Sosial atau afiliasi Misalnya: kelompok-kelompok formal atau
Informal, menjadi ketua yayasan, Ketua organisasi olah raga, dan sebagainya
Keamanan, misalnya: Jaminan masa pensiun,
Santunan kecelakaan, jaminan asuransi kesehatan, dan sebagainya
Fisik, misalnya: gaji, upah tunjangan, honorarium, bantuan pakaian, sewa perumahan, uang transport, dan lain-lain.
Sumber: Fred Luthans, Organizational Behavior, 1981, hlm. 179.
2.2.2. Teori teori Motivasi
Frederick Herzberg Miftah Thoha, 1996 berusaha memperluas hasil karya Maslow dan mengembangkan suatu teori yang khusus bisa diterapkan ke dalam motivasi
kerja. Pada sekitar tahun 1950 dia melakukan suatu studi mengenai motivasi dengan meneliti hampir seratus orang akuntan dan insinyur yang bekerja dalam perusahaan-
perusahaan di sekitar Pittsburgh, Pennsylvania. Jawaban mereka memberikan suatu pengaruh yang menarik, yang pada akhirnya oleh Herzberg disimpulkan bahwa kepuasan
pekerjaan itu selalu dihubungkan dengan isi jenis pekerjaan job content dan ketidakpuasan bekerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan
aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan pekerjaan job context. Kepuasan- kepuasan dalam bekerja oleh Herzberg diberi nama motivator, adapun ketidakpuasan
disebutnya factor hygiene. Kedua sebutan itu kalau digabungkan terkenal dengan nama Dua Faktor Teori Motivasi dari Heszberg.
Perluasan lebih lanjut dari teori Herzberg dan Maslow datang dari usaha Clayton Alderfer. Alderfer 1972 merumuskan suatu model penggolongan kebutuhan segaris
dengan bukti-bukti empiris yang telah ada. Sama halnya dengan Maslow dan Herzberg, dia merasakan bahwa ada nilai tertentu dalam menggolongkan kebutuhan-kebutuhan, dan
terdapat pula suatu perbedaan antara kebutuhan-kebutuhan dalam tatanan paling bawah dengan kebutuhan-kebutuhan pada tatanan paling atas. Alderfer mengenalkan tiga
kelompok inti dari kebutuhan-kebutuhan itu, yakni kebutuhan akan keberadaan existence need, kebutuhan berhubungan relatedness dan kebutuhan untuk berkembang growth
need. Teori ERG berasal dari kepanjangan Existence, Relatedness dan Growth. Tokoh motivasi lain yang mengemukakan bahwa manusia pada hakekatnya
mempunyai kemampuan untuk berprestasi diatas kemampuan orang lain adalah David C McClelland. Kemampuan seseorang untuk berprestasi ini membuat Mc Clelland 1961
terpesona untuk melakukan serangkaian riset empirisnya bersama asosiasinya di Universitas Harvard Amerika Serikat. Menurut McClelland 1961, seseorang dianggap
mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain. Ada tiga kebutuhan
manusia menurut McClelland, yaitu kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk kekuasaan. Ketiga kebutuhan ini terbukti merupakan
unsur-unsur yang amat penting dalam menentukan prestasi seseorang dalam bekerja. Usaha berikutnya adalah yang dilakukan Elton Mayo, yang rupanya dapat
meratakan jalan pada pengembangan teori klasik dari McGregor. Menurut McGregor 1966 organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralistis dalam pengambilan
keputusan, hubungan piramidal antara atasan dan bawahan, serta pengendalian kerja
eksternal pada hakekatnya adalah berdasarkan atas asumsi-asumsi mengenai sifat-sifat manusia dan motivasinya. Asumsi-asumsi ini sama dengan pandangan Mayo yang
dirumuskan dalam hipotesis Rabblenya. Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah
dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Mengikuti falsafah ini maka kepercayaannya ialah orang-orang itu hendaknya
dimotivasi dengan uang, gaji, honorarium dan diperlakukan dengan sangsi hukuman. Dengan membandingkan hirarki kebutuhan dari Maslow, McGregor 1961
menyatakan bahwa asumsi teori X tersebut jika diterapkan secara menyeluruh dan universal bagi setiap orang dalam organisasi akan sering tidak tepat. Dan pendekatan
manajemen yang dikembangkan dari asumsi ini akan banyak mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan organisasi. Manajemen berdasarkan perintah dan control yang
ketat, menurut McGregor tidak akan banyak berhasil. Sebab barangkali hal tersebut hanya bisa mengatasi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan keamanan
saja, sedangkan orang-orang yang mempunyai kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri lebih dominan tidak bisa terpuaskan.
Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor 1961 memberikan alternative teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y
menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Dengan memahami asumsi dasar teori Y ini, McGregor
menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi manajemen untuk melepaskan tali pengendalian dengan memberikan kesempatan mengembangkan potensi
yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk
mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha- usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Meskipun manajemen yang berdasarkan asumsi teori X barangkali sudah tidak cocok lagi bagi perkembangan organisasi, tetapi teori tersebut masih banyak diterapkan
di kalangan manajemen. Menurut Chris Argyris Warren G. Bennis, 1969, seorang mahaguru dari Universitas Harvard, mayoritas besar rakyat Amerika sekarang ini
diperlakukan sebagai manusia yang tidak dewasa di dalam lingkungan kerjanya. Dalam usahanya untuk menganalisis situasi ini, Argyris mencoba membandingkan nilai-nilai
pyramidal dari birokrasi yang masih mendominasi sebagian besar organisasi, dengan sistem nilai demokrasi yang banyak memperhatikan factor manusianya. Nilai piramidal
birokrasi identik dengan asumsi teori X tentang hakekat manusia. Dan system nilai demokrasi yang humanities sama dengan asumsi-asumsi teori Y.
Menurut Argyris nilai pyramidal tersebut menyebabkan hubungan kemanusiaan menjadi dangkal dan tidak saling mempercayai. Karena hubungan ini tidak memberikan
kesempatan perasaan-perasaan tersalurkan secara bebas, tidak murni dan tidak otentik serta hasilnya menurunkan kompetensi interpersonal.
Sebaiknya menurut Argyris, jika nilai-nilai kemanusiaan atau demokrasi dilaksanakan secara tegas dalam suatu organisasi maka perasaan-perasaan saling percaya,
hubungan yang tidak dibuat-buat, akan berkembang diantara orang-orang yang bekerjasama di dalamnya. Dan akan menghasilkan kompetensi interpersonal, kerjasama
antar kelompok atau fleksibilitas, yang pada akhirnya dapat menghasilkan bertambahnya efektifitas organisasi. Dalam situasi lingkungan seperti ini orang-orang diperlakukan
seperti manusia. Baik anggota-anggota organisasi maupun organisasinya sendiri
diberikan suatu kesempatan untuk mengembangkan potensi yang penuh dan berusaha untuk membuat pekerjaan senantiasa menarik dan menantang. Termasuk dalam
kehidupan, nilai-nilai ini memperlakukan setiap manusia sebagai person yang mempunyai serangkaian kebutuhan-kebutuhan yang kompleks, yang kesemuanya amat
penting dalam pekerjaan dan kehidupannya dan memberikan kesempatan bagi orang- orang didalam organisasi untuk mempengaruhi cara mereka dalam menjalin hubungan
kerja, organisasi dan lingkungannya.
2.3. Pengaruh Komunikasi Terhadap Perilaku Organisasional