui kegiatan antara lain : a) penyelesaian peraturan daerah dan keputusan gubernur sebagai penjabaran dari UU Penyuluhan Pertanian, b) penyusunan pedoman tentang pembentukan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat


(7)

kabupaten/kota dan kecamatan, c) Pemberdayaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai home base dan basis pengembangan profesionalisme penyuluh pertanian. Program peningkatan ketenagaan penyuluhan pertanian diupayakan melalui kegiatan : a) pengembangan penyuluh swakarsa dan penyuluh swasta, b) pengangkatan tenaga penyuluh honorer, dan c) penempatan penyuluh pertanian PNS , swakarsa atau swasta untuk mengisi satu desa satu penyuluh. Program ini dilaksanakan untuk mengatasi kekurangan penyuluh pada kabupaten/kota. Program peningkatan mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian diupayakan melalui kegiatan ; a) penyusunan pedoman kinerja penyuluh pertanian, b) sosialisasi pedoman kinerja penyuluh pertanian, c) peningkatan kepemimpinan dan kelembagaan petani, c) pengembangan kerjasama dan jejaring kerja penyuluh pertanian, d) pengembangan forum koordinasi penyuluhan pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah daerah dan penyuluh pertanian dapat dijadikan sebagai pelaksana dari program tersebut.


(8)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

ANALISIS KELEMBAGAAN PENYULUHAN

PERTANIAN DI PROPINSI RIAU

EL SYABRINA

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(10)

(11)

Judul Tugas Akhir : Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Propinsi Riau

Nama : El Syabrina

NRP : A 153050225

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Dedi Budiman Hakim, MAEc Ir. Fredian Tonny, MS Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr.Ir. Yusman Syaukat,ME Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat ridho dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan karya ilmiah dengan judul “ Analisis Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau”.

Penulisan karya ilmial ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional dalam program Pasca Sarjana Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Frediantonny, MS selaku anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen dan pimpinan serta pengelola Magister Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Walikota Pekanbaru, yang telah mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada koordinator dan rekan-rekan PPL pada lokasi penelitian. Orang tua tercinta dan keluarga besar yang telah banyak mendorong, menyemangati dan memberikan perhatiannya sampai selesainya pendidikan ini, diucapkan terimakasih tak terhingga. Kepada teman-teman yang tak dapat disebutkan satu persatu, diucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karenanya saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan langkah-langkah selanjutnya. Terlepas dari kekurangannya, penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak

Bogor , Februari 2009 El Syabrina


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 8 Juni 1963 sebagai anak pertama dari dua orang bersaudara, dari pasangan H. Syahruddin Sidik, BRE dan Hj. Daliana. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi (Budidaya Pertanian), Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1987. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan kuliah pada Program Studi Pembangunan Daerah pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2008.

Penulis bekerja sebagai PNS semenjak tahun 1999 pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Riau dan pada tahun 2001 pindah ke Dinas Pertanian Kota Pekanbaru-Riau sampai pada tahun 2008. Saat ini Penulis ditempatkan pada Sekretarita Pemerintah Kota Pekanbaru pada bagian Adminsitrasi Sumber Daya Alam.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PRAKATA ... vii

RIWAYAT HIDUP ………... viii

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ………. ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 5

1.3. Tujuan Kajian ... …………... 8

1.4. Manfaat Kajian ... 8

1.5. Cakupan Kajian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian... 10

2.2 Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 13

2.2.1. Era Bimas ... 15

2.2.2. Era otonomi ... 17

2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian ... 22

2.3.1. Penyuluhan Pertanian ... 22

2.3.2. Penyuluh Pertanian ... 29

2.4. Kerangka Pemikiran ... 32

III. METODOLOGI KAJIAN ... 36

3.1. Jenis Kajian ………... 36

3.2. Waktu dan Tempat Kajian... 37

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 37

3.4. Pengumpulan dan Analisis Data ... 38

3.4.1. Jenis Data ... 38

3.4.2. Analisis Data ... 39


(15)

Halaman

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 49

4.1. Kabupaten Kampar ... 49

4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 49

4.1.2. Penduduk dan Mata Pencarian ... 50

4.1.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ... 51

4.1.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ... 51

4.1.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 53

4.2. Kabupaten Pelalawan ... 54

4.2.1. Letak dan Luas Wilayah ... 54

4.2.2. Penduduk dan Mata Pencarian ... 55

4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ... 55

4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ... 56

4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 57

4.3. Kota Pekanbaru ... 58

4.2.1. Letak dan Luas Wilayah ... 58

4.2.2. Penduduk dan Mata Pencarian ... 58

4.2.3. Pendidikan dan Tingkat Kesejahteraan ... 59

4.2.4. Penggunaan Tanah dan Produktivitas Pertanian ... 60

4.2.5. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 62

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

5.1. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 63

5.1.1 Kabupaten Kampar ... 63

5.1.2. Kota Pekanbaru ... 67

5.1.3. Kabupaten Pelalawan ... 70

5.1.4. Ikhtisar ... 73

5.2. Pelaksanaan Sisitem Kerja Penyuluhan Pertanian ... 74

5.2.1. Sistem Penyuluhan ... 74

5.2.2. Persepsi Penyuluh Terhadap Keberadaan Kelembagaan Penyuluhan ... 76

5.2.3. Sistem Kerja Penyuluh Pertanian ... 78

5.2.4. Ikhtisar ... 83

5.3. Dampak Penyelenggaraan Penyuluhan Terhadap Kinerja Penyuluh Dan Tingkat Penerapan Teknologi... 84

5.3.1. Karakteristik Penyuluh ... 84

5.3.2. Kinerja Penyuluh Pertanian ... 87

5.3.3. Karakteristik Petani ... 89

5.3.4. Tingkat Penerapan Teknologi ... 91

5.3.4. Ikhtisar ... 94

5.4. Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 95

5.4.1. Analisis Evaluasi Faktor Internal/Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan ... 95

5.4.2. Analisis SWOT Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 98

5.4.3. Tahap Keputusan Strategi ... 102


(16)

Halaman

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ... 108

6.1. Kesimpulan ... 108

6.2. Rekomendasi Kebijakan ... 109

DAFTAR PUSTAKA... 112

LAMPIRAN ... 115


(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai tukar Petani di Provinsi

Riau Tahun 2001 s/d Tahun 2007... 3

2. Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian... 32

3. Penyebaran Jenis dan Jumlah Responden... 38

4. Matrik Analisis Faktor Internal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 41

5. Matrik Analisis Faktor Eksternal Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... . 43

6. Matrik SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats)... 44

7. Matriks Analisis QSPM ... 46

8. Rincian Metode dan Pengumpulan AnalisisData ... 48

9. Penggunaan Tanah di Kabupaten Kampar ... 52

10. PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Kampar Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha) ... 53

11. Penggunaan Tanah di Kabupaten Pelalawan Tahun 2006... 56

12. PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kabupaten Pelelawan Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha)... 57

13. Penggunaan Tanah di Kota Pekanbaru ... 60

14. PerkembanganProduktivitas Padi, Jagung dan Ubi Kayu di Kota Pekanbaru Tahun 2001 – 2006 (Kw/Ha)... 61

15. Keragaan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Tahun 2007 di Tiga Kabupaten/Kota ... 72

16. Sistem Penyuluhan Pada Kelembagaan Penyuluh Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota ... 75

17. Persepsi Penyuluh Terhadap Kelembagaan Penyuluhan di Tiga Kab/Kota ... 77

18. Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota Tahun 2008 ... 81

19. Karakteristik Penyuluh di Tiga kabupaten/kota Tahun 2007... 86

20. Kinerja Penyuluh Pertanian di Tiga Kabupaten/Kota Tahun 2007... 88

21. Karakteristik Petani di Tiga kabupaten/Kota Tahun 2008 ... 90

22. Persepsi Petani tentang Sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) dan Tingkat Penerapan Teknologi ... 92

23. Matrik IFE Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau ... 96

24. Matrik EFE Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau ... 97

25. Matrik SWOT ... 100

26. Hasil Analisis QSPM dalam perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau ... 103

27. Strategi, Program dan Pelaksana Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan ... 106


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau ... 35


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Kuesioner untuk Instansi/Kepala Satuan Kerja... 2. Kuesioner untuk PPL... 3. Kuesioner untuk Petani ... 4. Kuesioner Nilai Faktor eksternal dan internal ... 5. Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ... 6. Matriks Nilai Keterkaitan Faktor Strategis ...


