Analisis Integrasi Dan Volatilitas Harga Beras Regional Asean Terhadap Pasar Beras Indonesia

(1)

ANALISIS INTEGRASI DAN VOLATILITAS HARGA BERAS

REGIONAL ASEAN TERHADAP PASAR BERAS INDONESIA

TESIS

Oleh

EDI

127003006/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

ANALISIS INTEGRASI DAN VOLATILITAS HARGA BERAS

REGIONAL ASEAN TERHADAP PASAR BERAS INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

EDI

127003006/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Tesis : ANALISIS INTEGRASI DAN VOLATILITAS

HARGA BERAS REGIONAL ASEAN

TERHADAP PASAR BERAS INDONESIA

Nama Mahasiswa : Edi

Nomor Pokok : 127003006

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Dr. Ir. Rahmanta, M.Si Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Juni 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Prof. Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE Anggota : 2. Dr. Ir. Rahmanta, M.Si

3. Dr. Irsyad Lubis, M.Sos.Sc 4. Dr. Rujiman, MA


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

“ANALISIS INTEGRASI DAN VOLATILITAS HARGA

BERAS REGIONAL ASEAN TERHADAP

PASAR BERAS INDONESIA”

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi lainnya sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku.

Medan, Juni 2014 Penulis


(6)

ANALISIS INTEGRASI DAN VOLATILITAS HARGA BERAS REGIONAL ASEAN TERHADAP PASAR BERAS INDONESIA

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji daya saing, integrasi pasar beras dan volatilitas harga beras regional Asia Tenggara (Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam). Metode analisis kuantitatif dengan pendekatan model Revealed Comparative Advantages (RCA), model kointegrasi Vector Autoregression (VAR) dan analisis volatilitas harga beras secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Trend spesialization coeficien (TSC) perdagangan beras di regional Asia Tenggara tersegmentasi menjadi net importir (Indonesia dan Philipina) dan net eksportir (Thailand dan Vietnam). Pasar beras Indonesia dan Philipina tidak saling terintegrasi dengan pasar beras Thailand dan Vietnam. Pasar beras Thailand terintegrasi dengan pasar Philipina. Pasar beras Vietnam terintegrasi dengan pasar beras Indonesia. Granger Causality pasar beras regional Asia Tenggara searah, menunjukkan adanya intervensi pemerintah terhadap komoditas beras. Impulse response function (IRF) periode jangka pendek, sedang dan panjang harga beras Thailand dan Vietnam meningkatkan harga beras Indonesia, Philipina dan Vietnam serta menurunkan harga beras Thailand satu satuan standar deviasi. Variance decomposition (VD) harga beras Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam memberikan guncangan (shock) terhadap dirinya sendiri dan pasar lainnya dengan tingkatan guncangan yang berbeda. Harga beras medium lebih volatile dibanding harga beras premium dan kualitas rendah. Akibat volatilnya harga beras menyebabkan biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk konsumsi beras tinggi. Harga beras Indonesia lebih volatile dibanding harga beras Philipina, Thailand dan Vietnam.


(7)

THE ANALYSIS OF THE INTEGRATION AND VOLATILITY OF

ASEAN REGIONAL RICE PRICE ON THE INDONESIAN

RICE MARKET

ABSTRACT

This study is aimed at studying the competitiveness, rice market integration and volatility of the price of rice in Southeast Asian region (Indonesia, the Philippines, Thailand and Vietnam). The volatility of rice price was descriptively analyzed through quantitative analysis method with Revealed Comparative Advantages (RCA) model and Vector Autoregression (VAR) cointegration model approaches. The result of this study showed that the Trend Specialization Coefficient (TSC) of rice trade in the Southeast Asian region was segmented by net importers (Indonesia and the Philippines) and net exporters (Thailand and Vietnam). The rice market of Indonesia and the Philippines was not mutually integrated to that of Thailand and Vietnam. The rice market of Thailand was integrated to that of the Philippines, while the rice market of Vietnam was integrated to that of Indonesia. The Granger Causality of the rice market in the Southeast Asian region was going in the same direction. It showed that there was a government intervension on rice commodity. The Impulse Response Function (IRF) of short, medium and long term periods of Thai and Vietnamese rice price increased the rice price of Indonesia, the Philippines and Vietnam, but decreased the price of Thai rice for one deviation standard unit. The Variance Decomposition (VD) of the rice price of Indonesia, the Philippines, Thailand and Vietnam has shocked themselves and the other markets with different shock level. The price of medium rice was more volatile than that of premium rice with low quality. This volatility of rice price has made households spend high cost for rice. The rice price of Indonesia is more volatile compared to that of the Philippines, Thailand and Vietnam.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kahadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Integrasi Dan Volatilitas Harga Beras Regional Asean Terhadap Pasar Beras Indonesia. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Master Sains Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE. Selaku Ketua Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan dan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir. Rahmanta, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Irsyad Lubis, M.Sos.Sc, Bapak Dr. Rujiman, MA dan Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si selaku dosen penguji.


(9)

6. Bapak Prof. Dr. Herman Haeruman JS., MF, FWAAS yang merupakan mentor bagi penulis yang telah banyak melakukan sharing tentang berbagai pengetahuan khususnya pertanian berkelanjutan.

7. Teristimewa buat Istri tercinta Ardin Hersandini Haeruman, ST, M.Si dan Ananda tersayang Rasya Kemal Rosadi Nasution dan seluruh keluarga di Mandailing, Jakarta dan Bogor yang selalu mencurahkan doa dan dukungan moral.

8. Kementerian Pertanian cq Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, segenap pimpinan Badan Ketahanan Pangan, Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan izin tugas belajar.

9. Seluruh staff Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan, dukungan tenaga dan pemikiran baik dari awal pengajuan proposal, kolokium, seminar dan hasil penelitian sampai penyelesaian tesis.

10. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan S-2 dalam menempuh studi di Program Studi Perencanaan Pembangungan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Universitas Sumatera Utara angkatan 2012: Maretsum Simanullang, Duma Julieta Banjarnahor, Karmila Ginting, Eddy Batubara, Khaira Fitri, Rahmat Saleh, Saifullah Hanif, Kak Riama Panggabean dan semua rekan-rekan lainnya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih telah memberikan semangat dan motivasi selama studi dengan nilai-nilai kebersamaan.


(10)

membantu proses penyelesaian tesis ini serta memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tesis ini dari semua pihak. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri, pemangku kepentingan serta ilmu pengetahuan.

Medan, 14 Juni 2014

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

EDI, lahir di Desa Hutanamale Kecamatan Puncak Sorikmarapi Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara pada 05 Oktober 1974, merupakan anak pertama dari sepuluh bersaudara, putra dari Bapak Muhammad Rosyad Nasution (Alm) dan Ibu Arwidah.

Penulis menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Dasar tahun 1988 di SD Negeri No. 142643 Hutanamale, Sekolah Menengah Tingkat Pertama pada tahun 1991 di SMP Negeri Maga, Sekolah Menengah Tingkat Atas pada tahun 1994 di SMA Negeri 10 Medan (sekarang SMA Negeri 11 Medan) dan Meraih Gelar Sarjana Strata 1 pada tahun 1999 di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis bekerja sebagai Staff pada Bidang Harga Pangan Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian di Jakarta sejak tahun 2004. Pada September 2012 memperoleh beasiswa tugas belajar dari Kementerian Pertanian pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.


(12)

DAFTAR ISI

No. Judul Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP……… ... vi

DAFTAR ISI……… ... vii

DAFTAR TABEL……… . ix

DAFTAR GAMBAR……… . x

DAFTAR LAMPIRAN……… . xi

DAFTAR SINGKATAN……… ... xii

BAB I. PENDAHULUAN…..……… 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Penelitian Terdahulu ... 11

2.2. Supply-Demand Beras ... 18

2.3. Daya Saing ... 20

2.4. Integrasi Pasar ... 22

2.4.1. Beberapa Keterbatasan Teknik Integrasi Pasar ... 27

2.4.2. Integrasi Pasar Spasial ... 31

2.4.3. Integrasi Pasar Vertikal ... 33

2.5. Kebijakan Perberasan di Empat Negara Asia Tenggara ... 34

2.6. Kerangka Pemikiran... 47

2.7. Hipotesis Penelitian ... 50

BAB III. METODE PENELITIAN ... 51

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 51

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 51

3.3. Metode Analisis……... . 52

3.3.1. Analisis Daya Saing ... 52

3.3.2. Analisis Integrasi Pasar ... 53

3.3.2.1. Uji Stasioneritas ... 54

3.3.2.2. Pemeriksaan Lag Optimal ... 60

3.3.2.3. Uji Kointegrasi ... 61

3.3.3. Analisis Volatilitas Harga ... 63

3.4. Model Analisis ... 64

3.4.1. Model Daya Saing ... 64

3.4.2. Model Vector Autoregression (VAR) ... 65

3.4.3. Volatilitas Harga Beras ... 66


(13)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

4.1. Analisis Daya Saing Perberasan ... 68

4.1.1.Trend Koefisien Spesialisasi Perdagangan ... 70

4.1.2. Ekspor dan Revealed Comparative Advantages (RCA) 72 4.2. Hasil Pendugaan Integrasi Pasar Beras Asia Tenggara dengan Pasar Beras Indonesia ... 75

4.2.1.Hasil Uji Stasioneritas Data dengan ADF ... 76

4.2.2. Penentuan Ordo VAR dengan Uji Lag Optimal ... 78

4.2.3. Penentuan Model Integrasi Pasar ... 79

4.2.4. Pendugaan Koefisien ... 80

4.2.5. Analisis Integrasi Pasar Beras ... 81

4.2.5.1. Analisis Integrasi Pasar Beras Indonesia .. 81

4.2.5.2. Analisis Integrasi Pasar Beras Philipina ... 82

4.2.5.3. Analisis Integrasi Pasar Beras Thailand.... 83

4.2.5.4. Analisis Integrasi Pasar Beras Vietnam .... 84

4.2.6. Uji Kausalitas Engel Granger ... 85

4.2.7. Impuls Response Function (IRF) ... 86

4.2.8. Variance Decomposition (VD) ... 94

4.3. Volatilitas Harga Beras ... 103

4.3.1. Kondisi Perberasan Indonesia ... 104

4.3.2. Kondisi Perberasan Asia Tenggara ... 107

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

5.1. Kesimpulan ... 114

5.2. Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1.1. Produksi Padi Negara-Negara Asia Tenggara

