37
Ratu Sepudak wafat. Di Kota Bangun inilah mereka membangun sebuah perkampungan karena tidak jauh dengan ibukota Kerajaan Sambas, Kota Lama.
Selain itu, di Kota Bangun juga dijadikan tempat untuk mengembangkan Islam yang kemudian banyak menarik rakyat untuk menganut Islam dalam waktu
singkat. Oleh karena memiliki hubungan yang baik dan menetap sudah cukup lama, Raja Tengah kemudian meminangkan anaknya Raden Sulaiman dengan
Puteri Mas Ayu Bungsu, anak kedua Ratu Sepudak yang dikabulkan oleh Ratu Anom Kesuma Yuda. Setelah disetujui, maka digelarlah pernikahan yang
menggunakan istiadat raja-raja. Selesai melangsungkan acara pernikahan anaknya, sambil beristirahat Raja Tengah ada keinginan untuk pergi berlayar ke Serawak
40
. Dengan meninggalnya Ratu Sepudak, berdasarkan wasiatnya Pangeran
Prabu Kencana dinobatkan menjadi Ratu dengan gelar Ratu Anom Kesuma Yuda. Hal ini terjadi dikarenakan Ratu Sepudak mempunyai dua orang anak yang sulung
bernama Putri Mas Ayu Anom yang dinikahkan dengan keponakannya yang bernama Pangeran Prabu Kencana yang ditetapkan sebagai pewaris tahta. Putri
Ratu Sepudak lainnya, Puteri Mas Ayu Bungsu dinikahkan dengan Raden Sulaiman
41
. Setelah satu tahun pernikahan, Raden Sulaiman dikaruniai seorang anak
laki-laki dengan nama Raden Bima. Oleh karena rasa kepercayaan terhadap adik
40
Ibid., h. 32-33.
41
Ibid., h. 34.
38
iparnya, Pangeran Aria Mangkurat
42
, Ratu Anom Kesuma Yuda mengangkatnya menjadi Wazir I, sedangkan Raden Sulaiman diangkat menjadi Wazir II. Sebagai
Wazir I, Pangeran Mangkurat bertugas untuk mengurus perbendaharaan negara serta mewakili Ratu apabila sedang melakukan kegiatan bepergian. Sedangkan,
Raden Sulaiman yang dijadikan Wazir II bertugas untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan urusan luar dan dalam negeri. Dalam melaksanakan
tugasnya, Raden Sulaiman dibantu oleh dua orang bersaudara yakni, Kyai Dipa Sari yang merupakan Penghulu Sungai Sekumba dan Kyai Satia Bakti yang
merupakan Penghulu Sungai Sahe
43
. Tradisi yang terjadi di Sambas apabila telah melaksanakan pelantikan para
menteri dan pejabat kerajaan, mereka diharuskan untuk bersumpah setia kepada Ratu. Bentuk sumpah setia mereka ialah bersedia menggoreskan leher dengan
keris pusaka, kemudian rendaman dari air keris akan dipercikkan kepada goresan tersebut. Makna dari adanya proses sumpah setia ini adalah agar tidak ada yang
bertindak durhaka dan tidak setia
44
.
1. Masa Pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda
Ratu Anom Kesuma Yuda merupakan penerus tahta Kerajaan Sambas setelah wafatnya Ratu Sepudak dan tetap mempertahankan pusat pemerintahan di
Kota Lama. Pada masa pemerintahannya, keluarga Kerajaan Sambas masih
42
Pangeran Aria Mangkurat adalah keponakan dari Ratu Sepudak, adik dari Ratu Anom Kesuma Yuda, anak dari Pangeran Condong Paseban, saudara sekandung Ratu Sepudak, ibid.,
h.34.
43
Ansar Rahman, dkk., op. cit., h. 39.
44
Ibid.