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan ketahanan pangan nasional, pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Namun demikian, pembangunan pertanian saat ini dan yang akan datang dihadapkan kepada permasalahan antara lain : penurunan kapasitas sumberdaya pertanian; sistem alih teknologi masih lemah dan kurang tepat sasaran, keterbatasan akses terhadap layanan usaha terutama permodalan, rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil, kualitas dan ketrampilan sumberdaya petani rendah, kelembagaan petani dan posisi tawar petani rendah (Departemen Pertanian, 2002).

Dalam rangka membangun kemandirian pangan, pemerintah berusaha agar pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri dan meminimalisasi impor, melalui optimalisasi sumberdaya domestik dan lokal. Sehingga strategi yang ditempuh untuk mencapai sasaran kemandirian pangan tersebut adalah memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat (pemberdayaan masyarakat) (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).

Mengacu pada perkembangan lingkungan strategis di sektor pertanian, perikanan dan kehutanan sebagai akibat implementasi Undang-undang Republik


(21)

Indonesia No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004, menunjukkan bahwa usaha pertanian pada umumnya didominasi oleh usaha skala kecil, tingkat pendidikan petani/nelayan masih rendah dan bermodal kecil. Kondisi dengan skala usaha kecil umumnya belum mampu menerapkan teknologi inovatif karena akan menjadi kurang efisien. Akibatnya adalah hanya sebagian kecil potensi sumberdaya itu yang dapat dimanfaatkan dan karena ketidak tepatan dalam penerapan inovasi teknologi terjadi penurunan kuantitas maupun kualitas produk yang dihasilkan (Suryana, 2003).

Sektor pertanian hingga saat ini di Provinsi Riau masih merupakan sektor yang memberikan lapangan usaha dominan dan menyerap tenaga kerja paling besar (52,24 %). Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan tahun 2004 – 2008 bidang pertanian adalah pengembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan terpadu dengan peternakan tetap menjadi prioritas pembangunan, mengingat 76,26 persen penduduk miskin mempunyai mata pencaharian pada sub sektor tanaman pangan dan peternakan (Pemerintah Provinsi Riau, 2006).

Produktivitas hasil pertanian khususnya tanaman pangan di Provinsi Riau dari tahun 2001–2007 menunjukkan perkembangan yang kurang mengembirakan. Produktivitas padi dan jagung, pada periode 7 tahun terakhir memperlihatkan kecenderungan stagnan atau mengalami perekmbangan yang kurang baik, dimana produktivitas padi mengalami penurunan setiap tahunnya sebesar 0,17 persen, sedangkan jagung mengalami peningkatan yang relatif kecil yakni sebesar 0,22 persen setiap tahunnya (Tabel 1). Sehingga kurang baiknya produktivitas padi dan jagung ini, menyebabkan sub sektor tanaman pangan tersebut belum mampu


(22)

memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat petani. Belum baiknya tingkat kesejahteraan petani ditunjukkan oleh nilai tukar petani. Nilai tukar petani di Riau dalam periode yang sama menunjukkan penurunan sebesar 6,59 persen setiap tahunnya.

Tabel 1. Produktivitas Pangan (Kw/Ha) dan Nilai Tukar Petani di Provinsi Riau Tahun 2001 – 2007

No. Tahun Produktivitas Padi Produktivitas Jagung Nilai Tukar Petani

1 2001 30.55 21.28 123.4

2 2002 29.41 21.06 126.4

3 2003 29.87 21.13 139.1

4 2004 30.45 21.25 113.6

5 2005 29.99 21.40 88.13

6 2006 30.49 21.73 84.91

7 2007 30.24 21.56 82.05

Gr (%) - 0,17 0.22 -6.59

Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan BPS Riau (2007)

Banyak faktor yang menjadi kendala peningkatan produktivitas dan produksi pangan di Propinsi Riau untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduknya, Diantraranya yang terpenting adalah : a) masih tingginya konversi lahan produktif ke lahan non pertanian tanaman pangan; 2) kecilnya skala usaha pertanian tanaman pangan, perikanan maupun peternakan sehingga hasilnya tidak mampu mensejahterakan petani dan berakibat pada kurangnya investasi untuk peningkatan produksi; 3) terbatasnya teknologi tepat guna yang dapat diakses oleh petani; 4) kurangnya bimbingan kepada petani karena tidak difungsikannya institusi penyuluhan pertanian secara optimal seperti masa lalu, 5) terbatasnya sistem pengairan dan 6) rendahnya akses petani terhadap modal usaha (Badan Ketahanan Pangan Riau, 2008).

Kondisi diatas menggambarkan bahwa disadari atau tidak, peranan penyuluhan pertanian terus mengalami penurunan, sehingga berdampak negatif


(23)

pada sektor pertanian dalam arti luas terutama terhadap kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan lambatnya alih teknologi dan kebijakan pemerintah, terutama sangat dirasakan sejak awal otonomi daerah (Yasin, 2007). Peningkatan kapabilitas petani/nelayan harus dilakukan melalui pembangunan system penyuluhan yang mampu membantu baik dalam penerapan teknologi inovasi berwawasan bisnis yang menghasilkan produk bermutu sesuai permintaan pasar global.

Penyuluhan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian, karena mempunyai tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan pendidikan non formal bagi petani/nelayan. Dengan demikian, system kelembagaan penyuluhan harus dibangun dan dikembangkan dalam upaya untuk membantu petani/nelayan dalam menciptakan iklim pendidikan/pembelajaran yang kondusif, sehingga pada akhirnya mereka mampu menolong dirinya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga (Departemen Pertanian, 2007). Disamping itu menurut Tedjokoesoemo (1996), keberhasilan mengaitkan sistem produksi pertanian dengan mata rantai agribisnis sangat ditentukan oleh keberhasilan upaya-upaya pemberian motivasi kepada kelompok tani – nelayan untuk berkembang menjadi kelompok-kelompok usaha komoditas pertanian tertentu atau kombinasinya. Perkembangan ini hanya dimungkinkan oleh adanya kesempatan berusaha yang lebih luas yang dapat diciptakan melalui pembangunan jaringann kelembagaan penyuluhan pertanian yang berwatak profesional.

Kebijakan publik yang berkaitan dengan dengan kelembagaan penyuluhan yang dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau ini jelas sangat berdampak


(24)

terhadap pencapaian tujuan akhir dari pembangunan pertanian yaitu mensejahterakan petani. Seperti yang dikatakan oleh Riant Nugroho (2008) dalam bukunya Public Policy menyatakan bahwa kebijakan publik adalah faktor yang me-leverage kehidupan bersama. Dikatakan lebih lanjut bahwa kebijakan public merupakan faktor kritikal bagi kemajuan atau kemunduran suatu Negara-bangsa (dalam hal juga termasuk daerah). Untuk itu perlu di-review kembali kebijakan public yang telah dibuat oleh kabupaten/kota di Provinsi Riau yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan penyuluhan. Berdasarkan argumentasi tersebut maka “Analisa Kelembagaan Penyuluhan Pertanian di Provinsi Riau” perlu dilakukan.

1.2.Perumusan Masalah

Sejak diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian dan Peraturuan Pemerintah No 41 tahun 2007 tentang Kelembagaan Daerah, telah mewarnai penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Penafsiran yang berbeda-beda terhadap kebijakan publik tersebut, telah merubah pranata dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian serta operasionalisasinya di daerah. Kondisi ini menyebabkan kinerja penyuluhan pertanian semakin menunjukkan penurunannya, karena penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditempatkan pada posisi minor. Bahkan memasuki abad ke 21 kinerja penyuluhan pertanian dapat dikatakan mencapai titik terendah (Mardikanto, 2008).

