Penerjemahan Kata Qawwamûn
perempuannya telah melangkah pergi, Rasulullah berkata: “Kembali Kembali Ini Jibril datang” Maka turunlah ayat ini membolehkan memukul. Maka
berkatalah Rasulullah saw., “Kemauan kita lain, kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhanlah yang lebih baik.”
29
Di sini sudah jelas bahwa sebab turunnya ayat ini, seperti yang dikutip Musdah dari Asghar di atas, bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan,
melainkan mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, apakah tepat selaras dengan konteksnya jika kata qawwamûn pada ayat di atas
diterjemahkan dengan “pemimpin”? Untuk kata “qawwamûn”, sejumlah ahli tafsir terkenal, seperti imam Jalal
Ad-Din Al-Suyuti w. 1505 M., penulis Tafsir Al-Jalalain, memahami kata itu dengan arti “memimpin” atau “menguasai”. Jadi pengertiannya, laki-laki adalah
pemimpin dan penguasa atas perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan publik. Selanjutnya ayat ini dijadikan landasan bagi penolakan
kepemimpinan kaum perempuan di segala aspek kehidupan. Bahkan, para mufasir mengemukakan berbagai penjelasan yang sangat “bias laki-laki”. Imam Al-
Nawawi w. 1277 M., misalnya, mengungkapkan, ada beberapa alasan mengapa qawwamûn diartikan superioritas laki-laki atas perempuan. Di antaranya karena
laki-laki memiliki kesempurnaan akal kamal al-‘aql, matang dalam perencanaan, dan cakap dalam mengurus sesuatu husn al-tadbir, memiliki
penilaian yang tepat, serta memiliki kelebihan dalam amal dan kesalehan. Oleh sebab itu, laki-laki diberi tugas istimewa untuk menjadi Nabi, juga sebagai imam
atau wali, menjadi saksi dalam berbagai masalah, ikut berjihad, salat Jumat, dan
29
HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, h. 50.
seterusnya. Dengan pola penafsiran seperti itu, terlihat kecenderungan mufasir untuk mendukung superioritas laki-laki terhadap perempuan.
30
HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar menerjemahkan ayat di atas sebagai berikut:
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang
mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan yang baik adalah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan cara yang
dipeliharakan Allah,” Qs. An-Nisa [4]: 34.
31
Di sini, kata qawwamûn yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas, telah diterjemahkan secara sangat berbeda oleh para penafsir yang lain. Dalam
terjemahan HAMKA di atas, kata qawwamûn diterjemahkan “pemimpin”. Di sini tekanannya jelas pada superioritas laki-laki atas perempuan.
Karena HAMKA menjelaskan dalam tafsirnya bahwa di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi
pemimpin. Atau wahai perempuan, kamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidak pun ada perintah, namun
kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa
perintah itu berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia.
32
Sedangkan M. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah, ketika menerjemahkan kata qawwamûn, lebih condong membiarkan seperti kata aslinya
30
Musdah, Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 164.
31
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 45.
32
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 46.
atau tidak menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “pemimpin”, seperti terjemahan HAMKA di atas.
Menurutnya, memang seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tapi agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna
yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan”
tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, lebih- lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki
pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami-istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya, sehingga
persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi
kebutuhan atau perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui
pengadilan. Nah, siapakah yang harus memimpin? Allah swt. menetapkan lelaki sebagai pemimpin.
33
Walau pun Quraish Shihab tidak menerjemahkan kata qawwamûn, tetap saja dia menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata itu bermakna “pemimpin”. Ini
sama dengan terjemahan HAMKA. Tapi Quraish Shihab memberikan penjelasan tambahan bahwa “kepemimpinan” ini yang mencakup segalanya, pemenuhan
33
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2, h. 424-425.
kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan. Seperti dijelaskan di atas.