39
menganut Hindu yang tetap menggunakan tata cara pemerintahan Kerajaan Hindu. Selain itu, pada saat pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda ajaran Islam
semakin berkembang di Kerajaan Sambas. Hal ini dibuktikan dengan mulai masuk dan berkembangnya Islam di keluarga kerajaan yang dilakukan oleh Raden
Sulaiman dan menyebar sampai ke masyarakat. Dalam masa pemerintahan Ratu Anom Kesuma Yuda tidak sepenuhnya
berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena adanya pertikaian antara Raden Sulaiman dengan Pangeran Aria Mangkurat yang dilatarbelakangi oleh rasa iri
hati dari Pangeran Aria Mangkurat dalam melayani dan menghadapi rakyat. Dalam melayani dan menghadapi rakyat, Raden Sulaiman lebih diunggulkan
karena dipatuhi dan dicintai oleh rakyat. Selain itu, dalam mengembangkan ajaran Islam, Raden Sulaiman sangat giat bahkan semakin banyak rakyat yang menganut
Islam. Berbanding terbalik dengan Pangeran Aria Mangkurat yang mulai tidak dihormati oleh rakyat
45
. Faktor lain yang semakin membuat pertikaian antara Raden Sulaiman dan
Pangeran Aria Mangkurat meningkat adalah ketika Ratu Anom Kesuma Yuda mengantar upeti berupa emas urai jamur dan kerang ke Johor bersama dengan
Petinggi Tambelan menerima surat yang berisi pengaduan fitnah dari Pangeran Aria Mangkurat. Isi surat ini ialah tersiar kabar kalau Raden Sulaiman sedang
bersiap-siap untuk merebut kedudukan Ratu Sambas. Hal ini kemudian ditanggapi dengan bijaksana oleh Ratu Anom Kesuma Yuda. Selain itu, yang membuat
keadaan semakin Buruk adalah dengan tidak ditanggapi dengan serius fitnah dan
45
Ibid.
40
hasutan oleh Ratu, membuat Pangeran Aria Mangkurat membunuh Kyai Satia Bakti yang merupakan bawahan dari Raden Sulaiman karena dianggap telah
berkhianat dan mempengaruhi Ratu Anom Kesuma Yuda. Mendengar hal itu, Raden Sulaiman beserta Kyai Dipa Sari menghadap Ratu Anom Kesuma Yuda
untuk melaporkan sekaligus meminta tindakan Ratu Anom Kesuma Yuda bagi penyelesaian peristiwa ini
46
. Setelah cukup lama peristiwa itu berlangsung, tanpa adanya penyelesaian
dan tindakan dari Ratu, menyebabkan kebencian rakyat kepada Pangeran Aria Mangkurat semakin bertambah. Selain itu, dukungan dan simpati dari rakyat
terhadap Ratu Anom Kesuma Yuda juga semakin berkurang. Hal ini kemudian mempengaruhi hubungan Ratu Anom Kesuma Yuda dan Pangeran Aria
Mangkurat dengan Raden Sulaiman tidak baik. Raden Sulaiman beserta anak dan istri yang disertai Kyai Dipa Sari meninggalkan Kota Lama dan berlayar ke
daerah Kota Bangun
47
. Berita hijrahnya Raden Sulaiman di dengar oleh Petinggi Nagur, Petinggi Bantilan, dan Petinggi Segerunding. Demi keutuhan kerajaan,
mereka bertiga menghadap Raden Sulaiman meminta untuk kembali ke Kota Lama. Namun, usaha yang dilakukan mereka bertiga hanya sia-sia. Meskipun
berhasil menghubungi dan menyampaikan keadaan Raden Sulaiman kepada Ratu, akan tetapi Ratu menitahkan mereka untuk menghadap Pangeran Aria Mangkurat
yang kemudian membuat mereka dihina karena dianggap membela orang yang berdurhaka.
46
Ibid., h. 40.
47
Ibid., h. 41.
