BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Simalungun adalah salah satu kelompok etnis yang berada pada wilayah Provinsi Sumatera Utara. Etnis Simalungun merupakan salah satu
dari lima kelompok etnis dalam kesatuan masyarakat batak lainnya yaitu Toba, Karo, Pak-pak, Mandailing-angkola Bangun, 1993:94 dalam buku pluralitas
musik etnik. Masyarakat Simalungun memiliki kebudayaan yang di wariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya sama seperti halnya pada setiap etnis yang
ada di etnis batak lainnya yaitu Toba, Karo, Pak-pak dan Mandailing-angkola. Salah satu kebudayaan yang di wariskan secara turun-temurun itu adalah
kesenian. Kesenian dalam Simalungun terdapat seni tari, seni musik dan seni rupa.
Dalam hal ini penulis menarik perhatian terhadap seni musik yang ada di Simalungun. Pada tulisan ini, penulis lebih terfokus mengkaji aspek musiknya.
Berbicara tentang musik,Alan.P.Merriam pada buku “The Anthropology Of Music”1964:32-33, musik merupakan suatu lambang dari hal-hal yang berkaitan
dengan ide-ide, maupun perilaku masyarakat. Musik merupakan bagian dari kesenian.Kesenian merupakan salah satu dalam sistem sosial-budaya, menurut
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi 1986, menyebutkan kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh unsur kebudayaan, yaitu :
1sistem perlengkapan hidup, 2sistemmata pencarian, 3sistem
Universitas Sumatera Utara
kemasyarakatan, 4sistem bahasa, 5sistem kesenian, 6sistem pengetahuan, 7 sistem religi Koentjaraningrat 1986:203-204. Kemudian menurut
Boedhisantoso,S. dalam buku “Kesenian Dan Nilai-Nilai Budaya’’ 1982:23 dan Melalotoa dalam buku “Pesan Budaya Dalam Kesenian’’ 1986:27, musik
merupakan kebutuhan manusia secara universal yang tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat Boedhisantoso 1982 : 23; Melalotoa, 1986 : 27.
Pada masyarakat Simalungun, seni musik terbagi atas dua bagian besar yaitu musik vokal doding dan musik instrument gual. Dalam tradisi
masyarakat Simalungun menyebut musik vokalnya dengan doding. Aktivitas menyanyikan doding ini di sebut dengan mandoding. Selain istilah doding, dalam
genre musik vokal Simalungun di kenal pula istilah ilah
1
dan inggou
2
Selain musik vokal, masyarakat Simalungun juga memiliki musik instrumen yang terbagi dalam beberapa klasifikasi, yaitu Idiofon terdapat alat
musik mongmongan, ogung, sitalasayak, dan garantung. Membranfon terdapat , yang juga
mempunyai makna nyanyian. Beberapa jenis nyanyian rakyat pada masyarakat Simalungun yaitu: taur-taur simanggei nyanyian cinta, ilah nyanyian kerja,
urdo-urdo nyanyian untuk menidurkan anak, tihtah nyanyian permainan anak, tangis tangisan, Mandilo tonduy dan manalundumangmang nyanyian untuk
pengobatan dan juga inggou turi-turian nyanyian bercerita.
1
Suatu nyanyian yang dilagukan oleh pemuda-pemudi secara bersama-sama, pemuda saja atau pemudi saja sambil menari atau menepuk tangannya, berkeliling membentuk lingkaran.Biasanya
dinyanyikan pada saat terang bulan di halaman dengan riang gembira, sehingga dapat menimbulkan rasa persaudaraan sesama penyanyi.Contohnya :ilah bolon, ilah idong-idong dan
lain-lain.
2
Suatu nyanyian yang dilagukan oleh seorang datu dukun atau seseorang lelaki tua maupun Ibu tua.Biasanya pada acara marbah-bah seorang datu dukun, menyanyikan cerita-cerita yang
berhubungan dengan upacara tersebut.Cerita tersebut dinyanyikan sebagai hiburan sampai berakhirnya upacara.
Universitas Sumatera Utara
alat musik gonrang sidua-dua, gonrang sipitu-pitugonrang bolon. Kordofon terdapat alat musik arbab, husapi, tengtung. Aerofon terdapat alat musik sarunei
bolon, sarunei buluh, tulila, sulim, sordam, saligung, ole-ole, hodong-hodong dan
ingon-ingon.
