Isu tentang Bias Jender dan Relasinya dalam Islam

ekonomis terasa menjadi semakin kuat dan keras. Pergulatan manusia untuk mendapatkan kebutuhan hidup dan untuk sebagian orang mencari kesenangan materialistik-konsumtif telah melanda hampir semua orang, laki-laki maupun perempuan. Fenomena ini semakin nyata dalam era industrial sekarang ini. Bahkan realitas sosial juga memperlihatkan bahwa perburuan manusia mencari kesenangan ekonomi dan “sesuap nasi” oleh kaum perempuan, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga mempunyai suami semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tak pelak lagi bahwa untuk kaum perempuan yang disebut terakhir ini kaum istri pada gilirannya harus melakukan kerja ganda. Di samping mengurus suami dan anak-anak, mereka juga mencari nafkah di luar. 14 Namun sayangnya, perempuan di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. 15 Salah satu sebabnya adalah karena, telah ditetapkan oleh para ulama ortodoks dan konservatif muslim bahwa peranan perempuan dibatasi secara ketat di rumah. Dia tidak boleh pergi ke luar kecuali dengan izin suami atau ayah, dan dia harus dengannya 16 karena dianggap laki-laki mempunyai satu tingkat superioritas di atas perempuan. Alasan tingkat superioritas ini dikatakan secara jelas dalam Q.S. an-Nisa [4]: 34 dengan terjemahannya sebagai berikut: 14 Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 159. 15 Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 38. 16 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto Yogyakarta: LKiS, 2007, h. 265. “Laki-laki adalah pemimpin perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebagian yang lain perempuan, dan karena mereka laki- laki telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu, perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah, lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” Q.S. an-Nisa [4]: 34. Hal ini akan Penulis perluas dalam bab IV. Karena, sesengguhnya problem peminggiran perempuan tidak hanya dikarenakan masalah struktural, tetapi juga karena persoalan kultural, seperti pengaruh sistem kepercayaan dan pemahaman keagamaan. Pemahaman parsial dan literal terhadap teks-teks Alquran dan Hadis, tampaknya ikut berpengaruh terhadap konfigurasi sosial yang meminggirkan perempuan di negara-negara Muslim. 17 Maka, persoalan kultural ini perlu dianalisis lebih jauh lagi. Kemudian, salah satu isu kontemporer yang agak problematik dalam pandangan Islam, menurut Sukron Kamil, paling tidak kalangan Islam konservatif dan radikal adalah persoalan kesetaraan hak perempuan. Riset yang dilakukan CSRC Center for the Study of Religion and Culture UIN Jakarta belum lama ini 2009 menyebutkan bahwa komunitas Masjid al-Maghfirah al-Kahfi dan Masjid al-Islam Gumuk Solo Jawa Tengah menolak mentah-mentah kesetaraan jender dalam wilayah publik. Komunitas Masjid al-Kahfi secara tegas menyerukan agar semua perempuan dikeluarkan dari sektor-sektor publik seperti pabrik untuk diganti dengan laki-laki. Kesetaraan laki-laki dan perempuan hanya dalam soal ibadah dan amal saleh saja, dua hal yang bukan merupakan wilayah publik. Menurut mereka, ketika perempuan bekerja di sektor publik, pekerjaan di 17 Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 39. sektor domestik akan ditinggalkan. Perempuan seharusnya lebih banyak mengurusi suami dan anak-anaknya, supaya mereka menjadi perempuan salehah dan anak-anaknya menjadi anak saleh. Selain itu, alasannya juga karena jika perempuan bekerja di wilayah publik, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi tercampur. Pada tahun 1998, kesetraan perempuan dalam kepemimpinan publik dalam perspektif Islam juga pernah ramai dibicarakan, menyusul tampilnya Megawati sebagai salah satu kandidat yang dijagokan untuk presiden mendatang. Tragisnya, persoalan ini berakhir buntu dan tetap menjadi persoalan yang tak terselesaikan. Padahal, terbukanya kesempatan memimpin bagi wanita menjadi bagian dari parameter demokrasi yang saat ini tengah menjadi tuntutan reformasi dan tuntutan kemanusiaan sejagat. Paling tidak, kebuntuan itu terlihat dalam Kongres Umat Islam 5-8 Nopember 1998, yang mempending persoalan tersebut dan merekomendasikannya pada Komisi Fatwa MUI. Karenanya, isu ini mendesak untuk dijelaskan. 18 Memang, kepemimpinan perempuan telah lama menjadi pembicaraan ulama, klasik maupun kontemporer. Hanya saja isu yang diangkatkan oleh imam mazhab berbeda dengan ulama sesudahnya, termasuk dengan ulama kontemporer. Kalau imam mazhab membahas tentang boleh atau tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai hakim [wilayah al-qadha], maka ulama sesudahnya—seperti al- Mawardi w. 450 H. dan Abu Ya’la al-Farra w. 458 H. sebagai peletak dasar teori politik Islam—membicarakan lebih luas lagi seperti persyaratan untuk menjadi kepala negara, “wizarah al-tafwidh” perdana menteri, “wizarah al- 18 Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http:www.csrc.or.idartikelindex.php?detail=20100712091031 tanfidz” menteri dan “ahl al-halli wa al-aqdi” atau “ahl al-ikhtiyar” lembaga yang berkewajiban memilih kepala negara, menetapkan undang-undang dan kebijakan politik negara. Sedangkan ulama kontemporer lebih disibukkan dengan persoalan boleh atau tidaknya perempuan menjabat sebagai kepala negara. 19 Banyak ahli, kendati perlu dikaji ulang, menolak kepemimpinan wanita. Al-Khatabi, as-Syaukani, dan Ibn Hazm misalnya berpendapat bahwa kepala negara disyaratkan tidak wanita. Bahkan, Sayyid Sabiq menginformasikan kesepakatan para ulama fiqh hukum Islam mengenai keharusan laki-laki bagi seorang qadhi hakim. Tentu masih banyak pemikir muslim lainnya, seperti Yusuf Qardhawi, yang berpendapat sama. Salah satu yang dijadikan dasar oleh mereka, juga sejumlah tokoh di Indonesia yang berpendapat serupa, adalah QS 4:34 yang menegaskan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi wanita, dan hadis riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa suatu masyarakat yang menyerahkan urusannya kepada wanita tidak akan memperoleh kebahagiaan. 20 Alasan lain tidak bolehnya perempuan menjadi kepala negara juga adalah karena sentral dan beratnya tugas kepala negara khalifah dalam Islam yang sulit dipikul oleh seorang perempuan. Secara rinci, tugas-tugas khalifah ini meliputi: menjaga eksistensi agama, melakukan ijtihad terhadap persoalan-persoalan yang muncul, mengimami salat, melaksanakan hukum syariah, memutuskan perkara, memimpin tentara dalam peperangan, dan mengurus keuangan negara. 21 Sehingga, sampai hari ini belum diketahui ada pendapat para ulama mazhab yang membolehkan perempuan menjabat sebagai kepala negara. Pendapat 19 Ahmad Azharuddin Latif, dkk., Pengantar Fiqh Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005, h. 438-439. 20 Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.” 21 Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 65-67. ini didukung oleh banyak ulama terkemuka, misalnya Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kepemimpinan imamah tidak bisa dipercayakan kepada perempuan walaupun memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan kemandirian. Menurut tokoh yang dijuluki hujjat al-Islam ini, bagaimana perempuan mencalonkan diri untuk jabatan pemimpin sementara ia tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam kasus hukum. 22 Padahal, dalam sejarah Islam abad ke-13-17, sebagaimana hasil penelitian Fetima Mernisi, terdapat sedikitnya lima belas kepala negara perempuan berkuasa penuh di beberapa wilayah kekuasaan Islam. Sajaratuddur dan Radiyah di antaranya. Meraka adalah dua wanita penguasa Mamluk yang berasal dari Turki. Yang belakangan tentu kita mengenalnya yaitu Benazir Bhuto, dan di Inggris Margaret Tercer. Sebab itu, secara faktual, wanita tertentu ternyata mampu memimpin 23 atau menjadi kepala negara. 22 Latif, dkk., Pengantar Fiqh, h. 439. 23 Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita.”