Di era tahun 1980-an (BIMAS), penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistik dan koordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat


(25)

sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan secara integral dan didukung dengan baik oleh empat catur sarana (PPL, Kios Saprotan, BRI dan KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa dan menjadi biasa. Pendekatan yang digunakan pada era ini, telah menghantarkan bangsa kita mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (RPP IPB, 2005).

Sedangkan pada era otonomi daerah, paradigma pembangunan pertanian yang telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi desentralistrik dan pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan tampaknya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di daerah kurang mendapat perhatian pemerintah daerah. Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan di daerah belum terprogram dengan jelas karena penyuluhan pertanian dianggap suatu kegiatan yang dianggap kurang penting. Sebagai akibatnya, kelembagaan/instansi penyuluhan pertanian banyak yang terlikuidasi (Amanah, 2006).

Menurut Harun (2006) bahwa, pada era otonomi daerah saat ini, dengan orientasi efisiensi institusi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ternyata telah ikut merubah nuasa paradigma penyuluhan. Berbagai daerah menyikapinya dengan cara dan bentuk yang berbeda-beda. Ada daerah yang masih mempertahankan kelembagaan penyuluhan seperti pada masa sebelumnya, dan ada lagi yang merubah tatanan kepenyuluhan dengan merekrut penyuluh dalam salah satu dinas atau beberapa dinas sub sektor pertanian.

Di Propinsi Riau penyuluhan diselenggarakan dengan kelembagaan yang bervariasi seperti di kota Pekanbaru, kegiatan penyuluhan pertanian


(26)

diselenggarakan oleh Kantor Pusat Informasi Penyuluhan Terpadu, dan di kabupaten Kampar diselenggarakan oleh Kantor Informasi dan Penyuluhan Pembangunan; serta di kabupaten Pelalawan oleh Dinas Pertanian. Keragaman kelembagaan yang menangani penyelenggaraan penyuluhan pertanian mengakibatkan beragamnya kinerja penyuluhan tersebut. Kelembagaan yang beragam ini, menunjukkan bahwa beragamnya persepsi provinsi/kabupaten/kota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di wilayah masing-masing (Departemen Pertanian, 2005). Kondisi kelembagaan yang sangat beragam ini mempengaruhi kinerja penyelenggaraan penyuluhan dan konsekuensinya berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Mengingat penyelenggaraan penyuluhan pertanian akan berjalan dengan baik apabila ada persamaan persepsi dan keterpaduan kegiatan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai ke tingkat desa dalam satu system penyuluhan pertanian yang disepakati bersama dengan melibatkan petani, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam kenyataannya sekarang, masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri, sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak produktif, tidak efektif dan efisien.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau ?

2. Bagaimana pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan penyuluhan yang berbeda ?


(27)

3. Bagaimana dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani ?

4. Bagaimana strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian untuk Provinsi Riau ?

1.3. Tujuan Kajian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan kajian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di era otonomi daerah di Provinsi Riau.

2. Menganalisis pelaksanaan sistem kerja penyuluhan pertanian pada kelembagaan yang berbeda.

3. Menganalisis dampak penyelenggaraan penyuluhan yang berbeda terhadap kinerja penyuluh dan tingkat penerapan teknologi petani.

4. Merumuskan strategi dan program pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian yang terbaik untuk Provinsi Riau.

1.4. Manfaat Kajian

Manfaat kajian ini adalah :

1. Bagi masyarakat akademi dapat dijadikan bahan dan konsep dalam pemberdayaan masyarakat petani melalui kelembagaan penyuluhan yang efektif dan efisien;

2. Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan/rekomendasi dalam implementasi UU No. 16/2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian. Evaluasi terhadap reorientasi struktur kelembagaan dan sistem kerja


(28)

penyuluhan pertanian di daerah, sehingga tercipta proses peningkatan adopsi teknologi inovasi di tingkat petani.

1.5. Cakupan Kajian

Cakupan kajian ini adalah menganalisis keragaan kelembagaan penyuluhan pertanian di tiga kabupaten/kota, yang dianggap mewakili kelembagaan yang ada di 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Analisis kelembagaan pada kajian ini dilihat dari sisi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan yang tersedia. Hal ini mengingat bahwa keefektifan dan berkelanjutan intereaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani sangat dipengaruhi oleh kelembagaan yang ada, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan. Terakhir merumuskan strategi pengembangan kelembagaan pertanian yang terbaik untuk provinsi dan kabupaten/kota kajian yang disesuaikan dengan kondisi (visi dan misi) lokalitanya masing-masing. Untuk mendapatkan strategi pengembangan , dilakukan analisis faktor internal dan eksternal dengan responden tiga orang stakeholders yang dianggap punya kompetensi yaitu Koordinator Penyuluh Pertanian Spesial (PPS), Kepala Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) Provinsi Riau dan salah satu anggota Komisi Penyuluh Pertanian (KKP) Provinsi Riau.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Kelembagaan (institusion) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya besarta komponen-komponennya yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1997). Sehingga suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial. Dengan demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari struktural berupa pelbagai peranan sosial

(Tonny, dkk, 2004). Sedangkan menurut Budiono (2008), konteks ”kelembagaan ” dalam pemerintahan sudah seharusnya dimaknai dalam pelayanan

publik yakni memberikan layanan yang terbaik pada masyarakat, oleh karena itu hal ini dapat merupakan satu cermin dari praktik tata pemerintahan yang baik, yang merupakan dambaan setiap warga.

Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari sistem pembangunan pertanian mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian.

Penyuluhan pertanian adalah upaya membangun kemampuan masyarakat secara persuasif-edukatif yang terutama dilakukan melalui proses pembelajaran petani dengan menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian secara baik dan benar didukung oleh kegiatan pembangunan pertanian lainnya (Departemen Pertanian, 2002). Penyuluhan pertanian merupakan pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di


(30)

bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai.

Kegiatan penyuluhan pertanian adalah kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, petani dan swasta (Departemen Pertanian 2006).

Menurut Suhardiyono (1990), fungsi pelayanan penyuluhan mempunyai lingkup yang terbatas yaitu komunikasi tentang pesan-pesan ilmiah yang disiapkan oleh para ahli kepada petani beserta keluarganya melalui pendidikan non formal, sehingga kelembagaan penyuluhan dapat dikatakan sebagai kelembagaan pendidikan yang bertujuan mengubah pengetahuan, tingkah laku dan sikap bagi petani dan keluarganya. Dengan demikian inti kelembagaan penyuluhan adalah petani dan penyuluh yang melakukan komunikasi dua arah, baik antara penyuluh dengan petani, antara petani yang satu dengan yang lain, antara petani dengan keluarganya serta antara penyuluh dengan penyuluh (Suhardiyono, 1990)

Agar penyuluhan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, maka pengorganisasian penyuluhan dalam suatu kelembagaan harus lebih menitikberatkan komunikasi untuk memperoleh partisipasi aktif dari petani dan keluarganya. Untuk itu dalam kelembagaan penyuluhan harus mempertimbangkan


(31)

beberapa hal diantaranya : (1) Adanya penyuluh lapangan yang professional, (2) terdapatnya pelayanan penyuluhan di berbagai tingkatan guna memudahkan dalam mendekatkan hubungan antara pusat-pusat penelitian atau sumber inovasi lain dan pelayanan penyuluhan yang akan diorganisir, (3) terjalinnya hubungan antara peneliti dengan pekerjaan penyuluhan dalam menerapkan teknik budidaya pertanian modern di lahan usaha tani untuk menjawab permasalahan-permaslahan para petani yang bersifat mendesak, (4) adanya sisitem kerja penyuluhan pertanian yang ditetapkan, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa pelaksanaan alih teknologi serta ketrampilan kepada petani dan keluarganya benar-benar dapat berjalan secara rutin dan terus menerus, (5) Adanya hubungan koordinasi dengan kegiatan-kegiatan bidang penyuluhan yang dilaksanakan oleh unit kegiatan yang lain, (6) adanya sistem pemantauan yang memadai untuk mengetahui hasil pelaksanaan kegiatan penyuluhan, kendala-kendala yang ditemui, masalah-masalah yang dihadapi baik oleh penyuluh di lapangan maupun petani yang harus dipecahkan melalui kegiatan penyuluhan, dan (7) adanya kelembagaan petani untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan alih teknologi ataupun alih ketrampilan dari para penyuluh lapangan kepada petani beserta keluarganya.(Departemen Pertanian, 2005).

