commit to user
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil temuan penelitian di atas, maka dapat dikemukakan teori yang didapat dari hasil temuan penelitian, yaitu proses pembelajaran yang
sesuai dengan ketententuan dan teori yang ada, meliputi input peserta didik santri, tenaga pengajar ustadz yang kompeten dari segala disiplin keilmuan
dengan karakteristik yang bisa untuk dijadikan suritauladan, jenis kurikulum, modelstrategi pembelajaran berikut dengan media pembelajaran yang beraneka
ragam dan lingkungan yang kondusif, serta diiringi dengan binaan seorang mudir kepala pon-pes yang memegang peran paling puncak di dalam pondok
pesantren, maka interaksi dari semua yang tersebut di atas telah mampu menuaikan sejumlah internalisasi nilai aqidah yang tinggi pada jiwa para santri.
Pembahasan hasil penelitian akan memfokuskan tentang aspek-aspek yang mempengaruhi penemuan teori yang telah dikemukakan pada penelitian ini.
Aspek pertama adalah karakteristik tiga komponen besar dalam sebuah pondok pesantren, terdiri dari mudir, ustadz dan santri. Kedua ialah proses pembelajaran
aqidah yang ada berikut dengan hal-hal yang berkaitan, dan terakhir adalah penjelasan dari internalisasi nilai aqidah pada santri maupun alumni dari Pondok
Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga. 1.
Karakteristik Mudir, Ustadz dan Santri di Al-Irsyad Salatiga Keberadaan mudir atau kepala pesantren memiliki peran penting
dalam pengembangan proses dan mutu pembelajaran. Pesantren Al-Irsyad Salatiga mempunyai seorang mudir yang membawahi sejumlah kepala
commit to user
sekolah di setiap jenjang pendidikan yang ada, sekaligus juga membawahi beberapa kabag dari semua elemen penting pondok pesantren. Untuk
perkembangan proses dan mutu pembelajaran, seorang mudir harus berhati-hati dalam memilih tenaga pengajar, khususnya di bidang studi
aqidah, ,mengingat begitu banyak orang yang mengaku ahli agama tetapi serampangan di dalam mengamalkan. Sebagai sosok yang paling disegani
mudir juga berpera penting di dalam meng-internalisasi nilai aqidah kepada para santri, yakni dengan perangai dan
akhlakul karimah, sehingga mampu memberi kesan seorang suritauladan bagi santri. Meski seorang
mudir tidak mendapat amanah mengajar di kelas dalam bidang studi tauhid, bukan berarti tidak mampu menerangkan materi aqidah kepada
setiap santri. Pengajian aqidah di masjid dan radio adalah salah satu model pembelajaran aqidah baik dari sosok mudir pesantren Al-Irsyad Salatiga.
Dalam peranannya di pesantren sebagaimana tersebut di atas sesuai dengan pendapat Abdur Rozaki 2004:87-88 yakni Kepemimpinan kiai di
pesantren memegang teguh nilai-nilai luhur yang menjadi acuannya dalam bersikap, bertindak dan mengembangkan pesantren. Nilai-nilai luhur
menjadi keyakinan kiai dalam hidupnya. Sehingga apabila dalam memimpin pesantren bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai luhur
yang diyakininya, langsung maupun tidak langsung kepercayaan masyarakat terhadap kiai atau pesantren akan pudar. Karena sesungguhnya
nilai-nilai luhur yang diyakini kiai atau umat Islam menjadi ruh kekuatan yang diyakini merupakan anugrah dan rahmat dari Allah.
