1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi
istilah.
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak perilaku remaja yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Tentu saja hal ini semakin mencoreng wajah pendidikan di
Indonesia. Salah satu contoh nyata yang sering terjadi adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh siswa. Tindakan kekerasan ini tidak jarang dilakukan
oleh siswa secara berkelompok atau sering disebut dengan tawuran. Menurut data KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia jumlah kekerasan antar
siswa setiap tahun bertambah pesat. Data tahun 2013 menunjukkan jumlah kekerasan terjadi 255 kasus yang menewaskan 20 siswa di seluruh Indonesia.
Data ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2012 yang mencapai 147 kasus dengan jumlah korban tewas mencapai 17 siswa. Sedangkan pada
tahun 2014 KPAI menerima 2737 kasus atau 210 kasus setiap bulannya, termasuk kasus kekerasan dengan pelaku anak-anak yang naik mencapai 10.
KPAI memprediksi pada tahun 2015 angka kekerasan dengan pelaku anak- anak termasuk tawuran antar siswa akan meningkat sekitar 12 sampai 18.
www.indonesianreview.com.
Kabupaten Sleman ternyata menyumbang beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa. Salah satu kasus yang terjadi di kabupaten Sleman
adalah terjadinya aksi tawuran yang dilakukan oleh siswa yang terjadi di
2
daerah Tempel. Kasus ini melibatkan hampir 22 siswa dalam aksi tawuran tersebut, dan terdapat 2 korban tewas setelah aksi tawuran itu berlangsung.
www.jogja.tribunnews.com.
Dua contoh permasalahan di atas tentu perlu menjadi perhatian bersama. Siswa kurang mempunyai karakter yang baik dalam bergaul maupun
bersosialisasi dengan siswa lainnya. Ada dua faktor yang menyebabkan pelajar melakukan tawuran, yaitu faktor eksternal seperti pergaulan, teman
sebaya, dan orang dewasa disekitarnya dan faktor internal seperti motivasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu upaya bersama, baik dari
sekolah, orang tua, lingkungan maupun siswa itu sendiri untuk mencegah
terjadinya tawuran antar siswa.
Merujuk pada dua permasalahan di atas, Buchori 2007 mempertanyakan, apa yang salah dengan pendidikan karakter kita?
“pendidikan watak” diformulasikan menjadi pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program utamanya ialah
pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Padahal pendidikan karakter seharusnya membawa siswa ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan
nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahannya adalah pendidikan karakter di sekolah. Khususnya di SMP
di seluruh tanah air selama ini baru menyentuh pada tingkat pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkat internalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari Suyanto, 2011:8.
3
Peningkatan Karakter remaja sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterima dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Sekolah merupakan lembaga
yang berperan penting selain keluarga, yang memberikan andil besar dalam meningkatnya karakter siswa. Guru di sekolah memiliki peran yang strategis
dalam meningkatkan karakter anak karena guru mengambil sebagian peran
orang tua untuk menyampaikan pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap.
Sebenarnya pendidikan karakter terintegrasi sudah dilaksanakan sejak tahun 2010 hingga saat ini, namun hasilnya belum optimal dan masih
menemui banyak hambatan. Kebijakan dalam memosisikan guru mata pelajaran sebagai “pengajar karakter” siswa di SMP tanpa melibatkan peran
konselor sekolah saat ini masih harus terpaksa diterima sebagai realitas Barus, 2015. Guru pelajaran yang menanamkan nilai karakter berhenti pada
tataran kognitif dengan metode ceramah. Oleh karena itu, mengoptimalkan peran konselor sekolah sebagai pembentuk karakter siswa adalah sebuah
keharusan.
Kegiatan peningkatan karakter di sekolah merupakan salah satu kegiatan yang penting bagi siswa. Selama di sekolah, siswa tidak hanya
mengembangkan kemampuan kognitif saja tetapi juga diharapkan mampu meningkatkan karakternya agar lebih matang dalam pergaulannya. Pendidikan
karakter menuntut siswa untuk malu ketika tidak bisa mendengarkan pendapat orang lain, ketika tidak bisa mengantri saat membeli makanan, ketika tidak
bisa menerima keadaan dirinya, dan lain sebagainya. Selain harus memiliki
4
kecerdasan intelektual, siswa juga harus memiliki kematangan karakter untuk menjalin relasi positif dengan teman sebayanya.
Sekolah Menengah Pertama SMP Santo Aloysius Turi merupakan salah satu sekolah menengah pertama swasta di Sleman yang mempunyai
kegiatan apel pagi yang wajib diikuti oleh siswa setiap harinya. Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan karakter pada siswa. Keikutsertaan siswa dalam
kegiatan apel pagi ini dapat membuat siswa lebih berkarakter. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti setelah
melakukan kegiatan magang 2 BK selama 16 kali pertemuan di SMP Aloysius Turi, siswa nampak kurang berminat mengikuti kegiatan apel pagi. Hal
tersebut terlihat ketika siswa menunjukkan perilaku yang tidak baik seperti, tidak memperhatikan guru yang sedang bertugas menjadi pembicara, berbicara
dengan siswa lainnya, membuat kegaduhan dengan mengganggu temannya, diam karena takut dimarahi, tidak aktif untuk bertanya, dan lain sebagainya.