41
Sekembalinya mereka, Raden Sulaiman beserta rombongan telah meninggalkan Kota Bangun dan pergi mengarah ke Sungai Subah, yang kemudian
menetap di Kota Bandir. Di sinilah, Raden Sulaiman mendirikan pemukiman dan berkembang menjadi sebuah negeri. Hal ini kemudian mendorong rakyat yang
berada di Kota Lama sebagian besar ikut pindah ke Kota Bandir. Di Kota Bandir, masyarakat hidup aman dan tenteram di bawah kepemimpinan Raden Sulaiman.
Melihat hal ini, Ratu Anom Kesuma Yuda ingin pindah juga dari Kota Lama dengan mempersiapkan 70 buah perahu beserta menteri, hulubalang, dan rakyat
yang masih setia pindah ke Balai Pinang yang terletak di di Sungai Barangan, anak Sungai Selakau. Sebelum sampai di Balai Pinang, para Petinggi Nagur,
Petinggi Bantilan dan Petinggi Segerunding meminta Ratu Anom Kesuma Yuda untuk dipertemukan dengan keluarga Raden Sulaiman
48
. Hal ini dilakukan di Kota Bangun dengan merencanakan untuk saling bermaaf-maafan sekaligus
menyerahkan kekuasaan Sambas sebagai pengganti Kota Lama kepada Raden Sulaiman. Setelah disepakati bersama, titah yang telah diberikan Ratu Anom
Kesuma Yuda dilaksanakan oleh para Petinggi Nagur, Bantilan, dan Segerunding. Pertemuan ini kemudian berhasil dilaksanakan. Ratu Anom Kesuma Yuda dengan
para pengikutnya maupun keluarga Raden Sulaiman berpadu dalam keharuan, mereka saling menangis dan berpelukan
49
. Pada kesempatan ini, Ratu Anom Kesuma Yuda mengakui dan merestui
berdirinya Kota Bandir dan merelakan rakyat yang telah berpindah ke kota ini. Selain itu, Ratu Anom Kesuma Yuda juga menyerahkan pemerintahan dan negeri
48
Ibid., h. 42.
49
Ibid., h. 42.
42
Sambas kepada Raden Sulaiman dan istri. Dengan rasa hormat, Ratu Anom Kesuma Yuda memberi nasihat kepada Raden Sulaiman dan memberikan dua
pasang meriang beserta dua pasang Lela dengan amunisinya. Setelah selesai melakukan serah terima, Raden Sulaiman dan istrinya Mas Ayu Bungsu
berpamitan pulang ke Kota Bandar. Ratu Anom Kesuma Yuda dan istrinya Mas Ayu Anom berpamitan sekaligus melanjutkan perjalanan ke arah muara sungai
Selakau dan berhenti di muara sungai Barangan. Di tempat inilah Ratu Anom Kesuma Yuda membangun istana, rumah, benteng kubu, dan parit-parit yang
kemudian daerah ini diberi nama negeri Balai Pinang. Di Balai Pinang ini, Ratu Anom Kesuma Yuda dan istrinya, bersama Pangeran Aria Mangkurat, serta para
pengikutnya menghabiskan sisa hidup
50
.
2. Perkembangan Islam Masa Raden Sulaiman
Setelah mendapatkan negeri dan pemerintahan Sambas melalui upacara serah terima yang dilakukan oleh Ratu Anom Kesuma Yuda, Raden Sulaiman
kemudian pindah dari Kota Bandir ke daerah Lubuk Madung. Di daerah Lubuk Madung inilah pada tanggal 9 Juli 1631, Raden Sulaiman dinobatkan sebagai
Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Lubuk Madung merupakan suatu daerah di sebelah hulu sungai Teberau, anak sungai dari sungai
Sambas Kecil simpang kanan yang di bagian hilirnya terdapat sebuah desa yang bernama Lubuk Lega. Selain itu, saudara-saudaranya seperti Raden Badaruddin
50
Ibid., h. 42-43.
