Metode-metode Penerjemahan KERANGKA TEORI
metode ini biasanya digunakan sebagai pendekatan umum atau prinsip pokok dalam menerjemahkan sebuah nas.
Karena masalah penerjemahan itu sangat variatif, cara atau metode penyelesaiannya pun berfariasi pula. Dalam khazanah penerjemahan di dunia
Arab, metode penerjemahan terbagi dua jenis: metode harfiyah dan metode tafsiriyah metode maknawiyah.
16
Metode Harfiyah ialah cara menerjemahkan yang memperhatikan peniruan terhadap susunan dan urutan nas sumber. Cara menerjemahkan yang juga disebut
dengan metode lafzhiyyah atau musâwiyah ini diikuti oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu Na’imah, al-Hamshi, dan sebagainya. Yang menjadi sasaran penerjemahan
harfiyah ialah kata. Metode ini dipraktikkan dengan pertama-tama seorang penerjemah memahami nas, lalu menggantinya dengan bahasa lain pada posisi
dan tempat kata bahasa sumber itu atau melakukan transliterasi. Demikianlah cara ini dilakukan hingga seluruh nas selesai diterjemahkan.
Metode di atas memiliki kelemahan karena dua alasan. Pertama, tidak seluruh kosa kata Arab berpadanan dengan bahasa lain
sehingga banyak dijumpai kosa kata asing. Kedua, struktur dan hubungan antara unit linguistik dalam suatu bahasa
berbeda dengan struktur bahasa lain.
17
Menurut Ismail Lubis, tejemahan harfiyah di atas, dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah
benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima Bsa, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber Bsu meskipun
16
Lihat juga dalam Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 443.
17
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 68-69.
maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber tidak
mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa bahasa sumber dan bahasa penerimasasaran selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata,
adakalanya masing-masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.
18
Adapun metode tafsîriyah ialah suatu cara penerjemahan yang tidak memperhatikan peniruan susunan dan urutan nas sumber. Yang dipentingkan oleh
metode ini ialah penggambaran makna dan maksud bahasa sumber dengan baik dan utuh. Yang menjadi sasaran metode ini ialah makna yang ditujukan oleh
struktur bahasa sumber. Penerjemahan tidak perlu memaksakan diri untuk memahami setiap kata.
19
Oleh sebab itu, bentuk terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan maknâwiyah.
Baik az-Zarqaniy maupun Manna al-Qattan, menurut Ismail Lubis, sama- sama menamakan terjemahan tafsîriyah dengan nama maknâwiyah. Perbedaan
pendapat mereka cuma terletak dalam hal keterangan. Az-Zarqaniy menamakan terjemah tafsîriyah dengan nama maknâwiyah disertai keterangan, yakni
terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna, sedangkan Manna al-Qattan tanpa alasan dan keterangan yang jelas.
Pemberian nama terjemahan tafsîriyah oleh az-Zarqaniy, lanjut Lubis, bukan tanpa alasan dan keterangan yang logis. Ahli ilmu Alquran ini memberi
nama jenis terjemahan kedua ini dengan terjemahan tafsîriyah karena teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat,
18
Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 61.
19
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 70.
mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Teknik terjemahan tafsîriyah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber
terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat
bahasa sumber.
20
Sementara itu, Ahmad Hasan az-Zayyat, tokoh penerjemahan modern, menegaskan bahwa metode penerjemahan yang diikutinya ialah yang memadukan
kebaikan metode harfiyah dan tafsiriyah. Langkah-langkah yang dilaluinya ialah sebagai berikut:
Pertama, menerjemahkan nas sumber secara harfiyah dengan mengikuti struktur dan urutan nas sumber.
Kedua, mengalihkan terjemahan harfiyah ke dalam struktur bahasa penerima yang pokok. Di sini terjadilah proses transposisi tanpa menambah atau
mengurangi. Ketiga, mengulangi proses penerjemahan dengan menyelami perasaan dan
spirit penulis melalui penggunaan metafora yang relevan. Kiranya metode yang diterapkan oleh az-Zayyat ini dapat diistilahkan
dengan metode elektik, karena metode tersebut mengambil dan mengaplikasikan kebaikan yang terdapat dalam metode harfiyah dan metode tafsiriyah.
21
Oleh karena penerjemahan bukanlah penggantian kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, melainkan pemindahan konsep, pengertian
dan amanat, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Baik untuk
20
Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 62.
21
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 68-70.
penerjemahan secara harfiyah maupun tafsîriyahmaknâwiyah diperlukan tiga persyaratan:
1. Penerjemahan harus sesuai dengan koteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima.
2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber dan gaya bahasa penerima.
3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber dan ciri khas bahasa penerima.
Yang dimaksud penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber dan konteks bahasa penerima ialah penerjemah benar-benar sejalan dengan yang
dibicarakan dalam bahasa sumber dan memberikan makna yang tepat ke dalam bahasa penerima.
22