Dengan adanya desentralisasi, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di provinsi tidak ada, tetapi fungsi penyuluhan pertanian dibeberapa provinsi dilaksanakan oleh Dinas atau Badan lingkup pertanian. Namun penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi, karena mandat untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, menurut


(32)

Mardikanto (1991), efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh sub system yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis.

Penyuluhan berkontribusi besar dalam peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan masyarakat tani. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa keberadaan lembaga penyuluhan semakin merosot yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : a) program yang lemah; b) kuantitas penyuluh yang kurang berkembang; c) kualitas penyuluh cenderung kurang berkembang; d) fasilitas yang semakin terbatas; e) perhatian pemerintah ; terutama pemerintah daerah yang semakin lemah ( Hafsah, 2006).

2.2. Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Perubahan sistem pemerintahan dari paradigma yang berorientasi pada sentralisasi ke desentralisasi, telah memberikan konsekuensi sangat luas dan mendalam pada sistem tata pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bergesernya status dan kedudukan suatu kelembagaan dalam keseluruhan formasi tata pemerintahan daerah. Konsekuensi dari perubahan tersebut adalah pada batasan kekuasaan dan wewenang suatu kelembagaan dalam mengimplementasikan proses-proses regulasi, legislasi dan kebijakan publik. Menurut Nasdian (2008) sejak berorientasi pada paradigma desentralisasi, formasi sosial dalam sistem tata pemerintahan di daerah telah membentuk pola-pola relasi kekuasaan dan wewenang yang berbasis tidak hanya pada pilar regulative, tetapi juga telah mempertimbangkan pilar normative dan cultural-cognitive yang berbasis pada otonomi lokal. Dampaknya, meskipun regulasi yang diimplementasikan dala tata-pemerintahan di daerah dalam wilayah Indonesia


(33)

adalah sama tetapi dalam implementasinya kekuatan struktur lokal atau kelembagaan yang ditopang oleh pilar normative dan cultural cognitive semakin membuat ”bangunan” tata-pemerintahan daerah menjadi lebih beragam.

Pembentukan kelembagaan dalam masyarakat tidak terlepas dari peranan individu, kelompok atau pemerintah sehingga lembaga-lembaga yang hidup dalam masyarakat yang ada bersifat informal dan ada pula yang tercipta secara formal baik dari masyarakat maupun luar masyarakat (Indaryanti, 2003). Pergeseran paradigma penyuluhan dari teknik budidaya (on-farm) menuju sistem usaha agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan. Dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari sub sistem petani, penyuluh dan kelembagaan struktural, menjadi subsitem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan lembaga pelatihan (Hafsah, 2006).

Kelembagaan penyuluhan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang hal itu memungkinkan adanya pembagian kerja yang lebih jauh, peningkatan pendapatan, perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang usaha. Dalam kehidupan nyata, kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen dalam proses pembangunan dengan demikian kelembagaan dapat dianggap sebagai penyebab segala perubahan pembangunan. Namun dipihak lain kelembagaan bisa diduga menjadi peubah endogen dimana perubahan kelembagaan diakibatkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial masyarakat yang ada. Sehingga kelembagaan yang ada dalam masyarakat sudah mengalami dinamika perubahan berbagai zaman (Daryanto, 2004).

Menurut Scott (2008) dalam Nasdian (2008) mengemukakan bahwa perubahan kelembagaan secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor


(34)

regulasi. Selain faktor tersebut faktor stuktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi mikrodan makro, dan faktor kultural merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat (atau menjadi buffer ) evolusi bersama kelembagaan an organisasi tersebut. Dengan kata lain, terdapat tiga pilar ”penopang” kelembagaan, yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Ketiga elemen tersebut membentuk suatu gerak kontinum ”from the conscious to the unconscious, from the legally enforced to the taken for granted”

2.2.1. Era Bimas

Pada era BIMAS, penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistis dan berkoordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara integrasi dan didukung dnegan baik oleh empat catur sarana : (1) PPL, (2) Kios Saprotan, (3) BRI, dan (4) KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa, dan menjadi biasa (RPP, IPB, 2005).

Penyuluhan yang dilaksanakan pada program Bimas selain berperan dalam penyebarluasan inovasi teknologi kepada petani, juga berperan dalam pembinaan dan pemberdayaan kelompok, membantu penyaluran saprodi, serta berperan dalam membantu penyaluran dan pengembalian kredit dari perbankan. Keberhasilan fungsi penyuluhan kala itu dipengaruhi oleh penerapan sistem dan manajemen penyuluhan dengan sistem LAKU, penyusunan program penyuluhan, pewilayahan binaan (Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian/WKPP), dan Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian/WKBKPP), serta didukung dengan penerapan


(35)

metode penyuluhan, penyediaan sarana penyuluhan yang memadai, serta tenaga penyuluh yang memadai (Hafsah, 2006)

Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan petanian pada Pelita IV (Orde Baru) diarahkan untuk : (1) memberikan dorongan bagi berkembangnya kelembagaan tani-nelayan kearah terciptanya system pengguna aktif dari informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis; (2) memperkuat BPP dengan tenaga kerja, sarana, prasarana dan pembiayaan yang memadai dalam menghadapi perkembangan perilaku petani-nelayan sebagai system pengguna aktif berbagai informasi dan kesempatan berusaha; (3) membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian, dengan BPP sebagai perangkat terdepan; (4) mengorientasikan penyuluh dan aparat pembinanya agar memiliki satu kesatuan tindakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (5) penyuluhan pertanian dilaksanakan dengan materi yang sesuai dengan mandat, misi dan tujuan penyuluhan pertanian serta kondisi dan potensi nyata daerah; (6) penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat Nasional dan Provinsi diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota dan BPP; (7) penggunaan berbagai pendekatan dan metode penyuluhan pertanian disesuaikan dengan perkembangan/tingkat kemajuan social ekonomi wilayah dan tujuan yang hendak dicapai dalam wilayah bersangkutan; (8) mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan pertanian didasarkan atas prinsip keterlibatan semua unsur penyuluhan pertanian sebagai suatu jaringan kelembagaan penyuluhan


(36)

pertanian yang berfungsi sebagai penyalur informasi teknologi, pasar, permodalan dan lain-lain (Departemen Pertanian, 2002).

2.2.2. Era Otonomi

Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dan peraturan-peraturan yang mengikutinya, merubah konsep penyuluhan dimana paradigma pembangunan pertanian telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi disentralistik, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan agribisnis. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian diserahkan sepenuhnya ke kabupaten/kota. Pemerintah pusat sepenuhnya hanya bertugas merumuskan kebijakan, norma, standar, dan model-model penyuluhan partisipatif (RPP IPB, 2005).

Menurut Hafsah (2006) pada era otonomi daerah pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah penyuluhan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif melalui proses yang melibatkan berbagai pihak terkait. Namun dengan munculnya beberapa peraturan pemerintah yang kurang mendukung penyelenggaraan penyuluhan daerah, seperti PP No.25/2000 dam PP No.8/2003 mengakibatkan ruang gerak pemerintah daerah untuk mendirikan kelembagaan penyuluhan pertanian sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi tidak jelas, kelembangaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota beragam.

Perubahan yang berlangsung pada dua kondisi diatas menunjukkan terjadinya evolusi bersama (co-evaluation) pranata sosial dan pengorganisasian.


(37)

Perubahan pranata sosial yang merujuk kepada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan ”ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adapatasi dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive (Nasdian, 2008).

Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah dikemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan adalah sebagai berikut :

a. Kelembagaan di Pusat

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Pusat adalah Badan Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada Menteri. Sebagai mitra kerja Menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan, dibentuk Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Keanggotaan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

b. Kelembagaan di Provinsi

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.

Komisi Penyuluhan Pertanian Provinsi bertugas memberikan masukan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi. Keanggotaannya sama dengan keanggotaan Komisi Penyuluhan


(38)

Pertanian Nasional yaitu terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

c. Kelembagaan di Kabupaten/Kota

Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota.

Komisi Penyuluhan Pertanian Kabupaten/Kota bertugas memberikan masukan kepada Bupati/Walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota. Keanggotaannya terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan.

d. Kelembagaan di Kecamatan

Kelembagaan penyuluhan pertanian di kecamatan adalah Balai Penyuluh Pertanian . BPP merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan penyuluhan pertanian kabupaten/kota. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) dibantu oleh Tim Penyuluh Pertanian. Tim ini terdiri dari Penyuluh Pertanian (PPL), Petani Pemandu, LSM, Mantri Tani, Mantri Kesehatan Hewan dan Teknisi pertanian lapangan lainnya.

e. Kelembagaan di Desa

Kelembagaan penyuluhan pada tingkat desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat non structural.


(39)

Amanat UU No.16/2006 menurut Slamet (2008) bertabrakan dengan PP 8/2003 tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41/2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentukanya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat propinsi, dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah.

Dengan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek-aspek perencanaan, ketenagaan, program, manajemen, dan pembiayaan menjadi kewenangan bersama Pemerintah, provinsi, Kabupaten/kota, Petani dan Swasta. Kondisi ini memberi kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan lokalita, sedangkan pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Dengan kata lain, pelaksanaan kelembagaan penyuluhan dapat ditinjau dari aspek perencanaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan.

Kebijakan pembangunan pertanian pada era desentralisasi ini adalah mewujudkan pertanian yang tangguh dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan ini menghendaki perubahan pendekatan penyuluhan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan agribisnis. Kebijakan ini juga mensyaratkan dikembangkannya jaringan


(40)

kerjasama di antara pelaku agribisnis, penyuluhan pertanian, peneliti, pendidikan dan pelatihan (Hafsah, 2006)

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ada dua hal penting yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan dimasa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah : (1) dibangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya pengembangan program-program penyuluhan yang berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan (Slamet, 2008).

Pada UU No.16/2006 pasal 6 tercantum kebijakan system penyuluhan yaitu : (1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan system penyuluhan; (2) Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada point terdahulu, pemerintah dan pemerintah daerah memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a) penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan; b) penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pada tiap-tiap tingkat admnistrasi pemerintah.

Seyogyanya dalam konteks otonomi daerah, pemerintah mesti melandaskan moral pembangunannya pada keberpihakan ekonomi rakyatnya. Pemberdayaan dilakukan dalam segala aspek yang selama ini dianggap kritis dalam pengembangan ekonomi rakyat, meliputi 1) pemberdayaan sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi rakyat; 2) pemberdayaan sumberdaya alam


(41)

berkelanjutan dan menjamin redistribusi secara merata serta hak kepemilikan rakyat atas sumberdaya alam; 3) pemberdayaan keuangan untuk membuka akses pendanaan, 4) pemberdayaan kelembagaan untuk menguatkan institusi rakyat agar mampu mengorganisir diri dan komunitasnya dalam sebuah institusi yang berdaya dan berkelanjutan.

2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian 2.3.1. Penyuluhan Pertanian

Ilmu penyuluhan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia dibentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah, sehingga membawa pada perubahan kualitas kehidupan orang yang bersangkutan (Slamet, 1992). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan manajemen.

Penyuluhan selalu menitik-beratkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan batin, sehingga kegiatan yang dilakukan akan selalu berkaitan erat dengan ilmu-ilmu lain seperti pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya. Jadi sebagai ilmu, penyuluhan bersifat interdisipliner. Hal ini berkaitan erat dengan praktek penyuluhan di lapangan yang menuntut pendekatan interdisipliner. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia terjadi karena ditopang oleh penggunaan pendekatan interdisipliner ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi seperti yang terangkum dalam ilmu penyuluhan (Slamet, 1992)


(42)

Ilmu penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Penyuluhan Pertanian (Agricultural Extension), terutama di Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Kemudian ternyata berkembang penggunaannya bidang-bidang lain maka berubah namanya menjadi “Extension Education”, dan di beberapa negara lain disebut “Development Communication”. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama.

Penyuluhan sebagai proses pendidikan, maka penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku baik pengetahuan maupun ketrampilannya. Penyuluhan sebagai proses demokrasi, maka penyuluhan harus mampu mengembangkan suasana bebas, untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu mengajak sasaran penyuluhan berfikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka. Sebagai proses yang kontiniu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki berdasarkan kepada kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padalah kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluhan perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang tersebut (unfelt need) menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran (felt need)

Menurut Mardikanto (1991), penyuluhan pertanian adalah suatu system pendidikan bagi masyarakat (petani) untuk membuat mereka tahu, mau dan


(43)

mampu berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/ masyarakatnya. Sedangkan menurut AW.Van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. UU No. 16/2006, mendefenisikan bahwa penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama (petani-nelayan) serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestrasian fungsi lingkungan hidup.

Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan agar dapat berlangsung efektif dan efisien, maka terlebih dahulu harus dipahami falsafah penyuluhan. Falsafah penyuluhan menurut Suhardiyono (1990) yang merupakan dasar dalam bekerja dilandasi oleh tiga hal yaitu : (1) penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi dan (c) penyuluhan merupakan proses yang terus menerus. Artinya, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang membawa perubahan yang diharapkan oleh seseorang ataupun masyarakat, dengan cara tidak memaksakan sesuatu kepada masyarakat tani tersebut dan dilakukan secara terus menerus.

Kemudian dalam melaksanakan penyuluhan, harus ada prinsip-prinsip yang menjadi pegangan kerja atau sebagai panduan dalam merencanakan pemecahan masalah secara efektif guna membantu masyarakat pedesaan.


(44)

Prinsip-prinsip penyuluhan menurut Valera, dkk (1987) adalah : (1) penyuluhan bekerja dengan klien, bukan untuk klien, (2) penyuluhan harus bekerjasama dan melakukan koordinasi dengan organisasi pembangunan lainnya, (3) penyuluhan adalah pertukaran informasi yang bersifat dua arah, (4) penyuluhan bekerja dengan kelompok-kelompok sasaran yang berbeda-beda di masyarakat, dan (5) masyarakat harus ikut serta dalam semua aspek-aspek kegiatan pendidikan dari penyuluhan.

Menurut Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (1991), setidak-tidaknya ada 12 prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas yaitu :

(1) Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat.

(2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga atau kerabatnya.

(3) Keragaman budaya, artinya penyuluh harus menyadari adanya keragaman budaya memerlukan keragaman pendekatan.

(4) Perubahan budaya, artinya kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya.

(5) Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan

(6) Demokrasi dalam penerapan ilmu, penyuluhan harus selalu member kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk ikut memutuskan tujuan,


(45)

alternative pemecahan masalah dan metode apayang digunakan dalam penyuluhan.

(7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan.

(8) Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan social budaya)

(9) Kepemimpinan, kartinya penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan, teutama mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin local untuk membantu kegiatan penyuluhan itu sendiri.

(10) Spesialis yang terlatih, artinya penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh.

(11) Segenap keluarga, artinya penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial.

(12) Kepuasan, artinya penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Kepuasan akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan.