BAB IV ANALISIS HERMENEUTIK

TERHADAP PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JENDER DALAM TAFSIR AL-AZHAR

A. Riwayat HAMKA

HAMKA adalah seorang ulama besar, penulis produktif, mubalig yang berpengaruh di Asia Tenggara, dan ketua pertama MUI. Ia adalah putra H. Abdul Karim Amrullah tokoh gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau dan lahir pada awal gerakan “Kaum Muda”. Namanya adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Sesudah beribadah haji pada 1927, ia bernama Haji Abdul Malik Amrullah, disingkat HAMKA. 1 Ia dilahirkan di Sungai Maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 14 Muharram 1326 H.. 2 Dalam usia enam tahun 1914 dia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Sewaktu berusia tujuh tahun, dia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Alquran dengan ayahnya sendiri sehingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923, dia telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padangpanjang dan di Parabek. Guru- gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay. Padangpanjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri. 3 Namun dalam usianya yang masih muda, ia telah berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas literatur berbahasa 1 Badri Yatim, “HAMKA,” dalam Nina M. Armando… [et al.], ed., Ensiklopedi Islam, vol. II Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005, h. 293. 2 HAMKA, Tasauf Modern Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003, h. 9. 3 HAMKA, Tasauf Modern, h. 9. 40 Arab, termasuk terjemahan dari tulisan Barat. Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak HAMKA sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya. Sejak berusia sangat muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakannya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo ketua Muhammadiyah 1944 – 1952, RM. Soerjopranoto 1871 – 1959, dan KH. Fakhruddin ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, A.R. Sutan Mansur, yang waktu itu ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah setempat. Pada Juli 1925 ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah. 4 Pada waktu itu pulalah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya bernama “Khathibul Ummah”. 5 Pada Februari 1927 ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang 6 bulan. Selama di Mekah, ia bekerja pada sebuah percetakan, 6 sambil menjadi Koresponden dari harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura 4 Yatim, “HAMKA,” h. 293-294. 5 HAMKA, Tasauf Modern, h. 9. 6 Yatim, “HAMKA,” h. 294.