43
diangkat menjadi Pangeran Bendahara Seri Maharaja, serta Raden Abdulwahab diangkat menjadi Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma
51
. Masa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin I berlangsung cukup
lama. Ia memerintahkan roda pemerintahan dengan sangat baik dan teratur membuat masyarakat hidup sejahtera serta tidak ada lagi sengketa keluarga karena
pusat pemerintahan telah menjadi satu. Perkembangan Islam pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin I juga mengalami perkembangan
yang cukup cepat. Hal ini kemudian diteruskan oleh anaknya, Raden Bima dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin yang membuat pengaruh Islam sangat
menonjol dan berkembang dengan pesat di Kesultanan Sambas. Sebagai bentuk silaturahmi, Sultan Muhammad Syafiuddin I mengirim putra
sulungnya, Raden Bima ke Matan untuk menjumpai kerabat dari pihak ibunya. Kedatangan Raden Bima ke Matan disambut langsung oleh Sultan Muhammad
Zainuddin dengan melakukan upacara penyambutan secara besar-besaran yang diikuti oleh para Menteri, hulubalang, dan semua lapisan masyarakat Kesultanan
Matan. Acara penyambutan ini dilaksanakan di istana Kesultanan Matan dengan menampilkan berbagai macam kesenian selama tujuh hari dan tujuh malam.
Perayaan puncaknya ialah dilakukan upacara pernikahan antara Raden Bima dengan Puteri Indra Kesuma, adik bungsu dari Sultan Muhammad Zainuddin.
Setelah setahun lebih tinggal di Matan, Raden Bima dikaruniai seorang putra yang diberi nama Raden Melia, sekaligus meminta izin dan restu untuk kembali ke
Sambas. Mendapat izin dan restu dari Sultan Muhammad Zainuddin, Raden Bima
51
Ibid.
44
beserta anak dan istri kembali ke Sambas. Mendengar hal ini, Sultan Muhammad Syafiuddin I beserta rakyatnya menyambut dengan mengelu-elukan mereka,
kemudian menabur beras kuning serta di tepung tawari, sebagaimana adat kesultanan Sambas
52
. Berada tidak lama di Sambas, Raden Bima dititahkan oleh Sultan
Muhammad Syafiuddin I untuk mengunjungi keluarganya di Brunei. Berangkat menggunakan tiga buah perahu, Raden Bima berangkat mengunjungi Sultan
Brunei di daerah Kelaka. Melihat hal itu, Sultan Muhyiddin menyambut Raden Bima dengan Upacara Perarakan di Pasir Perarakan daerah Ujung Sapoh, Kuala
Brunei, sekaligus menobatkan Raden Bima menjadi Sultan dengan gelar Sultan Anom di istana Sultan Brunei. Dengan dilantiknya Raden Bima menjadi Sultan
Anom, Sultan Brunei memberikan hadiah alat-alat kebesaran kerajaan regalia
53
berupa payung ubur-ubur, payung keemasan, tombak canggah, tombak bertatah emas, keris, tempat dian, puan keemasan, gendang nobat, nekara, gong kromong,
serunai nafiri, dan gambang yang lengkap dengan para pemainnya
54
. Setelah mendapat persetujuan dari Sultan Muhyiddin, Raden Bima meminta
diri untuk kembali ke Sambas. Selain alat-alat kebesaran kerajaan yang diperoleh dari Sultan Muhyiddin, terdapat alat-alat kebesaran kerajaan yang diwariskan oleh
Ratu Sepudak yang terdiri dari sebuah meriam kecil berbentuk pendek gemuk yang tidak memiliki buntut dengan nama Raden Mas, sebuah meriam kecil lagi
52
Ibid., h. 44.
53
Regalia adalah alat-alat kebesaran kerajaan yang diberikan sebagai hadiah dan acap kali dijadikan pusaka kerajaan. Alat-alat ini hanya digunakan dalam upacara yang dianggap penting.
54
Ansar Rahman, dkk, op. cit., h. 45.
