Masalah Ketahanan Energi Indonesia

3.2. Masalah Ketahanan Energi Indonesia

Ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup diperlukan masyarakat untuk menjalankan aktivitas sehari-hari dan terlibat dalam proses produksi. Dengan demikian kebutuhan akan bahan bakar dan konsumsi energi akan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana halnya dengan ketahanan pangan, ketahanan energi berkaitan pula dengan aspek permintaan, penawaran, dan harga. Perubahan dalam ketiga hal tersebut perlu direspon sedemikian rupa sehingga tidak mempengaruhi kemampuan dan akses untuk memenuhi kebutuhan terhadap energi.

Pada aspek ketahanan energi, faktor harga memainkan peranan penting dimana tingkat harga akan mempengaruhi permintaan dan penawaran terhadap energi. Kebijakan negara mengenai penetapan harga energi akan mempengaruhi kondisi supply dan demand energi dalam perekonomian. Mengenai kebijakan harga energi, ada dua alternatif pilihan yang dapat dilakukan. Alternatif pertama, harga energi ditetapkan ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar. Melalui alternatif ini, harga energi akan berada pada harga keekonomiannya yang terbentuk pada kondisi keseimbangan harga (equilibrium price). Alternatif kedua, penetapan harga dilakukan oleh pemerintah, dimana keseimbangan harga dunia hanyalah menjadi salah satu komponen penentu harga di samping subsidi dan faktor lainnya (yang dipandang perlu oleh pemerintah) 1 . Pilihan kebijakan

terhadap harga akan mempengaruhi daya beli dan respons konsumen (masyarakat) dalam mengakses energi serta mempengaruhi respon produsen energi dalam memproduksi dan menawarkan energi. Harga yang optimal merupakan tingkat harga yang sedemikian dimana konsumen sanggup mengakses energi untuk memenuhi kebutuhan energinya pada tingkat pemakaian efisien seraya senantiasa mendorong terciptanya keberlangsungan energi (energy sustainability).

Harga optimal yang dimaksud di atas hendaknya tidak diartikan sebagai harga energi murah (cheap energi policy). Penetapan harga optimal yang memampukan akses energi berkaitan dengan faktor daya beli masyarakat. Maka harga terjangkau bukan berarti harga yang rendah melainkan tingkat harga dimana masyarakat berdaya beli untuk mengaksesnya. Pada konteks ini, energi berharga murah semata-mata sama sekali bukan menjadi alternatif. Dari sisi konsumen, kondisi ini akan mendorong inefisiensi dan moral hazard. Dari sisi produsen, insentif untuk berproduksi dan mengembangkan upaya produksi akan berkurang. Dengan demikian, tingkat harga berkaitan secara langsung terhadap

1 Perhitungan harga Patokan BBM: (MOPS+15%) + PPN 10% + (PBBKB 5% untuk Premium dan Solar Transportasi); Departemen ESDM, 2007

58 Mangara Tambunan 58 Mangara Tambunan

Indonesia sebagai negara yang kaya akan bahan tambang memiliki beberapa sumber energi, diantaranya minyak bumi, batu bara, gas bumi, tenaga air, dan panas bumi. Komposisi penggunaan energi primer tersebut disajikan dalam Grafik 2. Grafik tersebut menunjukkan bahwa minyak bumi merupakan sumber energi utama, dengan tingkat penggunaan sebesar 55%, diikuti berturut-turut oleh gas bumi dan batubara, masing-masing sebesar 22% dan 17%.

GRAFIK 2. PENGGUNAAN ENERGI PRIMER INDONESIA, 2005 (%)

Panas Bumi, 2.48 Tenaga Air, 3.72 Gas Bumi, 22.24

Minyak Bumi, 54.78 Batubara, 16.77

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Tingginya intensitas penggunaan minyak bumi dibanding alternatif sumber energinya, antara lain dikarenakan kemampuannya menghasilkan energi dalam jumlah besar dan konsisten serta proses produksi dan konsumsi yang relatif lebih feasible dibanding sumber energi lainnya.