Tahun 2011-2013 ... 3

1.2. Negara-Negara Eksportir Beras di Asia Tenggara ... 5

1.3. Negara-Negara Importir Beras di Asia Tenggara ... 5

2.1. Neraca Beras Indonesia 2003-2012 ... 19

2.2. Kebijakan Perberasan Indonesia Tahun 2002 – 2013 ... 36

4.4. Nilai Ekspor Beras dan Serealia Negara Asia Tenggara ... 72

4.6. Uji Unit Root Level ... 77

4.7. Uji Unit Root First Difference ... 77

4.8. Uji Lag Optimum (Selection Criteria) ... 79

4.9. Koefisien Model VAR Intergarasi Pasar Beras Asia Tenggara ... 80

4.10. Impuls Response Harga Beras Indonesia (RIDOM ... 87

4.11. Impuls Response Harga Beras Philipina (RIPHI) ... 89

4.12. Impuls Response Harga Beras Thailand (RITHA) ... 91

4.13. Impuls Response Harga Beras Vietnam (RIVIE) ... 93

4.14. Variance Decomposition Harga Beras Indonesia (RIDOM) ... 95

4.15. Variance Decomposition Harga Beras Philipina (RIPHI) ... 97

4.16. Variance Decomposition Harga Beras Thailand (RITHA) ... 99

4.17. Variance Decomposition Harga Beras Vietnam (RIVIE) ... 101

4.18. Rata-Rata dan Volatilitas Harga Beras Indonesia Tahun 2003-2013 ... 105

4.19. Perubahan Harga Beras Indonesia Tahun 2003-2013 ... 106

4.20. Rata-Rata dan Fluktuasi Harga Beras Asia Tenggara Tahun 2003-2013 ... 109

4.21. Perubahan Harga Beras Asia Tenggara Tahun 2003-2013 ... 110


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1.1. Ekspor-Impor dan Harga Beras di Asia Tenggara Tahun 2003-2011 6

3.1. Kerangka Pemikiran ... 48

4.1. Koefisien Spesialisasi (Net Importir) Tahun 2011-2013 ... 71

4.2. Koefisien Spesialisasi (Net Eksportir) Tahun 2011-2013………. 71

4.3. Hubungan Kausalitas Harga Beras ... 86

4.4. Impuls Response Harga Beras Indonesia (RIDOM) ... 88

4.5. Impuls Response Harga Beras Philipina (RIPHI) ... 90

4.6. Impuls Response Harga Beras Thailand (RITHA) ... 92

4.7. Impuls Response Harga Beras Vietnam (RIVIE) ... 94

4.8. Variance Decomposition Harga Beras Indonesia (RIDOM)……. 96

4.9. Variance Decomposition Harga Beras Philipina (RIPHI) ... 98

4.10. Variance Decomposition Harga Beras Thailand (RITHA) ... 100

4.11. Variance Decomposition Harga Beras Vietnam (RIVIE) ... 102

4.12. Ketersediaan, Produksi dan Harga Beras Indonesia ... 104

4.13. Volume Ekspor, Harga Beras Thailand dan Vietnam ... 107

4.14. Volume Impor, Harga Beras Indonesia dan Philipina ... 108

4.15. Tarif Impor, Harga Beras Indonesia dan Asia Tenggara ... 110 4.16. Perkembangan Indeks Harga Beras Indonesia dan Asia Tenggara 113


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

4.1. Volume Ekspor Beras Beberapa Negara Asia Tenggara ... 122

4.2. Volume Impor Beras Beberapa Negara Asia Tenggara ... 122

4.3. Koefisien Spesialisasi Perdagangan Beras di Asia Tenggara ... 123

4.4. Nilai Ekspor Beras Beberapa Negara Asia Tenggara ... 123

4.5. Revealed Comparative Advantages Beras di Asia Tenggara ... 124

4.6. Perkembangan Harga Beras Broken 25% (fob) Manila, Bangkok, Hanoi dan Indonesia ... 125

4.7. Hasil Uji Unit Root pada Level ... 137

4.8. Hasil Uji Unit Root pada First Difference ... 145

4.9. Hasil Uji Lag Optimal ... 153

4.10. Hasil Estimasi Model VAR ... 154

4.11. Hasil Uji Granger Causality ... 157

4.12. Impuls Response Harga Beras ... 158


(17)

DAFTAR SINGKATAN

ADF : Augmented Dickey-Fuller

AFSIS : Agriculture Food Security Information System AFSRB : ASEAN Food Security Rice Reserved Board AFTA : Asia Pacific Trade Area

AIC : Akaike Information Criterion APEC : Asia Pacific Economic Cooperation ASEAN : Assosiation South East Asian Nation ASEAN +3 : ASEAN+China, Japan and South Korea

BAAC : Bank for Agriculture and Agriculture Cooperatives BAS : Bereau of Agricultural Statistics Philipine

BKP : Badan Ketahanan Pangan BPS : Badan Pusat Statistik BULOG : Badan Urusan Logistik

CAFTA : China-ASEAN Free Trade Area CIF : Cost Insurance Freight

FAO : Food Agriculture Organization FOB : Freight On Board

FPE : Final Prediction Error G to G : Government to Government HDG : Harga Dasar Gabah

HDPP : Harga Dasar Pembelian Pemerintah HET : Harga Eceran Tertinggi

HPP : Harga Pembelian Pemerintah

HQ : Hannan-Quinn Information Criterion HS : Highly Sensitive List

IRF : Impulse Response Function

IRRI : International Rice Research Institute LR : Likelihood Criterion

NFA : National Food Authority Philipines

OECD : Organization for Economic Co-operation and Development PIBC : Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta

RCA : Revealed Comparative Advantages RIDOM : Rice Price Indonesia

RIPHI : Rice Price Philipine RITHA : Rice Price Thailand RIVIE : Rice Price Vietnam

SEAEC : South East Asia Economics Community SIC : Schwarz Information Criterion

TSC : Trend Specialization Coefisien

USDA : United State Department of Agriculture VAR : Vector Autoregression

VD : Variance Decomposition VECM : Vector Error Correction Model WTO : World Trade Organization


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Liberalisasi perdagangan global yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar pangan dunia dan pasar pangan domestik secara spasial semakin terintegrasi. Hal ini yang membuat kalangan pembuat kebijaksanaan khawatir sehingga seringkali muncul pertanyaan, yaitu: a) apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik, dan b) apakah pasar domestik secara otomatis akan menjadi pasar bagi komoditas pangan impor yang harganya relatif lebih murah (Purwoto, Rahman dan Suhartini, 2001).

Selanjutnya menurut Dewan Bimas Ketahanan Pangan (2001) didalam Purwoto, Rahman dan Suhartini (2001), munculnya kedua pertanyaan diatas adalah wajar. Justifikasinya, apabila dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik maka berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga rentan terhadap gejolak harga di pasar dunia. Padahal syarat kecukupan (sufficiency condition) terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu adalah bahwa harga pangan terjangkau daya beli masyarakat. Salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh harga tersebut sudah barang tentu adalah stabil. Demikian pula, apabila pasar domestik secara otomatis menjadi pasar bagi komoditas pangan impor maka berarti kemandirian pangan nasional menurun. Hal ini karena semakin tinggi


(19)

ANALISIS INTEGRASI DAN VOLATILITAS HARGA BERAS REGIONAL ASEAN TERHADAP PASAR BERAS INDONESIA

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji daya saing, integrasi pasar beras dan volatilitas harga beras regional Asia Tenggara (Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam). Metode analisis kuantitatif dengan pendekatan model Revealed Comparative Advantages (RCA), model kointegrasi Vector Autoregression (VAR) dan analisis volatilitas harga beras secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Trend spesialization coeficien (TSC) perdagangan beras di regional Asia Tenggara tersegmentasi menjadi net importir (Indonesia dan Philipina) dan net eksportir (Thailand dan Vietnam). Pasar beras Indonesia dan Philipina tidak saling terintegrasi dengan pasar beras Thailand dan Vietnam. Pasar beras Thailand terintegrasi dengan pasar Philipina. Pasar beras Vietnam terintegrasi dengan pasar beras Indonesia. Granger Causality pasar beras regional Asia Tenggara searah, menunjukkan adanya intervensi pemerintah terhadap komoditas beras. Impulse response function (IRF) periode jangka pendek, sedang dan panjang harga beras Thailand dan Vietnam meningkatkan harga beras Indonesia, Philipina dan Vietnam serta menurunkan harga beras Thailand satu satuan standar deviasi. Variance decomposition (VD) harga beras Indonesia, Philipina, Thailand dan Vietnam memberikan guncangan (shock) terhadap dirinya sendiri dan pasar lainnya dengan tingkatan guncangan yang berbeda. Harga beras medium lebih volatile dibanding harga beras premium dan kualitas rendah. Akibat volatilnya harga beras menyebabkan biaya yang dikeluarkan rumah tangga untuk konsumsi beras tinggi. Harga beras Indonesia lebih volatile dibanding harga beras Philipina, Thailand dan Vietnam.


(20)

THE ANALYSIS OF THE INTEGRATION AND VOLATILITY OF

ASEAN REGIONAL RICE PRICE ON THE INDONESIAN

RICE MARKET

ABSTRACT

This study is aimed at studying the competitiveness, rice market integration and volatility of the price of rice in Southeast Asian region (Indonesia, the Philippines, Thailand and Vietnam). The volatility of rice price was descriptively analyzed through quantitative analysis method with Revealed Comparative Advantages (RCA) model and Vector Autoregression (VAR) cointegration model approaches. The result of this study showed that the Trend Specialization Coefficient (TSC) of rice trade in the Southeast Asian region was segmented by net importers (Indonesia and the Philippines) and net exporters (Thailand and Vietnam). The rice market of Indonesia and the Philippines was not mutually integrated to that of Thailand and Vietnam. The rice market of Thailand was integrated to that of the Philippines, while the rice market of Vietnam was integrated to that of Indonesia. The Granger Causality of the rice market in the Southeast Asian region was going in the same direction. It showed that there was a government intervension on rice commodity. The Impulse Response Function (IRF) of short, medium and long term periods of Thai and Vietnamese rice price increased the rice price of Indonesia, the Philippines and Vietnam, but decreased the price of Thai rice for one deviation standard unit. The Variance Decomposition (VD) of the rice price of Indonesia, the Philippines, Thailand and Vietnam has shocked themselves and the other markets with different shock level. The price of medium rice was more volatile than that of premium rice with low quality. This volatility of rice price has made households spend high cost for rice. The rice price of Indonesia is more volatile compared to that of the Philippines, Thailand and Vietnam.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Liberalisasi perdagangan global yang ditandai dengan penghapusan bea masuk impor dan hambatan perdagangan lainnya akan membuat pasar pangan dunia dan pasar pangan domestik secara spasial semakin terintegrasi. Hal ini yang membuat kalangan pembuat kebijaksanaan khawatir sehingga seringkali muncul pertanyaan, yaitu: a) apakah dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis akan mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik, dan b) apakah pasar domestik secara otomatis akan menjadi pasar bagi komoditas pangan impor yang harganya relatif lebih murah (Purwoto, Rahman dan Suhartini, 2001).