Dalam hal ini, Amina Wadud Muhsin sebagai seorang penulis masalah- masalah perempuan dalam Islam menjelaskan bahwa pernyataan “laki-laki
qawwamûn atas perempuan” tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat secara otomatis pada setiap laki-laki, melainkan hanya bersifat fungsional. Yakni
selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Alquran dalam hal memiliki kelebihan dan memberi nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki
secara otomatis superior atas perempuan. Di sana hanya dikatakan bahwa “laki- laki tertentu saja yang menjadi qawwamûn terhadap perempuan tertentu”. Alquran
sama sekali tidak menyatakan bahwa semua laki-laki secara otomatis menjadi pemimpin atas semua perempuan. Lagi pula, ayat ini menunjukkan dengan yang
amat jelas bahwa yang dimaksud dalam soal ini adalah relasi suami dan istri dalam rumah tangga atau dalam ruang domestik, dan tidak berlaku bagi relasi
laki-laki dan perempuan di ruang publik.
34
Namun demikian, Nasaruddin Umar menerjemahkan kata qawwamûn berbeda dari kedua penafsir di atas. Dia mengikut pada terjemahan Abdullah
Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, yaitu “pelindung”. Pelindung di sini, lanjut Nasaruddin Umar, ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan
sabab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Namun, menurut Nasaruddin, ayat ini
tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat
35
atau pada sektor publik.
34
Musdah, Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 166.
35
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 33.
Sementara Asghar Ali Engineer, mengutip terjemahan dari Muhammad Asad, menerjemahkan kata qawwamûn dengan “menjaga”. Karena menurutnya,
dalam terjemahan ini tekanannya bukanlah pada superioritas laki-laki atas perempuan, tetapi kewajiban laki-laki untuk menjaga perempuan. Kata
qawwamûn telah diterjemahkan dengan seseorang yang harus “menjaga perempuan secara penuh.” Bahkan Muhammad Asad, menurutnya, merasa bahwa
qawwamûn adalah bentuk yang dikuatkan dari qâ’im, dan bentuk gramatikal ini lebih komprehensif karena menggabungkan konsep nafkah fisik dan perlindungan
dengan tanggung jawab moral. Oleh karena itu, menurut Muhammad Asad, menjadi qawwamûn berarti memberikan tambahan tanggung jawab laki-laki
kepada perempuan.
36
Namun, tidak sedikit juga mufasir yang menolak model interpretasi yang mendukung superioritas laki-laki atas perempuan.
Di antara mufasir yang menolak adalah Syaikh Muhammad ‘Abduh, Sayyid Quthub, dan Wahbah Al-Zuhaili. Menurut mereka, “qawwamûn” lebih
cenderung dan lebih tepat diartikan “melindungi” dan “mengarahkan”. Dalam kerangka seperti ini, laki-laki dituntut untuk memberikan perlindungan dan
pengayoman terhadap perempuan karena adanya kelebihan yang bersifat materiil, seperti kemampuan memberi nafkah. Akan tetapi, meskipun Allah menjadikan
laki-laki sebagai pelindung dan pengayom terhadap perempuan, hal itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa laki-laki dapat mendominasi perempuan.
Sebagai penafsir, seperti Asghar Ali Engineer dan Rifat Hasan, menyatakan bahwa ayat itu turun sebagai pengakuan bahwa realitas sejarah kaum perempuan
36
Engineer, Pembebasan Perempuan, h. 69-70.
pada masa itu memang menempatkan perempuan sangat rendah, dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan; sementara laki-laki dianggap
lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah. Lebih jauh, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa ayat itu bukanlah berkaitan dengan
perbedaan hakiki, melainkan fungsional. Artinya, kalau seorang istri bisa mandiri secara ekonomis, baik karena warisan maupun karena usahanya sendiri dan
memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka posisi qawwamûn tersebut dapat di tawar, dan bukanlah harga mati.
37
c. Penerjemahan terhadap Dua Alasan Kepemimpinan Laki-laki
Namun perlu dicatat bahwa alasan atas diberikannya kepemimpinan kepada laki- laki telah dijelaskan dalam lanjutan ayat di atas dengan dua pertimbangan pokok.