commit to user
Di dalam membantu mewujudkan visi dan misi pon-pes seorang mudir dibantu oleh tenaga pengajar yang bergelar ustadz, berlatar
belakang keilmuwan yang berbeda. Termasuk ciri dari ustadz bidang studi aqidah tauhid ialah yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi jurusan
Aqidah atau Syari`ah dari Islamic University Of Medina, KSA. Bahkan salah satu ustadz aqidah asli orang Arab yang diperbantukan Kerajaan
Saudi Arabia khusus mengajar di pondok pesantren Al-Irsyad Salatiga. Segenap santri merasa senang dengan adanya tenaga-tenaga pengajar
tersebut, karena selain profesional dalam bidang aqidah, figur keseharian para ustadz juga dijadikan patokan pembentukan kepribadian terpuji dalam
kehidupan sehari-hari. Selain karena banyaknya hafalan qur’an yang dimiliki oleh ustadz berikut dengan ilmu-ilmu agama yang diserap dengan
baik, ternyata pihak pesantren juga menyusun ketentuan kode etik mengajar, dengan tujuan agar interaksi pembelajaran terwujud dengan
baik, khususnya mata pelajaran aqidah sehingga mampu memunculkan internalisasi nilai aqidah pada jiwa para santri.
Penjelasan diatas sesuai dengan karakteristik ustadz yang tersebut di kajian teori bahwasanya karakteristik ustadz tidak lepas dari beberapa
poin berikut yang diadopsi dari Imam Moedjiono 2002:6167 yaitu: a. Bepengetahuan luas, kreatif inisiatif, peka, lapang dada dan selalu
tanggap QS. Al-Mujadalah: 11. b. Bertindak adil, jujur dan konsekuen, merujuk pada al-Quran Surat An-
Nissa: 58.
commit to user
c. Bertanggung jawab QS. Al-Anam:164. d. Selektif terhadap informasi QS. Al-Hujurat:16.
e. Senantiasa memberikan peringatan QS. Adz-Dzariyat:55. f. Mampu memberikan petunjuk dan pengarahan QS.As-Sajadah:24
g. Suka bermusyawarah QS. Ali Imran:159. h. Istiqamah dan teguh pendirian QS. Al-Ahqaf:13.
i. Senang berbuat kebaikan QS. Al-Baqarah:195. j. Selalu berkeinginan meringankan beban orang lain, lembut terhadap
orang mukmin QS. At-Taubah:128. k. Kreatif dan tawakal QS. Al-Qashash:77.
l. Mempunyai semangat kompetitif QS. Al-Baqarah:148. m. Estetik, berkepribadian baik dan berpenampilan rapih QS. Al-
Araf:31. n. Selalu harmonis dan proporsional dalam bertindak QS. Al-
Baqarah:190. o. Disiplin dan produktif QS. Al-Ashr.
Komponen yang terakhir dan terbanyak di pondok pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga adalah santri yang kesemuanya berjenis kelamin laki-
laki dan datang dari berbagai daerah Indonesia dan manca negara. Berlatar belakang suku, ras, bahasa dan bahkan kewarganegaraan berbeda
menjadikan para santri memiliki karakter yang bermacam-macam. Namun terdapati kesamaan dari semua santri ketika melaksanakan segenap
programkegiatan kepesantrenan, terlebih kegiatan yang bernilai ibadah.
commit to user
Selain itu juga kebiasaan santri yang memiliki sosialisasi tinggi terhadap sesama, terbukti dengan ikhlas mendakwahkan ilmu guna memberantas
kejahilan di masyarakat dengan penuh rasa ikhlas. Karakter lainnya adalah kuat dan kokoh dalam beraqidah dan
bermanhaj multazim. Terbukti dengan satu kata dan tekad untuk senantiasa memurnikan aqidah dari
segala macam bentuk kesyirikan dan pelaku syirik. Internalisasi nilai seperti ini tidak hanya dimiliki oleh santri yang tinggal di pesantren Al-
Irsyad saja, akan tetapi juga “masih” dimiliki oleh segenap alumni yang telah meninggalkan pesantren Al-Irsyad Salatiga. Segenap santri Al-Irsyad
Salatiga senantiasa berdomisili di asrama sakan dengan niat menuntut ilmu dengan pembinaan para ustadz dan berusaha semaksimal mungkin
untuk menjalankan ilmu yang didapat dalam bentuk ibadah secara sempurna.
