dan sekresi insulin pun akan berkurang. Pada titik ini, dapat ditemui gambaran kadar glukosa darah yang meningkat dan disertai dengan peningkatan
pembentukan glukosa di hati akibat sekresi insulin yang semakin menurun Vail, 2004; Harrison, 2008.
Mekanisme awal terjadinya resistensi insulin masih belum dapat dipastikan, diperkirakan disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor insulin dan
penurunan aktivitas tyrosine kinase yang bersifat sekunder terhadap kondisi hiperinsulinemia. Kondisi yang dianggap menyebabkan keadaan resistensi ini
adalah obesitas terutama obesitas viseral di mana peningkatan asam lemak bebas serta adipokine yang dihasilkan sel lemak yang memodulasi sensitivitas sel
terhadap insulin Harrison, 2008.
2.3.6 Gejala Klinis Diabetes Melitus
Diabetes melitus umumnya akan memberikan beberapa gejala, yang dibedakan menjadi gejala akut dan gejala kronis. Gejala akut adalah gejala yang
khas ditemui pada penderita diabetes yaitu polidipsia sebagai mekanisme kompensasi tubuh kehilangan cairan dan elektrolit, poliuria akibat peningkatan
kadar glukosa melebihi ambang renal sehingga terjadi diuresis osmotik, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Gejala kronis umumnya merupakan gejala yang kurang khas dan tidak langsung dijumpai pada awal perjalanan penyakit seperti rasa lemas, kesemutan,
luka yang sulit sembuh, rasa gatal, penglihatan kabur, dan disfungsi ereksi pada pria Babar dan Skugor, 2009.
2.3.7 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria dan pemeriksaan. Kriteria diagnosis yang ditetapkan menurut Perkeni meliputi
tiga cara. Pertama, jika ditemukan gejala khas diabetes maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mgdL sudah dapat menegakkan diagnosis T2DM. Kedua,
dengan melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mgdL disertai dengan gejala khas diabetes, di mana puasa diartikan sebagai pasien tidak mendapat kalori
tambahan selama 8 jam. Ketiga adalah dengan melakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa darah oral TTGO dengan kadar glukosa darah 200 mgdL
dalam 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air Perkeni, 2008.
TTGO bersifat lebih sensitif dan spesifik dalam mendiagnosa diabetes namun dalam pelaksanaannya memiliki keterbatasan dan lebih jarang dilakukan.
Cara kedua lebih mudah dilakukan, lebih mudah diterima pasien, dan lebih murah sehingga sering dijadikan sebagai dasar pemeriksaan dalam praktek sehari-hari.
Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi HbA1c, yaitu hasil glikosilasi hemoglobin yang berikatan dengan glukosa pada gugus asam aminonya, bersifat
spesifik untuk mendiagnosa diabetes melitus namun tidak bersifat sensitif di mana penderita diabetes dapat memiliki nilai HbA1c di bawah rentang normal. HbA1c
merupakan metode yang baik untuk menilai efektivitas dari pengobatan diabetes yang dilakukan Buse dkk., 2003; Hoogwart, 2009.
2.3.8 Komplikasi pada Hiperglikemia