Undang-undang No. 16 Tahun 2006 pasal 3 menyatakan bahwa penyuluhan bertujuan mengembangkan sumber daya manusia yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan. Namun lebih jauh, Tedjokoesoemo (1996) berpendapat penyelenggaraan penyuluhan pertanian pada dasarnya mempunyai keluaran


(46)

(output) yang tidak sama pada berbagai tingkat yaitu lapangan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat serta untuk berbagai kategori petani nelayan. Kendati mempunyai keluaran yang berbeda, penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditujukan untuk menolong petani nelayan agar mampu melakukan identifikasi dan analisis masalah, serta memecahkan berbagai masalah yang menyangkut usahataninya sebagai bagian dari sistem agribisnis sehingga menghasilkan perilaku professional dalam bentuk antara lain : (1) perilaku usahawan yang rasional dalam pengambilan keputusan usaha yang didasarkan atas permintaan pasar dan saluran pemasaran yang tepat; (2) pengelolaan usaha yang efisien disertai kemampuan bekerjasama di antara sesama petani nelayan atau antara petani nelayan dan pengusaha agroindustri serta sektor ekonomi pedesaan lainnya; (3) kepemimpinan yang berkembang secara mandiri ke arah berkembangnya sistem pengguna aktif berbagai peluang dan informasi usaha yang tersedia; (4) usaha yang berorientasi pelestarian sumberdaya alam sehingga mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan; (5) penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relative cepat melalui kemandirian dalam mencari, menganalisa, dan mengambil keputusan atas informasi yang tersedia, serta (6) kepedulian terhadap masalah ketahanan pangan di tingkat keluarga, masyarakat dan nasional.

Misi pokok penyuluhan pertanian menurut Tedjokoesoemo (1996), hanya ada 2 (dua) hal yaitu (1) pengembangan sumberdaya manusia dan (2) alih teknologi. Kedua misi pokok ini merupakan peranan-peranan yang perlu dilaksanakan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan sektor pertanian. Pengembangan sumberdaya manusia berintikan pada pengembangan perilaku dan


(47)

kemampuan serta pendayagunaan kemampuan-kemampuan yang telah dikembangkan ke dalam upaya peningkatan pendapatan, kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, kesehatan lingkungan serta kelangsungan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional.

Efektivitas atau keberhasilan suatu kegiatan penyuluhan menurut Mardikanto (1991) dapat diukur dari seberapa jauh telah terjadi perubahan perilaku (petani) sasarannya, baik yang menyangkut : pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya. Yang kesemuanya itu dapat diamati pada :

a. Perubahan-perubahan pelaksanaan kegiatan bertani yang mencakup macam dan jumlah sarana produksi, serta peralatan/mesin yang digunakan, maupun cara-cara atau teknik bertaninya

b. Perubahan-perubahan tingkat produktivitas dan pendapatannya

c. Perubahan dalam pengelolaan usaha (perorangan, kelompok, koperasi), serta pengelolaan pendapatan dari usaha taninya.

Disamping itu, beberapa faktor atau kekuatan–kekuatan yang mempengaruhi proses perubahan yang diupayakan melalui penyuluhan pertanian, dapat terjadi karena; 1) keadaan pribadi sasaran, 2) keadaan lingkungan fisik, lingkungan sosial dan budaya masyarakat, 3) macam dan aktivitas kelembagaan yang tersedia untuk menunjang kegiatan penyuluhan. Menurut Hafsah (2006), bahwa efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh subsistem yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis. Dalam banyak hal kasus, terlihat bahwa keberhasilan penyuluhan pertanian sangat ditentukan oleh perhatian pengusaha atau pimpinan wilayah setempat.


(48)

Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja penyuluhan pertanian (RPP IPB,2005) antara lain : 1) tersusunya programa penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan petani, 2) tersusunnya rencana kerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing-masing, 3) tersedianya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi sesuai dengan pengwilayahan komoditas unggulan, 4) terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, 5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, kelompok usaha/asosiasi petani dan usaha formal (seperti koperasi), 6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, 7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, 8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan 9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani dimasing-masing wilayah kerja.

2.3.2. Penyuluh Pertanian

Penyuluh adalah seorang pendidik dan pembimbing masyarakat tani. Sebagai seorang mubaligh atau seorang missionair, seorang penyuluh pertanian harus mempunyai panggilan terhadap pekerjaannya, harus mempunyai cita-cita atau ideology (Mardikanto, 1991). Sedangkan menurut UU No. 16/2006, penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Lebih lanjut, penyuluh dipilah menjadi tiga kategori yaitu : (1) Penyuluh pegawai negeri yang selanjutnya disebut Penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan


(49)

atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan; (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; dan (3) Penyuluh Swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh.

Penyuluh pertanian dalam memberdayakan masyarakat tani menurut Suhardiyono (1990), berperan sebagai : (1) pembimbing petani, (2) Organisator dan dinamisator petani, (3) teknisi dan (4) penghubung antara lembaga penelitian dengan petani. Kemudian Harun (1996), menyatakan peran penyuluh sebagai : (1) sumber informasi bagi petani, (2) penghubung petani kepada sumber-sumber informasi, (3) katalisator atau dinamisator di dalam mengarahkan dinamika petani atau kelompok tani untuk menciptakan suasana belajar yang diinginkan dan (4) pendidik, yang menyampaikan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya di bidang pertanian kepada petani. Sedangkan Samsudin (1987) menyatakan bahwa penyuluh berperan sebagai pemimpin, pengajar dan penasehat. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas mempunyai kesamaan dan saling melengkapi mengenai pengertian dan peranan penyuluh pertanian lapangan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai “ujung tombak” dalam membina petani dan kelompok tani dengan baik menuju kondisi penerapan pembangunan pertanian yang lebih baik.

Dalam menyampaikan informasi kepada sasaran, penyuluh hendaknya mampu melaksanakan proses belajar mengajar, selain sebagai seorang guru, hendaknya menempatkan diri sebagai teman sasaran dalam mengambil keputusan. Dalam kaitan ini penyuluh dituntut mampu berperan ganda, antara lain dengan


(50)

menjalankan fungsi sebagai komunikator, pendidik dan motivator, bagi terjadinya perubahan perilaku sasaran, karena penyuluh mengkomunikasikan pesan-pesan penyuluhan kepada sasaran, dengan metode yang syarat nilai pendidikan, sehingga bertindak sebagai pendidik dengan berperan sebagai motivator bagi peningkatan kesadaran masyarakat kearah pencapaian tujuan yang diinginkan, dengan melaksanakan tugas-tugas tertentu. Selain itu, penyuluh juga harus mampu melakukan pengamatan terhadap keadaan sumberdaya yang terdapat di pedesaan, memberikan contoh pemecahan masalah dari berbagai kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat, serta menganalisa pemecahan masalah tersebut (Departemen Pertanian, 2002).

Kegiatan penyuluhan akan menjadi kegiatan yang mendapat apresiasi petani bila sang penyuluh dapat memberikan informasi-informasi segar dan bermanfaat serta memberikan pencerahan dalam setiap problem usaha tani yang dilakukan oleh para petani sebagai sasaran dari penyuluhannya. Standarisasi kualitas sumberdaya manusia seorang penyuluh pertanian mutlak menjadi main point dalam perekrutan dan penempatan PPL di lapangan. Trampil memahami masalah, mengetahui kebutuhan, dan dapat memberikan solusi pada setiap permasalahan yang dialami dan ditemui oleh petani merupakan kebutuhan ideal yang harus dapat distandarkan bagi setiap PPL di lapangan (Tohir, 2005)

Menurut Hafsah (2006), perubahan yang paling mendasar pada penyuluhan paradigma baru adalah perubahan pengambilan keputusan sentralisasi menjadi desentralisasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan sebagai konsekuensi dari konsep penyuluhan desentralisasi (Tabel 2).


(51)

Tabel. 2. Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian.