Alat musik Simalungun dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu alat musik yang dimainkan secara ensambel, dan musik yang dimainkan secara tunggal.
Musik ensambel yang terdapat pada masyarakat Simalungun yaitu gonrang sidua- dua dan gonrang bolonsipitu-pitu. Gonrang sidua-dua merupakan seperangkat
musik tradisional Simalungun yang terdiri atas dua buah mongmongan, dua buah gonrang, dua buah ogung, dan satu buah sarune bolon. Gonrang bolon yaitu
seperangkat alat musik tradisional Simalungun yang terdiri atas dua buah ogung, dua buah mongmongan, tujuh buah gonrang dan satu buah sarunei bolon. Kedua
ensambel musik tersebut memiliki fungsi yang sama yaitu untuk upacara religi, upacara adat, malas ni ruha upacara sukacita maupun pisok ni uhur upacara
dukacita dan upacara sayur matua
3
3
Yaitu Orang yang meninggal telah memiliki cucu dan anak-anaknya sudah menikah semua
Gonrangsidua-dua dan gonrang bolon juga
di gunakan untuk mengiringi tarian tor-tor.
Pada masyarakat Simalungun terdapat juga alat musik yang di mainkan secara tunggal di antaranya adalah sordam, husapi, tulila, sulim, saligung, arbab
dan tengtung. Pada tulisan ini penulis ingin mengkaji tentang alat musik yang dimainkan secara tunggal pada masyarakat Simalungun yaitu tengtung. Alat
musik tunggal tengtung adalah alat musik tradisional Simalungun jenis idiofon- kordofon idiokord.
Universitas Sumatera Utara
Tengtung adalah alat musik yang terbuat dari seruas bambu yang memiliki 2 atau 3 senar yang diambil dari badan bambu itu sendiri. Cara memainkan
tengtung ini dengan memukul senar tengtung dengan sebuah gual’gual alat pemukul. Bambu yang digunakan pada pembuatan alat musik tengtung ini adalah
bambu balake dan buluh bolon. Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah
sampai iklim kering menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999: 78. Dalam istilah tengtung ini juga dikenal istilah jatjaulul yang dipakai di
Simalungun. Namun dalam pemakaian istilah, alat musik ini lebih dikenal sebagai tengtung pada masyarakat Simalungun. Karena suara yang dikeluarkan berbunyi
“teng” dan “tung “. Dalam hal pemakaian istilah ini lah, penulis memakai istilah tengtung dalam tulisan ilmiah ini. Selain di Simalungun terdapat juga alat musik
tengtung ini di beberapa etnis lainnya, seperti pada etnis Karo alat musikini dikenal dengan istilah keteng-keteng. Keteng-keteng terbuat dari seruas bambu
dan memiliki fungsi yang sama yaitu untuk menghibur. Keteng-keteng ini memiliki empat senar dan dua alat pukul yang berasal dari bambu. Selain di Karo,
alat musik ini juga terdapat di etnis Mandailing. Alat musik tengtung ini dikenal juga dengan istilah gondang bulu. Gondang bulu juga terbuat dari seruas bambu
yang memiliki tiga senar dan satu alat pemukulnya. Tidak hanya di kesatuan etnis batak lainnya, tengtung juga ada di Nusa
Tenggara. Tengtung ini di istilahkan sebagai sowito. Sowito juga terbuat dari seruas bambu, dan memiliki dua senar serta satu alat pemukulnya. Berdasarkan
penjelasan istilah yang dipakai untuk memberikan nama atau sebutan pada alat
Universitas Sumatera Utara
musik ini adalah berbeda-beda. Hal ini tergantung pada letak wilayah daerahnya, etnisnya, dan bahasa pada masyarakat tersebut.
