Makna Jender dan Bias Jender
perempuan, dan jenis kelamin kita dapat ditentukan hanya dengan melihat alat kelamin kita.
3
Jender gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, jenis
kelamin sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya.
Semenara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.
4
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Namun, definisi di atas tidak
sebanding dengan penerapannya dalam kehidupan bersosialisasi dan berbudaya. Sejak lama, pola-pola sosialisasi dilakukan secara berbeda antara
perempuan dan laki-laki, baik itu dalam keluarga, maupun di lingkungan sosialnya. Anak perempuan disosialisasi menjadi perempuan yang lemah lembut,
pasif, dan dependen. Dengan kata lain, perempuan berprilaku feminin, patuh, tidak agresif dan apa yang pantas menurut jender. Model perempuan yang
diinginkan harus sesuai dengan social expectation harapan masyarakat, yakni
3
Bhasin, Memahami Gender, h. 1-2.
4
Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 35.
nice girl, good women, dan kontrol sosial pun lebih ketat terhadap perempuan ketimbang laki-laki.
5
Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia yang meliputi tradisi-tradisi, pola perilaku manusia keseharian, hukum-hukum, pikiran-
pikiran, dan keyakinan-keyakinan, maka kebudayaan yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya pada kaum
laki-laki. Orang boleh menyebutnya sebagai budaya patriarki. Dalam kebudayaan ini, memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja, di
sadari atau tidak, mendapatkan pembenaran. Sebaliknya, kaum perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan
nasib hidupnya kepada laki-laki. Otonomi perempuan berkurang. Pada gilirannya, keadaan ini sering kali terbukti melahirkan sebuah proses marjinalisasi, bahkan
juga eksploitasi dan kekerasan atas kaum perempuan. Ini terjadi dalam segala ruang, baik domestik maupun publik.
6
Adalah penting untuk memahami patriarki agar bisa memahami relasi laki- laki dengan perempuan sekarang ini. Relasi jender menjadi timpang karena
adanya patriarki. Di dalam bahasa umum, patriarki memiliki arti dominasi laki- laki. Kata “patriarki” secara harfiah memiliki arti kekuasaan ayah atau “patriach”
kepala keluarga, dan sejak semula digunakan untuk menggambarkan satu jenis yang spesifik dari “keluarga yang didominasi oleh laki-laki”—keluarga besar dari
si patriarch, yang termasuk di dalamnya perempuan, laki-laki yang lebih muda, anak-anak, budak dan pembantu rumah tangga, semuanya berada di bawah
5
Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: Rajawali Pers, 2007, h. 6.
6
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2001, h. 3.
kekuasaan laki-laki yang dominan ini. Sekarang istilah itu digunakan secara lebih umum untuk merujuk kepada dominasi laki-laki, kepada relasi kekuasaan, di
mana laki-laki mendominasi perempuan, dan untuk mencirikan sebuah sistem di mana perempuan terus disubordinasikan dengan berbagai cara.
7
Di sini bias jender pun tak bisa dielakkan lagi, yakni dengan menilai bahwa perempuan sebagai
pihak yang setingkat lebih rendah dari laki-laki. Pada ruang publik, misalnya, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di
kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang
diberikan kepada perempuan justru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan
yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal yang domestik. Itu pun sebatas, apabila diizinkan oleh
suaminya, karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan.
8
Bagi sebagian kelompok tradisional, perempuan pun acapkali dipandang makhluk yang pesakitan, karena perempuan mendapat menstruasi setiap bulan
sehingga tidak dapat melakukan ibadah seperti laki-laki. Karenanya, ibadah perempuan dinyatakan tidak sempurna dan dianggap kurang daripada laki-laki.
Bahkan, dalam kelompok ini juga terdapat anggapan bahwa ketika masa menstruasi, perempuan berada dalam situasi emosional. Anggapan ini
sesungguhnya dipengaruhi Perjanjian Lama yang berkembang di sejumlah agamawan termasuk para ahli Muslim. Dari sinilah muncul pandangan bahwa
secara intelektual perempuan inferior dari laki-laki, hanya bertugas dalam wilayah
7
Bhasin, Memahami Gender, h. 26-27.
8
Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 4-5.
domestik, dan tidak mempunyai hak untuk mengakses ruang publik,
9
sehingga hal ini mengandung pandangan yang bias jender.