Penemuan ini mendapatkan kesamaan dengan yang ada di kajian teori bab II bahwa santri secara sempit santri berarti murid atau siswa
yang sedang belajar ilmu keagamaan islam dibawah asuhan atau kiai atau ulama’, dengan cara bermukim di sebuah tempat yang disebut dengan
pesantren. Secara luas, Santri berarti seorang muslim atau kaum muslimin yaitu golongan orang islam yang menjalankan ibadah keagamaanya secara
khafah sesuai dengan ajaran syariat islam yang sesungguhnya Wahid:2000.
. Selain itu, para santri dalam kesehariannya dibiasakan untuk hidup mandiri dan tidak selalu menjadi beban bagi orang lain termasuk
commit to user
orang tua. Mereka juga dibiasakan untuk senantiasa berkorban, tolong menolong, memiliki kepedulian terhadap lingkungan serta peka terhadap
kondisi umat. Upaya-upaya tersebut merupakan wujud penanaman kepada para santri yaitu Keikhlasan, Kesederhanaan, Berdikari, Ukhuwah
Islamiyah, dan Pengorbanan.
2. Proses Pembelajaran Aqidah di Pesantren Al-Irsyad Salatiga
Kegiatan Belajar Mengajar di Al-Irsyad Salatiga dimulai pukul 07.00 WIB, diawali dengan acara
thobur shobah apel pagi dan berakhir pada jam 17.00 WIB. Adapun untuk pelajaran aqidah tauhid diletekkan
oleh bagian pengajaran di awal jam KBM, sekitar pukul 07.00 sampi pukul 09.00 WIB. Alasannya Karena materi aqidah terdapat begitu banyak
dalil-dalil yang terdapat dari Al-Qur’an dan Hadits yang harus dihafal oleh segenap peserta didik, oleh sebab itu waktu pagi adalah waktu yang cocok
untuk menghafal disamping juga otak masih fresh. Ternyata dengan hal ini
menjadikan santri lebih cepat menyerap ilmu dan menerapkannya degan perubahan tingkah laku menjadi lebih baik. Hal ini sama dengan pendapat
menurut Moeslichatoen 2006:60 bahwa pembelajaran dapat diartikan sebagai proses yang membuat terjadinya proses belajar yang menghasilkan
suatu perubahan. Adapun untuk kurikulum aqidah diadopsi dari kurikulum yang ada
pada jenjang pendidikan Saudi Arabia sembari mensinambungkan kurikulum yang diperoleh dari Departemen agama RI. Pesantren Islam Al-
commit to user
Irsyad Salatiga telah memahami bahwa otoritas pengembangan kurikulum bukanlah pada pemerintah pusat atau daerah, melainkan pada Madrasah
yang mana berbentuk sebuah pondok pesantren. Pada konteks ini bagian pengajaran dan kurikulum pesantren sudah mampu menterjemahkan
standar kompetensi yang dibuat oleh pemerintah dan merumuskan dalam pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP yang
selanjutnya diimplementasikan dalam kelas-kelas pembelajaran. Proses pembelajaran diawali dari sisi ustadz yang telah menyusun
I`dad ad-dars atau RPP agar proses pembelajaran berjalan sistematis. Untuk mencapai sasaran proses pembelajaran yang bermutu mutu
pembelajaran dan hasil belajar studi aqidah pada santri maka para ustadz sudah menuliskan model-model strategi pembelajaran di RPP tersebut.
