Bias jender dalam penerjemhan: kajian hermeneutik terhadap terjemahan tafsir al-Azhar

(1)

TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Mohamad Heri Azhari

NIM: 104024000839

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

i

TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Mohamad Heri Azhari

NIM: 104024000839

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

ii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 16 September 2010


(5)

iii

TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh

Mohamad Heri Azhari

NIM: 104024000839

Pembimbing,

Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.

NIP: 150 282 400

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(6)

iv

Skripsi berjudul BIAS JENDER DALAM PENERJEMAHAN: KAJIAN HERMENEUTIK TERHADAP TERJEMAHAN TAFSIR AL-AZHAR telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 16 September 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, M.A. Dr. Ahmad Saehudin, M.Ag. NIP: 150 268 589 NIP: 150 303 001

Anggota,

Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. NIP: 150 282 400


(7)

v Bias Jender dalam Penerjemahan:

Kajian Hermeneutik terhadap Terjemahan Tafsir Al-Azhar

Di antara pemahaman yang bias jender salah satunya adalah pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Di kalangan masyarakat diajarkan bahwa perempuan itu tidak layak jadi pemimpian karena tubuhnya sangat lembut dan lemah serta akalnya pendek. Lalu diperkuat lagi dengan ayat yang menurut sebagian ulama, menjelaskan bahwa laki-laki adalah “pemimpin” bagi perempuan, yaitu QS. Al-Nisa [4]: 34. Inilah yang akan Penulis angkat dalam penulisan ini. Dan, yang menjadi objek kajian ini adalah terjemahan Tafsir Al-Azhar karya Dr. HAMKA.

Dalam tafsirnya, HAMKA menerjemahkan QS. Al-Nisa [4]: 34:

Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka.

HAMKA menerjemahkan kata qawwamûn dengan “pemimpin”. Dia menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa laki-laki membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan.

Dengan demikian, dalam kasus ayat di atas, HAMKA menolak dengan keras kepemimpinan perempuan. Menurutnya, hanya laki-lakilah yang harus menjadi pemimpin. Jika HAMKA membandingkan ketika menerjemahkan ayat di atas dengan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan, QS. At-Taubah [9]: 71, mungkin terjemahannya tidak akan demikian. Karena, dalam penerjemahan tentang hak laki-laki dan perempuan, kemudian diperkuat dengan tafsirnya, HAMKA mengakui bahwa yang dapat menjadi pemimpin bukan hanya laki-laki atas perempuan, melainkan sebaliknya, perempuan bisa menjadi pemimpin atas laki-laki. Karena keduanya memiliki tanggung jawab yang sama; amar ma’ruf nahi mungkar.

Sedangkan budaya yang mempengaruhi ideologi HAMKA tampaknya masih dikuasai oleh budaya patriarki. Di mana, pemahamannya telah dipengaruhi oleh ulama-ulama klasik yang masih kental dikuasai oleh budaya patriarki. Sehingga penerjemahan dan penarsirannya pun mengandung unsur patriarki. Dalam kasus ayat ini, HAMKA telah menyebarkan konsep mengenai superioritas laki-laki atas perempuan. Maka, penerjemahannya juga menunjukkan adanya superioritas laki-laki. Dengan demikian, secara hermeneutis, penerjemahan HAMKA benar-benar mengandung bias jender.


(8)

vi

rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis selesaikan.

Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapat syafa’atnya di hari akhir. Amin!

Dalam kata pengantar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku pembimbing skripsi, yang telah mengorbankan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya dalam membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, juga yang selalu memberikan motifasi kepada Penulis; terima kasih untuk yang kedua kalinya kepada beliau selaku pembimbing akademik yang telah mengarahkan, mengajarkan, dan mendidik Penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Adab dan Humaniora.

Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, M.A., Ketua Jurusan Tarjamah dan Dr. Ahmad Saehudin, M.Ag., Sekretaris Jurusan Tarjamah.

Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah yang telah mendidik dan mengajarkan Penulis berbagai ilmu pengetahuan bahasa, budaya, dan terjemah yang telah mengajarkan seluk beluk dunia terjemah. Tak juga


(9)

vii

Satori, Prof. Dr. Thojib IM, Prof. Dr. Rofi‘i, Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag., Mahyuddin Syah, M.Ag., Dr. Ismakun, M.A., Darsita M.Hum., Ahmad Syatibi, M.Ag., Dra. Faozah sebagai dosen Penulis. Semoga kerja keras mereka dalam membimbing mahasiswanya diganti oleh Allah Swt. Amin!

Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orangtua, H. Moh. Anwar Thalhah dan Hj. Nihayah (almarhum) yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan moral dan finansial Penulis ketika masih di sisi, sehingga penyusunan skripsi ini terasa lebih ringan saat Penulis mengingat pesan-pesannya. Abah secara tidak sengaja telah memberikan bimbingan yang paling berharga sehingga Penulis bisa mandiri dalam menyelesaikan segala urusan. Mimi (ibu) walau pun hanya tamatan SD, tetap mampu memberikan jawaban seperti orang yang berpendidikan sampai akhirnya dipanggil Allah. Terima kasih kepada kakak-kakakku, Hj. Dewi Hamidah beserta suami, Ahmad Faiz Al-Hakam, M.A. beserta istri, Atu Tuffakhah, S.Ag. beserta suami, Lely Nurbaity, S.Ag. beserta suami, Faliq Al-Ishbah, yang selalu memberikan semangat kepada Penulis. Tak lupa juga terima kasih kepada adikku, Vivi Ariviyah. Juga kepada ponakan-ponakan tercinta yang telah menghibur, Lesca, Eldi, Elthaf, Hubbina, Shinfi, Nehru, Fuzna, Tsania, dan yang baru lahir Faza, sehingga saat penulisan skripsi ini Penulis selalu bersemangat untuk menyelesaikannya tanpa rasa lelah.

Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah angkatan 2004, Abdur Rahman, Amir, Anna, Erwan, Fina, Luki, Muna, Munay, Nurikhwan, Nunung, Silvi, dan Puput juga teman-teman terjemah yang lain, Penulis berterima kasih atas segala


(10)

viii

teman yang sudah ‘meracuni’ Penulis agar selalu membaca dan berdiskusi. Usaha ‘meracuni’ Penulis tidak akan terlupakan. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman terjemah seluruh angkatan yang tidak bisa disebut satu per satu, yang selalu semangat dalam mengarungi dunia penerjemahan.

Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis dalam perjumpaan di alam ini, termasuk teman-teman KKS dari Fakultas Syari’ah dan Hukum, namun tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu. Semoga skripsi yang sangat sederhana ini bisa bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan ayat-ayat jender. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini. Amin!


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN ……… ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… iii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iv

ABSTRAK ……… v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI……… ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ……… 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 7

D. Tinjauan Pustaka ……… 8

E. Metode Penelitian ……… 9

F. Sistematika Penulisan ……… 10

BAB II KERANGKA TEORI A. Definisi Penerjemahan ……… 12

B. Metode-Metode Penerjemahan ……… 17

C. Sekilas tentang Hermeneutik ……… 21

BAB III SEKILAS TENTANG JENDER A. Makna Jender dan Bias Jender ……… 26

B. Perspektif Teori Jender ……… 30

C. Isu tentang Bias Jender dan Relasinya dalam Islam ……… 34

BAB IV ANALISIS HERMENEUTIK TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-AZHAR A. Riwayat HAMKA ……… 40

B. Penerjemahan terhadap Ayat tentang Kepemimpinan ……… 46

a. Penerjemahan Kataar-Rijâl ……… 47

b. Penerjemahan KataQawwamûn ……… 50

c. Penerjemahan terhadap Dua Alasan Kepemimpinan Laki-laki ……… 56

C. Ayat Pembanding ……… 69

a. Ayat tentang Hak Laki-laki dan Perempuan …… 69

b. Ayat tentang Ratu Balqis ……… 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 77

B. Saran ……… 78


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sejak Konferensi Tingkat Dunia Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993, pernyataan bahwa “hak asasi perempuan adalah hak-hak asasi manusia” telah menjadi prinsip kaum perempuan di seluruh penjuru dunia. Kalimat tersebut merupakan kebenaran yang tak dapat dibantah. Tentu saja hak-hak perempuan adalah hak-hak asasi manusia. Perempuan adalah manusia, sehingga apa yang diterapkan untuk manusia juga dapat diterapkan untuk perempuan.1 Namun kebenaran prinsip tersebut, yaitu terkait hak-hak perempuan, rupanya membawa timbulnya perdebatan di negara-negara Muslim.

