Definisi Penerjemahan KERANGKA TEORI

b. Menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula. 3 Sehubungan dengan pengertian ini pula, Zamakhsyari w. 538 H. mengatakan bahwa penerjemahan tentang sesuatu sama dengan penafsiran tentang sesuatu tersebut. Menurut pemahaman ini berarti mutarjim sama dengan mufassir. Suatu kenyataan seperti dinyatakan dalam kamus Lisan al-‘Arab bahwa turjuman penerjemah, juru bahasa disebut mufassir pemberi keterangan tentang maksud sesuatu kalimat. 4 c. Menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. 5 Ini berarti bahwa unsur penjelasan merupakan unsur yang dominan dalam kandungan makna terjemahan. Bahkan, menurut Ismail Lubis, kalau dilihat di dalam Tafsir Ibn Katsir tentang Abdullah bin Abbas yang mendapat julukan sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan tersebut. Apabila ditinjau dari sudut pandang bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan, pendapat Ibn Katsir 705 – 774 H. lebih bersifat umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa sumber atau bahasa lain. 6 3 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 8. 4 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 58. 5 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 8. 6 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 59. d. Memindahkan tuturan dari suatu bahasa ke bahasa lain seperti mengalihkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia. 7 Yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lain. Pelaku pekerjaan mengalihkan makna atau amanat tersebut diberikan makna penerjemah. Ibn Munzir menamakannya dengan tarjuman atau turjuman, yakni orang yang mengalihbahasakan; juru terjemah. 8 Makna etimologis di atas memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan keempat makna tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda. Adapun secara terminologis, menerjemahkan didefinisikan sebagai mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan itu. 9 Yang dimaksud dengan makna dalam definisi ini bukan sekedar arti permukaan dari kata atau kalimat itu sendiri. Untuk itu seorang penerjemah perlu memperhatikan teks yang akan diterjemahkan, baik dari segi isi teks maupun ragam bahasanya. 10 Dalam menjelaskan definisi penerjemahan, Rochayah Machali mengambil dua definisi penerjemahan sebagai landasan pijakan memasuki pembahasan dalam bukunya Pedoman Bagi Penerjemah, yaitu dari Catford dan Newmark. Dalam melihat kegiatan penerjemahan, keduanya menggunakan pendekatan yang sama, namun yang kedua lebih memperjelas lagi. 7 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 8. 8 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 59. 9 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 8. 10 Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an Depag Edisi 1990, h. 60. Catford 1965 menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai “the replacement of textual material in one language SL by equivalent textual material in another language TL” mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. Newmark 1988 juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author in tended the text” menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain dengan yang dimaksudkan pengarang. 11 Namun, seperti yang ditulis Machali sendiri, kedua definisi tersebut sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini. Pada definisi yang pertama—menurut Cartford—di atas menunjukkan bahwa penerjemahan merupakan proses ‘mengganti’. Sedangkan definisi yang kedua memberikan kejelasan atas apa yang harus ‘diganti’ oleh seorang penerjemah. Maka dari itu, apabila kedua definisi ini dilihat lebih jauh, dapat kita sarikan bahwa: 1 penerjemahan adalah upaya ‘mengganti’ teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran; 2 yang diterjemahkan adalah makna yang dimaksudkan pengarang. 12 Pendekar dari Chicago, yang biasa disebut oleh banyak orang sebagai pemikir Islam Indonesia, mendefinisikan penerjemahan yang berbeda dengan kedua definisi di atas Catford dan Newmark. Seolah dia melangkah namun berada di dalam papan permaianan; dia melanggar tapi tetap menuruti peraturan. Pendekar dari Chicago—mengambil istilah Gus Dur—adalah Cak Nur. Di dalam 11 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah Jakarta: Grasindo, 2000, h. 5. 12 Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 5. bukunya, Kaki Langit Peradaban Islam yang berisi suntingan makalah- makalahnya, dia menjajarkan kata tafsir dan terjemah dalam sub bab tersendiri. Menurutnya, karena umat manusia bermacam-macam bahasa bahkan perbedaan bahasa manusia itu justru disebutkan dalam Alquran sendiri sebagai salah satu ayat Allah juga, 13 maka usaha menerangkan, menjelaskan, dan menafsirkan Alquran juga menyangkut kemungkinan menerjemahkannya ke dalam bahasa-bahasa lain, selain bahasa Arab. Kemudian dia mendefinisikan bahwa sesungguhnya terjemah adalah suatu tafsir, dan usaha menerjemahkan pada hakikatnya adalah juga usaha menafsirkan. Sebab setiap usaha pengalihan bahasa akan melibatkan pengetahuan orang yang melakukannya, dengan kualifikasi kurang dan lebih, jadi tidak sempurna. 14 Dari keterangan tersebut, jika Pendekar dari Chicago itu diminta untuk mendefinisikan penerjemahan, maka jelas dia akan mendefinisikan bahwa penerjemahan pada praktiknya adalah proses penafsiran. Seperti yang kita tahu bahwa penerjemahan adalah proses mengalihkan bahasa dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran, bahasa lain. Sedangkan penafsiran tidak seperti itu. Karena penafsiran adalah proses menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak 15 dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran, bisa dengan bahasa lain, bisa juga dengan bahasa yang sama dengan bahasa sumber. Walau pun dalam segi bahasa berbeda, tetap saja, pada praktiknya, tidak akan bisa diragukan lagi. Kenyataan itu 13 Lihat, Qs. Ar-Ruum [30]: 22. 14 Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, h. 172-174. 15 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Alquran. Pnrj. Mudzakir AS Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001, h. 455. membuktikan bahwa seorang penerjemah ketika melakukan tugasnya, pasti akan melibatkan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, dari definisi penerjemahan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan bukan hanya proses ‘mengganti’ melainkan sudah menjadi proses ‘menjelaskan’, ‘menyingkap’, dan ‘menampakkan’ atau ‘menerangkan’ makna yang abstrak pada suatu teks ke dalam bahasa satu atau lain sesuai dengan maksud pengarang.

