Riwayat HAMKA ANALISIS HERMENEUTIK

Arab, termasuk terjemahan dari tulisan Barat. Sebagai seorang anak tokoh pergerakan, sejak kanak-kanak HAMKA sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya. Sejak berusia sangat muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakannya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo ketua Muhammadiyah 1944 – 1952, RM. Soerjopranoto 1871 – 1959, dan KH. Fakhruddin ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak iparnya, A.R. Sutan Mansur, yang waktu itu ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah setempat. Pada Juli 1925 ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah. 4 Pada waktu itu pulalah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya bernama “Khathibul Ummah”. 5 Pada Februari 1927 ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana lebih kurang 6 bulan. Selama di Mekah, ia bekerja pada sebuah percetakan, 6 sambil menjadi Koresponden dari harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari sana dia menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura 4 Yatim, “HAMKA,” h. 293-294. 5 HAMKA, Tasauf Modern, h. 9. 6 Yatim, “HAMKA,” h. 294. Langkat, dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta. Pada 1928 ia menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, kemudian ketua Tablig, sampai menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padangpanjang. 7 Pada tahun ini pula keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau bernama “Si Sabariyah”. Waktu itu pula dia memimpin majalah “Kemauan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Dalam tahun 1929 keluarlah buku-bukunya “Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, “Adat Minangkabau dan Agama Islam” buku ini dibeslah, dirampas polisi, “Kepentingan Tabligh”, “Ayat-ayat Mi’raj” dan lain- lain. 8 Pada 1930 ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. 9 Dalam tahun ini pula, mulailah dia mengarang dalam sk. “Pembela Islam” Bandung, dan mulai berkenalan dengan M. Natsir, A. Hassan dan lain-lain. Ketika dia pindah mengajar ke Makassar diterbitkannya majalah “Al-Mahdi”. 10 Pada 1931 ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Makassar untuk menjadi mubalig Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 Mei 1932 di Makassar. Pada 1934 ia kembali ke Padangpanjang dan diangkat menjadi Majelis Konsul 7 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 8 HAMKA, Tasauf Modern, h. 9. 9 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 10 HAMKA, Tasauf Modern, h. 10. Muhammadiyah Sumatera Tengah. 11 Setelah dia kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah dia ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini dipimpinnya sendiri setelah setahun dikeluarkan, mulai tahun 1936 sampai 1943, yaitu seketika bala tentara Jepang masuk. Di zaman itulah banyak terbit karangan-karangannya dalam lapangan agama, filsafat, tasauf, dan roman. Ada yang ditulis di “Pedoman Masyarakat” dan ada pula yang ditulis terlepas. Dan, waktu itulah keluar romannya “Tenggelamnnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Merantau ke Deli”, “Terusir”, “Keadilan Ilahi”, dan lain-lain. Dalam hal agama dan filsafat ialah “Filsafat Modern”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Hidup”, “Lembaga Budi”, “Pedoman Mubaligh Islam”, dan lain-lain. Di zaman Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”. Setelah pecah Revolusi, beliau pindah ke Sumatera Barat. Dikeluarkannya buku-buku yang mengguncangkan, “Revolusi Fikiran”, “Revolusi Agama”, “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi”, “Negara Islam”, “Sesudah Naskah Renville”, “Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman”, “Dari Lembah Cita-Cita”, “Merdeka”, “Islam dan Demokrasi”, “Dilamun Ombak Masyarakat”, dan “Menunggu Peduk Berbunyi”. 12 Sejak 1949, yaitu tercapainya Persetujuan Roem-Royen, ia pindah ke Jakarta. Pada 1950 ia mulai kariernya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang waktu itu dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim. Dalam kepegawaian itu, ia diberi tugas memberi kuliah di beberapa perguruan tinggi 11 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 12 HAMKA, Tasauf Modern, h. 10. Islam: Perguruan Agama Islam Negeri PTAIN di Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia MUI di Makassar, dan Universitas Islam Sumatera Utara UISU di Medan. Pada 1950 itu juga ia mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Dalam kesempatan ini, ia bertemu dengan pengarang Mesir yang telah lama dikenalnya melalui karya mereka, seperti Thaha Husein dan Fikri Abadah. 13 Sepulang dari lawatan ini, keluarlah buku-bukunya: “Ayahku”, “Kenang-Kenangan Hidup”, “Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad”, “Urat Tunggang Pancasila”. Riwayat perjalanan ke negeri-negeri Islam: “Di Tepi Sungai Nil”, “Di Tepi Sungai Dajlah”, “Mandi Cahaya di Tanah Suci”, “Empat Bulan di Amerika”, dan lain-lain. 14 Pada 1952 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Sejak itu, ia sering berkunjung ke beberapa negara, baik atas undangan negara bersangkutan maupun sebagai delegasi Indonesia. 15 Pada tahun 1955 keluar buku- bukunya “Pelajaran Agama Islam”, “Pandangan Hidup Muslim”, “Sejarah Hidup Jamaluddin Al-Afghany”, dan “Sejarah Ummat Islam”. 16 Pada 1958 ia menjadi anggota delegasi Indonesia untuk simposium Islam di Lahore. Dari Lahore ia meneruskan perjalanannya ke Mesir. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan pidato promosi untuk mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas al-Azhar, Cairo. Pidatonya yang berjudul “Pengaruh 13 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 14 HAMKA, Tasauf Modern, h. 10. 15 Yatim, “HAMKA,” h. 294. 16 HAMKA, Tasauf Modern, h. 11. Muhammad Abduh di Indonesia” menguraikan kebangkitan gerakan Islam di Indonesia: Sumatra Thawalib, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persatuan Islam. Gelar Doctor Honoris Causa juga didapatkannya dari University Kebangsaan Malaysia pada 1974. Dalam kesempatan itu, Tun Abdul Razak, perdana Menteri Malaysia, berkata “HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.” 17 Pada 1960, ia memusatkan kegiatannya dalam dakwah islamiah dan menjadi imam Masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta. Bersama KH. Faqih Usman menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952, wafat 1969 ketika menjabat ketua Muhammadiyah, pada Juli 1959, ia menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr. Mohammad Hatta berjudul “Demokrasi Kita”, yang melancarkan kritik tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967, dan HAMKA menjadi pimpinan umumnya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, pada Senin 27 Januari 1964, bertepatan pada tanggal 12 Ramadhan 1385, ia ditangkap oleh alat negara. Dalam tahanan Orde Lama ini ia menyelesaikan Tafsir al-Azhar 30 juz. Ia keluar dari tahanan setelah Orde Lama tumbang. Pada 1975, ketika Majelis Ulama Indonesia MUI berdiri, HAMKA terpilih menjadi ketua umum pertama dan terpilih kembali untuk periode kedua pada 1980. Ia meninggalkan banyak karya, antara lain 118 buku, belum termasuk karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa dan 17 Yatim, “HAMKA,” h. 294. disampaikan dalam beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Tulisan itu meliputi banyak bidang kajian: politik, sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu keislaman. 18 Kian lama kian jelaslah coraknya sebagai pengarang, pujangga, dan filusuf Islam, diakui oleh lawan dan kawannya. Di samping keasyikannya mempelajari “Kesusasteraan Melayu Klasik”, HAMKA pun bersungguh-sungguh menyelidiki Kesusasteraan Arab, sebab bahasa asing yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahasa Arab. Drs. Slamet Mulyono, ahli tentang kesusasteraan Indonesia menyebut HAMKA sebagai “Hamzah Fansuri Zaman Baru”. 19