Pada umumnya, perdebatan soal hak-hak perempuan di negara-negara Muslim dapat diringkas ke dalam dua pandangan atau kelompok sosial, yaitu kelompok konservatif dan kelompok progresif. Kelompok tradisional-konservatif membatasi hak perempuan hanya pada urusan domestik. Dalam bahasa Ausaf Ali, kelompok tradisional yang literal ini merupakan kelompok protagonis yang menginterpretasikan teks-teks keagamaan secara tekstual, sehingga menolak prinsip kesetaraan. Alasannya, karena menurut mereka, baik Alquran maupun Hadis tidak menyebutkan secara eksplisit prinsip kesetaraan di antara keduanya secara fundamental, dan perempuan diciptakan lebih kurang atau lebih rendah daripada laki-laki. Bagi kelompok ini, Islam tampaknya diyakini sebagai agama yang datang secara tiba-tiba dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan

1

Vicki J. Semler, dkk., Hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada Konvensi-Konvensi PBB tentang Hak Asasi Perempuan.Pnrj. Embun (Jakarta: YJP, 2001), h. 14.


(13)

waktu. Akibatnya sudut pandang mereka dalam persoalan perempuan bersifat linier, tunggal, bahkan hitam putih dan streotipe.

Berbeda dengan kelompok tradisional, kelompok progresif mengakui hak perempuan di ruang publik. Menurut kelompok ini, hak perempuan dalam wilayah publik tidak berbeda secara substansial dengan kaum laki-laki. Kelompok ini mempercayai bahwa Islam menjunjung tinggi kesetaraan. Dalam bahasa Ausaf Ali, kelompok progresif ini disebut kelompok antagonis yang memiliki daya kritis terhadap interpretasi Alquran yang patriarkis serta memandang bahwa Alquran mengandung banyak sekali ayat-ayat yang mengakui nilai kesetaraan. Di antaranya adalah QS. Al-Baqarah: 228 dan QS. Al-Ahzab: 35.2 Kebalikan dari kelompok pertama, kelompok ini meyakini bahwa posisi laki-laki dan perempuan yang beriman setara di hadapan Allah, tanpa dibedakan oleh jenis kelamin.3

Dewasa ini, dengan demikian, agama mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan atau yang sering disebut ketidakadilan jender (gender inequality). Oleh karena agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat berbahaya. Persoalannya, apakah pelanggengan ketidakadilan jender itu bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan,

2

“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya yang makruf,” (QS. 2: 228). “Dan sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan beriman, laki dan perempuan yang taat, laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki-laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki-laki-laki dan perempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan mereka ampunan dan pahala yang besar,” (QS. 33: 35).

3

Sukron Kamil, dkk.,Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim(Jakarta: CSRC UIN Jakarta), h. 39-41.


(14)

yang tak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme, atau pengaruh kultur Timur Tengah Abad Pertengahan.

Pemerintah Indonesia melalui kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memprediksikan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Kendala tersebut terdapat dalam hampir semua bidang dan aspek pembangunan: pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, hukum dan hak asasi manusia, kesejahteraan sosial, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup, kelembagaan pemerintah dan masyarakat, bahkan juga dalam bidang agama. Khusus dalam bidang agama, masalah utama yang dihadapi: pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan; dan kedua, masih banyaknya penafsiran ajaran agama yang merugikan kedudukan dan peranan perempuan4 sehingga hal tersebut menimbulkan pemahaman yang bias jender.

Terkait dengan penerjemahan, seperti yang dikatakan Cak Nur bahwa sesungguhnya terjemah adalah suatu tafsir, dan usaha menerjemahkan pada hakikatnya adalah juga usaha menafsirkan,5 maka tak pelak lagi bahwa pemahaman adalah dasar dari proses penerjemahan. Dengan demikian, terkait dengan kedua masalah keagamaan di atas, maka akan terjadi kemungkinan bahwa penerjemahan akan mengalami penerjemahan yang bias jender.

Di antara pemahaman yang bias jender dan kemudian membawa implikasi kepada ketimpangan jender adalah: pertama, pemahaman tentang asal-usul penciptaan manusia. Pada umumnya, para juru dakwah, mubalig, dan mubaligah,

4

Siti Musdah Mulia,Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan(Bandung: Mizan, 2005), h. 36-37.

5


(15)

menjelaskan bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam a.s. Selanjutnya, Hawa, sebagai istrinya, diciptakan dari tulang rusuk Adam a.s. Pemahaman seperti ini mengacu kepada QS. Al-Nisa [4]: 1.

Pemahaman demikian membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial karena Hawa, selaku perempuan pertama, tercipta dari bagian tubuh laki-laki, yaitu Adam a.s., lalu perempuan itu diposisikan subordinat dari laki-laki. Dia hanyalah the second human being, manusia kelas dua. Perempuan bukanlah makhluk yang penting; dia hanyalah makhluk pelengkap yang diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Konsekuensinya, perempuan tidak pantas berada di depan, tidak pentas menjadi pemimpin, dan seterusnya.

Kedua, pemahaman tentang kejatuhan Adam a.s. dan Hawa dari surga. Ada anggapan umum bahwa Adam a.s. jatuh dari surga akibat godaan Hawa yang terlibat dahulu terpengaruh oleh bisikan iblis. Sebagai implikasi dari pemahaman seperti ini, dikatakan bahwa perempuan itu pada hakikatnya adalah makhluk penggoda dan dekat dengan iblis. Karena itu, lanjut pemahaman ini, jangan terlalu dekat dengan perempuan, dan jangan dengar pendapatnya sebab akan menjerumuskan diri ke neraka. Perempuan mudah sekali dipengaruhi dan diperdayakan. Karenanya, dia tidak boleh keluar rumah tanpa muhrim, tidak boleh jalan sendirian, dan tidak boleh ke luar malam. Lebih baik baginya tinggal di rumah saja mengurus keperluan rumah tangga, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan tidak perlu aktif di tengah masyarakat.

Ketiga, pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Di kalangan masyarakat diajarkan bahwa perempuan itu tidak layak jadi pemimpian karena tubuhnya sangat lembut dan lemah serta akalnya pendek. Lagi pula sangat halus


(16)

perasaannya sehingga dikhawatirkan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas. Apalagi ada hadis yang sering dipakai untuk membenarkan penilaian ini: “Perempuan itu lemah akal dan agamnya”, dan hadis yang menyatakan, “Celakalah suatu bangsa yang memercayakan kepemimpinannya kepada perempuan”. Lalu diperkuat lagi dengan ayat yang menurut sebagian ulama, menjelaskan bahwa laki-laki adalah “pemimpin” bagi perempuan, yaitu QS. Al-Nisa [4]: 34.6

Dari ketiga contoh pemahaman di atas, Penulis akan mengangkat salah satunya saja, yakni pemahaman ketiga: pemahaman tentang kepemimpian perempuan. Dan, yang menjadi objek kajian ini adalah terjemahanTafsir Al-Azhar karya Dr. HAMKA.

Memang, menurut Sukron Kamil, dalam Islam, kepemimpinan perempuan secara teologis masih menjadi persoalan. Banyak ahli, kendati perlu dikaji ulang, menolak kepemimpinan perempuan. Al-Khatabi, as-Syaukani, dan Ibn Hazm misalnya berpendapat bahwa kepala negara disyaratkan tidak perempuan. Bahkan, Sayyid Sabiq menginformasikan kesepakatan para ulama fiqh (hukum Islam) mengenai keharusan laki-laki bagi seorang qadhi (hakim). Tentu masih banyak pemikir muslim lainnya, seperti Yusuf Qardhawi, yang berpendapat sama. Salah satu yang dijadikan dasar oleh mereka, juga sejumlah tokoh di Indonesia yang berpendapat serupa, adalah ayat di atas yang menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan.7

Dalam tafsirnya, HAMKA menerjemahkan QS. Al-Nisa [4]: 34:

6

Musdah,Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaa, h. 36-37.

7

Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 darihttp://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=20100712091031


(17)

“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan yang baik adalah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan cara yang dipeliharakan Allah,”(Qs. An-Nisa [4]: 34).8

Seperti menurut sebagian ulama, HAMKA pun sama, menerjemahkan kata qawwamûn dengan “pemimpin”. Lebih jelas lagi ia menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa laki-laki membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan.9

Alasan atau pemahaman HAMKA di atas akan membawa pandangan bahwa posisi dan kedudukan perempuan memang rendah, yakni lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan pun seakan-akan, oleh HAMKA, tidak dituntut untuk menambah kualitas dan prestasi kebaikan mereka.

Pemahaman seperti ini jelas bertentangan dengan penjelasan teks suci bahwa setiap manusia, tanpa mempertimbangkan apa pun jenis kelaminnya, adalah sama dan setara di hadapan Allah Swt. Selanjutnya, dinyatakan bahwa yang membedakan di antara mereka hanyalah kualitas dan prestasi takwanya (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Inilah alasan mengapa Penulis mengangkat sebuah judul

8

HAMKA,Tafsir Al-Azhar Juz V(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 45.