45
yang tidak memiliki buntut dengan nama Raden Kajang, dan sebuah meriam kecil berbentuk panjang bernama Raden Sambir. Benda-benda kebesaran kerajaan ini
merupakan pusaka kesultanan dan hanya dikeluarkan bila ada upacara penting. Setibanya Raden Bima di Sambas yang telah dinobatkan oleh Sultan
Muhyiddin dengan gelar Sultan Anom, dengan persetujuan Wazir, para Menteri, dan Panglima Hulubalang, Raden Bima diangkat menjadi Sultan Sambas dengan
gelar Sultan Muhammad Tajuddin yang merupakan Sultan Sambas ke-2. Sultan Muhammad Syafiuddin I yang telah menyerahkan jabatannya kepada anaknya,
Sultan Muhammad Tajuddin, dilantik menjadi Yang Dipertuan Kesultanan Sambas. Dengan pemerintahan yang baru, Sultan Muhammad Tajuddin dengan
menganut Islam yang sangat taat dan memiliki gagasan-gagasan baru memadukan keduanya untuk memajukan Kesultanan Sambas
55
. Ia berpendapat untuk memindahkan ibukota pusat pemerintahan yang pada waktu itu dirasa kurang
cocok untuk mendirikan sebuah Istana dan Kesultanan. Setelah melakukan perundingan dengan ayahnya, Yang Dipertuan Kesultanan Sambas, Wazir, dan
para Menteri, ibukota Sambas dipindahkan dari Lubuk Madung ke Muara Ulakan, yakni di pertemuan tiga anak sungai, sungai Sambas Kecil, sungai Subah, dan
sungai Teberau
56
. Setelah menyerahkan pemerintahan Kesultanan Sambas kepada Raden Bima
dan semakin bertambah tua, Sultan Muhammad Syafiuddin I, dengan gelar
55
Ibid., h. 46.
56
Ibid., h. 46-47.
46
terakhir Yang Dipertuan Kesultanan Sambas wafat pada 10 Muharam 1080 H, bertepatan pada hari Jumat tanggal 9 Juni 1669
57
.
57
Ibid.
47
BAB III SAMBAS SESUDAH ISLAM MASUK
A. Kesultanan Sambas
Masuk dan berkembangnya Islam di Sambas tidak terlepas dari adanya peran penting para agen akulturasi yakni para pedagang dari Arab, Gujarat,
Brunei, dan Banjar yang telah menganut Islam membawa Islam masuk baik melalui jalur laut maupun jalur darat dengan cara berdagang serta adanya
pernikahan campuran baik dengan masyarakat lokal maupun kaum bangsawan kerajaan. Selain itu, pengaruh dari Raja Tengah yang melakukan pengembangan
ajaran Islam di Sambas semakin membuat Islam diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan baik para pedagang maupun Raja Tengah
melakukan proses integrasi yang kemudian menghasilkan akulturasi dengan masyarakat Sambas. Puncaknya Ratu Anom Kesuma Yuda yang merupakan raja
terakhir kerajaan Hindu Sambas menyerahkan pemerintahan dan negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istri
58
. Proses masuknya Islam di Sambas tidak berbeda jauh dengan terjadinya
proses masuknya Hindu. Islam mulai masuk ke Sambas pada abad ke-14 M, kemudian tumbuh dan berkembang pada tahun 1600. Masuknya Hindu maupun
Islam di Sambas dapat diterima oleh masyarakat Sambas dikarenakan keduanya mau melakukan proses integrasi terlebih dahulu dengan budaya masyarakat
Sambas. Terlepas dari proses itu, terdapat anggapan jika budaya lokal yang masih
58
Ansar Rahman, dkk, Kabupaten Sambas – Sejarah Kesultanan dan Pemerintah Daerah.
Pontianak: Taurus-Semar Karya, 2001, h. 42-43.