Menurut Bapak Rosul Damanik bahwa bambu yang digunakan untuk membuat tengtung adalah bambu balake dan buluh bolon atau sering digunakan
sebagai bambu pembuatan keranjang. Dikarenakan bambu ini hidup di tepian jurang hutan sehingga tidak tersentuh oleh manusia yang artinya habitatnya masih
alami. Bambu yang diambil harus yang berada di tengah-tengah bambu yang lainnya, dan harus memiliki goresan-goresan di bagian ruas-ruas bambu yang
disebabkan oleh angin yang berhembus dan memberikan gesekan-gesekan di ruas bambu tersebut. Bambu yang diambil juga tidak boleh cacat artinya bambu itu
harus memiliki pangkal dan ujung bambu yang utuh. Bambu juga harus dalam kondisi sedikit tua sehingga dapat memberikan bunyi yang nyaring. Hal inilah
yang membuat kualitas bahan bambu layak digunakan untuk pembuatan tengtung. Pada awalnya alat musik tengtung ini diciptakan berdasarkan kegiatan-
kegiatan untuk kebutuhan hidup, seperti dalam usaha pertanian yang sistem pengolahannya selalu berubah, baik perawatan maupun pengawasannya. Pada
umumnya bila padi berbuah harus dijaga agar tidak dimakan binatang-binatang yang berada di hutan. Untuk menghindari hal tersebut maka diciptakan sejenis alat
untuk mengisi waktu lowong bagi si penjaga. Di sisi lain ada pula yang mengatakan bunyi tengtung dapat menghibur dewa padi dengan harapan buah
padinya akan berlimpah ruah.
Tengtung tergolong klasifikasi idiokord, terbuat dari seruas bambu besar dan tua yang memiliki dua atau tiga senar. Senarnya itu diambil dari badan bambu
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri. Senarnya diberikan ganjaljembatan seperti tukol penyanggah di setiap bagian atas dan bawah senar. Pada senar ketiga terbagi atas dua bunyi
“teng” dan “tung” tengah juga terdapat satu tukol dibagian tengah. Alat musik ini memiliki dua lubang resonator di sebelah kanan bawah dan kiri atas. Lubang
resonator ini di tutupi oleh pinggol kupingan pada senar satu dan kedua. Pada bagian atas bambu juga mempunyai lubang udara untuk menentukan tempo
bekapan bep-bep. Alat musik tengtung ini dapat memainkan sebuah lagu, biasanya lagu yang dimainkan sebagai gambaran tangis-tangis kesedihanyang
bertempo lambat sebagai ungkapan perasaan. Alat musik tengtung ini sebagai tempo.
Cara membuat tengtung mula-mula dipilih bambu yang cukup tua dan besar dari harangan hutan dengan marombo buluh menebang bambu.
Selanjutnya bambu dipotong secara rata. Bambu yang diambil adalah bambu dari bagian tongah ni buluh tengah bambu yang dikelilingi bambu lainnya. Dalam
pemotongan bambu dilakukan pada bagian tengah bambu. Kemudian diambil sepuluh ruas bambu yang sudah besar dan tua. Setelah itu dilakukan
Pangkoringkon buluh mengeringkan bambu. Setelah kering lalu dipilih empat ruas yang bagus dan sedikit kering.
Kemudian dipilih kembali satu ruas bambu dengan mangobuk buhu memotong satu ruasyang cocok, setelah itu dilakukan pengikisan bagian bambu
untuk menentukan lubang senar dengan sebuah raut pisau, selanjutnya dilakukan menganggak senar mengukur jarak senar. Untuk pembuatan senar
dilakukan mandukit sisik ni buluh mencongkel badan bambu. Setelah senar jadi
Universitas Sumatera Utara
kegiatan selanjutnya yaitu maleneskon sisik ni buluh menghaluskan senar dengan kertas pasir.
Pada tahap selanjutnya dilakukan pembuatan tukol penyanggah untuk mengatur nada. Dalam hal ini juga dibuat pinggol kupingan serta alat
pemukulnya. Tahap penyempurnaan dalam alat musik tengtung ini yaitu mamukur lubang membuat lubang udara. Setelah itu dilakukan patopathonsuara ni
tengtung penyetelan nada dan akhir kegiatannya yaitu menghaluskan badan bambu.