Pertama, “bimâ fadhdhala allahu ba’dhahum ‘alâ ba’dh”. HAMKA menerjemahkan ayat ini dengan “lantaran Allah telah melebihkan sebahagian
mereka atas yang sebahagian.” HAMKA memberikan contoh misalnya berdiri rumah tangga, ada bapak,
ada istri dan ada anak, dengan sendirinya—meskipun tidak disuruh—laki-lakilah, yaitu si bapak yang menjadi pemimpin. Seibarat batang tubuh manusia, ada
kepala, ada tangan dan kaki, ada perut. Semuanya penting, tetapi yang kepala tetap kepala.
38
Meskipun HAMKA, dalam tafsirnya, tidak menjelaskan apa kelebihan yang Allah berikan kepada laki-laki atas perempuan, namun dari contoh di atas,
dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun kondisi laki-laki itu, baik atau buruk,
37
Musdah, Muslimah Reformasi:Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 166.
38
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 46-47.
lemah atau kuat, dengan sendirinya laki-lakilah yang menjadi pemimpin. Di sini, HAMKA benar-benar tidak memberi ruang kepada perempuan untuk bersuara
menentukan hak-haknya. Perempuan hanya bisa ‘bungkam’ dalam bayang-bayang laki-laki.
Kedua, “wa bimâ angfaqu min amwâlihim” diterjemahkan HAMKA, “Dan dari sebab apa yang mereka belanjakan dari harta benda mereka.” Artinya, jelas
HAMKA, perwilahan atas harta benda pun adalah tanggung jawab laki-laki. Dalam bersuami-istri, dimisalkan harta benda mereka berdua yang punya, yang
dinamai adat orang Minangkabau “harato suarang” namun hak terakhir di dalam menentukan tetap pada laki-laki.
39
Jika kita bandingkan pemahaman HAMKA, yang berkaitan dengan kedua pokok kelebihan laki-laki atas perempuan, dengan pandang Quraish Shihab, maka
terlihat penafsir pertama sama sekali tidak mencantumkan bukti-bukti konkrit kelebihan laki-laki, sedangkan penafsir yang disebut terakhir menyebutkan
kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan dengan mengutip dari seorang ulama terkemuka asal Iran, Murthadha Muthahhari. Pertama, sebagai berikut:
“Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan
perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi perempuan lebih mampu membentengi diri penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat
berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka
sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara
39
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 47.
lebih besarbanyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.”
40
Lebih jauh lagi Quraish Shihab menjelaskan tentang perbedaan antara laki- laki dan perempuan. Penjelasan Quraish Shihab terkait dengan perbedaan laki-laki
dan perempuan dari segi psikisnya. Secara umum, ungkap Quraish Shihab, lelaki lebih cenderung kepada
olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan
cenderung kepada kedamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tenteram.
41
Kemudian kedua, tentang bukti disebabkan karena mereka telah menafkahi sebagian harta mereka, Quraish Shihab menjelaskan bahwa bentuk
kata kerja past tensemasa lampau yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan”, dalam terjemahan HAMKA “belanjakan”, menunjukkan bahwa memberi nafkah
kepada wanita telah menjadi kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Sedemikian lumrah hal
tersebut, sehingga langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya sejak dahulu. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini
menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini.
42
Namun demikian, Nasaruddin memiliki pandangan yang berbeda. Karena, menurutnya, ayat yang kita bicarakan ini tidak tepat dijadikan alasan untuk
menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Muhamad Abduh,
40
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2, h. 426.
41
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 426.
42
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 428.
menurut Nasaruddin, dalam Al-Manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, karena ayat di atas tidak menggunakan kata
oleh karena Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki tetapi mengunakan kata
oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain.
43
Oleh karena itu, penting juga untuk dicatat, dalam konteks apa Allah telah memberikan laki-laki fadhl yakni, preferensi atau kelebihan atas perempuan.