9


(18)

dalam penulisan ini tentang Bias Jender dalam Penerjemahan: Kajian Hemeneutik terhadap Terjemahan Tafsir Al-Azhar. Dan, karena kasus inilah, pemahaman sekaligus penerjemahan tentang kepemimpinan perempuan perlu dikaji lebih dalam lagi dengan menggunakan metode hermeneutik, mengingat metode ini lebih relevan dengan kajian ilmu penerjemahan yang menjadi objek kajian Penulis.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah penelitian ini terfokus pada ayat-ayat bias jender dalam terjemahan Tafsir Al-Azhar. Karena banyaknya isu-isu tentang bias jender, maka Penulis membatasi pembahasan ini pada ayat jender yang terkait dengan isu kepemimpinan perempuan. Sedangkan rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah penerjemahan ayat jender, terkait kepemimpinan, dalam terjemahan Tafsir Al-Azhar secara hermeneutik mengandung bias?

2. Jika ‘Ya’, apa penyebab hermeneutik dari bias jender dalam penerjemahan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui terjemahan ayat jender, terkait kepemimpinan, dalam Tafsir Al-Azhar, secara hermeneutis mengandung bias atau tidak.

2. Mengetahui sebab hermeneutik dari Tafsir Al-Azhar yang mengandung bias jender.


(19)

Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis manfaatnya adalah menjadi kontribusi tambahan untuk mehasiswa yang ingin menganalisis ayat-ayat yang bias jender. Sedangkan secara praktis adalah untuk digunakan oleh para pengkaji dan pemerhati hermeneutik, jender, dan penerjemahan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu contoh bagaimana menganalisis terjemahan ayat-ayat yang bias jender secara hermeneutis, khususnya dalam terjemahan Tafsir Al-Azhar, yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penulisan apa pun seharusnya tidak lepas dari tinjauan pustaka agar tidak terjadinya repetisi pengetahuan dan sebagai penanda bahwa tulisan baru ini bukan merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan lama. Sebelum memulai penulisan skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Untuk sejauh ini, Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan Fakultas tempat Penulis kuliah. Selama ini Penulis belum menemukan skripsi yang terkait dengan masalah jender atau bias jender dalam penerjemahan.

Hanya saja, Penulis mendapati satu skripsi menggunakan metodologi yang sama dengan metode Penulis, yaitu skripsi yang ditulis oleh M. Yustian Yusa. Namun, meskipun metodenya sama, yaitu dengan pendekatan hermeneutik, skripsi saudara Yusa membahas tentang terjemahan ayat-ayat eksklusivitas Islam yang objek kajiannya adalah Alquran terjemahan versi Departemen Agama dan The Holy Quran, sedang Penulis membahas tentang bias jender dalam


(20)

penerjemahan terkait dengan isu kepemimpinan yang objek kajiannya adalah terjemahan Tafsir Al-Azhar.

Di sinilah letak perbedaannya, dan Penulis berkesimpulan bahwa analisis, terkait dengan bias jender dalam penerjemahan, dalam skripsi ini sama sekali belum pernah ada yang melakukannya apalagi menyamainya. Jadi, apa yang diangkat oleh Penulis ini sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan dan tentunya dapat dilanjutkan oleh siapa saja yang datang selanjutnya dan bersedia untuk mempertajam pembahasan yang sudah Penulis angkat.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, Penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori hermeneutik sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori hermeneutik yang membingkai penelitian Penulis ini didasarkan pada teori hermenutik Gadamer.

Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Seperti terjemahan Tafsir Al-Azhar, terjemahan Al-Quran Departemen Agama, tafsir-tafsir, dan juga literatur yang terkait dengan masalah jender itu sendiri.

Namun secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(21)

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan. Penulis dalam bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu tentang pemahaman yang bias jender. Latar belakang masalah ini tentunya dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada III dan IV.

Bab II merupakan pembahasan sekitar teori penerjemahan. Penulis menjelaskan tentang teori penerjemahan Alquran atau bahasa Arab. Dalam bab II ini, Penulis juga membahas sekilas tentang hermeneutik. Di sini dijelaskan tentang teori hermeneutik yang Penulis gunakan, yaitu teori hermeneutik Gadamer. Teori hermeneutik inilah yang Penulis gunakan sebagai pisau analisis penulisan.

Bab III merupakan pembahasan mengenai makna jender dan bias jender. Terkait dengan bias jender, Penulis letakkan contoh dengan harapan pembahasan ini mudah untuk dipahami. Kemudian, Penulis membahas tentang perspektif teori jender. Dalam teori jender ini Penulis hanya menjelaskan teori feminis sebagai patokan penulisan. Lebih jauh lagi, dalam bab III ini, Penulis membahas tentang isu-isu bias jender dan relasinya dalam Islam. Namun, karena isu-isu jender tidak sedikit, maka Penulis hanya membahas sedikit isu tentang kepemimpinan perempuan, mencakup kepemimpinan dalam Islam, yang kemudian akan diperluas pada bahasan analisis dalam bab IV.


(22)

Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan yang bias jender dalam bahasa Indonesia. Penulis mengambilTerjemahan Tafsir Al-Azharsebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan ayat tentang kepemimpinan dengan teori hermeneutik Gadamer sebagai pisau analisisnya. Bukan hanya itu, Penulis pun meletakkan ayat pembanding dengan ayat kepemimpinan agar pembahasan tidak terasa kaku. Ayat pembanding ini Penulis batasi dengan dua ayat, tentang hak laki-laki dan perempuan dan tentang Ratu Balqis. Namun sebelum masuk dalam bagian analisis yang mendalam, Penulis akan jelaskan tentang riwayat hidup Dr. HAMKA dan sedikit deskripsi Tafsir Al-Azhar. Dengan harapan, Penulis mengetahui latar belakang penulis(an) tafsir ini, sehingga kerja analisis Penulis pun tercapai dengan baik dan memuaskan.

Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran ini merupakan keterbukaan Penulis dalam sebuah penulisan. Sehingga kelebihan dan kekurang penulisan ini bisa terbuka dan ditutup dengan penelitian yang lebih tajam di kemudian hari.


(23)

BAB II

KERANGKA TEORI A. Definisi Penerjemahan

Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah dipungut dari bahasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tersebut dari bahasa Armenia, turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain.

Az-Zarqaniy, seperti yang dikutip Syihabuddin, mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah memiliki empat makna:

a. Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu.1 Untuk mempermudah pemahaman dapat dihubungkan dengan pernyataan di bawah ini:

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang sudah berusia 80-an tahun, dan dalam hal ini saya sudah mencapai usia demikian benar-benar memerlukan penerjemah.”

Ini berarti bahwa tindakan menyampaikan berita atau tuturan yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun (mungkin karena orang tersebut sudah tuli), disebut terjemahan, dan orangnya dinamakanturjuman (penerjemah).2

1

Syihabuddin,Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 7-8.

2

Ismail Lubis,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 57-58.


(24)

b. Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula.3

Sehubungan dengan pengertian ini pula, Zamakhsyari (w. 538 H.) mengatakan bahwa penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut. Menurut pemahaman ini berartimutarjim sama denganmufassir. Suatu kenyataan seperti dinyatakan dalam kamusLisan al-‘Arab bahwaturjuman (penerjemah, juru bahasa) disebut mufassir (pemberi keterangan tentang maksud sesuatu kalimat.4

c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya.5

Ini berarti bahwa unsur penjelasan merupakan unsur yang dominan dalam kandungan makna terjemahan. Bahkan, menurut Ismail Lubis, kalau dilihat di dalam Tafsir Ibn Katsir tentang Abdullah bin Abbas yang mendapat julukan sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung artimenjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir (705 – 774 H.) lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa sumber atau bahasa lain.6

3

Syihabuddin,Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8.

4

Lubis,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 58.

5

Syihabuddin,Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8.

6


(25)

d. Memindahkan tuturan dari suatu bahasa ke bahasa lain seperti mengalihkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia.7 Yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat tersebut diberikan makna penerjemah. Ibn Munzir menamakannya dengan tarjuman atau turjuman, yakni orang yang mengalihbahasakan; juru terjemah.8

Makna etimologis di atas memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda.

Adapun secara terminologis, menerjemahkan didefinisikan sebagai mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu.9 Yang dimaksud dengan makna dalam definisi ini bukan sekedar arti permukaan dari kata atau kalimat itu sendiri. Untuk itu seorang penerjemah perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya.10

Dalam menjelaskan definisi penerjemahan, Rochayah Machali mengambil dua definisi penerjemahan sebagai landasan pijakan memasuki pembahasan dalam bukunya Pedoman Bagi Penerjemah, yaitu dari Catford dan Newmark. Dalam melihat kegiatan penerjemahan, keduanya menggunakan pendekatan yang sama, namun yang kedua lebih memperjelas lagi.

7

Syihabuddin,Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8.

8

Lubis,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 59.

9

Syihabuddin,Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), h. 8.

