Perspektif Teori Jender SEKILAS TENTANG JENDER

Dasar pemikiran kelompok ini adalah manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya. Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan- kekhususan. Secara ontologis keduanya sama, hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan. Meskipun dikatakan feminisme liberal, kelompok ini tetap menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, terutama yang berhubungan dengan fungsi reproduksi, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya perbedaan distinction antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana pun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis di dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok ini termasuk paling moderat di antara kelompok feminis. Kelompok ini membenarkan perempuan bekerja bersama laki-laki. Mereka menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total di dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti melakukan perubahan struktural secara menyeluruh, tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi, dan politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut. 11 11 Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 64-65. b. Feminisme Marxis-Sosialis Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin 1857 – 1933 dan Rosa Luxemburg 1871 – 1919. Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesunggunya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Kelompok ini menganggap posisi inferior perempuan berkaitan dengan struktur kelas dan keluarga dalam masyarakat kapitalis. Feminis sosialis berpendapat bahwa ketimpangan jender di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistem kapitalis yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan di dalam lingkungan rumah tangga. Istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami daripada sebaliknya. Perempuan senantiasa mencemaskan keamanan ekonominya, karenanya, mereka memberikan dukungan kekuasaan kepada suaminya. Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali struktural secara mendasar, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik. Teori ini tidak terlalu menekankan faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi, tetapi teori ini lebih menyoroti faktor seksuslitas dan jender dalam kerangka ideologinya. 12 c. Feminisme Radikal Aliran ini muncul di permukaan abad ke-19 dengan mengangkat isu besar, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan seperti lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lebih dari itu, di antara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrim, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan “seks”, dalam arti kepuasan seksual juga diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolelir praktik lesbian. Menurut kelompok ini, perempuan tidak harus tergantung kepada laki-laki, bukan saja dalam hal pemenuhan kepuasan kebendaan tetapi juga pemenuhan kebutuhan seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan seksual kepada sesama perempuan. Kepuasan seksual dari laki-laki adalah masalah psikologis. Melalui berbagai latihan dan pembiasaan kepuasan itu dapat terpenuhi dari sesama perempuan. Aliran ini juga mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih. Ketertindasan perempuan berlangsung cukup lama dan dinilainya sebagai bentuk penindasan yang teramat panjang di dunia. Penindasan karena ras, perbudakan, 12 Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 65-66. dan warna kulit dapat segera dihentikan dengan resolusi atau peraturan, tetapi pemerasan secara seksual teramat susah dihentikan, dan untuk itu diperlukan gerakan yang lebih mendasar. Aliran ini mendapat tantangan luas, bukan saja dari kalangan sosiolog tetapi juga di kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis tidak setuju sepenuhnya dengan pendapat ini. Persamaan secara total pada akhirnya akan merepotkan dan merugikan perempuan itu sendiri. Laki-laki yang tanpa beban organ reproduksi secara umum akan sulit diimbangi oleh perempuan. Yang menjadi inti perjuangan semua aliran feminisme tersebut di atas, menurut Nasaruddin Umar, ialah berupaya memperjuangkan kemerdekaan dan persamaan status dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan jender di dalam masyarakat. 13

C. Isu tentang Bias Jender dan Relasinya dalam Islam

Berbicara isu-isu tentang bias jender, mungkin sedikit sudah diperkenalkan dalam awal bab tiga di atas. Terkait dengan isu-isu tentang bias jender banyak sekali, seperti asal kejadian perempuan, poligami, pakaian, warisan, dll., namun tidak mungkin akan dibahas semuanya di sini. Dari banyaknya isu-isu tersebut, Penulis akan menguraikan isu tentang bias jender yang berkaitan dengan konsep kepemimpinan—bisa juga disebut sebagai kewajiban dan hak jender—secara khusus dan singkat. Terlepas dari apa yang menjadi penyebabnya, realitas sosial dewasa ini memperlihatkan dengan jelas betapa kecenderungan manusia pada aktivitas kerja 13 Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, h. 66-68. ekonomis terasa menjadi semakin kuat dan keras. Pergulatan manusia untuk mendapatkan kebutuhan hidup dan untuk sebagian orang mencari kesenangan materialistik-konsumtif telah melanda hampir semua orang, laki-laki maupun perempuan. Fenomena ini semakin nyata dalam era industrial sekarang ini. Bahkan realitas sosial juga memperlihatkan bahwa perburuan manusia mencari kesenangan ekonomi dan “sesuap nasi” oleh kaum perempuan, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga mempunyai suami semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tak pelak lagi bahwa untuk kaum perempuan yang disebut terakhir ini kaum istri pada gilirannya harus melakukan kerja ganda. Di samping mengurus suami dan anak-anak, mereka juga mencari nafkah di luar. 14 Namun sayangnya, perempuan di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. 15 Salah satu sebabnya adalah karena, telah ditetapkan oleh para ulama ortodoks dan konservatif muslim bahwa peranan perempuan dibatasi secara ketat di rumah. Dia tidak boleh pergi ke luar kecuali dengan izin suami atau ayah, dan dia harus dengannya 16 karena dianggap laki-laki mempunyai satu tingkat superioritas di atas perempuan. Alasan tingkat superioritas ini dikatakan secara jelas dalam Q.S. an-Nisa [4]: 34 dengan terjemahannya sebagai berikut: 14 Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 159. 15 Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim, h. 38. 16 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Pnrj. Agus Nuryanto Yogyakarta: LKiS, 2007, h. 265.