Sekilas tentang Hermeneutik KERANGKA TEORI
menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektik. Sebab di dalam proses dialektik kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibanding dengan dalam proses metodis. Pada dasarnya, metode adalah struktur
yang dapat membekukan dan memanipulasi unsur-unsur yang memudahkan prosedur tanya jawab, sedang proses dialek tidaklah demikian. Di samping itu,
tidak semua ilmu pengetahuan kemanusiaan dapat diterapi suatu metode. Kesusastraan dan seni tidak dapat mempergunakan alat metodis satu pun. Hanya
hermeneutik sajalah yang dapat membantu kita memahami ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut.
23
Dengan demikian, tujuan penelitiannya bukan pula suatu Methodenlehre yang sekedar masalah merumuskan logika yang dipakai dalam berbagai bidang
kegiatan mengetahui. Tujuannya juga bukan menyusun suatu teori umum interpretasi.
Hermeneutik dipandang sebagai suatu teori pengalaman yang sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan
pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologis di dalam manusia. Gadamer merencanakan untuk memahami pemahaman sekomprehensif mungkin. Ia
berpendapat bahwa tugas paling fundamental dari hermeneutik tidaklah mengembangkan suatu prosedur pemahaman, tetapi meneliti “apa yang selalu
terjadi” manakala kita memahami. Hermeneutik adalah penelitian tentang semua pengalaman pemahaman. Gadamer merumuskan pemahaman sebagai suatu
masalah ontologis.
24
23
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1999, h. 69.
24
Poespoprodjo, Hermeneutika Bandung: Pustaka Setia, 2004, h. 93-94.
Karena Gadamer secara prinsipil memfokuskan diri pada problem pemahaman sebagai problema eksistensialis,
25
maka pemahaman, ujar Gadamer, selalu merupakan peristiwa historis, dialektik dan linguistik—dalam ilmu-ilmu,
fenomena kemanusiaan. Hermeneutik adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Pemahaman tidak dipahami dalam cara tradisional sebagai perilaku
subjektivitas manusia, namun sebagai cara mendasar keberadaan Dasein di dunia. Kunci untuk memahami bukanlah memanipulasi atau menguasai tetapi partisipasi
dan keterbukaan, bukan pengetahuan tetapi pengalaman, bukan metodologi tetapi dialektika. Bagi Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah meletakkan aturan bagi
pemahaman yang “benar objektif”, namun untuk mendapatkan pemahaman itu sendiri seluas mungkin.
26
Hermeneutik adalah memasuki diskusi dengan teks dari masa lalu. Oleh karena itu, masalah sentral hermeneutik adalah masalah konfrontasi atau
perjumpaan antara masa-kini dan masa-lalu, atau, yang disebut juga masalah penerapan applicatio. Jarak waktu menciptakan “posisi antara” yang menjadi
kancah hermeneutik. Posisi di antara yang asing dan yang dikenal berada di antara yang dimaksud di waktu tertentu dalam sejarah dan ketermasukannya pada suatu
tradisi.
27
Menurut Gadamer, kesenjangan jarak antara kritikus pengkaji teks dan pengarang tidak harus diatasi seolah-olah sebagai sesuatu yang negatif, tetapi
harus dipahami sebagai perjumpaan dua cakrawala: cakrawala kritikus pengkaji
25
Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Pnrj. Muhammad Mansud, dkk. Jakarta:
ICIP, 2004, h. 43.
26
Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi. Pnj. Musnur Hery Damanhuri Muhammed Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 255.
27
Poespoprodjo, Hermeneutika, h. 94.
teks dan pengarang. Kritikus memperkaya cakrawalanya dengan cara mempertemukannya dengan cakrawala pengarang. Sebab itu, interpretasi tidak
hanya bersifat reproduktif, melainkan juga produktif atau konstruktif melampaui maksud pengarang dan sekaligus bermakna bagi kritikus. Teori hermeneutiknya,
karena itu, disebut dengan hermeneutik konstruktif atau produktif. Baginya, memahami pikiran penulis dengan menulusuri latar belakang sejarah, budaya,
tujuan penulis atau pengirim secara utuh sangat sulit, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Bahasa mempunyai makna yang otonom, berdiri sendiri, yang terbebas
dari intensi penulis, konteks sosial dan budayanya, dan terbebas dari penerima pertamanya sebagai publik yang dituju penulis.
28
Sebagaimana disebutkan bahwa tugas hermeneutik adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu mempunyai hubungan fundamental dengan
bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli tidak akan gagal untuk menangkap
nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.
29
Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran.
Jadi, pemahaman bukan suatu penalaran diskursif. Ia lebih dahulu dari penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif harus begini atau begitu. Sesuatu yang
dipahami membuka berbagai kemungkinan reformulasi. Yang dikatakan memang tertentu, tetapi tidak pernah merupakan hubungan diramalkan dengan yang tidak
dikatakan.
30
28
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern Jakarta: Rajawali Pers 2009, h. 223.
29
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 80.
30
Poespoprodjo, Hermeneutika, h. 95.
“Memahami” selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karenanya, interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman. Namun persoalan
yang timbul bagi kita sekarang adalah: mana yang lebih dahulu, pemahaman atau interpretasi. Atas persoalan ini, Gadamer menggelarkan jawabannya dengan
menunjukkan perbedaan antara subtilitas intelligendi atau pemahaman dengan subtilitas explicandi atau interpretasi. Kata subtilitas karena mengandung kualitas
lembut, halus, sulit dimengerti, mudah menerima, jernih dan cerdik, menolak semua bentuk metode ilmiah. Subtilitas adalah suatu kualitas yang mencari
kehalusan seperti ‘lembutnya’ roh, yang menghindarkan gangguan yang berasal dari penggunaan metode.
Bagi Gadamer, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interpretasi dapat menimbulkan lingkaran hermeneutik.
Kita tidak dapat ‘lebih dahulu’ memahami, ‘baru kemudian’ membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan sekedar merupakan cermin yang secara mekanis
memantulkan segala cahaya yang diterimanya. Proses pemahaman sebenarnya proses interpretasi itu sendiri. Akal pikiran kita membuat pembedaan,
mengutamakan, menunda, bekerja, mendayagunakan apa saja yang dikumpulkan dari pancaindera kita dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila akal pikiran kita
‘memahamai’, maka di dalamnya tercakup juga interpretasi. Sebaliknya, jika akal pikiran kita melakukan interpretasi, maka terangkum juga pemahamannya.
31
31
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, h. 81-82.