B. Penerjemahan terhadap Ayat tentang Kepemimpinan

Seperti yang sudah Penulis jelaskan pada bab I, penulisan ini hanya mengangkat salah satu dari sekian banyak isu-isu bias jender, yaitu tentang kepemimpian atau kepemimpinan perempuan. Karena ayat ini, menurut salah seorang feminis Muslim asal India, Asghar Ali Engineer, adalah yang paling banyak mengandung perdebatan sejauh memperhatikan konsep dominasi kaum laki-laki. 20 Kemudian yang menjadi objek kajian ini adalah tentang penerjemahan HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar terhadap ayat kepemimpinan tersebut, yaitu Qs. An-Nisa [4]: 34. ã A y ` Ìh• 9 š c q ã Bº § q s ’ n ? t ã Ï ä | ¡ Ïi Y9 y J Î Ÿ ž Ò s ù ª ó O ß g Ÿ Ò ÷è t 4 ’ n ? t ã Ù ÷è t y J Î u r q à x ÿ R r ô ` Ï B ö N Î g Ï 9º u q ø B r 4 àM » y s Î =» ¢Á 9 s ù ìM » t G Ï Z» s ×M » s à Ïÿ » y m É = ø ‹ t ó ù = Ïj 9 y J Î x á Ïÿ y m ª 4 Ó É L » © 9 u r t b q èù s ƒ r B 18 Yatim, “HAMKA,” 295. 19 HAMKA, Tasauf Modern, h. 11. 20 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto Yogyakarta: LKiS, 2007, h. 69. Æ è d y — q à± è S Æ è d q Ý à Ïè s ù £ ` è d r ã•àf ÷ d u r ’ Îû Æ ì Å _ Ÿ Ò y J ø 9 £ ` è d q çÎŽôÑ u r ÷ b Î s ù ö N à 6 u Z ÷è s Û r Ÿ x s ù q äóö7 s ? £ ` Í k ö Ž n = t ã ¸ x ‹ Î6 y ™ 3 ¨ b Î © š c x . w Š Î = t ã Z Ž • Î6 Ÿ 2 ÇÌÍÈ Menurut Siti Musdah Mulia, mengutip dari Asghar Ali Engineer, menjelaskan bahwa dilihat dari asbab nuzul, ayat tersebut bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai “domestic violence” atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat itu membincangkan masalah nusuz atau konflik atau percekcokan dalam rumah tangga. 21

a. Penerjemahan Kata

ar-Rijâl Sebelum kita masuk kepada pembahasan yang lebih dalam, terlebih dahulu Penulis akan menganalisis penerjemahan kata ar-rijâl dalam Tafsir Al-Azhar. Dalam Tafsir Al-Azhar, HAMKA menerjemahkan kata ar-rijâl dengan laki-laki. Ia menekankan dan mengaitkan dengan penjelasan tentang pembagian harta pusaka bahwa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. 22 Hal ini merujuk kepada QS. An-Nisa [4]: 11. Namun, jika diperhatikan secara cermat, pada masalah pembagian harta pusaka atau waris ini, tidak ditemukan kata ar- rijâl. Tapi yang ditemukan hanya kata adz-dzakar, yang diterjemahkan oleh HAMKA dengan “seorang anak laki-laki”. 23 Ayat itu berbunyi: Þ O ä 3 Š Ϲ q ã ƒ ª þ ’ Îû ö N à 2 ω » s 9 ÷ r r Ì• x . © Ï 9 ã ÷VÏ B Å eá y m È û ÷ ü u ‹ s V R W { 4 … 21 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan Bandung: Mizan, 2005, h. 41-42. 22 HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz V Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 46. 23 HAMKA, Tafsir Al-Azhar Juz III – IV Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996, h. 276.