Selanjutnya menurut Dewan Bimas Ketahanan Pangan (2001) didalam Purwoto, Rahman dan Suhartini (2001), munculnya kedua pertanyaan diatas adalah wajar. Justifikasinya, apabila dinamika harga di tingkat pasar dunia secara otomatis mempengaruhi naik turunnya harga di tingkat konsumen domestik maka berarti ketahanan pangan di tingkat rumah tangga rentan terhadap gejolak harga di pasar dunia. Padahal syarat kecukupan (sufficiency condition) terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga/individu adalah bahwa harga pangan terjangkau daya beli masyarakat. Salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh harga tersebut sudah barang tentu adalah stabil. Demikian pula, apabila pasar domestik secara otomatis menjadi pasar bagi komoditas pangan impor maka berarti kemandirian pangan nasional menurun. Hal ini karena semakin tinggi


(22)

persentase pangan impor terhadap ketersediaan pangan nasional berarti semakin rendah kemandirian pangan nasional. Padahal ketahanan pangan perlu diupayakan sebesar mungkin yang bertumpu pada produksi pangan domestik.

Bagi Indonesia berbagai kebijakan ekonomi di bidang perberasan selalu menjadi perhatian utama pemerintah. Disisi lain, penyediaan produksi beras domestik masih memiliki kendala, khususnya yang berkaitan dengan semakin terbatasnya kapasitas produksi nasional yang disebabkan antara lain oleh: (a) berlanjutnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian, (b) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan, (c) semakin terbatas dan tidak pastinya ketersediaan air irigasi untuk mendukung kegiatan usahatani padi akibat dari perubahan iklim mikro, (d) kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi sehingga sekitar 30 persen di antaranya mengalami kerusakan, (e) semakin meningkatnya persaingan pemanfaatan sumberdaya air dengan sektor pemukiman dan industri, dan (f) semakin tidak pastinya perilaku iklim akibat perubahan global (Suryana dan Kariyasa, 2008).

Produksi padi Asia Tenggara tahun 2012 diperkirakan sebesar 208,20 juta ton atau setara dengan 118,06 juta ton beras (konversi GKG ke beras 0,5671), meningkat dari 1,68 juta ton turun satu persen terhadap tahun sebelumnya (Tabel 1). Kenaikan produksi berasal dari peningkatan luas tanam maupun produksi. Namun, peningkatan kurang dari satu persen sementara peningkatan hasil panen sekitar 3 persen yang merupakan kompensasi penurunan luas panen akibat kerusakan tanaman. Produksi mengalami peningkatan di Indonesia, Filipina dan Thailand. Dalam hal persentase, kenaikan tertinggi di Laos dan Brunei, sementara produksi padi Myanmar dan Vietnam mengalami penurunan karena faktor Cuaca


(23)

yang tidak menguntungkan penyebab penurunan produksi di Myanmar dan Vietnam (Afsis, 2012).

Proyeksi produksi padi tahun 2013 di Asia Tenggara sebesar 211,9 juta ton atau setara dengan 120,16 juta ton beras, meningkat sekitar 3,76 juta ton atau sekitar 2 persen dari tahun 2012. Peningkatan produksi terjadi di Myanmar dan Indonesia, sedangkan produksi Thailand dan Malaysia diperkirakan turun. Produksi Thailand diproyeksikan menurun sekitar satu persen karena penurunan luas tanam sebagai akibat dan dampak banjir sehingga beberapa wilayah tidak melakukan penanaman padi. Cuaca yang tidak menguntungkan merupakan faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi (Afsis, 2012).

Tabel 1.1. Produksi Padi Negara-Negara Asia Tenggara Tahun 2011-2013

Satuan: 1,000 Ton

Negara 2011 2012

Perubahan

2013 1)

Perubahan

2012 vs 2011 2013 vs 2012

Jumlah (%) Jumlah (%)

Asia Tenggara 206.513,46 208.198,22 1.684,76 0,82 211.953,97 3.755,75 1,8

Brunei 2,15 2,38 0,23 10,91 2,62 0,24 10,21 Cambodia 8.249,45 8.416,94 167,49 2,03 8.521,00 104,06 1,24 Indonesia 65.760,95 68.594,07 2.833,12 4,31 69.844,51 1.250,44 1,82 Lao PDR 3.105,20 3.722,70 617,51 19,89 3.823,69 100,99 2,71 Malaysia 2.665,10 2.741,05 75,96 2,85 2.633,50 -107,55 -3,92 Myanmar1/ 32.064,43 28.680,59 -3.383,84 -10,55 30.700,00 2.019,41 7,04 Philippines 16.684,06 17.809,79 1.125,73 6,75 18.066,96 257,17 1,44 Singapore - - - - Thailand 35.583,64 36.669,20 1.085,57 3,05 36.139,44 -529,77 -1,44 Vietnam 42.398,50 41.561,50 -837 -1,97 42.222,25 660,75 1,59 Sumber: AFSIS report, (2012)

Keterangan : 1 Angka tahun 2013 adalah angka ramalan oleh AFSIS

Beras merupakan komoditi yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia, baik sebagai makanan pokok maupun sebagai komoditi strategis. Sebagai makanan pokok, diperkirakan lebih dari 95 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi beras. Sebagai komoditi strategis, fluktuasi harga beras mendapat


(24)

perhatian khusus dari pemerintah. Fluktuasi harga yang terlalu tinggi, di satu sisi dapat memberatkan daya beli masyarakat, sementara di sisi lain dapat merugikan petani. Oleh karena itu hal yang diharapkan masyarakat terhadap suatu pemerintah adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau (Amang dan Sawit, 1999).

Beras merupakan pangan pokok strategis bagi masyarakat yang tidak tergantikan dengan pangan lain khususnya di Asia. Negara penghasil utama beras di Asia adalah Thailand, Vietnam, India, Pakistan, Indonesia dan China, sedangkan negara yang mengalami surplus produksi dan menjadi eksportir utama beras dunia, diantaranya Thailand, Vietnam, dan India. Permasalahan perberasan di negara-negara Asia seringkali menimbulkan goncangan dan in-stabilitas, sehingga lahir berbagai kebijakan pemerintah dalam rangka melindungi petani dan konsumen.

Berdasarkan prediksi USDA (United States Department Agriculture) dalam

USDA Long-term Projections, February 2011, menyatakan bahwa Bangladesh, Indonesia, Philipina dan Uni Eropa diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia, masing-masing sebesar 1,4 juta ton atau lebih. Negara-negara ini memiliki keterbatasan dalam meningkatkan produksi beras domestiknya. Pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim menyebabkan banyak negara kesulitan dalam menyediakan pangan untuk kebutuhan domestiknya. Secara berkala dengan berbagai cara Food Agriculture Organization (FAO) mengingatkan tentang situasi dan kondisi produksi pangan, harga dan distribusi. Terkait dengan hal tersebut dunia menghadapi tantangan yang berat


(25)

dalam mengatasi masalah pangan ini melalui pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, utilitas dan stabilitas pangan.

Berikut ini disajikan data negara-negara eksportir dan importir beras di Asia Tenggara:

Tabel 1.2. Negara Eksportir Beras di Asia Tenggara (000 ton)

Negara Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

Burma 388 130 190 47 31 541 1.052 445 750 750 Cambodia 10 300 200 350 450 500 800 1.000 1.000 1.000 Thailand 7.552 10.137 7.274 7.376 9.557 10.011 8.570 9.047 10.500 6.500 Vietnam 3.795 4.295 5.174 4.705 4.522 4.649 5.950 6.734 7.000 6.500

Total 11.745 14.862 12.838 12.478 14.560 15.701 16.372 17.226 19.250 14.750 World total 27.540 27.253 28.957 29.092 31.917 29.763 29.335 31.781 35.113 32.686

Persentase 42,6 54,5 44,3 42,9 45,6 52,8 55,8 54,2 54,8 45,1

Sumber: USDA, (2012)

Keterangan : * data s.d 9 Maret 2012

Negara eksportir beras Asia Tenggara dengan volume terbesar adalah Thailand dan Vietnam, meskipun selama beberapa dekade terakhir kedua negara tersebut mendominasi, tetapi munculnya Cambodia lima tahun terakhir sebagai pemain baru dalam ekspor beras di Asia Tenggara akan membantu mengurangi tekanan akibat kebijakan pengurangan ekspor beras Thailand dalam upaya mengamankan stok dalam negerinya.

Tabel 1.3. Negara Importir Beras di Asia Tenggara (000 ton)

Negara Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1/

Indonesia 2.750 650 500 539 2.000 350 250 1.150 2.775 1.000

Malaysia 500 700 751 886 799 1.039 1.086 907 990 1.085

Philippines 1.300 1.100 1.890 1.791 1.900 2.500 2.000 2.400 1.200 1.500

Singapore 375 346 282 302 327 288 278 310 310 310

Total 4.925 2.796 3.423 3.518 5.026 4.177 3.614 4.767 5.275 3.895 World total 27.540 27.253 28.957 29.092 31.917 29.763 29.335 31.781 35.113 32.686 Persentase 17,9 10,3 11,8 12,1 15,7 14,0 12,3 15,0 15,0 11,9

Sumber: USDA, (2012)


(26)

Indonesia dan Philipina merupakan negara importir beras terbesar di Asia Tenggara sangat mempengaruhi fluktuasi permintaan beras dunia, bahkan impor beras yang dilakukan Indonesia sangat mempengaruhi volatilitas atau fluktuasi harga beras dunia. Ekspor beras negara penghasil utama beras Asia Tenggara relatif mengalami kenaikan dari tahun ke tahun karena beberapa tahun belakangan Myanmar dan Cambodia menjadi negara eksportir baru. Sedangkan impor beras di Asia Tenggara relatif stabil, negara importir beras di kawasan ini adalah Indonesia, Philipina, Malaysia dan Singapura.

Sumber : USDA dan Worldbank, (2012)

Gambar 1.1. Ekspor-Impor dan Harga Beras di Asia Tenggara Tahun 2003 -2011

Dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan harga komoditas pangan di pasar Internasional dan cukup menarik untuk dikaji, baik integrasi pasar spasial Indonesia maupun internasional. Kenaikan harga komoditas pangan internasional yang tajam, pada saat yang sama merupakan kesempatan bagaimana memanfaatkan ekonomi sumberdaya alam yang melimpah seperti Indonesia, produsen dapat mengambil keuntungan dari kesempatan ini. Pertama, bagaimana hubungan intergrasi pasar Indonesia dengan pasar dunia, atau dengan kata lain

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

H a rga ( U S D/ M t)


(27)

bagaimana harga Indonesia bergerak secara bersama-sama dengan harga di pasar internasional. Kedua, bagaimana hubungan pasar antar provinsi. Intergrasi yang buruk juga berimplikasi buruk pada supply-demand Indonesia dan memberikan respon yang buruk terhadap harga komoditas pangan (Varela, Aldaz-Carrol dan Iacovone, 2012).