B. Metode-metode Penerjemahan

Pada sub bab ini Penulis akan meletakkan metode-metode yang sudah kita kenal dan praktikkan selama ini. Karena banyak sekali metode-metode penerjemahan yang ada, maka Penulis di sini akan menjelaskan tentang metode penerjemahan Alquran atau bahasa Arab karena penelitian ini menganalisis tentang penerjemahan Alquran. Metode penerjemahan berarti cara penerjemahan yang digunakan dalam mengungkapkan makna nas sumber secara keseluruhan di dalam bahasa penerima. Jika sebuah nas, misalnya Alquran, diterjemahkan dengan metode harfiyah, maka makna yang terkandung dalam surat pertama hingga surat terakhir diungkap secara harfiyah, kata demi kata hingga selesai. Buku terjemahan Alquran yang berjudul ‘Inâyah li al-Mubtadîn merupakan contoh pemakaian metode ini. Namun, dalam kenyataannya sebuah metode tidak dapat diterapkan pada sebuah nas secara konsisten dari awal hingga akhir. Keragaman masalah yang dihadapi menuntut penyelesaian dengan cara yang bervariasi pula. Karena itu, metode ini biasanya digunakan sebagai pendekatan umum atau prinsip pokok dalam menerjemahkan sebuah nas. Karena masalah penerjemahan itu sangat variatif, cara atau metode penyelesaiannya pun berfariasi pula. Dalam khazanah penerjemahan di dunia Arab, metode penerjemahan terbagi dua jenis: metode harfiyah dan metode tafsiriyah metode maknawiyah. 16 Metode Harfiyah ialah cara menerjemahkan yang memperhatikan peniruan terhadap susunan dan urutan nas sumber. Cara menerjemahkan yang juga disebut dengan metode lafzhiyyah atau musâwiyah ini diikuti oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu Na’imah, al-Hamshi, dan sebagainya. Yang menjadi sasaran penerjemahan harfiyah ialah kata. Metode ini dipraktikkan dengan pertama-tama seorang penerjemah memahami nas, lalu menggantinya dengan bahasa lain pada posisi dan tempat kata bahasa sumber itu atau melakukan transliterasi. Demikianlah cara ini dilakukan hingga seluruh nas selesai diterjemahkan. Metode di atas memiliki kelemahan karena dua alasan. Pertama, tidak seluruh kosa kata Arab berpadanan dengan bahasa lain sehingga banyak dijumpai kosa kata asing. Kedua, struktur dan hubungan antara unit linguistik dalam suatu bahasa berbeda dengan struktur bahasa lain. 17 Menurut Ismail Lubis, tejemahan harfiyah di atas, dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima Bsa, dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber Bsu meskipun 16 Lihat juga dalam Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, h. 443. 17 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia Teori dan Praktek, h. 68-69.