Peneliti juga sempat berbagi informasi dengan guru BK SMP Santo Aloysius Turi mengenai perilaku siswa di sekolah. Ada banyak wujud
perilaku siswa yang mencerminkan rendahnya karakter bersahabat di sekolah tersebut. Diantaranya ketika kegiatan belajar mengajar, didapati siswa yang
mengganggu temannya belajar, mengganggu temannya saat melakukan kegiatan rekoleksi, menghina guru mata pelajaran, mencuri barang milik
temannya yang tinggal di asrama, membatasi diri dengan teman-temannya, dan lain sebagainya.
5
Banyak metode yang sudah diterapkan dalam upaya meningkatkan minat siswa dalam mengikuti kegiatan peningkatan karaker di sekolah.
Metode-metode tersebut diantaranya menyampaikan materi melalui berbagai permainan yang menarik, menonton film singkat, mengajak
sha ring,
membacakan cerita, bahkan juga dengan memberikan
punishment
. Namun, penggunaan metode-metode tersebut belum menunjukkan hasil yang
signifikan untuk meningkatkan minat siswa mengikuti kegiatan peningkatan karakter.
Agar karakter bersahabat meningkat, peneliti memberikan materi melalui layanan bimbingan klasikal. Melalui bimbingan klasikal, peneliti
berharap perilaku siswa SMP Aloysius Turi yang salah suai menjadi suai. Peningkatan karakter melalui layanan bimbingan sangat efektif, mengingat
dengan layanan bimbingan klasikal, siswa yang dilayani tidak hanya satu pribadi, melainkan kumpulan pribadi yang ada pada satu kelas.
Pendekatan yang lebih efektif dapat diterapkan dalam layanan bimbingan klasikal, diantaranya melalui metode belajar dari pengalaman atau
experiential learning
. Selain menjadi kegiatan yang menyenangkan dan berbeda dari yang biasanya, pendekatan
experiential learnig
mempunyai banyak kekuatan, diantaranya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif. Lebih lanjut, Hamalik 2001 menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan pengalaman memberi
seperangkat atau serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru Hamalik,2001. Cara ini
6
mengarahkan siswa untuk mendapatkan pengalaman lebih banyak melalui keterlibatan secara aktif dan personal, dibandingkan jika siswa hanya
membaca suatu materi atau konsep. Belajar berdasarkan pengalaman lebih terpusat pada pengalaman belajar siswa yang bersifat terbuka dan siswa
mampu membimbing dirinya sendiri. Layanan bimbingan kelas dengan pendekatan
experiential learning
dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, peneliti mengaplikasikan tiga topik yang memuat nilai-nilai mengenai karakter
bersahabat. Tiga topik tersebut yaitu: Aku Berharga, Menghargai Orang lain, dan Gaul
it’s Oke .
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian tindakan bimbingan klasikal mengenai
“ Peningkatan Karakter Bersahabat
Melalui Layanan Bimbingan Klasikal dengan Menggunakan Pendekatan
Experiential Learning
pada Siswa Kelas VII B SMP Santo Aloysius Turi Tahun Ajaran
2015 2016”. B.
Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut:
1. Jumlah kekerasan antar siswa setiap tahun bertambah pesat.
2. Kabupaten Sleman ternyata menyumbang beberapa kasus kekerasan yang
dilakukan oleh siswa. 3.
Siswa kurang mempunyai karakter yang baik dalam bergaul maupun bersosialisasi.
7
4. Pengenalan nilai-nilai karakter masih sebatas pada tataran kognitif.
5. Pendidikan karakter di SMP seluruh tanah air selama ini baru menyentuh
pada tingkat pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkat internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
6. Guru pelajaran yang menanamkan nilai karakter masih sebetas pada
tataran kognitif dengan metode ceramah. 7.
Beberapa siswa SMP Aloysius Turi kurang memiliki karakter bersahabat. 8.
Program sekolah apel pagi di SMP Aloysius Turi belum berjalan efektif karena siswa kurang berminat mengikuti kegiatan.
9. Siswa berperilaku kurang baik saat melakukan kegitan apel pagi.
10. Ditemukan perilaku siswa yang belum menunjukkan karakter bersahabat.
11. Banyak metode yang diterapkan sekolah guna meningkatkan karakter
siswa, namun metode-metode tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan.
12. Belum ada penelitian terkait peningkatan karakter bersahabat di SMP
Aloysius Turi. 13.
Belum pernah diterapkn pendidikan karakter berbasis layanan bimbingan klasikal dengan pendekatan
experiential learning
di SMP Aloysius Turi.
C. Pembatasan Masalah