Rata-rata harga beras paritas internasional selama tahun 2012 sebesar Rp 6.928/kg untuk beras Thailand broken 5 persen dan Rp 6.752/kg untuk beras

Thailand broken 15 persen. Harga tertinggi beras terjadi pada bulan Juni 2012 dan terendah terjadi pada bulan Februari 2012. Lonjakan kenaikan harga beras tertinggi terjadi pada bulan Mei 2012 mencapai 7,2 persen dibandingkan harga beras satu bulan sebelumnya. Kenaikan harga beras pada tahun 2012 tidak terlalu signifikan karena pasokan beras global cukup dan produksi beras global meningkat. Produksi beras global naik 0,9 juta ton mencapai 465,1 juta ton. Musim hujan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi beras terutama di India dan di beberapa negara Asia lainnya. Peningkatan hasil panen terjadi juga di Australia, Mesir, Jepang dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Namun demikian, ada beberapa negara yang mengalami penurunan produksi beras antara lain di Uruguay dan di beberapa negara Afrika. Ekspor global beras naik 0,4 juta ton dengan kenaikan ekspor terjadi di India dan Mesir. Stok akhir tahun 2012 mencapai 102,0 juta ton turun 0,3 juta ton dari bulan Mei 2012, di bawah 3,5 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Hasil proyeksi stok akhir beras Banglades dan India diperkitakan turun sedangkan di Nigeria mengalami kenaikan (Afsis, 2012).


(28)

Harga beras periode tahun 2003 – 2007 mengalami kenaikan sekitar 100 USD/MT. Kemudian periode 2008 – 2011 harga beras dunia mengalami kenaikan yang cukup tajam akibat terjadinya krisis pangan di berbagai negara, juga disebabkan negara Thailand penghasil utama beras mengalami banjir terutama di daerah sentra penghasil beras. Kenaikan harga beras yang mencapai dua kali lipat dari periode sebelumnya menyebabkan terjadi gejolak politik diberbagai negara, akibatnya terjadi kerusuhan di beberapa negara Arab dan Afrika.

Perdagangan beras dunia semakin dinamis, permintaan dari negara-negara lain juga semakin meningkat khususnya dari Iran, Irak, Uni Eropa (UE). Pengalaman Indonesia tahun 2011 lalu bahwa rencana impor beras 1 juta dari Thailand gagal dilakukan karena kebijakan pemerintah Thailand untuk mengamankan kebutuhan dalam negerinya pasca terjadinya banjir di wilayah penghasil beras utama. Akibatnya Indonesia mengalihkan impor beras dari Thailand ke India, Pakistan dan Vietnam. Lain lagi pengalaman Philipina, defisit beras negera ini beberapa tahun terakhir semakin tinggi, sehingga pemerintah Philipina berusaha untuk melakukan impor sebesar 500 ribu ton dari negara lainnya di Asia, akan tetapi dengan alasan kondisi stok yang semakin menipis di negara eksportir menyebabkan stok beras Philipina berada pada level terendah dan terjadi ancaman krisis pangan.

Kecenderungan negara-negara eksportir beras kedepan adalah lebih mengutamakan kepentingan beras dalam negerinya, atau dengan kata lain mengamankan stok dalam negeri terlebih dahulu, baru kemudian sisanya diekspor. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya perdagangan pangan yang


(29)

tidak fair (Unfair Food Trade). Kondisi ini terjadi karena luas lahan pertanian semakin berkurang, sementara kebutuhan beras semakin meningkat, juga disebabkan terjadinya kenaikan harga minyak mentah dunia disertai dengan terjadi krisis pangan di beberapa negara Arab dan Afrika yang menimbulkan gejolak sosial.

Liberalisasi perdagangan umumnya dan khususnya beras yang dimotori oleh World Trade Organization (WTO) dan munculnya berbagai organisasi di kawasan misalnya Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Asia Pacific Trade Area (AFTA), China ASEAN Free Trafe Area (CAFTA), ASEAN Food Security Rice Reserved Board (AFSRB), ASEAN+China, Japan and South Korea

(ASEAN+3) dan South East Asia Economic Community (SEAEC) mendorong terjadinya liberalisasi perdagangan di kawasan Asia dan global. Pada tanggal 1 Januari 2018 berdasarkan perjanjian AFTA, Indonesia harus mengeluarkan beras dari Highly Sensitive List, dengan demikian membuat pemerintah tidak dapat lagi melindungi dan mendukung petani, industri penggilingan padi, dan pedagang gabah melalui kebijakan tarif dan kebijakan nontariff (subsidi). Oleh karena itu, komoditas beras Indonesia harus mempunyai daya saing (Competitiveness and Comparative Advantage) dalam percaturan perdagangan komoditas global khususnya menghadapi pesaing utama dalam komoditas beras, yaitu India, China, Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Pakistan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti sebagai berikut :


(30)

Tenggara.

b. Apakah terjadi integrasi pasar spatial antara pasar beras Indonesia dengan pasar beras Asia Tenggara.

c. Bagaimana volatilitas harga beras Indonesia dan harga beras Asia Tenggara.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Menganalisis daya saing beras Indonesia terhadap beras Asia Tenggara. b. Menganalisis integrasi pasar spatial antara pasar beras Indonesia dengan

pasar beras Asia Tenggara.

c. Menganalisis volatilitas harga beras Indonesia dan harga beras Asia Tenggara.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Sebagai bahan masukan kebijakan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan perberasan nasional.

b. Sebagai informasi bagi pemerintah daerah, pemerintah pusat dan stake holder terkait kondisi perberasan Indonesia dan internasional.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Natawijaya (2001) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis keterpaduan pasar beras di Indonesia sebagai akibat terjadinya arus perdagangan beras dari daerah surplus ke daerah defisit. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung Total Sum Square Correlation (TSSC) dari harga beras di 25 ibukota propinsi dari tahun 1995-1999. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa 18 pasar beras ibukota propinsi terintegrasi dengan baik, 7 kota tidak terintegrasi dan 1 kota terisolasi. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan kondisi surplus dan defisit pada pasar- pasar tersebut dan ditarik kesimpulan bahwa pasar yang mengalami keadaan surplus dan defisit akan terintegrasi dengan pasar-pasar lainnya.

Hadi dan Mardianto (2004), melakukan penelitian tentang Analisis Komparasi Daya Saing Produks Ekspor Pertanian Antar Negara Asia Tenggara Dalam Era Perdagangan Bebas AFTA. Penelitian meliputi pertumbuhan ekspor produk pertanian serta efek komposisi produk, distribusi pasar dan daya saing terhadap ekspor produk pertanian ke kawasan Asia Tenggara dengan menggunakan data sekunder deret waktu dan metode analisis Constant Market Share. Kesimpulan utama hasil analisis ini adalah sebagai berikut: (1) Pertumbuhan ekspor Indonesia ke kawasan Asia Tenggara selama periode 1997-1999 adalah yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara, bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor dunia ke kawasan yang sama, sedangkan


(32)

pada periode 1999-2001 menurun dan lebih rendah dibanding Thailand, Filipina dan dunia; (2) Komposisi produk ekspor Indonesia adalah yang terbaik di antara negara-negara Asia Tenggara, walaupun melemah pada periode 1999-2001 dibanding 1999; (3) Distribusi pasar ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 hanya kalah dari Singapura, tetapi pada periode 1997-1999-2001 melemah dan kalah dari Singapura dan Vietnam; dan (4) Daya saing ekspor Indonesia pada periode 1997-1999 paling kuat di antara negara-negara Asia Tenggara, tetapi pada periode 1999-2001 melemah dan kalah dari Filipina dan Thailand.

Simbolon (2005) melakukan penelitian untuk menganalisis integrasi pasar beras domestik dengan pasar beras dunia dan pengaruh adanya tarif impor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR). Kesimpulan hasil analisis yaitu secara umum terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia, namun dengan derajat integrasi yang berbeda menurut varietas atau jenis beras. Harga satu varietas domestik (yaitu Setra) terintegrasi kuat dengan harga ketiga jenis beras dunia, yaitu

Broken 5 persen, Broken 25 persen dan Broken 35 persen, dan harga lima varietas beras domestik (yaitu muncul, IR 64, IR I, IR II, dan IR III) terintegrasi lemah dengan harga ketiga jenis beras dunia tersebut. Tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah dalam perdagangan beras ternyata meningkatkan harga beras di pasar domestik. Tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menekan volume impor beras. Kenaikan impor yang terjadi pada tahun 1998 ternyata hanya berpengaruh terhadap harga beras domestik varietas IR II yang merupakan varietas dengan volume perdagangan terbanyak kedua setelah varietas IR 64.


(33)

Reddy (2006) melakukan penelitian tentang Commodity Market Integration: Case of Asian Rice Markets. Penelitian ini menggunakan metode

Vector Error Correction Model (VECM) dan beberapa uji, yaitu: Johansen test untuk menguji kointegrasi pasar, granger causality test untuk menguji causalitas pasar. Hasil penelitian menunjukkan harga beras internasional (Thailand dan USA), harga di tingkat produsen, dan dukungan kebijakan harga pemerintah mengalami kointegrasi jangka panjang, tetapi hukum satu harga (Law of One Price) tidak berlaku. Thailand II (100) granger cause Thai-A1-super dan US long grain No. 2 (broken 4 persen). Jepang, Thailand, Bangladesh dan Philipina mempengaruhi harga negara lainnya dan menjadi pembentuk harga di pasar beras Asia. Dalam jangka pendek elastisitas signifikan untuk beberapa negara (antara India dan Thailand, Bangladesh dan Pakistan). Dalam hal dukungan kebijakan harga pemerintah hanya empat dari sembilan harga yang terintegrasi. Elastisitas jangka pendek dan dukungan kebijakan harga pemerintah signifikan, yaitu India dan Korea sebesar 0,21, sedangkan Thailand dan India sebesar 0,84. Kesimpulannya adalah Thailand, Bangladesh, Philipina dan Jepang merupakan pembentuk harga di pasar beras Asia.

Nga dan Lantican (2006) melakukan penelitian berjudul Spatial Integration of Rice Markets in Vietnam yang menganalisis pola dan tingkat integrasi spasial pasar beras di Vietnam, serta hubungan dinamis harga ekspor beras Vietnam dan Thailand. Tingkat integrasi pasar ditentukan dengan mengidentifikasi lokasi terhubung oleh perdagangan dan share harga yang terhubung dalam jangka panjang. Metode estimasi komponen permanen diterapkan untuk menentukan pentingnya pasar dalam membentuk harga beras


(34)

jangka panjang. Pola dan tingkat integrasi diuji dengan Law of One Price (LOP)

dan memastikan kecepatan penyesuaian terhadap ekuilibrium jangka panjang, menggunakan berbagai test dalam sistem terkointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 9 dari 34 pasar beras yang terintegrasi ke dalam pasar umum. Namun, harga ditransmisikan dengan baik antara pasar beras yang terintegrasi. Pasokan beras menjadi faktor yang paling penting dalam membentuk perilaku harga jangka panjang. Tidak ada pasar tunggal yang menjadi pasar acuan. Harga beras ekspor Vietnam dan Thailand berkointegrasi dan sesuai dengan Law of One Price (LOP). Penghapusan kuota ekspor tidak signifikan dalam menentukan hubungan harga beras di kedua negara.

