Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
waktu. Akibatnya sudut pandang mereka dalam persoalan perempuan bersifat linier, tunggal, bahkan hitam putih dan streotipe.
Berbeda dengan kelompok tradisional, kelompok progresif mengakui hak perempuan di ruang publik. Menurut kelompok ini, hak perempuan dalam wilayah
publik tidak berbeda secara substansial dengan kaum laki-laki. Kelompok ini mempercayai bahwa Islam menjunjung tinggi kesetaraan. Dalam bahasa Ausaf
Ali, kelompok progresif ini disebut kelompok antagonis yang memiliki daya kritis terhadap interpretasi Alquran yang patriarkis serta memandang bahwa Alquran
mengandung banyak sekali ayat-ayat yang mengakui nilai kesetaraan. Di antaranya adalah QS. Al-Baqarah: 228 dan QS. Al-Ahzab: 35.
2
Kebalikan dari kelompok pertama, kelompok ini meyakini bahwa posisi laki-laki dan perempuan
yang beriman setara di hadapan Allah, tanpa dibedakan oleh jenis kelamin.
3
Dewasa ini, dengan demikian, agama mendapat ujian baru karena sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk pelanggengan ketidakadilan di
masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi laki-laki dan perempuan atau yang sering disebut ketidakadilan jender gender inequality. Oleh karena
agama berurusan dengan nilai-nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius yang keliru akan sangat berbahaya. Persoalannya, apakah
pelanggengan ketidakadilan jender itu bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan,
2
“Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya yang makruf,” QS. 2: 228. “Dan sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan beriman, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki- laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan
yang sedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah
menyediakan mereka ampunan dan pahala yang besar,” QS. 33: 35.
3
Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim Jakarta: CSRC UIN Jakarta, h. 39-41.
yang tak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme, atau pengaruh kultur Timur Tengah Abad Pertengahan.
Pemerintah Indonesia melalui kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memprediksikan sejumlah kendala yang dihadapi dalam upaya
pemberdayaan perempuan. Kendala tersebut terdapat dalam hampir semua bidang dan aspek pembangunan: pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, ekonomi
dan ketenagakerjaan, politik, hukum dan hak asasi manusia, kesejahteraan sosial, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup, kelembagaan pemerintah dan
masyarakat, bahkan juga dalam bidang agama. Khusus dalam bidang agama, masalah utama yang dihadapi: pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan; dan kedua, masih banyaknya penafsiran ajaran agama yang
merugikan kedudukan dan peranan perempuan
4
sehingga hal tersebut menimbulkan pemahaman yang bias jender.
Terkait dengan penerjemahan, seperti yang dikatakan Cak Nur bahwa sesungguhnya terjemah adalah suatu tafsir, dan usaha menerjemahkan pada
hakikatnya adalah juga usaha menafsirkan,
5
maka tak pelak lagi bahwa pemahaman adalah dasar dari proses penerjemahan. Dengan demikian, terkait
dengan kedua masalah keagamaan di atas, maka akan terjadi kemungkinan bahwa penerjemahan akan mengalami penerjemahan yang bias jender.
Di antara pemahaman yang bias jender dan kemudian membawa implikasi kepada ketimpangan jender adalah: pertama, pemahaman tentang asal-usul
penciptaan manusia. Pada umumnya, para juru dakwah, mubalig, dan mubaligah,
4
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan Bandung: Mizan, 2005, h. 36-37.
5
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam Jakarta: Paramadina, 2009, h. 172.
menjelaskan bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam a.s. Selanjutnya, Hawa, sebagai istrinya, diciptakan dari tulang rusuk Adam a.s.
Pemahaman seperti ini mengacu kepada QS. Al-Nisa [4]: 1. Pemahaman demikian membawa implikasi yang luas dalam kehidupan
sosial karena Hawa, selaku perempuan pertama, tercipta dari bagian tubuh laki- laki, yaitu Adam a.s., lalu perempuan itu diposisikan subordinat dari laki-laki. Dia
hanyalah the second human being, manusia kelas dua. Perempuan bukanlah makhluk yang penting; dia hanyalah makhluk pelengkap yang diciptakan dari dan
untuk kepentingan laki-laki. Konsekuensinya, perempuan tidak pantas berada di depan, tidak pentas menjadi pemimpin, dan seterusnya.