Secara garis besar pelaksanaan pembelajaran aqidah oleh para ustadz terbagi dalam tiga kondisi: a pendahuluan, b kegiatan
intipenyampaian materi, dan c penutupan yang semua dipadu dengan kegiatan refleksi dan penguatan. Selain dari tiga kondisi tersebut, ustadz
pengajar aqidah juga tidak terlepas dari media sebagai alat bantu yang pembelajaran. Dalam kegiatan inti ustadz melaksanakan pembelajaran
dengan kreatif dan meggunakan metode secara bervariasi dalam pendekatan pembelajaran, mediaalat peraga yang relevan dengan materi
yang disampaikan. Hal ini sesuai dengan PP No.19 tahun 205 yang tertulis di kajian
teori bahwasanya standar proses pembelajaran yang sedang
commit to user
dikembangkan, maka lingkup kegiatan untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien meliputi: “1 perencanaan proses
pembelajaran, 2 pelaksanaan proses pembelajaran, 3 penilaian hasil pembelajaran, dan 4 pengawasan proses pembelajaran”.
Keempat lingkup kegiatan dalam standar proses pembelajaran di atas, dijelaskan oleh Pudji Muljono 2006:31-32 sebagai berikut:
“Standar perencanaan proses pembelajaran didasarkan pada prinsip sistematis dan sistemik. Sistematik berarti secara runtut, terarah dan
terukur dari jenjang kemampuan rendah hingga tinggi secara berkesinambungan. Sistemik berarti mempertimbangkan berbagai faktor
yang berkaitan, yaitu tujuan yang mencakup aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, karakteristik peserta didik, karakteristik materi ajar yang
mencakup fakta, konsep, prosedur, dan prinsip, kondisi lingkungan dan hal-hal lain yang menghambat atau mendukung terlaksananya proses
pembelajaran. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran”.
Proses pembelajaran aqidah di kelas lebih banyak menggunakan strategi pembelajaran menggunakan metode CBSA dengan pendekatan
pembelajaran CTL dan metode inquiri. Penemuan ini senada dengan yang tertera pada kajian teori bahwasanya inti dari model CTL ada tujuh
indicator penting yang tidak terdapat pada model lain, yaitu yaitu modeling pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-
tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu. Contoh, questioning
commit to user
eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, generalisasi,
learning community seluruh siswa partisipatif dalam belajar kelompok atau individual, mencoba
mengerjakan, inquiry identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur,
generalisasi, menemukan, constructivism membangun pemahaman
sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis, reflection
review, rangkuman, tindak lanjut, authentic assessment penilaian
selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya
dari berbagai aspek dengan berbagai cara. Meski demikian metode ceramah dan dialog juga masih dominan
dilaksanakan oleh para ustadz bidang studi aqidah dengan alasan bahwa aqidah merupakan pondasi setiap muslim yang harus ditegakkan di atas
dalil atau nash Al-Qur’an dan Hadits, jika hanya berlandaskan otak manusia maka aqidah tidak akan bisa dicerna dengan baik, senada dengan
yang ada di kajian teori bahwa pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dipimpin oleh seorang kiai atau ulama. Di pesantren
inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Pemahaman dan penghafalan terhadap
Al-Qur’an dan Hadits merupakan syarat bagi para santri. Imain Al- Fatta:1991, Panjimas no.677 Maret. Dan metode ceramah adalah salah
satu cara terbaik memahamkan aqidah yang benar kepada santri tanpa mengandung resiko salah paham. Model semacam ini disebut di kajian
commit to user
teori dengan direct learning atau pembelajaran langsung. Sintaknya adalah
menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan
metode ceramah atau ekspositori ceramah bervariasi.