Sebagai akibat tingginya intensitas penggunaannya, perubahan dalam permintaan dan penawaran baik di dalam maupun luar negeri akan sangat mempengaruhi harga minyak bumi serta situasi energi dalam negeri. Salah satu komponen golobal yang mempengaruhi kondisi energi dalam negeri adalah harga minyak bumi. Grafik 3 berikut menunjukkan perkembangan tingkat harga minyak mentah dunia. Grafik tersebut juga menggambarkan bagaimana kondisi geo-politik dunia menstimulasi perubahan dalam penawaran dan permintaan minyak mentah yang selanjutnya ditransmisikan dalam perubahan harga internasional (dan lokal). Siklus tingginya harga minyak bumi pertama merupakan dampak kemelut perang Arab yang berlangsung sejak tahun 1974. Peristiwa tersebut melambungkan harga minyak dunia dari US$9 per barel menjadi US$30 per barel. Siklus kenaikan harga kedua terjadi pada 1997 saat OPEC membatasi produksinya. Siklus kenaikan harga ketiga dimulai sejak 2007 yaitu kenaikan harga ke US$70 per barel bahkan hingga menyentuh US$150 per barel pada tahun 2008. Kenaikan pada periode terakhir ini disebabkan oleh tingginya permintaan dari negara-negara Asia, seperti Cina dan India, serta mulai

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 59 Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 59

GRAFIK 3. TINGKAT HARGA MINYAK DUNIA, 1947-2007

Sumber: WTRG Economics, www.wtrg.com

Tingkat harga dunia tersebut mempengaruhi perkembangan industri perminyakan Indonesia (lihat Grafik 4), yang dapat dibagi menjadi 3 periode pula. Periode Pertama adalah periode awal (1945-1970) dimana dengan tingkat harga murah, ketersediaan minyak dalam negeri masih mampu mencukupi kebutuhan minyak nasional. Periode Kedua (1971-1983) adalah masa oil boom (meningkatnya harga minyak mentah dunia). Pada periode ini, fase industrialisasi Indonesia dan infrastruktur nasional dapat dibangun dengan mengandalkan pembiayaan dari penjualan ekspor minyak. Puncaknya terjadi pada tahun 1977, dimana produksi/lifting minyak mentah mencapai sebesar 1.683.000 barrels/hari. Pada Periode Ketiga (1984-2008), harga minyak mulai menurun dan meningkat tajam pada akhir 2007-an. Indonesia mencapai puncak produksinya kembali pada tahun 1995 dengan tingkat produksi/lifting minyak sebesar 1.624.000 barrels/hari. Namun sejak tahun 1996, Indonesia perlahan-perlahan mengalami penyusutan produksi, bahkan sejak 2000 tingkat produksi minyak mentah mengalami penurunan drastis. Hingga akhirnya, pada saat harga minyak mengalami peningkatan tajam pada tahun 2007, Indonesia tidak mampu memanfaatkan momen tersebut secara optimal dengan berubahnya status sebagai negara net exporter minyak menjadi net importer minyak sejak 2004.

60 Mangara Tambunan

Rendahnya tingkat produksi dan investasi dalam negeri (underinvestment of new exploration) yang dapat memicu ancaman terhadap ketahanan energi dari sisi penawaran seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini tampak merupakan implikasi dari kondisi berikut.

Pertama, harga sebagai insentif produksi utama yang mengalami penurunan mengikuti siklus harga minyak dunia, yaitu dari US$30 per barel pada tahun 1983 menjadi US$9 per barrel, dan berada pada kisaran US$20 per barel sampai tahun 2003, kurang memberikan insentif untuk mengembangkan industri energi.