Kedua, pemahaman tentang kejatuhan Adam a.s. dan Hawa dari surga. Ada anggapan umum bahwa Adam a.s. jatuh dari surga akibat godaan Hawa yang
terlibat dahulu terpengaruh oleh bisikan iblis. Sebagai implikasi dari pemahaman seperti ini, dikatakan bahwa perempuan itu pada hakikatnya adalah makhluk
penggoda dan dekat dengan iblis. Karena itu, lanjut pemahaman ini, jangan terlalu dekat dengan perempuan, dan jangan dengar pendapatnya sebab akan
menjerumuskan diri ke neraka. Perempuan mudah sekali dipengaruhi dan diperdayakan. Karenanya, dia tidak boleh keluar rumah tanpa muhrim, tidak boleh
jalan sendirian, dan tidak boleh ke luar malam. Lebih baik baginya tinggal di rumah saja mengurus keperluan rumah tangga, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
dan tidak perlu aktif di tengah masyarakat. Ketiga, pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Di kalangan
masyarakat diajarkan bahwa perempuan itu tidak layak jadi pemimpian karena tubuhnya sangat lembut dan lemah serta akalnya pendek. Lagi pula sangat halus
perasaannya sehingga dikhawatirkan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas. Apalagi ada hadis yang sering dipakai untuk membenarkan penilaian ini:
“Perempuan itu lemah akal dan agamnya”, dan hadis yang menyatakan, “Celakalah suatu bangsa yang memercayakan kepemimpinannya kepada
perempuan”. Lalu diperkuat lagi dengan ayat yang menurut sebagian ulama, menjelaskan bahwa laki-laki adalah “pemimpin” bagi perempuan, yaitu QS. Al-
Nisa [4]: 34.
6
Dari ketiga contoh pemahaman di atas, Penulis akan mengangkat salah satunya saja, yakni pemahaman ketiga: pemahaman tentang kepemimpian
perempuan. Dan, yang menjadi objek kajian ini adalah terjemahan Tafsir Al-Azhar karya Dr. HAMKA.
Memang, menurut Sukron Kamil, dalam Islam, kepemimpinan perempuan secara teologis masih menjadi persoalan. Banyak ahli, kendati perlu dikaji ulang,
menolak kepemimpinan perempuan. Al-Khatabi, as-Syaukani, dan Ibn Hazm misalnya berpendapat bahwa kepala negara disyaratkan tidak perempuan. Bahkan,
Sayyid Sabiq menginformasikan kesepakatan para ulama fiqh hukum Islam mengenai keharusan laki-laki bagi seorang qadhi hakim. Tentu masih banyak
pemikir muslim lainnya, seperti Yusuf Qardhawi, yang berpendapat sama. Salah satu yang dijadikan dasar oleh mereka, juga sejumlah tokoh di Indonesia yang
berpendapat serupa, adalah ayat di atas yang menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan.
7
Dalam tafsirnya, HAMKA menerjemahkan QS. Al-Nisa [4]: 34:
6
Musdah, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaa, h. 36-37.
7
Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari
http:www.csrc.or.idartikelindex.php?detail=20100712091031
“Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan-perempuan, lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas yang sebahagian, dan dari sebab apa yang
mereka belanjakan dari harta benda mereka. Maka perempuan yang baik adalah yang taat, yang memelihara hal-ihwal yang tersembunyi, dengan cara yang
dipeliharakan Allah,” Qs. An-Nisa [4]: 34.
8
Seperti menurut sebagian ulama, HAMKA pun sama, menerjemahkan kata qawwamûn dengan “pemimpin”. Lebih jelas lagi ia menjelaskan dalam tafsirnya
bahwa ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan apakah sebab yang terpenting dalam pembagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan,
mengapa laki-laki membayar mahar, mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli istri dengan baik, dan mengapa laki-laki diizinkan beristri
sampai empat orang asal sanggup adil sedang perempuan tidak? Sebab, lanjut HAMKA, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang
memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukan.
9
Alasan atau pemahaman HAMKA di atas akan membawa pandangan bahwa posisi dan kedudukan perempuan memang rendah, yakni lebih rendah
daripada laki-laki. Perempuan pun seakan-akan, oleh HAMKA, tidak dituntut untuk menambah kualitas dan prestasi kebaikan mereka.
Pemahaman seperti ini jelas bertentangan dengan penjelasan teks suci bahwa setiap manusia, tanpa mempertimbangkan apa pun jenis kelaminnya,
adalah sama dan setara di hadapan Allah Swt. Selanjutnya, dinyatakan bahwa yang membedakan di antara mereka hanyalah kualitas dan prestasi takwanya QS.
Al-Hujurat [49]: 13. Inilah alasan mengapa Penulis mengangkat sebuah judul
8
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 45.
9
HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V, h. 46.
dalam penulisan ini tentang Bias Jender dalam Penerjemahan: Kajian Hemeneutik terhadap Terjemahan Tafsir Al-Azhar. Dan, karena kasus inilah,
pemahaman sekaligus penerjemahan tentang kepemimpinan perempuan perlu dikaji lebih dalam lagi dengan menggunakan metode hermeneutik, mengingat
metode ini lebih relevan dengan kajian ilmu penerjemahan yang menjadi objek kajian Penulis.