Irawan dan Rosmayanti (2007), Analisis Integrasi Pasar Beras Di Bengkulu, penelitian bertujuan untuk menganalisis integrasi spasial dan integrasi vertikal antarpasar beras di tingkat kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Metode penelitian yang digunakan adalah adalah analisis Vector Error Correction Model (VECM) dan Granger Causality. Hasil penelitian yaitu: 1) pasar beras Bengkulu terintegrasi spasial secara tidak sempurna, apabila terjadi guncangan di pasar kota Bengkulu akan ditransmisikan ke pasar Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara tetapi tidak untuk pasar Rejang Lebong. Implikasi kebijakan penelitian ini adalah stabilisasi pasar beras Kota Bengkulu, stabilnya pasar beras di Kota Bengkulu akan ditransmisikan ke pasar-pasar kabupaten lainnya kecuali pasar di Kabupaten Rejang Lebong. 2) integrasi pasar vertikal di Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Selatan tidak sempurna dan integrasi vertikal secara statistik signifikan terjadi di Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara.


(35)

Rapsomanikis dan Mugera (2011) melakukan penelitian tentang Price Transmission and Volatility Spillovers in Food Markets menggunakan metode

Vector Error Correction Model (VECM) bertujuan untuk meneliti sinyal transmisi harga pangan di pasar internasional di beberapa negara berkembang. Model yang digunakan Autoregressive Conditional Heterokedasticity (ARCH)/ Generalized Autoregressive Conditional Heterokedasticity(GARCH) untuk melihat volatilitas antara harga pangan di pasar internasional dan pasar domestik di Ethiopia, India dan Malawi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek penyesuaian terhadap perubahan harga dunia di Etiopia dan Malawi, sementara volatilitas harga signifikan hanya terjadi ketika harga pasar dunia ekstrim. Permasalahan dibeberapa negara ini salah satunya volatilitas yang ekstrim di pasar domestik akibat guncangan pasar dunia. Di India, penyesuaian harga relatif cepat dan volatilitas harga pangan lebih ditentukan oleh kebijakan-kebijakan domestik. Kekuatan pasar India di pasar dunia menghasilkan efek sebab akibat dua arah (Causal Bi-Directional). Perubahan harga beras di satu pasar akan mempengaruhi pasar lainnya. Namun demikian, kebijakan stabilisasi harga beras di India, dan kebijakan pembatasan ekspor baru-baru ini, mengakibatkan lonjakan harga pangan.

Ghosh (2011) melakukan penelitian dengan metode integrasi pasar, yaitu meneliti dampak reformasi kebijakan pertanian terhadap integrasi spasial beras dan gandum di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat integrasi pasar spasial antar negara meningkat selama periode setelah reformasi dibandingkan dengan sebelum reformasi. Pasar regional, tersegmentasi dan terintegrasi selama periode sebelum reformasi. Reformasi kebijakan pertanian sejak awal 1990-an


(36)

memberikan kontribusi terhadap peningkatan tingkat integrasi spasial pasar pangan dan mendukung argumen bahwa telah terjadi liberalisasi pasar dan meminimalkan intervensi pemerintah terhadap perdagangan bahan pangan. Liberalisasi pangan akan memperkuat integrasi pasar spasial. Tingkat integrasi pasar tidak hanya tergantung pada reformasi kebijakan pertanian, tetapi juga pada tingkat biaya transaksi terutama biaya transportasi dan komunikasi, infrastruktur, fasilitas penyimpanan, dan mekanisme kontrak. Pemerintah bisa mendorong pertumbuhan pertanian dan menjamin stabilitas harga pangan dengan membatasi intervensi langsung, melalui peningkatan infrastruktur fisik dan kelembagaan. Ketergantungan pada kebijakan intervensi pemerintah secara langsung dapat berkurang secara signifikan.

Kaltalioglu dan Soytas (2011) melakukan penelitian tentang Volatility Spillover from Oil to Food and Agricultural Raw Material Markets bertujuan untuk mengkaji dampak volatilitas antara minyak dunia, pangan, dan indeks harga produsen pertanian. Penelitian ini menemukan bahwa tidak terjadi rambatan volatilitas harga antara minyak dunia terhadap pangan. Secara keseluruhan menunjukkan hanya terjadi hubungan kontemporer antara indeks harga produsen pertanian dan minyak dunia, tidak ada hubungan antara ketiga variabel. Selanjutnya, pembuat kebijakan tidak dapat menggunakan perkembangan harga minyak dunia dalam memperkiraan fluktuasi harga pangan dan indeks harga produsen pertanian. Hasil penelitian ini tidak mendukung klaim bahwa kenaikan harga minyak dunia menyebabkan inflasi dan kenaikan harga pangan disebabkan oleh faktor lain.


(37)

Riaz dan Jansen (2012), melakukan penelitian tentang Spatial Patterns Of Revealed Comparative Advantage Of Pakistan’s Agricultural Exports. Potensi ekspor pertanian Pakistan secara umum tertinggal jauh. Namun, analisis yang mendukung pernyataan ini sangat sedikit, hal ini karena kurangnya data yang mudah diakses. Menggunakan data rinci arus perdagangan internasional dan mengadaptasi konsep Balassa (1965) tentang keunggulan komparatif dalam konteks regional. Penelitian ini mengungkapkan indeks keunggulan komparatif mempunyai jarak yang cukup lebar antara ekspor pertanian Pakistan terhadap beberapa pasar regional. Beberapa kombinasi produk pertanian Pakistan memiliki keunggulan komparatif meskipun pada tingkat pasar global tidak mempunyai keunggulan komparatf. Selain itu, juga menyoroti peluang perdagangan bilateral, khususnya perdagangan dengan negara-negara tetangga. Identifikasi pasar ekspor utama Pakistan menyoroti jenis produk pertanian yang memiliki potensi untuk menembus pasar di negara-negara maju.

Varela, Aldaz-Carroll dan Iacovone (2012), melakukan penelitian investigatif dengan judul Determinants of Market Integration and Price Transmission in Indonesia. Penelitian ini mengukur derajat integrasi dengan menggunakan metoda teknik ko-integrasi dan menghitung perberaan rata-rata harga. Mereka menggunakan analisis regresi untuk memahami perbedaan dan integrasi pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dan gula mempunya derajat integrasi pasar yang tinggi dan perbedaan harga berkisar antara 5-12 persen. Jagung, kedelai dan minyak goreng mempunyai derajat integrasi pasar rendah dan perbedaan harganya tinggi berkisar antara 16-22 persen. Integrasi pasar antar provinsi ditentukan oleh jarak dan infrastruktur. Perbedaan harga antar


(38)

provinsi direspon oleh karakteristi provinsi seperti jarak, infrastruktur transportasi, hasil komoditi, produktivitas lahan dan income per kapita.

Debaniyu (2013), melakukan penelitan berjudul Price Integration of Cowpea Retail Markets in Niger State, Nigeria. Metode penelitian yang digunakan adalah Multistage Stratified Random Sampling dengan membandingkan enam pasar, yaitu pasar Kontagora dan Salka (tingkat produsen), pasar Minna dan Bida (tingkat konsumen) dan pasar Sabonwuse dan Mokwa (tingkat perantara/transit). Analisis yang digunakan adalah akar unit (uji unit root) metode Augmented Dicky Fuller (ADF), Johansen co-integration test, error correction model (ECM) test dan granger causality test. Hasil penelitian integrasi pasar menggambarkan harga pasar kacang tunggak (cowpea) terintegrasi dalam jangka panjang. Terjadi keterkaitan harga yang kuat secara spasial antara pasar Kontagora terhadap Sabonwuse dan pasar Bida terhadap Sabonwuse. Sedangkan hasil granger causality menunjukkan terjadi hubungan timbal balik, yaitu Kontagora granger cause Sabonwuse dan sebaliknya dan hubungan searah pasar Bida granger cause Sabonwuse (tidak berlaku sebaliknya).

2.2. Supplay – Demand Beras

Penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Berdasarkan hasil perhitungan prognosa kebutuhan dan ketersediaan beras, kebutuhan beras tahun 2012 diperkirakan mencapai 33.6 juta ton, sedangkan ketersediaan beras 38.8 juta ton. Dengan memperhitungkan stok awal beras Bulog tahun 2012 sebesar 1.93 juta ton, maka pada akhir tahun 2012 terdapat surplus


(39)

7.17 juta ton. Walaupun terdapat surplus beras pada akhir tahun 2012, namun demikian pada bulan Oktober – Januari terjadi defisit (BKP-Kementan, 2012). Tabel 2.1. Neraca Beras Indonesia Tahun 2003 - 2012

Tahun Ketersediaan Kebutuhan Impor Ekspor Surplus/Defisit 2003 29.789.443 29.739.416 1.428.506 676 1.477.857

2004 30.410.296 30.109.555 236.867 904 536.704

2005 30.445.508 30.592.406 189.617 42.286 433

2006 30.616.337 30.995.245 438.109 959 58.242

2007 32.135.769 31.398.084 1.396.448 1.604 2.132.529

2008 33.917.197 31.799.017 289.260 865 2.406.575

2009 36.207.151 32.616.760 250.225 2.601 3.838.015

2010 37.371.255 33.601.942 687.582 345 4.456.550

2011 36.970.670 33.590.391 2.744.002 377 6.123.904 2012 38.825.600 33.580.902 1.927.330 897 7.171.131 Sumber : BKP-Kementan (2013)

Tipisnya ketersediaan pasar beras dunia, maka posisi Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor utama merupakan stabilisator dan destabilisator harga beras dunia. Tingkat konsumsi beras Indonesia sekitar 29 juta ton, termasuk negara konsumen terbesar ketiga setelah China dan India. Oleh karena itu, apabila Indonesia, China dan India mengalami penurunan produksi beras dan harus mengimpor untuk menutupi defisit produksinya, maka harga beras dunia akan segera naik dengan drastis. Hal ini sangat riskan bagi Indonesia untuk menggantungkan diri pada impor beras dari pasar dunia dengan ketersediaan dan harga yang sangat fluktuatif. Kenaikan harga keseimbangan beras dunia akibat peningkatan impor beras Indonesia tentu akan berefek balik pada peningkatan pengeluaran devisa. Selain itu, sangat mungkin akan muncul pemaksaan politik (political extortion) dari negara pemasok beras apabila pemenuhan permintaan beras domestik sebagai bahan pangan pokok tergantung pada pasar beras dunia, terutama jika impor beras tersebut bersifat bantuan dari negara adikuasa seperti


(40)

Amerika Serikat dan Jepang. Ketika terjadi kekurangan pasokan di pasar dunia, maka konsekuensinya bukan hanya tidak terpenuhinya kebutuhan beras domestik, melainkan juga akan menimbulkan gejolak sosial politik yang membahayakan kedudukan pemerintah dan kestabilan negara. Ketergantungan Indonesia secara terus-menerus kepada negara-negara pengekspor utama beras akan merugikan posisi perekonomian (Mulyana, 1998).

2.3. Daya Saing

Daya saing komoditas ekspor suatu negara atau industri dapat dianalisis dengan berbagai macam metode atau diukur dengan sejumlah indikator. Salah satu diantaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA). Demikian juga dapat dilakukan dengan metode Constant Market Share dan Real Effective Exchange Rate. Guna melihat lebih rinci komoditas Indonesia yang dapat bersaing dengan negara-negara lain di pasar dunia yang diukur dengan Revealed Comparative Advantage (RCA) masing-masing produk ekspor (Balassa, 1965). Perhitungan RCA ini menggunakan data yang dikelompokan dalam Standard Industrial Trade Classification (SITC) 2 digit. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 menunjukkan daya saing (competitiveness) yang merupakan kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional. Pada dasarnya tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan


(41)

kompetitif dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan. Selain dua factor tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Hal ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang semakin lama semakin ketat/keras atau Hyper Competitive (Tambunan, 2003).