10


(26)

Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)” (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author in tended the text” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain dengan yang dimaksudkan pengarang).11 Namun, seperti yang ditulis Machali sendiri, kedua definisi tersebut sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini.

Pada definisi yang pertama—menurut Cartford—di atas menunjukkan bahwa penerjemahan merupakan proses ‘mengganti’. Sedangkan definisi yang kedua memberikan kejelasan atas apa yang harus ‘diganti’ oleh seorang penerjemah. Maka dari itu, apabila kedua definisi ini dilihat lebih jauh, dapat kita sarikan bahwa: (1) penerjemahan adalah upaya ‘mengganti’ teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran; (2) yang diterjemahkan adalah makna yang dimaksudkan pengarang.12

Pendekar dari Chicago, yang biasa disebut oleh banyak orang sebagai pemikir Islam Indonesia, mendefinisikan penerjemahan yang berbeda dengan kedua definisi di atas (Catford dan Newmark). Seolah dia melangkah namun berada di dalam papan permaianan; dia melanggar tapi tetap menuruti peraturan. Pendekar dari Chicago—mengambil istilah Gus Dur—adalah Cak Nur. Di dalam

11

Rochayah Machali,Pedoman Bagi Penerjemah(Jakarta: Grasindo, 2000), h. 5.

12


(27)

bukunya, Kaki Langit Peradaban Islam yang berisi suntingan makalah-makalahnya, dia menjajarkan kata tafsir dan terjemah dalam sub bab tersendiri.

Menurutnya, karena umat manusia bermacam-macam bahasa (bahkan perbedaan bahasa manusia itu justru disebutkan dalam Alquran sendiri sebagai salah satu ayat Allah juga),13 maka usaha menerangkan, menjelaskan, dan menafsirkan Alquran juga menyangkut kemungkinan menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa lain, selain bahasa Arab.

Kemudian dia mendefinisikan bahwa sesungguhnya terjemah adalah suatu tafsir, dan usaha menerjemahkan pada hakikatnya adalah juga usaha menafsirkan. Sebab setiap usaha pengalihan bahasa akan melibatkan pengetahuan orang yang melakukannya, dengan kualifikasi kurang dan lebih, jadi tidak sempurna.14 Dari keterangan tersebut, jika Pendekar dari Chicago itu diminta untuk mendefinisikan penerjemahan, maka jelas dia akan mendefinisikan bahwa penerjemahan pada praktiknya adalah proses penafsiran.

Seperti yang kita tahu bahwa penerjemahan adalah proses mengalihkan bahasa dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran, bahasa lain. Sedangkan penafsiran tidak seperti itu. Karena penafsiran adalah proses menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak15 dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran, bisa dengan bahasa lain, bisa juga dengan bahasa yang sama dengan bahasa sumber. Walau pun dalam segi bahasa berbeda, tetap saja, pada praktiknya, tidak akan bisa diragukan lagi. Kenyataan itu

13

Lihat, Qs. Ar-Ruum [30]: 22.

14

Madjid,Kaki Langit Peradaban Islam, h. 172-174.

15

Manna Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Pnrj. Mudzakir AS (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), h. 455.


(28)

membuktikan bahwa seorang penerjemah ketika melakukan tugasnya, pasti akan melibatkan pengetahuan yang dimilikinya.

Oleh karena itu, dari definisi penerjemahan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan bukan hanya proses ‘mengganti’ melainkan sudah menjadi proses ‘menjelaskan’, ‘menyingkap’, dan ‘menampakkan’ atau ‘menerangkan’ makna yang abstrak pada suatu teks ke dalam bahasa satu atau lain sesuai dengan maksud pengarang.

B. Metode-metode Penerjemahan

Pada sub bab ini Penulis akan meletakkan metode-metode yang sudah kita kenal dan praktikkan selama ini. Karena banyak sekali metode-metode penerjemahan yang ada, maka Penulis di sini akan menjelaskan tentang metode penerjemahan Alquran atau bahasa Arab karena penelitian ini menganalisis tentang penerjemahan Alquran.

Metode penerjemahan berarti cara penerjemahan yang digunakan dalam mengungkapkan makna nas sumber secara keseluruhan di dalam bahasa penerima. Jika sebuah nas, misalnya Alquran, diterjemahkan dengan metode harfiyah, maka makna yang terkandung dalam surat pertama hingga surat terakhir diungkap secara harfiyah, kata demi kata hingga selesai. Buku terjemahan Alquran yang berjudul‘Inâyah li al-Mubtadînmerupakan contoh pemakaian metode ini.

Namun, dalam kenyataannya sebuah metode tidak dapat diterapkan pada sebuah nas secara konsisten dari awal hingga akhir. Keragaman masalah yang dihadapi menuntut penyelesaian dengan cara yang bervariasi pula. Karena itu,


(29)

metode ini biasanya digunakan sebagai pendekatan umum atau prinsip pokok dalam menerjemahkan sebuah nas.

Karena masalah penerjemahan itu sangat variatif, cara atau metode penyelesaiannya pun berfariasi pula. Dalam khazanah penerjemahan di dunia Arab, metode penerjemahan terbagi dua jenis: metode harfiyah dan metode tafsiriyah (metode maknawiyah).16

Metode Harfiyahialah cara menerjemahkan yang memperhatikan peniruan terhadap susunan dan urutan nas sumber. Cara menerjemahkan yang juga disebut dengan metodelafzhiyyah atau musâwiyah ini diikuti oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu Na’imah, al-Hamshi, dan sebagainya. Yang menjadi sasaran penerjemahan harfiyah ialah kata. Metode ini dipraktikkan dengan pertama-tama seorang penerjemah memahami nas, lalu menggantinya dengan bahasa lain pada posisi dan tempat kata bahasa sumber itu atau melakukan transliterasi. Demikianlah cara ini dilakukan hingga seluruh nas selesai diterjemahkan.

Metode di atas memiliki kelemahan karena dua alasan.

Pertama, tidak seluruh kosa kata Arab berpadanan dengan bahasa lain sehingga banyak dijumpai kosa kata asing.

Kedua, struktur dan hubungan antara unit linguistik dalam suatu bahasa berbeda dengan struktur bahasa lain.17

Menurut Ismail Lubis, tejemahan harfiyah di atas, dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima (Bsa), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber (Bsu) meskipun

16

Lihat juga dalam Manna Khalil al-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 443.

17


(30)

maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa penerima/sasaran) selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya masing-masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.18

Adapun metode tafsîriyah ialah suatu cara penerjemahan yang tidak memperhatikan peniruan susunan dan urutan nas sumber. Yang dipentingkan oleh metode ini ialah penggambaran makna dan maksud bahasa sumber dengan baik dan utuh. Yang menjadi sasaran metode ini ialah makna yang ditujukan oleh struktur bahasa sumber. Penerjemahan tidak perlu memaksakan diri untuk memahami setiap kata.19 Oleh sebab itu, bentuk terjemahan seperti ini disebut juga terjemahanmaknâwiyah.

Baik az-Zarqaniy maupun Manna al-Qattan, menurut Ismail Lubis, sama-sama menamakan terjemahan tafsîriyah dengan nama maknâwiyah. Perbedaan pendapat mereka cuma terletak dalam hal keterangan. Az-Zarqaniy menamakan terjemah tafsîriyah dengan nama maknâwiyah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna, sedangkan Manna al-Qattan tanpa alasan dan keterangan yang jelas.

Pemberian nama terjemahan tafsîriyah oleh az-Zarqaniy, lanjut Lubis, bukan tanpa alasan dan keterangan yang logis. Ahli ilmu Alquran ini memberi nama jenis terjemahan kedua ini dengan terjemahantafsîriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat,

18

Lubis,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 61.

19


(31)

mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Teknik terjemahan tafsîriyah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber.20

Sementara itu, Ahmad Hasan az-Zayyat, tokoh penerjemahan modern, menegaskan bahwa metode penerjemahan yang diikutinya ialah yang memadukan kebaikan metode harfiyah dan tafsiriyah. Langkah-langkah yang dilaluinya ialah sebagai berikut:

Pertama, menerjemahkan nas sumber secara harfiyah dengan mengikuti struktur dan urutan nas sumber.

Kedua, mengalihkan terjemahan harfiyah ke dalam struktur bahasa penerima yang pokok. Di sini terjadilah proses transposisi tanpa menambah atau mengurangi.

Ketiga, mengulangi proses penerjemahan dengan menyelami perasaan dan spirit penulis melalui penggunaan metafora yang relevan.

Kiranya metode yang diterapkan oleh az-Zayyat ini dapat diistilahkan dengan metode elektik, karena metode tersebut mengambil dan mengaplikasikan kebaikan yang terdapat dalam metode harfiyah dan metode tafsiriyah.21

Oleh karena penerjemahan bukanlah penggantian kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, melainkan pemindahan konsep, pengertian dan amanat, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Baik untuk

20

Lubis,Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 62.