Musik tentu tidak terlepas dari alat pendukungnya, yaitu alat musik itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus pada alat musik tengtung. Alat
musik tengtung ini sudah terancam oleh kepunahan. Proses perjalanan kesenian tradisional saat sekarang sudah menapak ke posisi krisis, akibat arus perubahan
berupa adaptasi, akulturasi, enkulturasi. Proses perubahan ini bisa saja bermanfaat apabila masyarakat pendukung suatu kebudayaan dapat menjadikan budaya
sebagai modal menghadapi kehidupan modis yang semakin kompleks. Namun sebaliknya, terjadinya pergeseran nilai-nilai dapat pula mengikis nilai-nilai budaya
tradisional. Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer yang mempunyai
pengaruh dalam mendorong munculnya berbagai kemungkinan tentang perubahan dunia yang akan berlangsung. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan berbagai
halangan dan rintangan yang menjadikan dunia semakin terbuka dan saling bergantung satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa globalisasi membawa dampak
baru tentang konsep Dunia Tanpa Batas yang saat ini menjadi realita dan sangat
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi perkembangan budaya dan membawa perubahan baru. Selain globalisasi penyebab goyahnya ketahanan budaya adalah modernisasi.
Modernisasi menurut Soerjono Soekanto adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang
biasanya dinamakan social planning dalam buku Sosiologi: suatu pengantar. Pada saat sekarang kesenian tradisional sudah semakin terpinggirkanterasingkan
karena dianggap kurang praktis dan banyak aturannya. Masyarakat lebih memilih menggunakan alat musik yang ringkas, instan dan murah dalam hal dana
penyelenggaraannya, sehingga semakin kuat kecenderungan memadukan alat musik modern dan alat musik tradisional.
Tetapi sebaliknya, penggunaan alat musik modern akan menggeser dan akhirnya menghilangkan kesenian tradisional. Hal ini sejalan dengan konsep
kebudayaan, yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu hal yang dipelajari maupun diwariskan secara turun-temurun oleh leluhurnya. Dampak dari
globalisasi dan modernisasi sampai pada masyarakat Simalungun khususnya pada salah satu alat musik tradisional Simalungun yaitu tengtung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rosul Damanik, beliau mengatakan bahwa tengtung menyampaikan perasaan, pesan atau pelipur lara.
Dalam hal ini tengtung menyampaikan pesan si penjaga sawahladang yang merasa lapar dan tidak ada sesuatu yang untuk dimakan. Sehingga penjaga
sawahladang ini dalam waktu lowongnya dapat menghibur dirinya dengan bunyi suara yang dibawakan oleh tengtung tersebut sambil bersiul. Tetapi pada saat
sekarang keberadaan alat musik tengtung sudah hampir hilang dari masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Simalungun. Dalam penyajiaan alat musik tengtung ini disajikan dalam solo instrument permainan tunggal yang dimainkan di tempat ladangsawah sebagai
ungkapan perasaan dan menghibur hari yang sudah lelah. Cara pembuatan alat musik tengtung dan penyajiannya hanya dilakukan oleh Bapak Rosul Damanik.
Melihat dari keberadaan alat musik tengtung yang sudah hampir punah, penulis mewawancarai Bapak Rosul Damanik tentang keberadaan alat musik
tengtung. Sosok Bapak Rosul Damanik ini adalah budayawan Simalungun dan pemain serta pembuat alat musik tradisional Simalungun di desa Kecamatan
Sarimatondang. Beliau mengatakan bahwa masyarakat Simalungun mengikuti perkembangan masyarakat yang berkembang dalam alat musiknya, sehingga
jarang sekali untuk menerapkan dan melestarikan terhadap seni musik tradisional Simalungun. Sehingga lambat-laun seni musik tradisional itu hilang dengan
perkembangan masyarakat. Seperti halnya arbab dan tengtung yang kini sudah tidak dimainkan dan keberadaanya pun langka.
Menurut Bapak Rosul Damanik tentang alat musik tengtung masih terlihat keberadaanya ketika beliau berusia 9 tahun, beliau masih melihat permainan
tengtung di pematangan sawahladang. Pada masa itu pun tidak terlalu banyak yang memakai alat tersebut karena sudah terjadinya perkembangan kebutuhan dan
perkembangan zaman pada masyarakat terhadap alat musik tersebut di daerahnya. Sehingga lambat-laun dari yang jarang digunakan menjadi tidak ada sama sekali
dipergunakan untuk alat musik tengtung itu sendiri. Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji, menganalisa dan
menuliskannya menjadi sebuah tulisan ilmiah yang diberi judul “Kajian
Universitas Sumatera Utara
Organologis Tengtung Buatan Bapak Rosul Damanik Di Desa Sarimatondang I, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun”.
1.2 Pokok Permasalahan