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu produk. ISP ini dapat menggambarkan apakah untuk suatu jenis produk terspesialisasi, misalnya apakah Indonesia cenderung menjadi negara eksportir atau importir. Secara implisit, indeks ini mempertimbangkan sisi permintaan dan penawaran, dimana ekspor identik dengan suplai domestik dan impor adalah permintaan domestik, atau sesuai dengan teori perdagangan internasional, yaitu teori net of surplus, dimana ekspor dari suatu barang terjadi apabila ada kelebihan atas barang tersebut di pasar domestik (Regimun, 2012).

Nilai indeks ini mempunyai kisaran antara -1 sampai dengan +1. Jika nilanya positif diatas 0 sampai 1, maka komoditi bersangkutan dikatakan mempunyai daya saing yang kuat atau negara yang bersangkutan cenderung sebagai pengekspor dari komoditi tersebut (suplai domestik lebih besar daripada permintaan domestik). Sebaliknya, daya saingnya rendah atau cenderung sebagai pengimpor (suplai domestik lebih kecil dari permintaan domestik), jika nilainya negatif dibawah 0 hingga -1. Kalau indeksnya naik berarti daya beli kecil daripada permintaan dalam negeri. Dengan kata lain, untuk komoditi tersebut pada tahap


(42)

ini negara tersebut lebih banyak mengimpor daripada mengekspor (Regimun, 2012).

Menurut “The Global Competitiveness Report 2013/2014”, pilar ke-6 adalah “Goods Market Efficiency” persaingan pasar yang sehat, baik domestik maupun internasional penting dalam mendorong efisiensi pasar, produktivitas bisnis, efisiensi perusahaan, barang yang dihasilkan sesuai permintaan pasar. Langkah dan upaya dalam mengurangi intervensi pemerintah yang dapat menghambat kegiatan dunia usaha, misalnya daya saing terhambat karena adanya distorsi pajak, peraturan yang diskriminatif terhadap investasi asing dan pembatasan kepemilikan asing. Krisis ekonomi baru-baru ini menyoroti saling ketergantungan ekonomi di seluruh dunia dan pertumbuhan tergantung pada pasar terbuka. Langkah-langkah proteksionis yang kontraproduktif mengurangi aktivitas ekonomi secara agregat. Efisiensi pasar tergantung pada kondisi permintaan, dengan alasan budaya atau sejarah akan menuntut lebih banyak persyaratan di beberapa negara dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini dapat menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) karena dapat memaksa perusahaan untuk lebih inovatif dan berorientasi konsumen, dengan demikian memaksakan disiplin yang ketat untuk mencapai efisiensi pasar (Schwab dan i-Martin, 2013).

2.4. Integrasi Pasar

Integrasi atau keterpaduan pasar merupakan salah satu indikator dari efisiensi pemasaran, khususnya efisiensi harga. Asmarantaka (2009) menyatakan bahwa integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (pasar pada tingkat yang lebih tinggi


(43)

seperti pedagang eceran) akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya (misalnya pasar di tingkat petani). Dengan demikian analisis integrasi pasar sangat erat kaitannya dengan analisis struktur pasar.

Dua tingkatan pasar dikatakan terpadu atau terintegrasi jika perubahan harga pada salah satu tingkat pasar disalurkan atau ditransfer ke pasar lain. Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransfer secara sempurna (100 persen) ke pasar pengikut, yakni di tingkat petani. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama. Analisis terhadap keterpaduan (integrasi) pasar sangat penting karena a). pengetahuan tentang integrasi pasar akan mempermudah pengawasan terhadap perubahan harga, b) digunakan untuk memperbaiki rencana kebijakan pemerintah sehingga tidak ada duplikasi intervensi, c) digunakan untuk memprediksi harga-harga di semua negara (tidak hanya pasar lokal tapi juga pasar dunia) dan d) digunakan sebagai dasar untuk merumuskan jenis infrastruktur pemasaran yang lebih relevan untuk pengembangan pasar pertanian (Fadhla, Nugroho dan Mustajab, 2008).

Goletti, Ahmed dan Farid (1995) dalam Anindita (2004) menyatakan bahwa pasar-pasar dapat terintegrasi atau tidak akan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a) infrastruktur pasar, meliputi: transportasi, komunikasi, kredit dan fasilitas penyimpanan yang ada di pasar, b) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem pemasaran, misalnya: pengetatan perdagangan, regulasi-regulasi kredit dan regulasi-regulasi transportasi, c) ketidakseimbangan produksi antar


(44)

daerah sehingga terdapat pasar surplus (hanya mengekspor ke pasar lain) dan pasar defisit (hanya mengimpor dari pasar lain) dan d) supply shock seperti banjir, kekeringan dan penyakit akan mempengaruhi kelangkaan produksi yang terlokalisasi sedangkan hal-hal tak terduga lain seperti aksi mogok akan mempersulit transfer komoditi.

Menurut Barrett dan Li (2002), integrasi pasar didefinisikan sebagai daya jual atau adanya persaingan antara pasar. Definisi ini mencakup proses keseimbangan pasar (spasial equilibrium) dimana permintaan, penawaran, dan biaya transaksi di pasar yang berbeda secara bersama-sama menentukan harga dan alur perdagangan, serta transmisi guncangan harga dari satu pasar ke pasar lain, atau kedua-duanya. Barret (2005) mendefinisikan pengertian daya jual (tradability) sebagai fakta bahwa baik yang diperdagangkan antara dua negara maupun pasar perantara tidak peduli apakah mengekspor dari satu pasar ke pasar lain. Daya jual mengisyaratkan pemindahan kelebihan permintaan dari satu pasar ke pasar lain, seperti yang terjadi dalam arus fisik aktual atau potensial. Arus perdagangan positif cukup untuk menunjukkan integrasi pasar spasial di bawah standar daya jual, meskipun harga mungkin tidak seimbang di seluruh pasar. Integrasi pasar spasial secara konseptual sebagai daya jual yang hanya konsisten dengan efisiensi pasar ketika harga seimbang di seluruh pasar saat terjadi perdagangan (Sanogo, 2008).

Pendekatan pengujian integrasi pasar spasial dapat dibagi menjadi dua kategori besar. Kategori pertama teknik menggunakan hukum satu harga untuk menguji pergerakan harga bersama dengan sempurna. Teknik ini berasumsi bahwa jika pasar terintegrasi, perubahan harga di satu pasar akan ditransmisikan


(45)

satu persatu ke pasar basis lainnya saat itu juga, misalnya, pengujian Ravallion (1986) untuk integrasi jangka pendek atau terhadap beberapa lag (integrasi jangka panjang). Teknik ini diijinkan untuk harga yang melaju secara bersama akan tetapi kurang sempurna dan memungkinkan untuk harga yang ditentukan secara bersamaan. Beberapa literatur menunjukkan beberapa indikator seperti koefisien korelasi sederhana antara kota atau wilayah, koefisien integrasi (menangkap adanya hubungan linier antara harga jangka panjang), dan parameter yang mewakili kecepatan penyesuaian harga dari berbagai pasar regional untuk keseimbangan harga. Dalam prakteknya, teknik untuk menguji pergerakan harga bersama dilakukan dengan uji Granger Causality dan Integrasi (Sanogo, 2008).

Koefisien korelasi bivariate sederhana diinterpretasikan sebagai ukuran bagaimana pergerakan harga tertutup dari komoditas pada pasar yang berbeda dan saling terhubung. Namun, metode ini tidak dapat mengukur arah integrasi harga antara dua pasar, juga tidak dapat menjelaskan pembalikan perdagangan umum dengan infrastruktur buruk (Barrett 1996a). Dalam rangka untuk memperhitungkan kritik, prosedur integrasi tersebut diatas dikembangkan untuk memungkinkan identifikasi dari kedua proses integrasi (termasuk kecepatan penyesuaian harga) dan arah antara dua pasar (uji Granger-kausalitas). Jika dalam jangka panjang menunjukkan hubungan linear yang konstan, maka kemungkinan terintegrasi (saling bergantung), atau dengan kata lain, tidak adanya segmentasi antara kedua pasar (Sanogo, 2008).

Selanjutnya Sanogo (2008) mengatakan, teknik integrasi menekankan identifikasi faktor penentu struktural integrasi pasar spasial diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan investasi yang berorientasi pengembangan pasar


(46)

komoditas. Langkah pertama dalam analisis adalah mengidentifikasi indikator integrasi pasar, misalnya harga. Langkah kedua dalam analisis ini diorientasikan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjelaskan derajat integrasi pasar. Goletti et al. (1995) berpendapat bahwa tingkat integrasi pasar merupakan hasil tindakan perdagangan itu sendiri serta lingkungan operasional yang ditentukan oleh ketersediaan transportasi dan infrastruktur telekomunikasi dan kebijakan yang mempengaruhi mekanisme transmisi harga dengan menggunakan metode regresi yang menghubungkan indikator integrasi pasar dengan variabel infrastruktur, kondisi ini ditemukan pada pasar beras di Bangladesh, dimana faktor utama yang menentukan integrasi pasar adalah transportasi (terutama jalan beraspal) dan infrastruktur telekomunikasi, jarak antara daerah, variabilitas harga, keberadaan pusat grosir di daerah yang diteliti dan adanya perbedaan geografis antara daerah.

