Mardikanto 1991, efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh sub system yang lain, atau
mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis. Penyuluhan berkontribusi besar dalam peningkatan produktivitas, produksi
dan pendapatan masyarakat tani. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa keberadaan lembaga penyuluhan semakin merosot yang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain : a program yang lemah; b kuantitas penyuluh yang kurang berkembang; c kualitas penyuluh cenderung kurang berkembang; d fasilitas
yang semakin terbatas; e perhatian pemerintah ; terutama pemerintah daerah yang semakin lemah Hafsah, 2006.
2.2. Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian
Perubahan sistem pemerintahan dari paradigma yang berorientasi pada sentralisasi ke desentralisasi, telah memberikan konsekuensi sangat luas dan
mendalam pada sistem tata pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bergesernya status dan kedudukan suatu kelembagaan dalam
keseluruhan formasi tata pemerintahan daerah. Konsekuensi dari perubahan tersebut adalah pada batasan kekuasaan dan wewenang suatu kelembagaan dalam
mengimplementasikan proses-proses regulasi, legislasi dan kebijakan publik. Menurut Nasdian 2008 sejak berorientasi pada paradigma desentralisasi, formasi
sosial dalam sistem tata pemerintahan di daerah telah membentuk pola-pola relasi kekuasaan dan wewenang yang berbasis tidak hanya pada pilar regulative, tetapi
juga telah mempertimbangkan pilar normative dan cultural-cognitive yang berbasis pada otonomi lokal. Dampaknya, meskipun regulasi yang
diimplementasikan dala tata-pemerintahan di daerah dalam wilayah Indonesia
adalah sama tetapi dalam implementasinya kekuatan struktur lokal atau kelembagaan yang ditopang oleh pilar normative dan cultural cognitive semakin
membuat ”bangunan” tata-pemerintahan daerah menjadi lebih beragam. Pembentukan kelembagaan dalam masyarakat tidak terlepas dari peranan
individu, kelompok atau pemerintah sehingga lembaga-lembaga yang hidup dalam masyarakat yang ada bersifat informal dan ada pula yang tercipta secara formal
baik dari masyarakat maupun luar masyarakat Indaryanti, 2003. Pergeseran paradigma penyuluhan dari teknik budidaya on-farm menuju sistem usaha
agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan. Dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari sub sistem petani,
penyuluh dan kelembagaan struktural, menjadi subsitem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan lembaga pelatihan Hafsah, 2006.
Kelembagaan penyuluhan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang hal itu memungkinkan adanya pembagian kerja yang lebih jauh,
peningkatan pendapatan, perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang usaha. Dalam kehidupan nyata, kelembagaan dapat menjadi peubah
eksogen dalam proses pembangunan dengan demikian kelembagaan dapat dianggap sebagai penyebab segala perubahan pembangunan. Namun dipihak lain
kelembagaan bisa diduga menjadi peubah endogen dimana perubahan kelembagaan diakibatkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial
masyarakat yang ada. Sehingga kelembagaan yang ada dalam masyarakat sudah mengalami dinamika perubahan berbagai zaman Daryanto, 2004.