Kedua, investasi pembangunan industri pembangkit energi dan infrastruktur pendukung lainnya cukup rendah. Pembangunan ini membutuhkan biaya investasi awal yang sangat besar untuk menopang kegiatan studi, eksplorasi awal, hingga pengeboran. Faktor biaya dan besarnya resiko yang ditanggung membatasi peluang investasi hanya bagi investor berskala besar. Pemain baru yang masuk ke dalam dunia perminyakan pada kurun waktu 35 tahun terakhir hanya beberapa, antara lain Medco dan Bakrie. Di beberapa negara pun, produsen minyak baru dapat terbentuk hanya dengan campur tangan pemerintah melalui fasilitasi pada perusahaan milik negara. Akhirnya kendala biaya investasi awal ini sangat menghambat pemain baru untuk masuk ke pasar energi sehingga pasar yang terbentuk adalah kartel.

GRAFIK 4. PRODUKSI MINYAK MENTAH DALAM NEGERI, 1988-2007

Sumber: Departemen Energi dan SDM, Centre for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)

Ketiga, masih berhubungan dengan faktor sebelumnya, teknologi tinggi yang diperlukan membatasi peluang pemain energi hanya pada perusahaan yang memiliki dana besar.

Keempat, adanya ketidakkonsistenan dalam pemberlakuan kebijakan yang mengakibatkan ketidakpastian dalam berusaha. Hal ini diiringi pula dengan masalah peraturan, birokrasi, dan perijinan yang bersifat membebani. Sebagai contoh, adanya kebijakan pengenaan pajak yang diberlakukan pada saat

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 61 Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 61

Seperti diketahui, selain minyak bumi masih terdapat sumber energi lain yang berpotensi untuk menjadi sumber energi. Pemerintah sendiri telah berencana di masa depan untuk untuk mendiversivikasi sumber energi, seperti yang tertuang dalam Perpres No. 5/2006 (Grafik 5). Pada rencana optimalisasi pengelolaan energi tersebut, porsi ketergantungan terhadap minyak bumi akan dikurangi hingga 20%, untuk selanjutnya digantikan oleh batubara dan gas, masing-masing sebanyak 33% dan 30%. Pemerintah juga mulai mempertimbangkan potensi pengembangan energi non-fuel, seperti energi biofuel, panas bumi, nuklir, tenaga air, tenaga surya, serta tenaga angin, dengan masing-masing sebesar 5%. Kendala dan potensi yang dihadapi harus dianalisa secermat mungkin demi terwujudnya rencana optimalisasi ini.

GRAFIK 5.

OPTIMALISASI PENGELOLAAN ENERGI 2025 – PERPRES NO. 5/2006 (%)

Minyak Bumi, 20

Gas, 30 Biofuel , 5

Panas Bumi, 5 Nuklir, Air,

Surya,Angin, 5 Batubara Cair, 2

Batubara, 33

Sumber: Departemen Energi dan SDM

Potensi sumber daya energi yang memang masih besar ditunjukkan oleh masih tersedianya cadangan energi, baik yang bersumber dari fosil maupun non- fosil (Tabel 8 dan 9). Memang untuk energi fosil, penggunaannya harus ekstra cermat dengan kondisi tidak terbarukan yang menghambat. Dalam hal ini, upaya preservasi juga harus senantiasa diperhitungkan untuk menciptakan energy sustainability yang juga merupakan bagian dari ketahanan energi. Sedangkan untuk tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin, sifatnya yang terbarukan hendaknya diutilisasi secara optimal. Keterbatasan konsistensi yang diberikan energi semacam ini dapat disiasati dengan melakukan pemetaan lokasi

62 Mangara Tambunan 62 Mangara Tambunan

TABEL 8.

POTENSI ENERGI NASIONAL MINYAK, GAS, DAN BATUBARA, 2005

Jenis Energi Fosil

Sumber Daya

Cadangan

Produksi

Rasio cadangan Produksi/tahun

Minyak 86,9 miliar barel