Mempertimbangkan kemungkinan terjadinya ketidaksinambungan dan ketidaksimetrisan respon harga pasar komoditi, kategori kedua teknik analisis integrasi harga pasar spasial dengan memperkenalkan biaya transaksi dinamis sebagai unsur yang mempengaruhi hubungan perdagangan komoditi antara daerah yang berbeda. Teknik-teknik yang berbeda mempelajari hubungan perdagangan antara dua daerah, terutama menggunakan harga produk tertentu. Kerangka analisis berdasarkan pada hukum satu harga yang disesuaikan dengan biaya transaksi dan diasumsikan bahwa perdagangan spasial yang efisien dan mensyaratkan bahwa tidak ada keuntungan yang diluar batas kewajaran dalam perdagangan antara dua pasar. Dengan kata lain, bahwa hukum satu harga, disesuaikan dengan biaya transaksi dapat terpenuhi. Pendekatan ini menunjukkan


(47)

bahwa biaya transaksi menentukan batas paritas (kesenjagan harga) dimana harga komoditi homogen di dua pasar secara geografis yang berbeda dapat bervariasi secara independen (Baulch 1997; Barrett dan Li 2002). Selanjutnya, menurut Baulch (1997), ketika biaya transaksi sama dengan selisih harga antar pasar dan tidak ada hambatan dalam perdagangan antara pasar akan menyebabkan harga pada dua pasar tersebut bergerak sendiri-sendiri dan perdagangan spasial yang mengikat. Pada saat biaya transaksi melebihi selisih harga antar pasar, perdagangan tidak akan terjadi dan perdagangan spasial tidak mengikat dan saat biaya transaksi melebihi selisih harga antar pasar, menunjukkan perdagangan spasial dilanggar sehingga tidak terjadi perdagangan. Dalam hal ini, mungkin ada hambatan perdagangan yang dapat melemahkan integrasi pasar (Sanogo, 2008). 2.4.1. Beberapa Keterbatasan Teknik Integrasi Pasar

Teknik Integrasi dianggap tidak dapat diandalkan jika biaya transaksi non-stasioner (Barrett 2001; Barrett dan Li 2002; Fackler dan Goodwin 2002). Kegagalan dalam menemukan integrasi antara dua harga pasar yang konsisten dengan integrasi pasar (Barrett 1996a). Dengan kata lain, penolakan hipotesis integrasi tidak berarti kurangnya integrasi pasar, melainkan hanya mencerminkan biaya transfer nonstasioner. Kesimpulan dari beberapa studi berbasis integrasi tampaknya sebagian besar tidak setuju terhadap anggapan ini (Rasyid 2004). Tanpa ada upaya untuk mengatasi kekurangan integrasi pasar, sebagian besar peneliti menyimpulkan untuk mendukung teori integrasi pasar. Kritik kedua terhadap metode integrasi adalah tidak dapat membedakan berbagai kondisi perdagangan, seperti autarki, perdagangan yang efisien, dan kegagalan perdagangan (Sanogo, 2008).


(48)

Menurut Sanogo (2008), keterbatasan utama analisis paritas terikat adalah kurangnya rangkaian biaya transaksi. Secara umum, biaya transaksi ini dihasilkan dengan teknik ekstrapolasi yang mungkin tidak mencerminkan kecepatan penyesuaian harga bila terdapat peluang perdagangan yang menguntungkan. Selanjutnya, kerangka ini tidak memperhitungkan perdagangan timbal balik. Menurut Barrett (2005), juga tergantung pada asumsi distribusi sembarang dalam mengestimasi dan biasanya mengabaikan sifat time-series dari data, sehingga tidak memungkinkan dilakukan analisis dinamika penyesuaian antar waktu terhadap penyimpangan jangka pendek dari ekuilibrium jangka panjang, dan perbedaan potensial yang penting antara integrasi jangka pendek dan jangka panjang, seperti pendekatan harga keseimbangan. Tidak ada pendekatan tunggal terbaik yang dapat membahas semua kekurangan teknik integrasi pasar spasial. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan menghasilkan diskontinuitas dalam respon harga terhadap guncangan eksogen (Baulch, 1997; D'Angelo dan Cordano, 2005), pertama adalah adanya biaya transaksi yang relatif tinggi terhadap perbedaan harga antara dua daerah yang menentukan keberadaan pasar autarkic. Faktor kedua adalah adanya hambatan untuk menghindari risiko dan kegagalan informasi. Beberapa karakteristik pertanian, komersialisasi, dan konsumsi, seperti infrastruktur transportasi yang kurang bagus, hambatan masuk (entry barrier), dan kegagalan informasi, dapat mengatur proses perdagangan menjadi proses yang kurang bagus dari yang diasumsikan oleh model tradisional integrasi pasar.

Integrasi pasar didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut: Goletti dan Christina-Tsigas (1988) mendefinisikan integrasi pasar sebagai kondisi yang


(1)

Lampiran 4.18. Variance Decomposition Harga Beras Thailand (RITHA)

Variance Decomposition of RITHA:

Period S.E. RIDOM RIPHI RITHA RIVIE

1 264.7887 0.784440 14.83110 84.38446 0.000000 2 412.7880 2.634819 25.78471 71.54615 0.034320 3 522.4158 4.144407 31.74109 64.06473 0.049776 4 605.9439 5.335077 35.27170 59.30396 0.089267 5 671.3880 6.350298 37.54941 55.92510 0.175192 6 724.0435 7.272832 39.15189 53.26156 0.313726 7 767.4182 8.135226 40.39512 50.97209 0.497562 8 803.8927 8.946410 41.45589 48.88413 0.713569 9 835.1494 9.707468 42.42880 46.91559 0.948144 10 862.4294 10.41846 43.35920 45.03284 1.189495 11 886.6816 11.08058 44.26364 43.22754 1.428238 12 908.6485 11.69639 45.14259 41.50369 1.657338 13 928.9179 12.26943 45.98834 39.87039 1.871847 14 947.9573 12.80383 46.78981 38.33777 2.068594 15 966.1371 13.30397 47.53541 36.91475 2.245863 16 983.7502 13.77422 48.21473 35.60796 2.403089 17 1001.026 14.21878 48.81939 34.42126 2.540570 18 1018.144 14.64157 49.34343 33.35577 2.659222 19 1035.244 15.04617 49.78335 32.41012 2.760358 20 1052.431 15.43572 50.13791 31.58084 2.845523 21 1069.789 15.81293 50.40789 30.86283 2.916355 22 1087.382 16.18003 50.59570 30.24977 2.974496 23 1105.258 16.53883 50.70504 29.73461 3.021521 24 1123.456 16.89068 50.74055 29.30986 3.058898 25 1142.006 17.23659 50.70755 28.96790 3.087965 26 1160.930 17.57717 50.61172 28.70120 3.109922 27 1180.249 17.91277 50.45893 28.50247 3.125828 28 1199.978 18.24351 50.25508 28.36480 3.136611 29 1220.129 18.56931 50.00593 28.28169 3.143072 30 1240.714 18.88995 49.71703 28.24712 3.145904 31 1261.743 19.20514 49.39365 28.25552 3.145695 32 1283.222 19.51451 49.04073 28.30181 3.142949 33 1305.160 19.81771 48.66285 28.38135 3.138091 34 1327.564 20.11436 48.26425 28.48992 3.131481 35 1350.439 20.40412 47.84877 28.62370 3.123421 36 1373.792 20.68669 47.41990 28.77924 3.114169 37 1397.628 20.96183 46.98080 28.95343 3.103938 38 1421.951 21.22933 46.53430 29.14346 3.092910 39 1446.768 21.48907 46.08288 29.34681 3.081239 40 1472.084 21.74095 45.62879 29.56120 3.069055 41 1497.902 21.98494 45.17398 29.78461 3.056469 42 1524.230 22.22107 44.72016 30.01520 3.043574 43 1551.070 22.44938 44.26882 30.25135 3.030453 44 1578.430 22.66998 43.82124 30.49160 3.017176 45 1606.314 22.88300 43.37854 30.73466 3.003802 46 1634.729 23.08858 42.94165 30.97938 2.990386 47 1663.679 23.28690 42.51137 31.22475 2.976972 48 1693.170 23.47816 42.08837 31.46986 2.963603 49 1723.211 23.66256 41.67319 31.71394 2.950312 50 1753.805 23.84030 41.26628 31.95629 2.937131 51 1784.962 24.01160 40.86800 32.19632 2.924088 52 1816.687 24.17667 40.47860 32.43351 2.911206


(2)

Lanjutan Lampiran 4.18. Variance Decomposition Harga Beras Thailand (RITHA)

Variance Decomposition of RITHA:

Period S.E. RIDOM RIPHI RITHA RIVIE

53 1848.987 24.33575 40.09832 32.66743 2.898505 54 1881.872 24.48903 39.72727 32.89769 2.886004 55 1915.349 24.63673 39.36556 33.12399 2.873718 56 1949.425 24.77906 39.01323 33.34605 2.861659 57 1984.110 24.91622 38.67027 33.56367 2.849839 58 2019.413 25.04840 38.33666 33.77667 2.838266 59 2055.342 25.17579 38.01234 33.98492 2.826948 60 2091.907 25.29857 37.69722 34.18833 2.815889 61 2129.119 25.41691 37.39118 34.38681 2.805094 62 2166.986 25.53099 37.09411 34.58033 2.794565 63 2205.519 25.64097 36.80586 34.76887 2.784304 64 2244.730 25.74700 36.52627 34.95242 2.774311 65 2284.628 25.84922 36.25518 35.13101 2.764585 66 2325.225 25.94779 35.99242 35.30466 2.755126 67 2366.533 26.04284 35.73780 35.47343 2.745931 68 2408.564 26.13450 35.49114 35.63736 2.736998 69 2451.328 26.22290 35.25225 35.79652 2.728323 70 2494.839 26.30816 35.02094 35.95100 2.719902 71 2539.110 26.39039 34.79702 36.10087 2.711731 72 2584.152 26.46970 34.58028 36.24621 2.703805 73 2629.980 26.54621 34.37055 36.38711 2.696121 74 2676.606 26.62002 34.16762 36.52368 2.688673 75 2724.044 26.69122 33.97131 36.65601 2.681455 76 2772.309 26.75991 33.78143 36.78420 2.674463 77 2821.414 26.82618 33.59779 36.90835 2.667691 78 2871.374 26.89011 33.42020 37.02856 2.661133 79 2922.203 26.95181 33.24848 37.14493 2.654784 80 2973.918 27.01133 33.08247 37.25756 2.648639 81 3026.533 27.06877 32.92198 37.36656 2.642692 82 3080.064 27.12420 32.76684 37.47203 2.636938 83 3134.526 27.17768 32.61689 37.57406 2.631371 84 3189.937 27.22930 32.47196 37.67276 2.625985 85 3246.312 27.27911 32.33190 37.76822 2.620776 86 3303.669 27.32718 32.19654 37.86054 2.615739 87 3362.024 27.37358 32.06575 37.94981 2.610868 88 3421.396 27.41835 31.93936 38.03613 2.606158 89 3481.802 27.46157 31.81725 38.11958 2.601604 90 3543.259 27.50329 31.69926 38.20025 2.597201 91 3605.787 27.54355 31.58527 38.27823 2.592946 92 3669.405 27.58242 31.47514 38.35361 2.588832 93 3734.131 27.61993 31.36875 38.42646 2.584857 94 3799.984 27.65615 31.26597 38.49687 2.581014 95 3866.986 27.69110 31.16668 38.56491 2.577301 96 3935.155 27.72485 31.07077 38.63067 2.573712 97 4004.513 27.75742 30.97812 38.69421 2.570244 98 4075.080 27.78887 30.88863 38.75560 2.566894 99 4146.877 27.81923 30.80219 38.81492 2.563656 100 4219.926 27.84854 30.71869 38.87224 2.560528 101 4294.250 27.87684 30.63804 38.92762 2.557506 102 4369.870 27.90416 30.56014 38.98112 2.554586 103 4446.809 27.93053 30.48490 39.03280 2.551765 104 4525.091 27.95600 30.41223 39.08274 2.549039


(3)

Lanjutan Lampiran 4.18. Variance Decomposition Harga Beras Thailand (RITHA)

Variance Decomposition of RITHA:

