Ayat tentang Ratu Balqis
“Aku dapati seorang perempuan menjadi raja mereka,” menurut HAMKA, sebagai lanjutan dari berita yakin itu, yang Raja tidak tahu. Seorang
perempuan jadi raja dari negeri Saba’ tersebut, padahal di negeri-negeri lain hanya laki-laki yang menjadi raja. Lalu diteruskannya pula menerangkan keistimewaan
dan kebesaran atau kekayaan negeri itu: “Dan dia dikaruniai dari tiap-tiap sesuatu.” Artinya, HAMKA menjelaskan, bahwa negeri Saba’ yang diperintah
oleh raja perempuan itu adalah sebuah negeri yang kaya raya. Apa saja yang diingini oleh raja perempuan itu dapat saja disediakan.
66
Jika kita hendak mengetahui Ratu Balqis, tentu saja kita harus tahu kisahnya. Karena hanya kisahnya yang membuat kita percaya dan mengetahui
bahwa kisah ini benar-benar ada dan telah dicatat abadi dalam kitab suci, Alquran. Diceritakan, pada suatu ketika Hudhud seekor burung milik Nabi
Sulaiman terbang jauh, terpisah dari Sulaiman dan rombongannya. Mungkin keasyikan menikmati cakrawala yang luas tak terbatas, ia lalu tersesat. Dengan
kehendak Allah burung itu mengarah ke Selatan sampai ke negeri Yaman. Dari langit kota Ma’rab sebuah kota kuno, ibukota kerajaan Saba’,
Hudhud melihat parade besar manusia dipimpin seorang wanita. Dari mahkota yang dikenakan di atas kepalanya, Hudhud tahu wanita itu adalah ratu mereka. Ia
dikelilingi lautan manusia yang terdiri dari para pembesar kerajaan dan kaum pendeta. Semua menatap ke arah matahari, bukan Allah; tuhan yang dikenal
Hudhud sebagai pencipta segala sesuatu dan pengatur semua urusan, termasuk matahari.
66
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz XIX - XX, h. 201.
Tentu saja Hudhud heran. Ia terus meluncur di udara, mendekat ke bangunan megah di jantung ibu kota. Ia dengar orang-orang menyebut bangunan
itu istana. Hudhud berusaha masuk. Dan, alangkah takjub ia menyaksikan singgasana yang begitu elit dan megah bertatakan permata kelas wahid.
67
Singkat cerita, ketika itu Hudhud melaporkan hal tersebut kepada Sulaiman. Kemudian Sulaiman memerintah Hudhud untuk memberikan surat
kepada Ratu Saba’, Balqis. Di dalam surat itu, Sulaiman meminta Ratu Balqis dan orang-orangnya datang menghadap dalam keadaan berserah diri dan menerima
agama Allah Yang Esa.
68
Dari ajakan Sulaiman itu, Ratu Balqis pun mengikuti ajaran yang dibawa Sulaiman. Kemudian Ratu Balqis mengungkapkan isi hatinya
bahwa ia telah yakin akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang disembah Sulaiman. Lebih lengkap ia berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah zalim
kepada diriku sendiri, kini aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.
69
Dengan keputusan yang diambil oleh Ratu Balqis untuk tunduk dan berserah kepada Allah, akhirnya diikuti oleh orang-orangnya. Mereka
semua mengikuti Ratu mereka, yakni bukan lagi menyembah matahari, melainkan hanya menyembah Allah Swt.
Dari kedua ayat pembanding di atas sudah jelas bahwa kepemimpinan laki-laki atas perempuan, seperti yang dipahami banyak orang, bukanlah
kepemimpinan yang mutlak. Hal itu bisa saja berubah sesuai dengan berubahnya kondisi dan sosial sekitar. Demi menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, maka
siapa pun dia, laki-laki maupun perempuan, sama-sama memiliki tanggung jawab
67
Fathi Fawzi ‘Abd al-Mu’thi, Wanita-Wanita Al-Quran: Kisah Nyata Perempuan- Perempuan Hebat yang Dicatat Abadi dalam Kitab Suci. Pnj. Asy’ari Khatib Jakarta: Zaman,
2010, h. 216-217.
68
al-Mu’thi, Wanita-Wanita Al-Quran, h. 220.
69
al-Mu’thi, Wanita-Wanita Al-Quran, h. 228.
yang seimbang. Karena Alquran sudah jelas-jelas menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi
sebagian yang lain. Oleh karena itu, bukan hanya laki-laki yang bisa memimpin perempuan,
melainkan perempuan pun bisa menjadi pemimpin bagi kelompok laki-laki, seperti Ratu Balqis yang menjadi pemimpin negeri Saba’, yang tentu saja di
dalamnya bukan hanya kaum perempuan tetapi juga laki-laki. Dari sini, kita menemukan pemahaman HAMKA pada ayat tentang
kepemimpinan dengan hak laki-laki dan Ratu Balqis sangat bertolak belakang. Di satu sisi, ketika menjelaskan tentang kepemimpinan, HAMKA benar-benar tidak
memberi peluang kepada perempuan untuk menentukan hak-haknya. Perempuan hanya bisa menerima kenyataan bahwa laki-lakilah yang mempunyai wewenang
untuk memimpin mereka dan menolak kepemimpinan perempuan. Namun di sisi yang lain, ketika mejelaskan ayat tentang hak laki-laki dan perempuan atau
tentang Ratu Balqis, HAMKA menjelaskan bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa memimpin perempuan, tetapi perempuan juga bisa memimpin laki-laki.
Dengan kata lain, HAMKA sebetulnya menerima kepemimpinan yang dipegang oleh seorang perempuan, bahkan ia pun menyarankan hal itu. Karena laki-laki
yang beriman dan perempuan yang beriman, yang setengah mereka laki-laki atau perempuan adalah pemimpin bagi yang setengah laki-laki atau perempuan.
Namun, karena pada masanya budaya patriarki masih merajalela, maka terjemahan HAMKA tentang kepemimpinan menjadi tidak memberi kesempatan
kepada perempuan untuk menegakkan hak-haknya sebagai manusia yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.