Penerjemahan Kata Penerjemahan terhadap Ayat tentang Kepemimpinan

Dengan demikian, HAMKA jelas menyamakan makna ar-rijâl dengan adz-dzakar. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kedua kata itu benar memiliki makna yang sama, seperti yang dimaksud HAMKA? Atau justru sebaliknya, kedua kata itu memiliki makna yang berbeda? Kata ar-rijâl adalah bentuk jamak dari kata ar-rajul. Kata ar-rajul umumnya digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, sesudah anak-anak. Jadi, logikanya adalah semua orang masuk dalam kategori ar-rajul termasuk juga kategori adz-dzakar. Tetapi tidak semua adz-dzakar masuk ke dalam kategori ar- rajul. Kategori ar-rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu kepada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan. 24 Pemilihan kata dalam QS. An-Nisa [4]: 11, yang diterjemahkan HAMKA dengan seorang anak laki-laki, adalah adz-dzakar, dan bukan ar-rajul yang kebanyakan menerjemahkan laki-laki. Hal ini untuk menegaskan bahwa usia tidak menjadi faktor penghalang bagi penerimaan warisan, karena kata adz-dzakar dari segi bahasa berarti jantan, lelaki baik kecil maupun besar, binatang maupun manusia. Sedangkan kata ar-rajul adalah pria dewasa. 25 Namun, dari penjelasan di atas, jelas bahwa kata ar-rijâl jamak dari ar- rajul berbeda dengan kata adz-dzkar. Menurut Nasaruddin, yang pertama lebih berkonotasi jender gender term dengan menekankan aspek maskulinitas dan kejantanan seseorang, misalnya QS. Al-An’am [6]: 9: 24 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an Jakarta: Paramadina, 2001, h. 144-145. 25 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Volume 2 Jakarta: Lentera Hati, 2007, h. 361. ö q s 9 u r ç m» u Z ù = y è y _ Z 6 n = t B ç m» o Y ù = y è y f © 9 W x ã_ u ‘ u Z ó¡ t 6 n = s 9 u r O Î g ø Š n = t æ ¨ B š c q Ý ¡ Î6ù = t ƒ ÇÒ È “Dan kalau Kami jadikan Rasul itu seorang malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki, dan kalau Kami jadikan laki-laki tentulah Kami meragu- ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri,” QS. Al-An’am [6]: 9. Kata rajulan dalam ayat ini tidak menunjuk kepada jenis kelamin tetapi lebih menekankan aspek maskulinitas, karena keberadaan malaikat tidak pernah diisyaratkan jenis kelaminnya di dalam Alquran. Adapun yang kedua adz-dzakar lebih berkonotasi biologis sex term dengan menekankan aspek jenis kelamin, misalnya QS. Ali Imran [3]: 36: £ J n = s ù p k ÷J y è | Ê u r ôM s 9 s É b u ‘ ’ Îo T Î p k çJ÷è | Ê u r 4 Ó s \ R é ª u r Þ O n = ÷æ r y J Î ôM y è | Ê u r } § ø Š s 9 u r ã• x . © 4 Ó s \ R W { x . … “Maka tatkala ia istri Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…,” QS. Ali Imran [3]: 36. Dengan demikian, lanjut Nasaruddin, kata ar-rijâl jamak dari ar-rajul dan an-nisa jamak dari al-mar’ah digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Berbeda dengan adz-dzakar dan al-untsa yang penekanannya kepada jenis kelamin. 26 Lebih jelasnya, jika dikembalikan kepada ayat tentang kepemimpinan di atas, menurut Sukron Kamil dalam artikelnya, kata yang dipakai bukan kata adz- 26 Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 145-146. dzukur, yang menunjuk pada kelamin, melainkan kata ar-rijâl, yang menunjuk pada ketokohan. 27

b. Penerjemahan Kata Qawwamûn

HAMKA, dalam bukunya yang berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam, membagi konsep kepemimpinan ini menjadi dua judul yang terpisah: Pimpinlah Mereka I dan Pimpinlah Mereka II. Pada judul yang pertama, secara khusus, HAMKA menjelaskan tentang makna qawwamûn. Tapi di sini HAMKA tidak meletakkan sebab turunnya ayat. Namun, ia menjelaskan sebab turunya ayat pada judul yang kedua, yang memfokuskan diri pada pembahasan tentang nusûz. 28 Begitu juga dalam tafsirnya, dia menjelaskan sebab turunnya ayat ini pada pembahasan tentang nusûz. Dalam tafsirnya ia menulis bahwa asal mula ayat mengizinkan memukul itu ialah bahwa ada seorang sahabat Rasul, yang termasuk salah seorang guru Naqib mengajarkan agama kepada kaum Anshar, namanya Sa‘ad bin Rabi’ bin Amr, berselisih dengan istrinya Habibah binti Zaid bin Abu Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah Nusuz kepada suaminya Sa‘ad itu. Lalu Sa‘ad menempeleng muka istrinya itu. Maka datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah saw. ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan halnya. Kata ayahnya: “Ditidurinya anakku, lalu ditempelengnya.” Serta-merta Rasulullah menjawab: “Biar dia ambil balas Qisas?.” Artinya Rasulullah mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman. Tetapi ketika bapak dan anak 27 Sukron Kamil, “Rekomendasi Islam atas Kepemimpinan Wanita,” artikel diakses pada 27 Agustus 2010 dari http:www.csrc.or.idartikelindex.php?detail=20100712091031 28 HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996, h. 82-83. perempuannya telah melangkah pergi, Rasulullah berkata: “Kembali Kembali Ini Jibril datang” Maka turunlah ayat ini membolehkan memukul. Maka berkatalah Rasulullah saw., “Kemauan kita lain, kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhanlah yang lebih baik.” 29 Di sini sudah jelas bahwa sebab turunnya ayat ini, seperti yang dikutip Musdah dari Asghar di atas, bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, apakah tepat selaras dengan konteksnya jika kata qawwamûn pada ayat di atas diterjemahkan dengan “pemimpin”? Untuk kata “qawwamûn”, sejumlah ahli tafsir terkenal, seperti imam Jalal Ad-Din Al-Suyuti w. 1505 M., penulis Tafsir Al-Jalalain, memahami kata itu dengan arti “memimpin” atau “menguasai”. Jadi pengertiannya, laki-laki adalah pemimpin dan penguasa atas perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan publik. Selanjutnya ayat ini dijadikan landasan bagi penolakan kepemimpinan kaum perempuan di segala aspek kehidupan. Bahkan, para mufasir mengemukakan berbagai penjelasan yang sangat “bias laki-laki”. Imam Al- Nawawi w. 1277 M., misalnya, mengungkapkan, ada beberapa alasan mengapa qawwamûn diartikan superioritas laki-laki atas perempuan. Di antaranya karena laki-laki memiliki kesempurnaan akal kamal al-‘aql, matang dalam perencanaan, dan cakap dalam mengurus sesuatu husn al-tadbir, memiliki penilaian yang tepat, serta memiliki kelebihan dalam amal dan kesalehan. Oleh sebab itu, laki-laki diberi tugas istimewa untuk menjadi Nabi, juga sebagai imam atau wali, menjadi saksi dalam berbagai masalah, ikut berjihad, salat Jumat, dan 29 HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, h. 50.