48
dipegang teguh oleh suku Dayak dan masyarakat Hindu sulit berintegrasi dengan Islam. Seiring berjalannya waktu, anggapan tersebut hilang setelah Islam semakin
berkembang dan menjadi pedoman bagi berjalannya proses pemerintahan dari Kesultanan Sambas. Dengan adanya proses integrasi dan akulturasi yang
dilakukan oleh Islam, secara perlahan masyarakat Sambas mulai memeluk Islam dan meninggalkan tradisi Hindu. Selain itu, masyarakat suku Dayak secara
perlahan mulai bisa menerima Islam dalam lingkungan masyarakat mereka yang sangat berbeda.
Islam masuk ke Sambas pada mulanya tidak langsung diterima oleh masyarakat. Diperlukan kurun waktu yang cukup lama agar dapat diterima oleh
masyarakat hingga menjadi sebuah Kesultanan. Apalagi pada waktu itu Sambas masih dalam bentuk sebuah Kerajaan Hindu yang dipimpin oleh seorang Ratu.
Islam mulai masuk dan berkembang di daerah Kerajaan setelah Raja Tengah yang berasal dari Brunei menikah dengan adik dari Sultan Matan yang kemudian
tinggal di Sambas
59
. Perkembangan Islam di Sambas semakin luas setelah anak dari Raja Tengah, yakni Raden Sulaiman dengan gelar Sultan Muhammad
Syafiuddin I, Sultan Sambas pertama ikut mengajarkan ajaran Islam kepada segenap keluarga dan kerabat Kesultanan Sambas. Dari langkah inilah, kemudian
mulai banyak masyarakat ikut tertarik dan Islam semakin berkembang di Sambas. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin I terdapat banyak
perubahan dalam struktur pemerintahan Kesultanan, dimana pada masa ini merupakan tahap awal dari penggunaan sistem birokrasi Islam di Kesultanan
59
Ibid., h. 32.
49
Sambas. Setelah secara resmi menjabat sebagai Sultan di Sambas, Sultan Muhammad Syafiuddin I semakin menggiatkan pengembangan ajaran Islam.
Selain itu, dalam pemerintahannya, Sultan Muhammad Syafiuddin I telah menetapkan tata cara pemilihan Sultan, yakni:
1. Pengganti Sultan selanjutnya ditunjuk atau berasal dari keturunan Sultan
yang sedang bertahta, kemudian dipilih oleh kaum kerabat istana. 2.
Setelah dipilih dan ditetapkan, kemudian diumumkan ke seluruh negeri supaya diakui sebagai Sultan yang baru.
Setelah itu, setiap akan menobatkan seorang Sultan, akan diangkat juga para Wazir beserta menteri-menteri. Dalam melaksanakan tugasnya, terdapat falsafah
rakyat Sambas yakni, aur bergantung ke tebing, tebing bergantung ke aur. Artinya Sultan untuk rakyat dan rakyat untuk Sultan
60
. Sifat-sifat asli ini dalam perjalanan Kesultanan dan adat istiadat Sambas telah dilakukan secara turun-
temurun. Selain itu, dalam upacara penobatan Sultan, Wazir, Menteri, Pangeran, acara perkawinan dan kematian benda pusaka digunakan dengan ketentuan:
a. Pada acara pelantikan Sultan dilengkapi dengan payung kuning, tombak
canggah sebanyak 12 buah. Sedangkan pada acara perkawinan dan kematian dilengkapi dengan payung kuning dan tombak canggah
sebanyak 8 buah. b.
Pada acara pelantikan Wazir, Menteri, dan Pangeran dilengkapi dengan payung kuning, tombak canggah sebanyak 8 buah. Sedangkan pada acara
perkawinan atau kematian dilengkapi dengan 6 buah tombak canggah.
60
Ibid., h. 46.