Menurut Scott 2008 dalam Nasdian 2008 mengemukakan bahwa perubahan kelembagaan secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor
regulasi. Selain faktor tersebut faktor stuktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi mikrodan makro, dan faktor kultural
merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat atau menjadi buffer evolusi bersama kelembagaan an organisasi tersebut. Dengan
kata lain, terdapat tiga pilar ”penopang” kelembagaan, yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Ketiga elemen tersebut membentuk suatu gerak
kontinum ”from the conscious to the unconscious, from the legally enforced to the taken for granted”
2.2.1. Era Bimas
Pada era BIMAS, penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistis dan berkoordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat sampai
kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara integrasi dan didukung dnegan baik oleh empat catur sarana : 1 PPL, 2 Kios Saprotan, 3 BRI, dan 4
KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa, dan menjadi biasa RPP, IPB,
2005. Penyuluhan yang dilaksanakan pada program Bimas selain berperan dalam
penyebarluasan inovasi teknologi kepada petani, juga berperan dalam pembinaan dan pemberdayaan kelompok, membantu penyaluran saprodi, serta berperan
dalam membantu penyaluran dan pengembalian kredit dari perbankan. Keberhasilan fungsi penyuluhan kala itu dipengaruhi oleh penerapan sistem dan
manajemen penyuluhan dengan sistem LAKU, penyusunan program penyuluhan, pewilayahan binaan Wilayah Kerja Penyuluhan PertanianWKPP, dan Wilayah
Kerja Balai Penyuluhan PertanianWKBKPP, serta didukung dengan penerapan
metode penyuluhan, penyediaan sarana penyuluhan yang memadai, serta tenaga penyuluh yang memadai Hafsah, 2006
Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan petanian pada Pelita IV Orde Baru diarahkan untuk : 1 memberikan dorongan bagi berkembangnya
kelembagaan tani-nelayan kearah terciptanya system pengguna aktif dari informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang tumbuh dan berkembang
sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis; 2 memperkuat BPP dengan tenaga kerja, sarana, prasarana dan pembiayaan yang
memadai dalam menghadapi perkembangan perilaku petani-nelayan sebagai system pengguna aktif berbagai informasi dan kesempatan berusaha; 3
membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian, dengan BPP sebagai perangkat terdepan; 4 mengorientasikan penyuluh dan
aparat pembinanya agar memiliki satu kesatuan tindakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian; 5 penyuluhan pertanian dilaksanakan dengan materi yang
sesuai dengan mandat, misi dan tujuan penyuluhan pertanian serta kondisi dan potensi nyata daerah; 6 penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat
Nasional dan Provinsi diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat kabupatenkota dan BPP;
7 penggunaan berbagai pendekatan dan metode penyuluhan pertanian disesuaikan dengan perkembangantingkat kemajuan social ekonomi wilayah dan
tujuan yang hendak dicapai dalam wilayah bersangkutan; 8 mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan pertanian didasarkan atas prinsip keterlibatan semua
unsur penyuluhan pertanian sebagai suatu jaringan kelembagaan penyuluhan
pertanian yang berfungsi sebagai penyalur informasi teknologi, pasar, permodalan dan lain-lain Departemen Pertanian, 2002.
2.2.2. Era Otonomi
Dengan diberlakukannya UU No.221999 dan UU No.322004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan dan peraturan-peraturan yang mengikutinya, merubah konsep penyuluhan dimana paradigma pembangunan pertanian telah bergeser dari
pendekatan sentralistik menjadi disentralistik, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan agribisnis. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian
diserahkan sepenuhnya ke kabupatenkota. Pemerintah pusat sepenuhnya hanya bertugas merumuskan kebijakan, norma, standar, dan model-model penyuluhan
partisipatif RPP IPB, 2005. Menurut Hafsah 2006 pada era otonomi daerah pendekatan penyuluhan
pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah penyuluhan yang dilakukan melalui
pendekatan partisipatif melalui proses yang melibatkan berbagai pihak terkait. Namun dengan munculnya beberapa peraturan pemerintah yang kurang
mendukung penyelenggaraan penyuluhan daerah, seperti PP No.252000 dam PP No.82003 mengakibatkan ruang gerak pemerintah daerah untuk mendirikan
kelembagaan penyuluhan pertanian sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi tidak jelas, kelembangaan
penyuluhan pertanian di tingkat kabupatenkota beragam. Perubahan yang berlangsung pada dua kondisi diatas menunjukkan
terjadinya evolusi bersama co-evaluation pranata sosial dan pengorganisasian.
Perubahan pranata sosial yang merujuk kepada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan ”ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adapatasi
dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan yakni pilar regulative,
normative dan cultural cognitive Nasdian, 2008. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah dikemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan adalah sebagai berikut :
a. Kelembagaan di Pusat