Ketersediaan sarana HASIL DAN PEMBAHASAN

tugas pokok telah sesuai dengan sistem penyelenggaraan penyuluhan, 81 persen penyuluh menyatakan ketersediaan sarana penunjang telah sesuai, dan 91 persen penyuluh mempunyai persepsi bahwa eksistensi kelembagaan penyuluhan dalam meningkatkan etos kerja penyuluh Tabel 17. Tabel 17. Persepsi Penyuluh Tentang Keberadaan Kelembagaan Penyuluh di Tiga KabupatenKota No Aspek Uraian Pelalawa n Kampar Pekanbaru a. Kesesuaian managemen dg fungsi penyuluhan Sesuai 70 91 77 Kurang sesuai 21 9 19 Tidak sesuai 9 2 4 b. Kesesuaian Tupok dg sistim Penyelenggaraan Penyuluhan Sesuai 74 93 75 Kurang sesuai 21 6 21 Tidak sesuai 5 1 4

c. Ketersediaan sarana

penunjang kegiatan Sesuai 61 81 65 Kurang sesuai 35 17 31 Tidak sesuai 4 2 4 d. Eksistensi kelembagaan Penyuluhan dalam meningkatkan etos kerja Penyuluh Sesuai 63 91 75 Kurang sesuai 29 9 20 Tidak sesuai 8 5 Keterangan: Angka dalam tabel adalah persentase pernyataan responden Penyuluh Persepsi penyuluh terhadap kelembagaan penyuluhan, menunjukkan bahwa kelembagaan yang ada dapat meningkatkan etos kerja penyuluh, kesesuian manajemen dengan fungsi penyuluhan, kesesuaian tugas pokok dengan sistem penyelenggaraan penyuluhan. Namun demikian penyuluh berharap ada lembaga khusus yang dapat menangani kepentingan penyuluh dan petani secara langsung, dimana lembaga penyuluhan dapat menjadi wadah komunikasi, informasi dan pertemuan antar penyuluh, petani dan pembuat kebijakan, seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang RI Nomor 16 Tahun 2006.

5.2.3. Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian

Sistem kerja penyuluhan adalah alat yang digunakan untuk penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Berdasarkan Undang-Undang nomor 16 tahun 2006, dinyatakan bahwa pendekatan penyuluhan dalam upaya alih teknologi inovasi pertanian adalah dengan sistem LAKU. Beberapa hal yang terkait dengan sistem LAKU antara lain kunjungan penyuluh ke petani yang terjadual dan teratur, latihan yang terjadual di BPP dan menjembatani keterkaitan hasil penelitian dengan kegiatan penyuluhan dilapangan. Inti dari pendekatan LAKU adalah ; 1 mendisiplinkan penyuluh dalam bekerja melalui kunjungan ke petani yang terjadual dan teratur; 2 meningkatkan kualitas penyuluh melalui latihan terjadual di BPP dan konsultasi masalah yang dihadapi penyuluh di lapangan ; 3 menjembatani keterkaitan hasil penelitian dengan kegiatan penyuluh pertanian dilapangan. Melaui sistem LAKU ini diharapkan manajemen penyuluhan dapat berjalan lebih efektif, berdayaguna dan berhasil guna. Dari Tabel 18 dapat diketahui, bahwa frekuensi LAKU belum sepenuhnya terlaksana , hal ini dapat terlihat dari intensitas LAKU ke kelompok tani yang pada umumnya dilakukan lebih dari 1 minggu untuk 1 kelompok tani. Hal ini selain disebabkan karena keterbatasan tenaga penyuluh juga karena kurangnya pengawasan bahkan di kota Pekanbaru yang tidak lagi mewajibkan penyuluh melakukan pembinaan kepada kelompok tani kondisi ini semakin dipersulit dengan tidak bermukimnya penyuluh di wilayah kerjanya. Mengingat jumlah penyuluh yang terbatas dan cukup luasnya wilayah binaan, maka pendekatan WKPP berdasarkan hamparan dan domisili petani perlu ditinjau kembali. Mengkombinasikan luas hamparan dan domisili melalui kesamaan unit produksi dan kesamaan jenis komoditas hasil pertanian unggulan spesifik lokalita merupakan salah satu alternatif pendekatan yang perlu dipertimbangkan. Tabel 18. Sistem Kerja Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Pelalawan, Kampar dan Kota Pekanbaru Tahun 2008. No Aspek Uraian Pelalawa n Kampar Pekanbaru a. Intensitas LAKU ke kel.tani binaan Setiap hari 26 41 6 Seminggu sekali 49 53 44 1 minggu 25 6 50 b. Kesesuaian materi pertemuan penyuluhan dengan urgensi masalah yg dihadapi petani Sesuai 71 78 67 Kurang sesuai 22 19 29 Tidak sesuai 7 3 4

c. Ketepatan metode penyuluhan