Selanjutnya yang tidak kalah penting untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat menumbuhkan internalisasi
dari mata pelajaran aqidah ialah dengan penyelenggaraan evaluasi pembelajaran yang dikenal di pesantren Al-Irsyad dengan istilah
imtihan. Ujian ditujukan bagi setiap santri di banyak waktu mulai yang bersifat
harian sampai semesteran dengan bentuk tertulis ataupun secara lisan. Adapun nilai menjadi salah satu syarat kenaikan kelas dengan standar
minimum lima koma lima. Terwujudnya lingkungan belajar yang kondusif bagi
keberlangsungan proses belajar yang baik adalah pra-syarat yang tidak boleh ditinggalkan. Lingkungan yang dimaksud berupa lingkungan fisik
alami maupun lingkungan fisik buatan, lingkungan sosial dimana terdapat interaksi, interelasi, dan interdependensi santri per santri, antara santri
dengan ustadz dan pegawai lainnya. Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Salatiga telah berusaha baik
menata lingkungan dalam mencapai tujuan pembelajaran yaitu untuk senantiasa meningkatkan prestasi siswa. Untuk materi aqidah tauhid
lingkungan belajar yang ada telah memnuhi syarat kondusif. Selain secara alami terletak di kaki pegunungan yang sejuk dan tidak bising, lingkungan
commit to user
fisik buatan juga berpengaruh seperti masjid, perpustakaan, asrama santri dan ustadz serta fasilitas lainnya yang juga menjadi sarana belajara para
santri. Penjelasan di atas menghasilkan kesamaan dengan kajian teori
yaitu melengkapi sarana prasarana termasuk salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Asmani 2009:59 menyebutkan beberapa sarana prasarana
yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan sebagai berikut: laboratorium pendidikan, laboratorium bahasa, gedung pengembangan
bakat, gedung olahraga, media ekspresi dan aktualisasi, dan fasilitas lainnya harus tersedia dengan lengkap.
Termasuk dari proses pembelajaran aqidah di pesantren Al-Irsyad Salatiga ialah keberadaan sumber belajar yang berbentuk buku atau kitab
berbahasa Arab yang berbeda judul pada tiap jenjang pendidikan. Pengecualian pada jenjang SDITQ sumber belajar adalah buku aqidah
yang disusun oleh Yayasan Al-Irsyad yang berkantor pusat di DKI Jakarta. Kandungan dari kitab-kitab yang menjadi buku ajar aqidah mencakup tiga
pilar penting dalam beragama, yaitu : a Pengetahuan akan Allah, b Pengetahuan akan Nabi, dan c Pengetahuan Agama Islam yang dalam
Islam dikenal dengan usul ats-tsalatsah. Dari tiga pilar di atas penekanan
ada pada bab-bab ketauhidan Allah dan berbagai bentuk kesyirikan serta pada penegakan
sunnah Rasul dan bantahan terhadap ahli bid`ah. Buku yang berhudul
“Al-Aqidah Al-Washitiyyah” juga dipergunakan di dalam pembelajaran di pondok pesantren Islam Al-Irsyad
commit to user
Salatiga. Hal ini selaras dengan kajian teori yang disebutkan bahwasanya termasuk buku ajar yang banyak digunakan di pesantren adalah karya tulis
Ibnu Taimiyah dalam bukunya “ Aqidah Al-Wasithiyah” menerangkan
makna aqidah yaitu sesuatu perkara yang harus dibenarkan oleh hati, yang dengannya jiwa dapat menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin
serta mantap tidak dipengaruhi oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh syak wasangka Muslich Shabir:1981.
Isi materi bahan ajar Aqidah sudah barang tentu adalah mengacu kepada Kurikulum dan Silabus pon-pes itu sendiri. Mengenai poin-poin
materi Aqidah yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembelajaran, sudah dijelaskan dalam kurikulum dan silabus tersebut,
misalnya antara lain sebagai berikut : a. Hakekat Aqidah Islam dan ruang lingkupnya.
c. Hubungan aqidah dan akhlak. d. Hakekat beriman kepada Allah.
e. Adab iffah, musawwah, dan ukhuwah. f. Hakekat beriman kepada malaikat Allah.
g. Akhlak terpuji. h. Akhlak tercela.
i. Dan sebagainya. Karakteris dari bahan ajar aqidah di pon-pes Al-Irsyad Salatigaitu
meliputi jenis bahan ajar kognitif yang berupa fakta, konsep, prinsip, dan prosedur, jenis bahan ajar afektif yang berupa sikap dan nilai-nilai,
commit to user
dan jenis bahan ajar psikomotor yang berupa tindakan- tindakan dan perilaku.