50
c. Pada acara pelantikan Uray menjadi Raden dilengkapi dengan payung
kuning, tombak canggah sebanyak 4 buah. Sedangkan pada acara pernikahan atau kematian 2 buah tombak canggah
61
. Tata cara yang telah dilakukan oleh Sultan Muhammad Syafiuddin I di atas
merupakan salah satu wujud untuk melestarikan historiografi dan menata Kesultanan Sambas. Dengan hadirnya Sultan Muhammad Syafiuddin I sebagai
Sultan pertama Sambas, sistem atau tatanan pemerintahan yang pada awalnya menggunakan sistem Hindu kini menjadi sistem pemerintahan Islam. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin I menjadi titik balik dari berjayanya Kesultanan Sambas. Hal ini ditandai dengan didirikannya sebuah kota dan sarana
untuk mengajarkan Islam di Kota Bandir, sebelum pada akhirnya dipindahkan oleh Sultan Muhammad Tajuddin ke Muara Ulakan.
Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan raja pertama di Kerajaan Islam Sambas yang menggunakan gelar Sultan. Gelar ini kemudian diteruskan sampai
Sultan Sambas ke-15. Sultan Muhammad Syafiuddin I merupakan orang yang pertama menerapkan tata pemerintahan yang berlandaskan Islam di Kesultanan
Sambas. Meskipun pada pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin, Kesultanan Sambas semakin mengalami kemajuan baik dalam hal ekonomi maupun agama.
Di mana disetiap desa didirikan surau dan tempat pengajian untuk memperdalam Islam.
Pada awal masa pemerintahan Sultan Muhammad Syafiuddin I tidak diketahui secara pasti apakah pernah mendirikan sebuah masjid di sekitar
61
Ibid., h. 46.
51
Kesultanan yang pada waktu itu masih berada di daerah Lubuk Madung, atau hanya menganjurkan kepada masyarakat untuk mendirikan masjid dan surau.
Namun, pada proses penyebaran Islam di Sambas pada akhir abad ke-16 M yang terletak di Kota Bangun telah didirikan sebuah masjid oleh ulama dari
Semenanjung dan Sumatera. Barulah pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin, Sultan Umar Akamuddin I, dan Sultan Muhammad Syafiuddin II
diketahui bahwa mereka telah mendirikan masjid dan semakin mengembangkan ajaran-ajaran Islam di Kesultanan Sambas.
Para Sultan Sambas yang dimulai dari Sultan Muhammad Syafiuddin I sampai wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, selama 312 tahun
telah mengembangkan Islam. Selain mendirikan Istana Kesultanan, para Sultan juga mendirikan masjid dan menganjurkan kepada masyarakat untuk membangun
surau dan masjid di setiap perkampungan. Masjid Sambas pertama diperkirakan didirikan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Tajuddin dengan bentuk
yang sederhana. Masjid ini memiliki mimbar antik untuk seorang khatib berkhotbah yang terbuat dari kayu berwarna merah dengan ukiran berwarna emas
diberikan oleh para pelaut dan pedagang yang berasal dari Palembang. Di dalam masjid terdapat sebuah bandi atau bejana keramik yang digunakan untuk
menampung air untuk wudhu hadiah dari Sultan Brunei, Sultan Muhyiddin kepada Sultan Muhammad Tajuddin atas pelantikannya sebagai Sultan Anom
62
. Kemudian di bagian luar atas migrab masjid tergantung ayat suci Al-Quran yang
berbunyi: “Innama Yagmuru Masajidillahu Man Ammana Billah Wal Yaumil
62
Ibid., h. 88.
52
Akhir ”. Hanya orang-orang yang memakmurkan masjid Allah adalah orang-orang
yang beriman dengan Allah dan hari yang akhir. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Umar Akamuddin I yang
disebut oleh rakyat Sambas sebagai Marhum Adil karena memerintah dengan adil, mendirikan sebuah masjid baru untuk menggantikan masjid yang lama. Nama
masjid ini ialah Kamasallaita yang merupakan masjid kedua yang pernah dibangun di Kesultanan Sambas. Dalam pemerintahan Sultan ke-13, Sultan