Period S.E. RIDOM RIPHI RITHA RIVIE

105 4604.738 27.98058 30.34204 39.13098 2.546406 106 4685.776 28.00432 30.27424 39.17757 2.543863 107 4768.228 28.02724 30.20877 39.22259 2.541406 108 4852.120 28.04937 30.14553 39.26607 2.539033 109 4937.476 28.07073 30.08445 39.30808 2.536740 110 5024.323 28.09136 30.02546 39.34865 2.534526 111 5112.686 28.11128 29.96849 39.38784 2.532387 112 5202.593 28.13052 29.91347 39.42570 2.530320 113 5294.070 28.14909 29.86032 39.46226 2.528324 114 5387.145 28.16702 29.80900 39.49758 2.526397 115 5481.846 28.18434 29.75943 39.53170 2.524535 116 5578.201 28.20106 29.71156 39.56465 2.522736 117 5676.240 28.21721 29.66532 39.59647 2.520999 118 5775.993 28.23280 29.62067 39.62721 2.519321 119 5877.488 28.24785 29.57755 39.65690 2.517701 120 5980.758 28.26239 29.53590 39.68558 2.516135 121 6085.833 28.27643 29.49567 39.71327 2.514623 122 6192.744 28.28999 29.45682 39.74002 2.513163 123 6301.525 28.30308 29.41931 39.76586 2.511753 124 6412.208 28.31572 29.38307 39.79082 2.510391 125 6524.826 28.32793 29.34808 39.81492 2.509075 126 6639.413 28.33972 29.31428 39.83819 2.507805 127 6756.004 28.35111 29.28164 39.86068 2.506578 128 6874.635 28.36210 29.25012 39.88239 2.505392 129 6995.340 28.37272 29.21967 39.90336 2.504248 130 7118.156 28.38297 29.19027 39.92362 2.503142 131 7243.121 28.39287 29.16187 39.94318 2.502074 132 7370.272 28.40244 29.13445 39.96207 2.501043


(4)

Lampiran 4.19. Variance Decomposition Harga Beras Vietnam (RIVIE)

Variance Decomposition of RIVIE:

Period S.E. RIDOM RIPHI RITHA RIVIE

1 203.1263 1.559836 12.31416 7.004611 79.12139 2 298.7845 5.019815 12.04170 7.898147 75.04034 3 360.0471 7.276340 14.65613 7.191518 70.87601 4 404.6029 8.254737 19.26361 5.968955 66.51270 5 441.8764 8.415587 24.83223 5.016986 61.73520 6 476.0137 8.183740 30.40806 4.647469 56.76074 7 508.4442 7.826566 35.39930 4.846403 51.92773 8 539.5008 7.483542 39.56989 5.469978 47.47659 9 569.1877 7.219837 42.90333 6.362602 43.51423 10 597.4744 7.063519 45.48301 7.400719 40.05275 11 624.3832 7.024947 47.42268 8.498859 37.05352 12 649.9990 7.105518 48.83430 9.602771 34.45741 13 674.4550 7.301338 49.81625 10.68055 32.20187 14 697.9132 7.604826 50.45084 11.71520 30.22913 15 720.5468 8.005620 50.80559 12.69932 28.48947 16 742.5268 8.491311 50.93559 13.63137 26.94172 17 764.0136 9.048189 50.88582 14.51333 25.55266 18 785.1515 9.661969 50.69318 15.34908 24.29578 19 806.0670 10.31848 50.38806 16.14338 23.15008 20 826.8686 11.00423 49.99557 16.90128 22.09892 21 847.6479 11.70689 49.53645 17.62763 21.12903 22 868.4812 12.41555 49.02783 18.32689 20.22973 23 889.4318 13.12090 48.48379 19.00293 19.39238 24 910.5517 13.81527 47.91586 19.65902 18.60984 25 931.8838 14.49259 47.33339 20.29781 17.87621 26 953.4628 15.14825 46.74390 20.92134 17.18651 27 975.3171 15.77896 46.15339 21.53111 16.53654 28 997.4698 16.38256 45.56658 22.12815 15.92270 29 1019.940 16.95786 44.98712 22.71310 15.34192 30 1042.742 17.50442 44.41779 23.28628 14.79151 31 1065.889 18.02242 43.86066 23.84775 14.26917 32 1089.392 18.51250 43.31720 24.39744 13.77286 33 1113.258 18.97565 42.78845 24.93512 13.30079 34 1137.495 19.41305 42.27505 25.46053 12.85137 35 1162.109 19.82606 41.77738 25.97335 12.42320 36 1187.105 20.21611 41.29557 26.47331 12.01501 37 1212.490 20.58461 40.82959 26.96014 11.62565 38 1238.267 20.93301 40.37929 27.43363 11.25406 39 1264.443 21.26266 39.94442 27.89362 10.89930 40 1291.022 21.57487 39.52466 28.34001 10.56046 41 1318.009 21.87085 39.11963 28.77278 10.23674 42 1345.411 22.15174 38.72896 29.19195 9.927353 43 1373.232 22.41858 38.35222 29.59760 9.631593 44 1401.480 22.67234 37.98899 29.98989 9.348781 45 1430.160 22.91389 37.63885 30.36898 9.078283 46 1459.280 23.14403 37.30136 30.73511 8.819500 47 1488.847 23.36348 36.97613 31.08853 8.571864 48 1518.868 23.57290 36.66272 31.42954 8.334840 49 1549.352 23.77289 36.36075 31.75844 8.107921 50 1580.307 23.96401 36.06981 32.07555 7.890624 51 1611.741 24.14675 35.78954 32.38122 7.682495


(5)

Lanjutan Lampiran 4.19. Variance Decomposition Harga Beras Vietnam (RIVIE)

Variance Decomposition of RIVIE:

Period S.E. RIDOM RIPHI RITHA RIVIE

53 1676.083 24.48890 35.25948 32.95958 7.292028 54 1709.009 24.64912 35.00900 33.23299 7.108892 55 1742.451 24.80260 34.76774 33.49634 6.933322 56 1776.419 24.94966 34.53539 33.74998 6.764968 57 1810.922 25.09062 34.31163 33.99425 6.603496 58 1845.972 25.22578 34.09614 34.22949 6.448593 59 1881.579 25.35540 33.88862 34.45602 6.299960 60 1917.752 25.47974 33.68879 34.67415 6.157311 61 1954.504 25.59905 33.49636 34.88421 6.020379 62 1991.845 25.71356 33.31105 35.08649 5.888907 63 2029.786 25.82347 33.13260 35.28127 5.762653 64 2068.338 25.92900 32.96076 35.46885 5.641386 65 2107.514 26.03034 32.79528 35.64949 5.524888 66 2147.325 26.12767 32.63593 35.82345 5.412952 67 2187.783 26.22118 32.48246 35.99099 5.305378 68 2228.900 26.31102 32.33466 36.15234 5.201980 69 2270.689 26.39735 32.19231 36.30776 5.102579 70 2313.162 26.48033 32.05522 36.45745 5.007006 71 2356.333 26.56010 31.92317 36.60163 4.915098 72 2400.213 26.63680 31.79598 36.74052 4.826702 73 2444.817 26.71055 31.67346 36.87432 4.741671 74 2490.158 26.78148 31.55544 37.00321 4.659866 75 2536.249 26.84970 31.44175 37.12739 4.581153 76 2583.105 26.91534 31.33221 37.24704 4.505407 77 2630.739 26.97850 31.22668 37.36232 4.432506 78 2679.167 27.03927 31.12500 37.47339 4.362334 79 2728.402 27.09776 31.02703 37.58043 4.294782 80 2778.459 27.15406 30.93262 37.68357 4.229744 81 2829.355 27.20826 30.84165 37.78297 4.167120 82 2881.103 27.26044 30.75397 37.87877 4.106813 83 2933.720 27.31069 30.66948 37.97110 4.048734 84 2987.222 27.35908 30.58804 38.06009 3.992792 85 3041.624 27.40568 30.50954 38.14588 3.938906 86 3096.944 27.45057 30.43387 38.22856 3.886993 87 3153.198 27.49381 30.36094 38.30828 3.836979 88 3210.402 27.53547 30.29062 38.38512 3.788789 89 3268.575 27.57560 30.22284 38.45921 3.742352 90 3327.733 27.61428 30.15748 38.53064 3.697602 91 3387.896 27.65155 30.09447 38.59951 3.654474 92 3449.080 27.68746 30.03372 38.66591 3.612905 93 3511.304 27.72208 29.97513 38.72995 3.572838 94 3574.588 27.75545 29.91864 38.79169 3.534214 95 3638.950 27.78761 29.86417 38.85124 3.496980 96 3704.410 27.81862 29.81163 38.90867 3.461082 97 3770.987 27.84851 29.76096 38.96405 3.426472 98 3838.701 27.87733 29.71209 39.01747 3.393100 99 3907.574 27.90512 29.66496 39.06899 3.360921 100 3977.626 27.93192 29.61950 39.11869 3.329889 101 4048.878 27.95776 29.57565 39.16662 3.299964 102 4121.351 27.98268 29.53335 39.21287 3.271102 103 4195.068 28.00672 29.49255 39.25747 3.243267


(6)

Lanjutan Lampiran 4.19. Variance Decomposition Harga Beras Vietnam (RIVIE)

Variance Decomposition of RIVIE:

Period S.E. RIDOM RIPHI RITHA RIVIE

104 4270.050 28.02990 29.45318 39.30050 3.216419 105 4346.321 28.05225 29.41521 39.34202 3.190522 106 4423.903 28.07382 29.37857 39.38207 3.165542 107 4502.820 28.09462 29.34322 39.42071 3.141444 108 4583.096 28.11469 29.30912 39.45799 3.118198 109 4664.755 28.13405 29.27622 39.49397 3.095771 110 4747.821 28.15272 29.24447 39.52868 3.074134 111 4832.320 28.17074 29.21383 39.56217 3.053259 112 4918.277 28.18813 29.18427 39.59449 3.033118 113 5005.718 28.20490 29.15574 39.62567 3.013684 114 5094.670 28.22108 29.12821 39.65577 2.994932 115 5185.159 28.23670 29.10165 39.68481 2.976837 116 5277.212 28.25177 29.07601 39.71284 2.959377 117 5370.859 28.26631 29.05127 39.73989 2.942527 118 5466.126 28.28035 29.02739 39.76599 2.926266 119 5563.042 28.29389 29.00435 39.79119 2.910573 120 5661.637 28.30696 28.98211 39.81551 2.895429 121 5761.941 28.31957 28.96064 39.83898 2.880812 122 5863.984 28.33175 28.93992 39.86163 2.866705 123 5967.796 28.34350 28.91992 39.88349 2.853090 124 6073.410 28.35484 28.90062 39.90460 2.839949 125 6180.856 28.36578 28.88198 39.92497 2.827264 126 6290.167 28.37635 28.86400 39.94463 2.815021 127 6401.377 28.38655 28.84663 39.96362 2.803203 128 6514.519 28.39639 28.82987 39.98194 2.791795 129 6629.626 28.40589 28.81370 39.99963 2.780784 130 6746.735 28.41506 28.79808 40.01670 2.770154 131 6865.879 28.42392 28.78300 40.03319 2.759893 132 6987.096 28.43247 28.76845 40.04910 2.749987