Berdasarkan konsep seperti ini maka isi materi bahan ajar Aqidah dapat dipilah dan dikembangkan ke dalam jenis-jenis sebagai
berikut : a. Fakta, yaitu berupa nama-nama objek seperti nama-nama malaikat,
nabi dan rasul Allah, nama-nama Tuhan Asmaulhusna, nama-nama surga, neraka dan sebagainya; peristiwa seperti kasus-kasus mukjizat
para nabi dan rasul Allah, misalnya peristiwa nabi Ibrahim dibakar, nabi Musa membel ah laut dengan tongkatnya, peristiwa banjir dan
perahunya nabi Nuh, pertolongan Allah kepada nabi Muhammad dan kaum muslimin dalam berbagai peperangan melawan kaum
musyrikin dan kafir seperti penurunan ribuan malaikat yang menggetarkan musuh, dan sebagainya.
b. Konsep, yaitu berupa pengertian-pengertian tentang sesuatu, misalnya pengertian tentang iman, islam, ihsan, nabi, rasul,
taubat, murtad, fasik, munafik, musyrik, shidik, amanah, tabligh, fathanah, pengertian nama-nama Tuhan, sabar, tawakal, ikhlas,
tauhid, makrifatullah, rukun iman, rukun islam, ifah, musawah, tasamuh, ukhuwah, kona’ah, zuhud dan sebagainya.
c. Prinsip, yaitu berupa dalil, rumus, adagium, postulat, dan teorema. Misalnya : Dalil naqli yaitu berupa nash al-Qur’ân atau al-Hadits
tentang suatu materi aqidah seperti rukun iman, tauhidullah,
commit to user
larangan syirik kepada Allah dan sebagainya; Dalil aqli yaitu berupa alur pikir logis yang dapat dijadikan landasan, dasar atau alasan
tentang materi Akidah Akhlaq seperti dalil kosmologi yang menyatakan bahwa keteraturan alam yang luas dan indah
menunjukkan kepastian akan adanya Pencipta, Pengatur, serta Penjaga alam yang Maha Kuat, Maha Kuasa, Maha Agung yang
memiliki segala sifat kesempurnaan dan sunyi daipada segala sifat kekurangan.
d. Prosedur, yaitu tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktifitas, misalnya prosedur bertaubat, berdo’a, membaca al-Qur’ân, dan
sebagainya. e. Sikapnilai, yaitu perbuatan atau perilaku yang berdasarkan pada
pendirian pendapat atau keyakinan tertentu, seperti sikap jujur, adil, sabar, tawakal, syukur, dan sebagainya. Bahan ajar tentang
nilai-nilai ini biasanya dikemas dalam bentuk ceritra kehidupan, kisah, dan lain sebagainya.
f. Tindakan-tindakan dan perilaku. Jenis ini dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan jenis sikap dan nilai, karena tindakan
dan perilaku itu diklasifikasi berdasarkan sikap dan nilai-nilai tersebut, baik yang baik maupun yang buruk.
Dengan demikian penjelasan di atas sesuai dengan kajian teori yang menyatakan bahwasanya secara teknis istilah bahan ajar dapat
dikelompokkan kepada jenis pengetahuan yang berupa fakta, konsep,
commit to user
prinsip, dan prosedur, keterampilan, dan sikap atau nilai yang harus diajarkan oleh guru dan harus dipelajari oleh siswa untuk mencapai
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kementrian pendidikan nasional Republik Indonesia menegaskan bahwa, bahan ajar atau
materi pembelajaran instructional materials adalah materi yang harus dipelajari siswa sebagai sarana untuk mencapai standar kompetensi dan
kompetensi dasar Depdiknas:2003. Dari semua uraian di atas interaksi pembelajaran berikut dengan
internalisasi nilai aqidah bisa terwujud. Dengan banyak santri yang bertanya permasalahan aqidah kepada ustadz atau dengan banyak santri
yang menyelesaikan tugas aqidah, maka itu merupakan contoh dari interaksi pembelajaran. Dan terwujudnya pemahaman aqidah yang lurus
dalam bentuk akhlak yang baik dan hati yang senantiasa bertaqwa kepada Allah adalah salah satu bentuk internalisasi nilai aqidah pada santri.