21


(32)

penerjemahan secara harfiyah maupun tafsîriyah/maknâwiyah diperlukan tiga persyaratan:

1. Penerjemahan harus sesuai dengan koteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima.

2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya bahasa penerima.

3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima.

Yang dimaksud penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima ialah penerjemah benar-benar sejalan dengan yang dibicarakan dalam bahasa sumber dan memberikan makna yang tepat ke dalam bahasa penerima.22

C. Sekilas tentang Hermeneutik

Hans-Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam bidang hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya yang berjudul Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar di perpustakaan-perpustakaan dan sirkulasi filsafat.

Walau pun bukunya berjudul ‘Kebenaran dan Metode’, namun sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutik sebagai metode dan berada jauh dari kebenaran. Yang ingin ia tekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Sebab, menurur Gadamer, kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru merintangi atau

22


(33)

menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektik. Sebab di dalam proses dialektik kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibanding dengan dalam proses metodis. Pada dasarnya, metode adalah struktur yang dapat membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur tanya jawab, sedang proses dialek tidaklah demikian. Di samping itu, tidak semua ilmu pengetahuan kemanusiaan dapat diterapi suatu metode. Kesusastraan dan seni tidak dapat mempergunakan alat metodis satu pun. Hanya hermeneutik sajalah yang dapat membantu kita memahami ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut.23

Dengan demikian, tujuan penelitiannya bukan pula suatu Methodenlehre yang sekedar masalah merumuskan logika yang dipakai dalam berbagai bidang kegiatan mengetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori umum interpretasi.

Hermeneutik dipandang sebagai suatu teori pengalaman yang sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologis di dalam manusia. Gadamer merencanakan untuk memahami pemahaman sekomprehensif mungkin. Ia berpendapat bahwa tugas paling fundamental dari hermeneutik tidaklah mengembangkan suatu prosedur pemahaman, tetapi meneliti “apa yang selalu terjadi” manakala kita memahami. Hermeneutik adalah penelitian tentang semua pengalaman pemahaman. Gadamer merumuskan pemahaman sebagai suatu masalah ontologis.24

23

Sumaryono,Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 69.

24


(34)

Karena Gadamer secara prinsipil memfokuskan diri pada problem pemahaman sebagai problema eksistensialis,25 maka pemahaman, ujar Gadamer, selalu merupakan peristiwa historis, dialektik dan linguistik—dalam ilmu-ilmu, fenomena kemanusiaan. Hermeneutik adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Pemahaman tidak dipahami dalam cara tradisional sebagai perilaku subjektivitas manusia, namun sebagai cara mendasar keberadaanDasein di dunia. Kunci untuk memahami bukanlah memanipulasi atau menguasai tetapi partisipasi dan keterbukaan, bukan pengetahuan tetapi pengalaman, bukan metodologi tetapi dialektika. Bagi Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah meletakkan aturan bagi pemahaman yang “benar objektif”, namun untuk mendapatkan pemahaman itu sendiri seluas mungkin.26

Hermeneutik adalah memasuki diskusi dengan teks dari masa lalu. Oleh karena itu, masalah sentral hermeneutik adalah masalah konfrontasi atau perjumpaan antara masa-kini dan masa-lalu, atau, yang disebut juga masalah penerapan (applicatio). Jarak waktu menciptakan “posisi antara” yang menjadi kancah hermeneutik. Posisi di antara yang asing dan yang dikenal berada di antara yang dimaksud di waktu tertentu dalam sejarah dan ketermasukannya pada suatu tradisi.27

Menurut Gadamer, kesenjangan jarak antara kritikus (pengkaji teks) dan pengarang tidak harus diatasi seolah-olah sebagai sesuatu yang negatif, tetapi harus dipahami sebagai perjumpaan dua cakrawala: cakrawala kritikus (pengkaji

25

Nashr Hamid Abu Zaid,Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Pnrj. Muhammad Mansud, dkk. (Jakarta: ICIP, 2004), h. 43.

26

Richard E. Palmer,Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Pnj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 255.

27


(35)

teks) dan pengarang. Kritikus memperkaya cakrawalanya dengan cara mempertemukannya dengan cakrawala pengarang. Sebab itu, interpretasi tidak hanya bersifat reproduktif, melainkan juga produktif atau konstruktif (melampaui maksud pengarang dan sekaligus bermakna bagi kritikus). Teori hermeneutiknya, karena itu, disebut dengan hermeneutik konstruktif atau produktif. Baginya, memahami pikiran penulis dengan menulusuri latar belakang sejarah, budaya, tujuan penulis atau pengirim secara utuh sangat sulit, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Bahasa mempunyai makna yang otonom, berdiri sendiri, yang terbebas dari intensi penulis, konteks sosial dan budayanya, dan terbebas dari penerima pertamanya sebagai publik yang dituju penulis.28

Sebagaimana disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli tidak akan gagal untuk menangkap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.29

Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, pemahaman bukan suatu penalaran diskursif. Ia lebih dahulu dari penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif harus begini atau begitu. Sesuatu yang dipahami membuka berbagai kemungkinan reformulasi. Yang dikatakan memang tertentu, tetapi tidak pernah merupakan hubungan diramalkan dengan yang tidak dikatakan.30

28

Sukron Kamil,Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali Pers 2009, h. 223.

29

Sumaryono,Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 80.

30


(36)

“Memahami” selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karenanya, interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman. Namun persoalan yang timbul bagi kita sekarang adalah: mana yang lebih dahulu, pemahaman atau interpretasi. Atas persoalan ini, Gadamer menggelarkan jawabannya dengan menunjukkan perbedaan antara subtilitas intelligendi atau pemahaman dengan subtilitas explicandi atau interpretasi. Kata subtilitas karena mengandung kualitas lembut, halus, sulit dimengerti, mudah menerima, jernih dan cerdik, menolak semua bentuk metode ilmiah. Subtilitas adalah suatu kualitas yang mencari kehalusan seperti ‘lembutnya’ roh, yang menghindarkan gangguan yang berasal dari penggunaan metode.

Bagi Gadamer, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interpretasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutik. Kita tidak dapat ‘lebih dahulu’ memahami, ‘baru kemudian’ membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan sekedar merupakan cermin yang secara mekanis memantulkan segala cahaya yang diterimanya. Proses pemahaman sebenarnya proses interpretasi itu sendiri. Akal pikiran kita membuat pembedaan, mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari pancaindera kita dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila akal pikiran kita ‘memahamai’, maka di dalamnya tercakup juga interpretasi. Sebaliknya, jika akal pikiran kita melakukan interpretasi, maka terangkum juga pemahamannya.31

31


(37)

BAB III

SEKILAS TENTANG JENDER A. Makna Jender dan Bias Jender

Sekarang ini, kata ‘jender’ digunakan secara sosiologis atau sebagai sebuah kategori konseptual, dan ia telah diberikan sebuah makna yang sangat khusus. Di dalam perwujudan barunya, jender merujuk kepada definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka. Kata itu digunakan sebagai alat analitik untuk memahami realitas sosial dalam hubungannya dengan perempuan dan laki-laki.1

Mengutip dari Nasaruddin Umar dalam bukunya yang berjudul, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, kata “jender” berasal dari bahasa Inggris,gender, berarti “jenis kelamin”. DalamWebster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan di dalam Women’s Studies Encyclopedia, menurut Nasaruddin, dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.2

Konsep jender memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa jenis kelamin dan jender itu berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan

1

Kamla Bhasin,Memahami Gender. Pnrj. Moh. Zaki Hussein (Jakarta: TePlok Press, 2001), h. 1.

2

Nasaruddin Umar,Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 33.


(38)

perempuan, dan jenis kelamin kita dapat ditentukan hanya dengan melihat alat kelamin kita.3

Jender (gender) secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, jenis kelamin (sex) secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Semenara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.4

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Namun, definisi di atas tidak sebanding dengan penerapannya dalam kehidupan bersosialisasi dan berbudaya.

Sejak lama, pola-pola sosialisasi dilakukan secara berbeda antara perempuan dan laki-laki, baik itu dalam keluarga, maupun di lingkungan sosialnya. Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah lembut, pasif, dan dependen. Dengan kata lain, perempuan berprilaku feminin, patuh, tidak agresif dan apa yang pantas menurut jender. Model perempuan yang diinginkan harus sesuai dengan social expectation (harapan masyarakat), yakni

3

Bhasin,Memahami Gender, h. 1-2.

4


(39)

nice girl, good women, dan kontrol sosial pun lebih ketat terhadap perempuan ketimbang laki-laki.5

Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran, dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki. Orang boleh menyebutnya sebagai budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, di sadari atau tidak, mendapatkan pembenaran. Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan nasib hidupnya kepada laki-laki. Otonomi perempuan berkurang. Pada gilirannya, keadaan ini sering kali terbukti melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan juga eksploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, baik domestik maupun publik.6

Adalah penting untuk memahami patriarki agar bisa memahami relasi laki-laki dengan perempuan sekarang ini. Relasi jender menjadi timpang karena adanya patriarki. Di dalam bahasa umum, patriarki memiliki arti dominasi laki-laki. Kata “patriarki” secara harfiah memiliki arti kekuasaan ayah atau“patriach” (kepala keluarga), dan sejak semula digunakan untuk menggambarkan satu jenis yang spesifik dari “keluarga yang didominasi oleh laki-laki”—keluarga besar dari si patriarch, yang termasuk di dalamnya perempuan, laki-laki yang lebih muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga, semuanya berada di bawah

5

Romany Sihite,Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), h. 6.

6

Husein Muhammad,Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 3.


(40)

kekuasaan laki-laki yang dominan ini. Sekarang istilah itu digunakan secara lebih umum untuk merujuk kepada dominasi laki-laki, kepada relasi kekuasaan, di mana laki-laki mendominasi perempuan, dan untuk mencirikan sebuah sistem di mana perempuan terus disubordinasikan dengan berbagai cara.7 Di sini bias jender pun tak bisa dielakkan lagi, yakni dengan menilai bahwa perempuan sebagai pihak yang setingkat lebih rendah dari laki-laki.

Pada ruang publik, misalnya, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal yang domestik. Itu pun sebatas, apabila diizinkan oleh suaminya, karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan.8

Bagi sebagian kelompok tradisional, perempuan pun acapkali dipandang makhluk yang pesakitan, karena perempuan mendapat menstruasi setiap bulan sehingga tidak dapat melakukan ibadah seperti laki-laki. Karenanya, ibadah perempuan dinyatakan tidak sempurna dan dianggap kurang daripada laki-laki. Bahkan, dalam kelompok ini juga terdapat anggapan bahwa ketika masa menstruasi, perempuan berada dalam situasi emosional. Anggapan ini sesungguhnya dipengaruhi Perjanjian Lama yang berkembang di sejumlah agamawan termasuk para ahli Muslim. Dari sinilah muncul pandangan bahwa secara intelektual perempuan inferior dari laki-laki, hanya bertugas dalam wilayah

7

Bhasin,Memahami Gender, h. 26-27.

8


(41)

domestik, dan tidak mempunyai hak untuk mengakses ruang publik,9 sehingga hal ini mengandung pandangan yang bias jender.

B. Perspektif Teori Jender

Dalam studi jender dikenal beberapa teori yang cukup berpengaruh dalam menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran jender laki-laki dan perempuan, seperti teori Psikoanalisa, teori Fungsionalis Struktural, teori Konflik, teori Feminis, dan teori Sosio-Biologis. Namun, dari beberapa teori jender tersebut, agar penelitian ini tidak melebar ke mana-mana, Penulis hanya memfokuskan diri pada teori feminis yang dikutip dari Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an.

Dalam dua dekade terakhir kelompok feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan beberapa bentuk stereotip jender lainnya yang berkembang luas di dalam masyarakat.10

Pandangan feminis terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikategorikan kepada tiga kelompok seperti berikut.

a.Feminisme Liberal

Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller (1810 – 1850), Harriet Martineau (1802 – 1876), Aglina Grimke (1792 – 1873), dan Susan Anthony (1820 – 1906).

9

Sukron Kamil, dkk.,Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim(Jakarta: CSRC UIN Jakarta), h. 40.

10


(42)

Dasar pemikiran kelompok ini adalah manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan. Secara ontologis keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan.

Meskipun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana pun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat.

Kelompok ini termasuk paling moderat di antara kelompok feminis. Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti melakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi, dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.11

11


(43)

b.Feminisme Marxis-Sosialis

Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857 – 1933) dan Rosa Luxemburg (1871 – 1919).

Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesunggunya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.

Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami daripada sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya, karenanya, mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya.

Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali struktural secara mendasar, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.


(44)

Teori ini tidak terlalu menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi, tetapi teori ini lebih menyoroti faktor seksuslitas dan jender dalam kerangka ideologinya.12

c.Feminisme Radikal

Aliran ini muncul di permukaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, di antara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrim, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan “seks”, dalam arti kepuasan seksual juga diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolelir praktik lesbian.

Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan.

Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk penindasan yang teramat panjang di dunia. Penindasan karena ras, perbudakan,

12


(45)

dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi atau peraturan, tetapi pemerasan secara seksual teramat susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih mendasar.

Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tetapi juga di kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan perempuan itu sendiri. Laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan.

Yang menjadi inti perjuangan semua aliran feminisme tersebut di atas, menurut Nasaruddin Umar, ialah berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan jender di dalam masyarakat.13

C. Isu tentang Bias Jender dan Relasinya dalam Islam

Berbicara isu-isu tentang bias jender, mungkin sedikit sudah diperkenalkan dalam awal bab tiga di atas. Terkait dengan isu-isu tentang bias jender banyak sekali, seperti asal kejadian perempuan, poligami, pakaian, warisan, dll., namun tidak mungkin akan dibahas semuanya di sini. Dari banyaknya isu-isu tersebut, Penulis akan menguraikan isu tentang bias jender yang berkaitan dengan konsep kepemimpinan—bisa juga disebut sebagai kewajiban dan hak jender—secara khusus dan singkat.

Terlepas dari apa yang menjadi penyebabnya, realitas sosial dewasa ini memperlihatkan dengan jelas betapa kecenderungan manusia pada aktivitas kerja

13


(46)

ekonomis terasa menjadi semakin kuat dan keras. Pergulatan manusia untuk mendapatkan kebutuhan hidup dan untuk sebagian orang mencari kesenangan materialistik-konsumtif telah melanda hampir semua orang, laki-laki maupun perempuan. Fenomena ini semakin nyata dalam era industrial sekarang ini.

Bahkan realitas sosial juga memperlihatkan bahwa perburuan manusia mencari kesenangan ekonomi dan “sesuap nasi” oleh kaum perempuan, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga (mempunyai suami) semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tak pelak lagi bahwa untuk kaum perempuan yang disebut terakhir ini (kaum istri) pada gilirannya harus melakukan kerja ganda. Di samping mengurus suami dan anak-anak, mereka juga mencari nafkah di luar.14

Namun sayangnya, perempuan di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum.15

Salah satu sebabnya adalah karena, telah ditetapkan oleh para ulama ortodoks dan konservatif muslim bahwa peranan perempuan dibatasi secara ketat di rumah. Dia tidak boleh pergi ke luar kecuali dengan izin suami atau ayah, dan dia harus dengannya16 karena dianggap laki-laki mempunyai satu tingkat superioritas di atas perempuan.

Alasan tingkat superioritas ini dikatakan secara jelas dalam Q.S. an-Nisa [4]: 34 dengan terjemahannya sebagai berikut:

14

Muhammad,Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 159.

15

Kamil, dkk.,Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 38.

16

Asghar Ali Engineer,Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 265.


(47)

Laki-laki adalah pemimpin perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, perempuan yang saleh adalah yang taat (kepada Allah), lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” (Q.S. an-Nisa [4]: 34).

Hal ini akan Penulis perluas dalam bab IV. Karena, sesengguhnya problem peminggiran perempuan tidak hanya dikarenakan masalah struktural, tetapi juga karena persoalan kultural, seperti pengaruh sistem kepercayaan dan pemahaman keagamaan. Pemahaman parsial dan literal terhadap teks-teks Alquran dan Hadis, tampaknya ikut berpengaruh terhadap konfigurasi sosial yang meminggirkan perempuan di negara-negara Muslim.17 Maka, persoalan kultural ini perlu dianalisis lebih jauh lagi.

Kemudian, salah satu isu kontemporer yang agak problematik dalam pandangan Islam, menurut Sukron Kamil, paling tidak kalangan Islam konservatif dan radikal adalah persoalan kesetaraan hak perempuan. Riset yang dilakukan CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) UIN Jakarta belum lama ini (2009) menyebutkan bahwa komunitas Masjid al-Maghfirah (al-Kahfi) dan Masjid al-Islam Gumuk Solo Jawa Tengah menolak mentah-mentah kesetaraan jender dalam wilayah publik. Komunitas Masjid al-Kahfi secara tegas menyerukan agar semua perempuan dikeluarkan dari sektor-sektor publik (seperti pabrik) untuk diganti dengan laki-laki. Kesetaraan laki-laki dan perempuan hanya dalam soal ibadah dan amal saleh saja, dua hal yang bukan merupakan wilayah publik. Menurut mereka, ketika perempuan bekerja di sektor publik, pekerjaan di

17

Kamil, dkk.,Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 39.


(48)

sektor domestik akan ditinggalkan. Perempuan seharusnya lebih banyak mengurusi suami dan anak-anaknya, supaya mereka menjadi perempuan salehah dan anak-anaknya menjadi anak saleh. Selain itu, alasannya juga karena jika perempuan bekerja di wilayah publik, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi tercampur.

Pada tahun 1998, kesetraan perempuan dalam kepemimpinan publik dalam perspektif Islam juga pernah ramai dibicarakan, menyusul tampilnya Megawati sebagai salah satu kandidat yang dijagokan untuk presiden mendatang. Tragisnya, persoalan ini berakhir buntu dan tetap menjadi persoalan yang tak terselesaikan. Padahal, terbukanya kesempatan memimpin bagi wanita menjadi bagian dari parameter demokrasi yang saat ini tengah menjadi tuntutan reformasi dan tuntutan kemanusiaan sejagat. Paling tidak, kebuntuan itu terlihat dalam Kongres Umat Islam 5-8 Nopember 1998, yang mempending persoalan tersebut dan merekomendasikannya pada Komisi Fatwa MUI. Karenanya, isu ini mendesak untuk dijelaskan.18

Memang, kepemimpinan perempuan telah lama menjadi pembicaraan ulama, klasik maupun kontemporer. Hanya saja isu yang diangkatkan oleh imam mazhab berbeda dengan ulama sesudahnya, termasuk dengan ulama kontemporer. Kalau imam mazhab membahas tentang boleh atau tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai hakim [wilayah al-qadha], maka ulama sesudahnya—seperti al-Mawardi (w. 450 H.) dan Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H.) sebagai peletak dasar teori politik Islam—membicarakan lebih luas lagi seperti persyaratan untuk menjadi kepala negara, “wizarah al-tafwidh” (perdana menteri), “wizarah

al-18

Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 darihttp://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=20100712091031


(49)

tanfidz” (menteri) dan “ahl al-halli wa al-aqdi” atau “ahl al-ikhtiyar” (lembaga yang berkewajiban memilih kepala negara, menetapkan undang-undang dan kebijakan politik negara). Sedangkan ulama kontemporer lebih disibukkan dengan persoalan boleh atau tidaknya perempuan menjabat sebagai kepala negara.19

Banyak ahli, kendati perlu dikaji ulang, menolak kepemimpinan wanita. Al-Khatabi, as-Syaukani, dan Ibn Hazm misalnya berpendapat bahwa kepala negara disyaratkan tidak wanita. Bahkan, Sayyid Sabiq menginformasikan kesepakatan para ulama fiqh (hukum Islam) mengenai keharusan laki-laki bagi seorang qadhi (hakim). Tentu masih banyak pemikir muslim lainnya, seperti Yusuf Qardhawi, yang berpendapat sama. Salah satu yang dijadikan dasar oleh mereka, juga sejumlah tokoh di Indonesia yang berpendapat serupa, adalah QS 4:34 yang menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita, dan hadis riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa suatu masyarakat yang menyerahkan urusannya kepada wanita tidak akan memperoleh kebahagiaan.20

Alasan lain tidak bolehnya perempuan menjadi kepala negara juga adalah karena sentral dan beratnya tugas kepala negara (khalifah) dalam Islam yang sulit dipikul oleh seorang perempuan. Secara rinci, tugas-tugas khalifah ini meliputi: menjaga eksistensi agama, melakukan ijtihad terhadap persoalan-persoalan yang muncul, mengimami salat, melaksanakan hukum syariah, memutuskan perkara, memimpin tentara dalam peperangan, dan mengurus keuangan negara.21

Sehingga, sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para ulama mazhab yang membolehkan perempuan menjabat sebagai kepala negara. Pendapat

19

Ahmad Azharuddin Latif, dkk.,Pengantar Fiqh(Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005), h. 438-439.

20

Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.”

21

Kamil, dkk.,Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 65-67.


(50)

ini didukung oleh banyak ulama terkemuka, misalnya Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak bisa dipercayakan kepada perempuan walaupun memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan kemandirian. Menurut tokoh yang dijuluki hujjat al-Islam ini, bagaimana perempuan mencalonkan diri untuk jabatan pemimpin sementara ia tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam kasus hukum.22

Padahal, dalam sejarah Islam abad ke-13-17, sebagaimana hasil penelitian Fetima Mernisi, terdapat sedikitnya lima belas kepala negara perempuan berkuasa penuh di beberapa wilayah kekuasaan Islam. Sajaratuddur dan Radiyah di antaranya. Meraka adalah dua wanita penguasa Mamluk yang berasal dari Turki. Yang belakangan tentu kita mengenalnya yaitu Benazir Bhuto, dan di Inggris Margaret Tercer. Sebab itu, secara faktual, wanita tertentu ternyata mampu memimpin23 atau menjadi kepala negara.

22

Latif, dkk.,Pengantar Fiqh, h. 439.

23


(51)

BAB IV

ANALISIS HERMENEUTIK

TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-AZHAR

A. Riwayat HAMKA

HAMKA adalah seorang ulama besar, penulis produktif, mubalig yang berpengaruh di Asia Tenggara, dan ketua pertama MUI. Ia adalah putra H. Abdul Karim Amrullah (tokoh gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau) dan lahir pada awal gerakan “Kaum Muda”. Namanya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah beribadah haji pada 1927, ia bernama Haji Abdul Malik Amrullah, disingkat HAMKA.1 Ia dilahirkan di Sungai Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari (14 Muharram 1326 H.).2

Dalam usia enam tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Sewaktu berusia tujuh tahun, dia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Alquran dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923, dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padangpanjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay. Padangpanjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri.3 Namun dalam usianya yang masih muda, ia telah berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas literatur berbahasa

1

Badri Yatim, “HAMKA,” dalam Nina M. Armando… [et al.], ed.,Ensiklopedi Islam,

vol. II (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h. 293.

2

HAMKA,Tasauf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003), h. 9.

3

HAMKA,Tasauf Modern, h. 9.


(52)

Arab, termasuk terjemahan dari tulisan Barat. Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak HAMKA sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya.

Sejak berusia sangat muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakannya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944 – 1952), RM. Soerjopranoto (1871 – 1959), dan KH. Fakhruddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin) yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, A.R. Sutan Mansur, yang waktu itu ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah setempat. Pada Juli 1925 ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.4 Pada waktu itu pulalah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya bernama “Khathibul Ummah”.5

Pada Februari 1927 ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang 6 bulan. Selama di Mekah, ia bekerja pada sebuah percetakan,6 sambil menjadi Koresponden dari harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura

4

Yatim, “HAMKA,” h. 293-294.

5

HAMKA,Tasauf Modern, h. 9.

6


(53)

(Langkat), dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta.

Pada 1928 ia menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian ketua Tablig, sampai menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang.7 Pada tahun ini pula keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau bernama “Si Sabariyah”. Waktu itu pula dia memimpin majalah “Kemauan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Dalam tahun 1929 keluarlah buku-bukunya “Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, “Adat Minangkabau dan Agama Islam” (buku ini dibeslah, dirampas polisi), “Kepentingan Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj” dan lain-lain.8

Pada 1930 ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis.9 Dalam tahun ini pula, mulailah dia mengarang dalam sk. “Pembela Islam” Bandung, dan mulai berkenalan dengan M. Natsir, A. Hassan dan lain-lain. Ketika dia pindah mengajar ke Makassar diterbitkannya majalah “Al-Mahdi”.10

Pada 1931 ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Makassar. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul

7

Yatim, “HAMKA,” h. 294.

8

HAMKA,Tasauf Modern, h. 9.

9

Yatim, “HAMKA,” h. 294.

10


(54)

Muhammadiyah Sumatera Tengah.11 Setelah dia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah dia ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini dipimpinnya sendiri setelah setahun dikeluarkan, mulai tahun 1936 sampai 1943, yaitu seketika bala tentara Jepang masuk. Di zaman itulah banyak terbit karangan-karangannya dalam lapangan agama, filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang ditulis di “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulis terlepas. Dan, waktu itulah keluar romannya “Tenggelamnnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Merantau ke Deli”, “Terusir”, “Keadilan Ilahi”, dan lain-lain. Dalam hal agama dan filsafat ialah “Filsafat Modern”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, “Lembaga Budi”, “Pedoman Mubaligh Islam”, dan lain-lain. Di zaman Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”.

Setelah pecah Revolusi, beliau pindah ke Sumatera Barat. Dikeluarkannya buku-buku yang mengguncangkan, “Revolusi Fikiran”, “Revolusi Agama”, “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi”, “Negara Islam”, “Sesudah Naskah Renville”, “Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman”, “Dari Lembah Cita-Cita”, “Merdeka”, “Islam dan Demokrasi”, “Dilamun Ombak Masyarakat”, dan “Menunggu Peduk Berbunyi”.12

Sejak 1949, yaitu tercapainya Persetujuan Roem-Royen, ia pindah ke Jakarta. Pada 1950 ia mulai kariernya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam kepegawaian itu, ia diberi tugas memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi

11

Yatim, “HAMKA,” h. 294.

12


(55)

Islam: Perguruan Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (MUI) di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan.

Pada 1950 itu juga ia mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini, ia bertemu dengan pengarang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui karya mereka, seperti Thaha Husein dan Fikri Abadah.13 Sepulang dari lawatan ini, keluarlah buku-bukunya: “Ayahku”, “Kenang-Kenangan Hidup”, “Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad”, “Urat Tunggang Pancasila”. Riwayat perjalanan ke negeri-negeri Islam: “Di Tepi Sungai Nil”, “Di Tepi Sungai Dajlah”, “Mandi Cahaya di Tanah Suci”, “Empat Bulan di Amerika”, dan lain-lain.14

Pada 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Sejak itu, ia sering berkunjung ke beberapa negara, baik atas undangan negara bersangkutan maupun sebagai delegasi Indonesia.15 Pada tahun 1955 keluar buku-bukunya “Pelajaran Agama Islam”, “Pandangan Hidup Muslim”, “Sejarah Hidup Jamaluddin Al-Afghany”, dan “Sejarah Ummat Islam”.16

Pada 1958 ia menjadi anggota delegasi Indonesia untuk simposium Islam di Lahore. Dari Lahore ia meneruskan perjalanannya ke Mesir. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan pidato promosi untuk mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas al-Azhar, Cairo. Pidatonya yang berjudul “Pengaruh

13

Yatim, “HAMKA,” h. 294.

14

HAMKA,Tasauf Modern, h. 10.

15

Yatim, “HAMKA,” h. 294.

16


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka,”(Qs. An-Nisa [4]: 34).

Dari terjemahan HAMKA di atas dan setelah Penulis analisis, maka dapat disimpulkan bahwa ternyata jelas-jelas secara hermeneutis penerjemahan tersebut mengandung bias jender. Karena dari terjemahan yang kemudian diperkuat oleh tafsirnya, HAMKA menetapkan bahwa laki-laki (bagaimana pun laki-laki itu) kenyataannya akan dan harus menjadi pemimpin atas perempuan. Dalam kasus ayat ini, ia tidak memeberi cela sedikit pun kepada perempuan. Di sini perempuan hanya dituntut tutup mulut dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa penyebab hermeneutis dari penerjemahan HAMKA yang bias jender itu?

Sebab hermeneutik dalam terjemahan HAMKA yang bias jender di atas bisa dilihat dari penafsirannya. Mungkin, sebabnya antara lain pemahaman HAMKA dipengaruhi oleh ulama-ulama klasik yang mayoritas—seperti yang banyak diketahui—laki-laki. Pemahamannya juga, yaitu sebagai pangkal dari penerjemahannya, hanya terfokus pada tekstualitas ayat dan akhirnya mengabaikan sisi kontekstualitas ayat. Sehingga yang melekat hanyalah unsur-unsur subyektifitas penafsir. Dengan demikian, HAMKA, dalam kasus ayat di atas, menolak dengan keras kepemimpinan perempuan. Menurutnya, hanya laki-lakilah yang harus menjadi pemimpin.


(2)

Jika saja HAMKA membandingkan dalam menerjemahkan ayat di atas dengan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan, yang sudah dibahas dalam bab IV, mungkin terjemahannya tidak akan demikian. Karena, dalam penerjemahan tentang hak laki-laki dan perempuan, kemudian diperkuat dengan tafsirnya, HAMKA mengakui bahwa yang dapat menjadi pemimpin bukan hanya laki-laki atas perempuan, melainkan sebaliknya, perempuan juga dapat menjadi pemimpin bagi laki-laki. Karena keduanya memiliki tanggung jawab yang sama; amar ma’ruf nahi mungkar.

Maka, budaya yang mempengaruhi ideologi HAMKA pun tampaknya masih dikuasai oleh budaya patriarki. Sehingga penerjemahan dan penafsirannya pun mengandung unsur patriarki. Dalam kasus ayat ini, HAMKA telah menyebarkan konsep mengenai superioritas laki-laki atas perempuan. Maka, penerjemahannya juga menunjukkan adanya superioritas laki-laki.

Dengan demikian, di sini perlu sekali adanya penawaran dan perubahan masyarakat yang patriarki agar masalah pembiasan jender, khususnya dalam penerjemahan, dapat dihilangkan atau paling tidak dapat berkurang. Karena jika selama masyarakat patriarki merupakan model relasi sosial di kalangan masyarakat atau model di dunia penerjemahan, maka selama itu pula pembiasan jender akan terus dipakai.

B. Saran

Mencermati pembiasan jender tersebut, Penulis ingin memberikan beberapa catatan sebagai saran untuk mengarahkan kita pada suatu cita-cita agar bias jender dalam penerjemahan bisa terhindarkan.


(3)

1. Memahami agama bukan secara dogmatis, dan berdasarkan penalaran yang kritis, khususnya tentang pemahaman agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan.

2. Memperoleh pengetahuan agama melalui ceramah yang bukan hanya disampaikan oleh para ulama laki-laki, tapi coba dengarkan ceramah ulama perempuan yang pada saat ini sudah mulai bermunculan dan juga memiliki keilmuan yang mapan. Dan, memahami berdasarkan kajian yang mendalam terhadap sumber aslinya (Alquran dan Hadis).

3. Mampu membedakan mana ajaran agama yang bersifat mutlak dan absolut yang tidak dapat diubah sebagaimana tercantum dalam teks-teks suci, dan mana ajaran yang relatif dan dapat diubah dalam bentuk penafsiran dan interpretasi ulama. Dalam koteks Islam, perlu dibedakan mana ajaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dan mana ajaran yang merupakan hasil ijtihad atau pemikiran ulama.

Akhir kata, Penulis membuka ruang perbincangan dan mohon maaf atas kesalahan agar diperbaiki di masa-masa yang akan datang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Irfan Abu, dkk. Modul Pelatihan Agama dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2009.

Bhasin, Kamla. Memahami Gender. Pnrj. Moh. Zaki Hussein. Jakarta: TePlok Press, 2001.

E. Palmer, Richard. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Pnrj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Graddol, David dan Joan Swann. Gender Voices: Telaah Kritis Relasi Bahasa-Jender. Jakarta: Pedati, 2003.

Grondin, Jean. Sejarah Hermeneutik: Dari Plato Sampai Gadamer. Pnrj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.

Hamid Abu Zaid, Nashr.Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Pnrj. Muhammad Mansud, dkk. Jakarta: ICIP, 2004.

Hamka.Tafsir Al-Azhar Juz V.Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

___________.Tafsir Al-Azhar Juz III – IV.Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996. ___________.Tafsir Al-Azhar Juz XIX – XX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. ___________.Tafsir Al-Azhar Juz X. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980. ___________.Tasauf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003.

___________. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.

Hasyim, Syafiq.Bebas dari Patriarkhisme Islam. Depok: KataKita, 2010. Hidayat, Komarudin.Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Teraju, 2004.

Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran. Yogyakarta: LKiS, 2003.

J. Semler, Vicki, dkk. Hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada Konvensi-Konvensi PBB tentang Hak Asasi Perempuan. Pnj. Embun. Jakarta: YJP, 2001.


(5)

Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

___________. “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.” Artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail =20100712091031.

___________, dkk. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Latif, Ahmad Azharuddin, dkk.Pengantar Fiqh. Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005. Lubis, Ismail. Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990. Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2001.

Machali, Rochayah.Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000. Madjid, Nurcholish.Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 2009. Muhammad, Husein. Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender. Yogyakarta: LKiS, 2001.

___________. Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2009.

Mulia, Siti Musdah.Islam and Violence Against Women. Jakarta: LKAJ, 2005. ___________. Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaa. Bandung:

Mizan, 2005.

Al-Mu’thi, Fathi Fawzi ‘Abd. Wanita-Wanita Al-Quran: Kisah Nyata Perempuan-Perempuan Hebat yang Dicatat Abadi dalam Kitab Suci, Pnrj. Asy’ari Khatib. Jakarta: Zaman, 2010.

Poespoprodjo.Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Al-Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Pnrj. Mudzakir AS. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001.

Shihab, M. Quraish.Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

___________.Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Siddique, Kaukab. Menggugat “Tuhan Yang Maskulin”, Pnrj. Arif Maftuhin. Jakarta: Paramadina, 2002.


(6)

Sihite, Romany. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

Sumaryono.Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung:

Humaniora, 2005.

Tim Penyusun.Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta, 2007.

Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Pnrj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.

Umar, Nasaruddin.Argumen Kesetaraan Jender.Jakarta: Paramadina, 2001. Yatim, Badri. “HAMKA.” Dalam Nina M. Armando… [et al.], ed., Ensiklopedi