No. UNSUR PENYULUHAN LALU PENYULUHAN

MASA DEPAN

1. Manajemen Sentralisasi Desentralis mengadopsi

2. Tujuan Memaksimal produksi Meningkatkan

pendapatan dan kesejateraan petani

3. Pendekatan Top down Bottom Up

4. Metodologi Teknologi umum Teknologi spesifik lokasi 5. Sistem Penyuluhan Menyampaikan rekomendasi dan mengadopsi teknologi Pemberdayaan petani, petani memilih yang terbaik

6. Pola Penyuluhan - Umum - Seragam

- Berorientasi

sumberdaya dan sistem sosial budaya lokal - Spesifik lokasi 7. Fokus Komoditi nasional Komoditi unggulan

daerah 8. Sumber Informasi - Lembaga penelitian

- Lembaga pendidikan

-- Petani

- Sektor swasta

- Lembaga pendidikan - Media informasi

9. Peran Penyuluh Pengajar Pemandu dan

Pendamping 10. Kedudukan Petani Penerima pesan dan

pengguna teknologi

Mitra aktif dalam penyuluhan dan pengkajian teknologi 11. Program

Penyuluhan

Berorientasi sektoral Berorientasi kebutuhan petani dan terpadu 12. Materi Penyuluhan Paket teknologi, rekomendasi pemerintah Prinsip-prinsip, metoda informasi

13. Metoda Belajar Kuliah, demonstrasi Belajar melalui pengalaman dan penemuan 14. Pendidikan

Penyuluh

Berpendidikan Pertanian SPMA (sederajat SMU)

Berpendidikan Strata Satu (S1)

Sumber : Hafsah (2006)

2.4. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menelaah diskripsi kebijaksanaan otonomi daerah dan pengaruhnya terhadap sistem penyuluhan pertanian seperti : kelembagaan


(52)

penyuluhan, sIstem kerja penyuluhan pertanian, kinerja pelaku penyuluhan pertanian, tingkat penerapan teknologi petani dan produktifitas usahatani. Selain itu juga dicermati permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh akibat restrukturisasi sIstem penyuluhan pertanian serta pemecahan masalahnya secara partisipatif. Otonomi daerah mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang memadai dalam perumusan permasalahan yang dihadapi, kebutuhan serta tujuan pembangunan daerahnya. Pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat dan pembagunan daerah.

Gagasan paradigma pembangunan pertanian ternyata telah menimbulkan pergeseran dalam struktur kelembagaan penyuluhan pertanian. Implementasi reorientasi dan restrukturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian direspon daerah sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan daerah. Ada daerah yang masih mempertahankan pranata kelembagaan penyuluhan pertanian sebelum otonomi daerah dan ada yang memformulasikannya dalam bentuk yang baru. Apapun model kelembagaan penyuluhan pertanian yang dikembangkan, tujuan akhirnya adalah percepatan proses alih teknologi inovasi dari penyuluh sebagai agen pembaharu (change agent) kepada petani sebagai pelaku utama usahatani. Pendekatan alih teknologi atau pendekatan penyuluhan ( extention approach) diartikan sebagai suatu model aksi yang terdapat dalam sebuah sistem tertentu, yang menyangkut aspek struktur, kepemimpinan, program, sumber daya serta keterkaitan.


(53)

Secara operasional sebuah pendekatan penyuluhan mempersoalkan bagaimana pemilihan petani yang akan dijadikan target audience, bagaimana pemenuhan sumberdaya sekaligus alokasinya, metodologi (sistem kerja) apa yang dipilih serta perkiraan hasil dan dampak kegiatan penyuluhan itu sendiri nantinya. Keefektifan dan keberlanjutan interaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani dipengaruhi beberapa variabel seperti : (1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan dan (4) pendanaan .

Sejalan dengan keragaman bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian, ternyata telah ikut merubah sistem kerja penyuluhan pertanian dan kinerja petugas penyuluh pertanian didaerah. Kinerja penyuluh merupakan kemampuan penyuluh mematuhi jam kerja dan ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan. Sehingga kondisi ini mempengaruhi kompetensi dan pemberdayaan petani yang dapat dilihat dari tingkat adopsi teknologi dan inovasi, yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas dan pendapatan yang diterima oleh petani (Gambar 1)


(54)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau

Keterangan : tidak dibahas dalam penelitan

KEBIJAKSANAAN OTDA

KELEMBAGAAN

PENYULUHAN SISTEM

PENYULUHAN

SISTEM KERJA PENYULUHAN

KINERJA PENYULUHAN

KOMPETENSI DAN PEMBERDAYAAN

PETANI

PRODUKTIFITAS DAN PENDAPATAN PETANI


(55)

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1. Jenis Kajian

Ditinjau dari aspek tujuan penelitian, kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan survey. Menurut Whitney (1960) dalam Natsir (1999), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Sedangkan Hasmanto (2008), mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendalam tentang satu atau beberapa fenomena sosial. Setiap gejala atau kondisi sosial tersebut diteliti secara luas dan mendalam dan kemudian dibuatkan gambaran, sehingga diperoleh suatu penjelasan yang luas tentang apa yang diteliti. Pada jenis penelitian ini dapat mengembangkan konsep, menghimpun data, tetapi tidak menguji hipotesa.

Sedangkan survey adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Dalam metode survey ini juga dikerjakan evaluasi serta perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan dimasa mendatang (Natsir, 1999)


(56)

3.2. Waktu dan Lokasi

Pengkajian dilaksanakan selama 2 (bulan) bulan mulai Maret sampai April 2008, yang mengambil lokasi di 3 (tiga) kabupaten/kota yaitu : Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelelawan. Penetapan lokasi dilakukan secara ‘purposive’ dengan pertimbangan daerah yang mempunyai sistem kelembagaan penyuluhan dimana penyuluh pertanian ber-satmikal (Satuan Administrasi Pangkal) di lembaga penyuluhan (Kabupaten Kampar) tersebut atau bersatminkal dibawah Dinas Pertanian (Kabupaten Pelalawan dan penyuluh pertanian yang bersatminkal di lembaga penyuluhan terpadu (Kota Pekanbaru).

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi penelitian adalah adalah semua pihak yang terlibat dalam kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota, di tingkat kecamatan dan desa di Kabupaten Kampar, Pelalawan dan Kota Pekanbaru. Sampel penelitian adalah kepala satuan kerja, koordinator penyuluh, penyuluh, kelompok tani dan petani. Unit analisis SWOT, digunakan tiga orang stakeholders sebagai responden yang dianggap punya kompetensi yaitu Koordinator Penyuluh Pertanian Spesial (PPS), Kepala Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) Provinsi Riau dan salah satu anggota Komisi Penyuluh Pertanian (KKP) Provinsi Riau.

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Masing-masing kabupaten/kota dipilih 2 (dua) responden sebagai key informan yaitu kepala Satker dan Koordinator Penyuluh/Kasubdin. Masing-masing kabupaten/kota diambil satu kecamatan (BPP), dengan pertimbangan kecamatan sentra produksi pangan. Kecamatan terpilih adalah Kecamatan


(57)

Kampar di Kabupaten Kampar, Kecamatan Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan dan Kecamatan Rumbai Pesisir. Ditingkat kecamatan dipilih 1 orang Koordinator Penyuluh (Kepala BPP), 5 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), dan 10 petani dari 2 kelompok tani pada daerah sentra produksi pangan (padi atau jagung), yang dipilih secara acak. Sehingga jumlah sampel setiap kabupaten/kota adalah 36 orang. Sehingga total sampel adalah 78 orang (Tabel 3) Tujuan diambilnya sampel kelembagaan di tingkat petani (kelompok tani) adalah untuk melihat perubahan perilaku dan dampak kebijakan publik yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan ini pada masing-masing kabupaten/kota.

Tabel 3. Penyebaran Jenis dan Jumlah Responden No. Kabupaten/ Kota/

Kecamatan

Koordinator Penyuluh

Penyuluh Petani Jumlah

1. Kampar 1 5 20 26

2. Pelalawan 1 5 20 26

3. Pekanbaru 1 5 20 26

Jumlah 3 15 60 78

Sumber : Data Primer, 2008.