3. Internalisasi Nilai Aqidah Pada Santri Al-Irsyad Salatiga
Pembiasaan merupakan salah satu metode dalam menginternalisasikan nilai-nilai keislaman, khususnya dalam masalah
aqidah. Internalisasi nilai merupakan bagian terpenting dalam pendidikan nilai yang merupakan inti terlaksanakannya nilai. Dengan pembiasaan ini
akan terbentuk suatu kebiasaan dalam berperilaku, sehingga sesuatu yang telah terbiasa akan terasa mudah dikerjakan dan menimbulkan perasaan
senangkepuasan jiwa dalam melakukannya. Untuk memperoleh hasil
commit to user
yang maksimal dalam penerapan pembiasaan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; pengendalian jiwa, pengulangan perilaku,
pengawasan serta evaluasi. Pembiasaan juga dapat menggunakan perintah, contoh atau tauladan, dan pengalaman-pengalaman khusus, juga
menggunakan hukum-hukum dan ganjaran. Dalam upaya menanamkan nilai-nilai aqidah pada peserta didik, pondok pesantren Al-Irsyad Salatiga
menerapkan beberapa pembiasaan praktik keagamaan di lingkungan pon- pes, antara lain: 1 Pembiasaan sholat berjama`ah, sebagai bentuk
pelaksanaan aqidah yang benar bahwasanya Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah semata, 2 Pembiasaan doa disaat permulaan dan
penutupan pelajaran sebagai wujud penanaman aqidah bahwa kepada Allah semata doa dan permohonan digantungkan, 3 Pembiasaan segala
aktifitas sehari-hari berazaskan dari al-Qur’an dan as-Sunnah termasuk pelaksanaan dakwah mingguan.
Tujuan pembiasaan adalah agar santri memperoleh sikap-sikap dann kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yan lebih tepat dan positif
dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu. Dengan kata lain selaras dengan norma-norma dan tata nilai syariat yang berlaku.
Hasil yang dicapai melalui metode pembiasaan dapat dilihat dari perilaku siswa dalam melaksanakan nilai-nilai keislaman. Dalam arti nilai-
nilai keislaman tersebut dilaksanakan secara alami tanpa adanya rekayasa dan paksaan dari orang lain.
commit to user
Uraian di atas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hery Noer Ali:1999 bahwasanya internalisasi nilai juga dapat didapatkan
melalui strategi pembiasaan bagi para peserta didik. Yang dimaksud dengan kebiasaan habit ialah cara-cara bertindak yang persistens,
inform, dan hampir-hampir otomatis tanpa disadari oleh pelakunya. Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai aqidah yang telah
disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga pesantren. Proses pengembangan tersebut
dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu: pertama sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang ingin
dicapai pada masa mendatang disekolah. Kedua, penetapan action plan
mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah dilematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di pesantren dalam mewujudkan nilai-
nilai agama yang telah disepakati tersebut. Imam al-Gozaly juga menggunakan pembiasaan dalam mendidik anak, sebagaimana dikutip
oleh Arifin dalam buku “Paradigma Pendidikan Islam” Bumi
Aksara:1991 bahwa bila seorang anak dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik itu pada dirinya dan
akan memperoleh kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Sebaliknya bila anak dibiasakan dengan sifat-sifat jelek, dan kita biarkan begitu saja,
maka ia akan celaka dan binasa. Internalisasi nilai aqidah mampu diambil oleh dua jenis santri.