Asghar, yang mengutip pandangan Muhammad Asad, menganggap bahwa hal ini sebagai pemberian tanggung jawab yang lebih kepada laki-laki daripada
perempuan. Bukan menganggap itu sebagai seperioritas laki-laki atas perempuan seperti pandangan penafsir kenservatif di atas. Karena, di masa itu laki-lakilah
yang mencari nafkah dan memberikannya kepada istri mereka, meskipun secara teoritis perempuan juga dapat mencari nafkah. Tetapi, secara sosiologis dikatakan
bahwa pada masyarakat awal Islam, sebetulnya perempuan tidak mencari nafkah. Sebagaimana perempuan lain di seluruh dunia, mereka bergantung kepada laki-
laki untuk memenuhi biaya hidup. Kelebihan ini, dengan kata lain, lebih bersifat sosiologis daripada bersifat ketuhanan.
44
Terlepas dari alasan-alasan di atas, hal paling penting untuk dikemukakan adalah bahwa kekurangan yang dimiliki perempuan tidak dengan sendirinya
menjadikan perempuan harus dianggap lebih rendah dari laki-laki. Adalah ketidakadilan, jika faktor biologis ini kemudian dijadikan alasan untuk
menetapkan batasan-batasan atas peran-peran dan aktualisasi diri perempuan dalam ruang dan waktu sosial mereka, seperti pandangan umum dalam
43
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 150-151.
44
Engineer, Pembebasan Perempuan, h. 70.
kebudayaan kita selama ini. Lebih tidak adil lagi jika mereka harus dikerangkeng dan dipojokkan ke dalam sudut-sudut tembok rumahnya atas nama apa pun,
45
seperti pandangan HAMKA di atas. Dalam pandangan Sukron Kamil dalam artikelnya menjelaskan bahwa
tersubordinasinya wanita oleh pria sehingga mengurusi soal domestik semata, bukan persoalan nature tetapi culture. Salah satunya, berawal dari pembagian
tugas. Pada kebudayan tertentu, bahkan, perempuan pun menjadi kepala rumah tangga. Lebih dari itu, dalam soal daya tahan endurance, kata para ahli
psikologi, wanita lebih kuat daripada laki-laki. Sedangkan perbedaanya dengan laki-laki dalam bidang kekuatan fisik pun, dengan adanya teknologi, sekarang
tidak lagi menjadi problem. Jadi, saat ini, hanya kemampuan intlektual dan kemampuan memimpin sajalah yang membedakan wanita dengan laki-laki.
46
Oleh karena itu, penafsiran atau penerjemahan HAMKA di atas bagaimanapun telah memberi arah bagi pembagian peran tetap laki-laki dan
perempuan. Laki-laki berperan pada sektor publik kemasyarakatan dan perempuan berperan pada wilayah domestik rumah tangga. Proses domestifikasi
perempuan terus berlangsung dengan justifikasi pikiran keagamaan ini. Ketika kita mengatakan bahwa perbedaan jender tersebut bersifat kodrat, dalam istilah
HAMKA sebuah “kenyataan”, maka ia akan berarti penempatan peran-peran dan fungsi-fungsi tersebut sebagai suatu yang normatif, yang berlaku tetap sepanjang
zaman dan di mana-mana. Karena, seperti yang dijelaskan Husein Muhammad dalam Islam Agama
Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren, kekuasaan dan kekuatan laki-laki
45
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2009, h. 197.
46
Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.”
yang memperoleh dasar legitimasi pikiran keagamaan secara tidak disadari ternyata menimbulkan perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan,
semata-mata dia memiliki tubuh dan jenis kelamin perempuan. Pada gilirannya hal ini memberi dampak lebih luas bagi langkah-langkah perempuan di tengah-
tengah kehidupan sosial mereka.
47
Padahal, pada peran-peran sosial yang dimiliki laki-laki dan perempuan sepenuhnya adalah konstruksi budaya. Perempuan memasak, lebih banyak
mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan laki-laki lebih banyak berada di luar rumah, sepenuhnya adalah proses hasil budaya, interaksi sosial, yang turun
temurun dan bukan pembagian tugas dari Tuhan. Peran sosial tersebut pun mungkin saja berubah oleh waktu, tempat, dan keadaan sesuai dengan kondisi di
wilayah tertentu.
48
Berangkat dari dasar pemahaman sebagaimana dikemukakan oleh penafsir di atas maka ayat ini harus dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis dan
kontekstual karena merujuk pada persoalan partikular. Menurut Husein Muhammad, posisi perempuan yang ditempatkan sebagai
bagian dari laki-laki, dan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarki atau peradaban laki-laki. Di mana,
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi dan kesamaan sangat kuat. Pada masyarakat seperti ini, penempatan posisi perempuan demikian
boleh jadi memang tepat sepanjang dalam praktiknya tetap memerhatikan prinsip kemaslahatan kebaikan. Oleh karena itu, redaksi ayat tersebut datang dalam
bentuk narasi ikhbar yang dalam disiplin ilmu ushul fiqh hanya sebatas
47
Muhammad, Islam Agama Ramah Lingkungan: Pembelaan Kiai Pesantren, h. 83.
48
Irfan Abu Bakar, dkk., Modul Pelatihan Agama dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2009, h. 109.
pemberitaan yang tidak mengindikasikan suatu ajaran perintah agama. Asbab an-uzul ayat di atas juga memperkuat pandangan ini, di mana ia turun untuk
memperkecil kekerasan penolakan masyarakat patriarki saat itu terhadap keputusan Nabi saw. yang memberi kesempatan kepada Habibah binti Zaid yang
telah dipukul oleh suaminya untuk membalas qishash memukul kembali suaminya. Dengan demikian, lanjut Husein Muhammad, penafsiran-penafsiran
yang mengatakan bahwa kepemimpinan hanya hak kaum laki-laki dan bukan hak kaum perempuan seperti pandangan HAMKA di atas adalah interpretasi yang
sarat dengan muatan sosio-politik saat itu.
49
Apabila penafsiran atau pemahaman ini bersifat sosiologis dan kontekstual maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain,
posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki juga memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat format kebudayaannya yang sudah berubah.
Karena, seperti konsep Gadamer, pemahaman bersifat historikal. Dan, karena agaknya tidak diragukan lagi bahwa cakrawala besar masa-lalu tempat
kebudayaan dan masa-kini kita hidup, memengaruhi kita dalam setiap hal yang kita maui, kita harapkan atau kita takutkan dan khawatirkan di masa-depan. Gerak
hitorikal merupakan inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa-lalu dan masa-kini.
Oleh karenanya, mengadakan revisi merupakan keharusan. Selalu mengadakan revisi adalah ciri hakiki pemahaman. Berkat derap perjalanan
waktu—misalnya dari periode awal Islam sampai periode HAMKA atau dari periode HAMKA sampai periode kita—senantiasa akan terdapat aspek-aspek baru
49
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKis, 2001, h. 26-27.
yang lagi terbebaskan dan tampil ke permukaan sehingga setiap interpretasi baru dapat dipandang sebagai potensialitas-potensialitas data tradisi.
50
Dengan cara pandang demikian, menurut Husein Muhammad, setidaknya kita dapat memahami bahwa perempuan bukanlah makhluk Tuhan yang harus
selalu dan selamanya dipandang rendah hanya karena dia perempuan, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan kebudayaan patriarki. Pada saat yang
sama, kita juga tidak selalu dan terus menerus menganggap salah ketika perempuan menjadi pemimpin, penanggung jawab, pelindung, dan pengayom bagi
komunitas laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka kerahmatan, keadilan, dan kemaslahatan, atau kepentingan masyarakat luas. Penafsiran atau pemahaman
dengan paradigma seperti ini, menurut Husein Muhammad, tidak terbatas pada hubungan laki-laki-perempuan dalam ruang domestik suami-istri, tetapi juga
berlaku untuk semua masalah hubungan kemanusiaan yang lebih luas atau persoalan-persoalan partikular lainnya yang terkait dengan dinamika sosial dan
budaya.
51
Bertolak dari tujuan untuk mengetahui apakah terjemahan HAMKA dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, secara hermeneutis mengandung bias atau tidak, maka
di sini perlu dijelaskan sedikit tentang hermeneutik, yang dalam penulisan ini melihat dari teori hermeneutiknya Gadamer.
Gadamer berpendapat bahwa hermeneutik adalah seni, bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa dari hermeneutik, maka pemahaman tidak
50
Poespoprodjo, Hermeneutika Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 94-95.
51
Muhammad, Fiqih Perempuan, h. 27-28.
dapat dijadikan pelengkap proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni.
52
Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah,
dialektik dan bahasa. Oleh karenanya, pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat
objektif dan ilmiah. Sebab, pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat
khusus dalam kerangka ruang dan waktu, misalnya dalam sejarah. Semua ‘pengalaman yang hidup’ itu menyejarah, bahasa dan pemahaman juga
menyejarah.
53
Oleh karena itu, ayat di atas, dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat itu membincangkan masalah nusuz atau konflik atau percekcokan dalam rumah
tangga, maka sangat tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas
kepemimpinan perempuan. Laki-laki sebagai qawwamûn yang dalam Tafsir Al- Azhar diterjemahkan menjadi “pemimpin” telah dirasionalisasi sebagai “situasi
ketergantungan perempuan dalam bidang ekonomi dan keamanan” seperti penafsiran HAMKA di atas, yang menurut hemat Penulis penafsirannya melihat
hanya dari adat masyarakat Minangkabau, tempat penafsir ini lahir dan menempa ilmu agama. Kalau ketergantungan itu tidak ada lagi, maka posisi qawwamûn
pun bisa ditawar. Sekarang ini laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi
52
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1999, h. 77.
53
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 81.
dan keamanan bagi segenap anggota masyarakat.
54
Dengan demikian jelas bahwa penerjemahan HAMKA di atas, yang diperkuat dengan penafsirannya, benar
mengandung bias jender. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa penyebab dari
penerjemahan dan penafsiran HAMKA yang bias jender itu? Sebelum pertanyaan ini dijawab, penting untuk diketahui faktor penyebab munculnya pemahaman
yang bias jender dari seorang muslimah reformasi Indonesia, Siti Musdah Mulia. Musdah Mulia, ketika menuliskan kata pengantar di dalam bukunya Syafiq
Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, mengatakan bahwa dalam konteks ajaran tentang posisi perempuan, disimpulkan paling tidak ada tiga faktor
penyebab munculnya pemahaman keagamaan yang bias jender yang kemudian pembagian ini juga berlaku untuk penerjemahan.
Pertama, pada umumnya umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran kritis dan rasional, khususnya
pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan. Tidak heran jika pemahaman yang muncul adalah sangat ahistoris. Relasi jender
dipandang sebagai sesuatu yang given, bukan socially constructed. Kedua, pada umumnya masyarakat Islam memperoleh pengetahuan
keagamaan melalui ceramah dari para ulama – yang umumnya sangat bias jender dan bias nilai-nilai patriarkal – bukan berdasarkan kajian kritis dan mendalam
terhadap sumber-sumber aslinya Alquran dan Hadis. Ketiga, pemahaman tentang relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat
lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci,
54
Musdah, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 42.
mengabaikan aspek kontekstualnya yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, agama Islam bukan
hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan seluruh manusia: perempuan dan
laki-laki.
55
Dari pembagian menurut Musdah Mulia di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya bias jender dalam penerjemahan HAMKA di atas juga
mempunyai tiga faktor penting. Pertama, secara umum HAMKA lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran kritis dan
rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan tentang ayat kepemimpinan di atas.
Kedua, pada umumnya HAMKA memperoleh pengetahuan keagamaan dari para ulama klasik, yang masih kental dan
dipengaruhi oleh budaya patriarki, seperti guru-gurunya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay, bukan berdasarkan
kajian kritis dan mendalam terhadap sumber-sumber aslinya Alquran dan Hadis. Ketiga, pemahaman tentang relasi laki-laki dan perempuan HAMKA lebih banyak
mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci, mengabaikan aspek kontekstualnya yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu tercermin dari penafsirannya bahwa menurut HAMKA ayat ini
adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa laki-laki
membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri
55
Syafiq Hasyim, Bebas dari Patriarkhisme Islam Depok: KataKita, 2010, h. 17-18.
dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah
yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan.
56
Padahal turunnya ayat ini sudah jelas bukan berkaitan dengan konsep kepemimpinan, seperti yang terlihat dalam sebab
turunya. Maka, siapa pun—laki-laki atau perempuan—bisa menjadi pelindung bagi sebagian yang lain selagi itu untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama, baik
dalam keluarga domestik atau pun dalam masyarakat publik. Namun, secara khusus, sebab hermeneutik dalam terjemahan HAMKA
yang bias jender di atas bisa dilihat dari latar belakang sejarah penulisan Tafsir Al-Azhar dan budaya yang mempengaruhi ideologi penafsir ini.
Latar belakang penulisan tafsir ini, seperti yang sudah dijelaskan dalam riwayat penafsir, ditulis ketika penafsir dalam tahanan. Keadaan ini membuat
penulisan tafsir ini tidak maksimal. Hal ini terlihat dari penafsirannya, yaitu sebagai pangkal dari penerjemahannya, hanya terfokus secara tekstualitas dan
akhirnya mengabaikan sisi kontekstual ayat. Sehingga yang melekat hanyalah unsur-unsur subyektifitas penafsir. Dengan demikian, HAMKA, dalam kasus ayat
di atas, menolak dengan keras kepemimpinan perempuan. Menurutnya, hanya laki-lakilah yang harus menjadi pemimpin. Jika HAMKA membandingkan dalam
menerjemahkan ayat di atas dengan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan, yang akan dibahas selanjutnya, mungkin terjemahannya tidak akan demikian.
Karena, dalam penerjemahan tentang hak laki-laki dan perempuan, kemudian diperkuat dengan tafsirnya, HAMKA mengakui bahwa yang dapat menjadi
56
HAMKA, Tafsir al-Azhar Juz V, h. 46.
pemimpin bukan hanya laki-laki atas perempuan, melainkan sebaliknya, perempuan juga dapat menjadi pemimpin bagi laki-laki. Karena keduanya
memiliki tanggung jawab yang sama; amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan budaya yang mempengaruhi ideologi HAMKA tampaknya
masih dikuasai oleh budaya patriarki. Sehingga penerjemahan dan penarsirannya pun mengandung unsur patriarki. Dalam kasus ayat ini, HAMKA telah
menyebarkan konsep mengenai superioritas laki-laki atas perempuan. Maka, penerjemahannya juga menunjukkan adanya superioritas laki-laki. Dengan
demikian, secara hermeneutis, penerjemahan HAMKA benar-benar mengandung bias jender.
Untuk itulah penerjemahan ayat ini harus berubah, seperti terjemahan Muhammad Asad yang di kutip oleh Asghar Ali Engineer, sebagai berikut:
“Laki-laki suami hendaknya menjaga perempuan istri sepenuhnya dengan bertanggung jawab karena Allah telah melimpahkan lebih banyak beban kepada
laki-laki suami daripada perempuan istri, dan dengan apa yang mereka nafkahkan dari apa yang mereka miliki. Dan, perempuan yang bertakwa adalah
yang paling beriman, yang memelihara kerukunan yang telah ditakdirkan Allah untuk dipelihara. Dan, bagi mereka perempuan yang sakit hati, kamu
mempunyai alasan untuk takut maka pertama nasehatilah mereka, kemudian tinggalkanlah sendiri di tempat tidur, kemudian pukullah mereka, dan apabila
mereka memberikan perhatian kepadamu, janganlah mencari kesalahan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah jelas Mahatinggi lagi Mahabesar,”
QS. An-Nisa [4]: 34.
57
57
Engineer, Pembebasan Perempuan, h. 69.
Dari penerjemahan Muhammad Asad di atas, maka, hemat Penulis, penerjemahan ayat tentang kepemimpinan, seperti pandangan umum, ini
setidaknya menjadi selamat dari penerjemahan yang bias jender yang kemudian menghasilkan pemahaman yang anti bias jender. Untuk lebih jelasnya, di bawah
ini Penulis akan jelaskan tentang ayat-ayat pembanding dengan ayat kepemimpinan di atas.