3.4. Pengumpulan dan Analisis Data. 3.4.1. Jenis Data

Data yang dikumpulkan pada kajian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi adalah : sistem kerja penyuluhan, karakteristik penyuluh (umur, masa kerja, tingkat pendidikan formal, bidang keahlian, jumlah keluarga, kerja sampingan), kinerja penyuluh, karakteristik petani (meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusaha tani, jumlah anggota keluarga, dll), tingkat penerapan teknologi. Data primer yang peroleh melalui metoda wawancara terstruktur menggunakan kuesioner bersifat


(58)

tertutup dan terbuka. Untuk mengetahui persepsi responden terhadap kelembagaan dan kinerja penyuluhan digunakan, digunakan kuesioner tertutup dengan skala likert (Arikunto, 1998). Untuk lebih memperoleh masukan yang lebih mendalam terhadap masalah yang ada dilakukan Focus Group Discusion baik tingkat responden dan dilanjutkan ditingkat kecamatan.

Pengumpulan data sistem penyuluhan meliputi kesesuaian fungsi penyuluhan yang terlaksana, persepsi penyuluh terhadap keberadaan kelembagaan penyuluhan. Sedangkan sistem kerja penyuluhan pertanian, data yang dikumpulkan tentang intensitas laku, materi pertemuan, ketepatan metode, frekuensi latihan, pemecahan masalah yang ada. Sedangkan kinerja penyuluh diukur dari disiplin mematuhi jam kerja, ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan.

Pengumpulan data tingkat penerapan teknologi, diperoleh dari wawancara dengan petani sampel, yang meliputi persepsi petani tentang sistem LAKU, dan jumlah komponen teknologi yang diadopsi.

Sedangkan data sekunder yang diperoleh dengan telahan dokumen dari laporan-laporan dari instansi terkait, yang meliputi : 1) aspek kelembagaan (visi, misi, tugas pokok); 2) aspek ketenagaan (data jumlah tenaga penyuluh, status penyuluh, penyebaran), 3)aspek penyelenggaraan (program/kegiatan/materi penyuluhan, 4) aspek pendanaan (alokasi anggaran, dana operasional penyuluh, tunjangan operasional). Serta data-data terkait dengan potensi daerah.

3.4.2. Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Data kuantitatif (primer dan sekunder) disajikan dalam bentuk tabel frekuensi, tabel silang


(59)

sederhana, grafik atau bagan sesuai jenisnya. Data tersebut selanjutnya diinterpretasikan untuk dapat menunjang dan saling melengkapi dengan data kualitatif guna menjawab permasalahan-permasalahan dalam kajian. Data kualitatif diolah dan dianalisis dengan tahapan melakukan peringkasan (reduksi) data, penggolongan, penyederhanaan, penelusuran tema dan pangaitan antar tema. Untuk menentukan alternatif strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan di Provinsi Riau digunakan analisis faktor internal dan eksternal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT (strengths, weakness, opportunities, threat) dan untuk menentukan prioritas strategi digunakan analisis quantitative strategic planning matrix (QSPM).

1. Analisis Faktor Internal

Analisis internal dilakukan untuk memperoleh faktor kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan faktor kelemahan yang harus diatasi. Faktor tersebut dievaluasi dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dengan langkah sebagai berikut (David, 2002)) :

a. Menentukan faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) dengan responden terbatas.

b. Menentukan derajat kepentingan relatif setiap faktor internal (bobot). Penentuan bobot faktor internal dilakukan dengan memberikan penilaian atau pembobotan angka pada masing-masing faktor. Penilaian angka pembobotan adalah sebagai berikut : 2 jika faktor vertikal lebih penting dari faktor horizontal, 1 jika faktor vertikal sama pentingnya dengan faktor vertikal dan 0 jika vertikal kurang penting daripada faktor horizontal.


(1)

PENELITIAN ANALISIS KERAGAAN

PENYULUHAN PERTANIAN

DI PROPINSI RIAU

KUISIONER UNTUK PPL

No Kuisioner : Kab/Kota :

Hari /Tanggal : BPP :

Wilayah Kerja :

Alamat :

DATA DIRI

Nama, L/P

Umur Pendidikan Terakhir

Jabatan Pengalaman kerja(Th)

Nama Pelatihan Tahun/

Lama Pelatihan Jenis Pelatihan/kursus yang

pernah diikuti

Aktif Tidak Aktif

Jumlah Kelompok yang dibina


(2)

DAFTAR PERTANYAAN

Apakah besar kecilnya anggaran berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan anda?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah Prosedur penyaluran dan pencairan anggaran yang dialokasikan berdampak terhadap penyuluhan anda?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah tingkat kepercayaan diri anda berpengaruh dalam pelaksanaaan penyuluhan yang anda lakukan?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah pelibatan petani dalam merencanakan metode

penyuluhan berpengaruh terhadap hasil yang ingin dicapai? a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah kelengkapan fasilitas penunjang penyuluhan (alat peraga, teknologi, dan kendaraan) yang digunakan berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan?


(3)

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah tingkat pendidikan anda(formal dan informal.kursus), berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Pernahkah anda mendapatkan masalah dalam kegiatan penyuluhan, jika ya, dalam hal apa?

……… ……… ……… ……… Apakah masalah tersebut berpengaruh terhadap kegiatan

penyuluhan?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Perubahan Aturan, kebijakan dan SOT, apakah membawa pengaruh terhadap pelaksanaan program penyuluhan? a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh


(4)

Apakah frekuensi pelatihan bagi tenaga penyuluh berpengaruh terhadap kinerja anda dilapangan?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah Jumlah penyuluh diwilayah anda berpengaruh terhadap pencapaian tujuan penyuluhan secara keseluruhan?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Apakah kondisi fisik bangunan kantor PPL berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan?

a. Sangat berpengaruh b. Berpengaruh c. Cukup berpengaruh

d. Kurang berpengaruh e. Tidak berpengaruh

Sebutkan kendala, permasalahan dan harapan anda menyangkut Pelaksanaan program Penyuluhan?

……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ………


(5)

……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

1. Apakah status dari lembaga saudara telah ditetapkan berdasarkan Perda? a. Ya (3)

b. Belum (0)

2. Jika ya, apakah kelembagaan saudara telah memiliki tugas pokok dan fungsi definitif?

a. Sudah ada, jelas dan telah dijabarkan menjadi uraian kerja (3) b. Sudah ada, cukup jelas belum dijabarkan menjadi uraian kerja (2) c. Sudah ada, kurang jelas (1)

d. Belum ada (0)

3. Apakah lembaga saudara telah menyusun program penyelenggaraan penyuluhan pertanian?

a. Sudah ada, lengkap dibuat setiap tahun (3) b. Sudah ada, lengkap, tidak dibuat setiap tahun (2)

c. Sudah, kurang lengkap (1) d. Belum ada (0)


(6)

4. Apakah lembaga sudah melakukan pembinaan terhadap penyuluh pertanian yang berupa :

a. Pertemuan berkala, secara rutin ( Ya / Tidak ), Jika Ya berapa kali ... dalam satu tahun , apa saja agenda dalam pertemuan rutin tersebut sebutkan ... ... ... b. Pertemuan penyusunan program penyuluhan ( Ya / Tidak )

c. Melakukan monotoring dan evaluasi terhadap penyuluh pertanian di wilayah kerjanya ( Ya / Tidak ), Jika dalam bentuk kegiatan apa , jelaskan ... ... Jika tidak kenapa , sebutkan alasannya

………... ... ...

5. Apakah Program kerja masing-masing penyuluhan telah ditetapkan sesuai dengan spesifik wilayah kerjanya (Ya/tidak), Jika ya jelaskan

……… ……… ……… ………

6. Apakah ada pemberian penghargaan kepada penyuluh pertanian yang berprestasi ( Ya /

Tidak ) , Jika tidak apa alasannya ,...

7. Apakah sarana dan prasarana penyuluhan pada wilayah kerja sdr telah mencukupi ( Sudah / Belum ) , Jika belum , sarana /prasarana apa yang paling anda butuhkan dalam mendukung penyelenggaraan penyuluhan ,sebutkan

...

... 8. Sebutkan masalah apa saja yang sdr hadapi dalam penyelenggaraan

penyuluhan pada wilayah kerja sdr

...

... ...