Pertama adalah santri yang masih berdomisili di asrama pesantren Al-
commit to user
Irsyad guna menyelesaikan menuntut ilmu keislaman dan ilmu lainnya. Sedangkan yang kedua ialah santri yang telah lulus dari pesantren tersebut
alumni yang tengah melanjutkan studi ke perguruan tinggi, atau alumni yang sudah dewasa bekerja dan menikah.
Untuk model santri yang pertama internalisasi nilai aqidah terwujud dengan perbuatan dan ucapan yang baik, sopan dan ramah. Bisa
juga dengan rajin melaksanakan ibadah dan belajar. Akan tetapi juga ada yang terlihat giat melakukan dialog serta diskusi dengan santri-santri lain
dalam tema aqidah tauhid, biasanya membahas firoq atau sekte-sekte
menyimpang yang bergerak bebas di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan kajian teori internalisasi nilai seperti ini disebut
“tran-internalisasi”. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap
ini komunikasi kepribadian yang berperan aktif. Dalam tahap ini pendidik harus betul-betul memperhatikan sikap dan prilakunya agar tidak
bertentangan yang ia berikan kepada peserta didik. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan siswa untuk meniru apa yang menjadi sikap mental
dan kepribadian gurunya. Proses dari transinternalisasi itu mulai dari yang sederhana sampai yang komplek, yaitu mulai dari: menyimak,
yakni kegiatan siswa untuk bersedia menerima adanya stimulus yang berupa nilai-nilai baru yang dikembangkan dalam sikap afektifnya.
Menanggapi, yakni kesediaan siswa untuk merespons nilai-nilai yang ia terima dan sampai ke tahap memiliki kepuasan untuk merespons
commit to user
nilai tersebut. Memberi nilai, yakni sebagai kelanjutan dari aktivitas merespon nilai menjadi siswa mampu memberikan makna baru
terhadap nilai-nilai yang muncul dengan kriteria nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Mengorganisasi nilai, yakni aktivitas siswa untuk
mengatur berlakunya sistem nilai yang ia yakini sebagai kebenaran dalam laku kepribadiannya sendiri sehingga ia memiliki satu sistem
nilai yang berbeda dengan orang lain. Karakteristik nilai, yakni dengan membiasakan nilai-nilai yang benar yang diyakini, dan
yang telah diorganisir dalam laku pribadinya sehingga nilai tersebut sudah menjadi watak kepribadiannya, yang tidak dapat dipisahkan lagi
dari kehidupannya. Nilai yang sudah mempribadi inilah yang dalam Islam disebut dengan kepercayaankeimanan yang istiqomah, yang sulit
tergoyahkan oleh situasi apapun. Tahap tran-internalisasi juga ditemukan pada santri kelas dua dan
tiga jenjang I`dad Muallimin yang mendapat waktu dan kesempatan dari pesantren untuk berdakwah di luar komplek pon-pes. Pada waktu ini para
santri dibekali nasehat agar senantiasa mengawali dakwah dengan seruan aqidah atau tauhid, peribadatan hanya kepada dan untuk Allah Ta`ala
semata. Para santri juga “diwanti-wanti” untuk ilzimam dengan memgang
teguh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah agar menjadi mukmin multazim.
Internalisasi nilai dari aqidah juga membekas pada “mantan” santri yang pernah “mondok” di pesantren Al-Irsyad Salatiga. Terdapati
beberapa santri yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia yang menjadi
commit to user
dai atau ustadz di banyak pesantren dan menjadi tenaga pengajar pelajaran aqidah akhlak dan tauhid. Selain itu juga ada dari alumni yang menjadi
penulis di penerbitan atau pustaka bernuansa islami khusus bidang aqidah dan ibadah. Terakhir adalah tersebarnya para alumni di perguruan tinggi di
Timur Tengah dan Saudi Arabia yang duduk di fakultas Aqidah dan Syari`ah.
D. HAMBATAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN