adalah pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar

Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan yang bias jender dalam bahasa Indonesia. Penulis mengambil Terjemahan Tafsir Al-Azhar sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan ayat tentang kepemimpinan dengan teori hermeneutik Gadamer sebagai pisau analisisnya. Bukan hanya itu, Penulis pun meletakkan ayat pembanding dengan ayat kepemimpinan agar pembahasan tidak terasa kaku. Ayat pembanding ini Penulis batasi dengan dua ayat, tentang hak laki-laki dan perempuan dan tentang Ratu Balqis. Namun sebelum masuk dalam bagian analisis yang mendalam, Penulis akan jelaskan tentang riwayat hidup Dr. HAMKA dan sedikit deskripsi Tafsir Al- Azhar. Dengan harapan, Penulis mengetahui latar belakang penulisan tafsir ini, sehingga kerja analisis Penulis pun tercapai dengan baik dan memuaskan. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran ini merupakan keterbukaan Penulis dalam sebuah penulisan. Sehingga kelebihan dan kekurang penulisan ini bisa terbuka dan ditutup dengan penelitian yang lebih tajam di kemudian hari.

BAB II KERANGKA TEORI

A. Definisi Penerjemahan

Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah dipungut dari bahasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tersebut dari bahasa Armenia, turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan tarjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain. Az-Zarqaniy, seperti yang dikutip Syihabuddin, mengemukakan bahwa secara etimologis istilah terjemah memiliki empat makna: a. Menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. 1 Untuk mempermudah pemahaman dapat dihubungkan dengan pernyataan di bawah ini: Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang sudah berusia 80-an tahun, dan dalam hal ini saya sudah mencapai usia demikian benar-benar memerlukan penerjemah.” Ini berarti bahwa tindakan menyampaikan berita atau tuturan yang dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun mungkin karena orang tersebut sudah tuli, disebut terjemahan, dan orangnya dinamakan turjuman penerjemah. 2 1 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek Bandung: Humaniora, 2005, h. 7-8. 2 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990 Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, h. 57-58. 12 b. Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula. 3 Sehubungan dengan pengertian ini pula, Zamakhsyari w. 538 H. mengatakan bahwa penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut. Menurut pemahaman ini berarti mutarjim sama dengan mufassir. Suatu kenyataan seperti dinyatakan dalam kamus Lisan al-‘Arab bahwa turjuman penerjemah, juru bahasa disebut mufassir pemberi keterangan tentang maksud sesuatu kalimat. 4 c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. 5 Ini berarti bahwa unsur penjelasan merupakan unsur yang dominan dalam kandungan makna terjemahan. Bahkan, menurut Ismail Lubis, kalau dilihat di dalam Tafsir Ibn Katsir tentang Abdullah bin Abbas yang mendapat julukan sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir 705 – 774 H. lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa sumber atau bahasa lain. 6 3 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 8. 4 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 58. 5 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 8. 6 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 59.