Masalah Ketahanan Pangan Indonesia

3.1. Masalah Ketahanan Pangan Indonesia

Kondisi ketahanan pangan di suatu negara sangat erat kaitannya dengan kebijakan pertanian yang diambil oleh pemerintah negara tersebut. Iklim perkembangan sektor pertanian Indonesia merupakan implikasi dari kebijakan strategi industri substitusi impor (ISI) sejak tahun 1969 hingga 1984 dan pelaksanaan strategi industri promosi ekspor (EPI) sejak tahun 1985-1998. Pada periode 1970-an, pemberlakuan kebijakan stabilisasi harga telah menetapkan harga pangan yang sangat rendah (cheap food policy) dengan tujuan agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Kebijakan ini dinilai mengandung keberpihakan bagi konsumen, namun di sisi lain tidak menguntungkan bagi petani yang menjadi produsen. Proses involutif sektor pertanian juga terjadi dimana saat pertumbuhan populasi petani terus meningkat, sedangkan jumlah lahan bersifat tetap dan tenaga kerja belum sepenuhnya mampu diserap sektor industri. Hal ini berakibat pada surplus tenaga kerja di sektor pertanian/pedesaan dan menyebabkan rata-rata kepemilikan lahan per rumah tangga terus menurun per tahunnya (Tambunan, 2008). Kemudian pada periode 1980-an, upaya pengembangan sektor industri yang sedang membutuhkan bahan baku impor murah dilakukan salah satunya melalui kebijakan overvalue rupiah. Tetapi ternyata dampak yang ditimbulkan tidak begitu kondusif bagi sektor pertanian karena dapat mengurangi daya saing pada pasar luar negeri dan mengurangi peningkatan ekspor. Meskipun demikian, kebijakan pro-industri pada masa itu tetap dapat dikatakan berpengaruh positif bagi ketahanan pangan jika dilihat dari dampak pada meningkatnya daya beli masyarakat karena terbukanya lapangan pekerjaan dan peluang kenaikan pendapatan disebabkan oleh pertumbuhan sektor industri. Pada periode tersebut, berbagai kebijakan yang diambil mampu

50 Mangara Tambunan 50 Mangara Tambunan

Namun sejak tahun 1984, kondisi kemandirian pangan berubah. Trend pertumbuhan produksi komoditas pangan tersebut ditunjukkan oleh Grafik 1. Komoditas beras cenderung mengalami tren meningkat dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,79% per tahun, meskipun produksinya tidak bisa dikatakan konsisten meningkat. Begitu juga dengan komoditas jagung dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4,7% per tahun, namun dengan tingkat fluktuasi produksi yang lebih besar dibandingkan beras. Untuk ubi kayu dan ubi jalar, pertumbuhan produksi relatif stagnan. Stagnasi produksi tersebut dialami juga oleh kacang tanah dan kedelai.

GRAFIK 1. TREN PERTUMBUHAN PRODUKSI KOMODITAS PANGAN

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia

Meskipun tingkat produksi beras dan jagung mengalami tren yang meningkat, tetapi tingkat produksi tersebut belum mampu mengimbangi kebutuhan dalam negeri. Sehingga untuk mengatasi rendahnya tingkat produksi dalam negeri ini, pemerintah memberlakukan kebijakan memperbesar keran impor untuk bahan pangan. Tabel 1 dan 2 menunjukkan neraca perdagangan tanaman pangan yang menggambarkan kondisi produksi pangan dan cara memenuhi kebutuhan dalam negeri. Nilai impor untuk komoditas beras dan jagung cenderung meningkat setiap tahunnya. Impor beras maupun jagung mengalami peningkatan sejak tahun 1986, meskipun nilai impor pada tahun 2004 dan 2005 mengalami penurunan. Bahkan untuk kedelai, nilai impor membengkak berkisar pada 1 juta ton sejak tahun 1999. Kebijakan impor bahan pangan yang diberlakukan di Indonesia sebagai bagian dari kebijakan ekonomi terbuka memang wajar, namun menjadi permasalahan adalah jika besaran impor yang dilakukan mengindikasian ketidakefektifan dan ketidakefisienan produksi, yang berpotensi untuk menciptakan keidakmandirian ekonomi yang dapat membahayakan ketahanan pangan nasional.

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 51

Sebagai perbandingan kinerja, Tabel 3 meyajikan neraca tanaman pangan dan perkebunan. Termasuk dalam kelompok tanaman pangan diantaranya adalah beras, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok tanaman perkebunan antara lain adalah kelapa sawit, jarak dan tebu. Tabel tersebut menggambarkan bahwa sementara sub-sektor perkebunan mengalami neraca perdagangan dan tingkat pertumbuhan yang positif selama 2005-2006, sub-sektor tanaman pangan justru mengalami neraca perdagangan dan pertumbuhan negatif selama periode yang sama.

TABEL 1.

TINGKAT PRODUKSI DAN NERACA PERDAGANGAN TANAMAN PANGAN BERAS, JAGUNG, DAN KEDELAI, 1986-2007

BERAS JAGUNG KEDELAI Tahun

Produksi

Impor (Ton)

N/A 2007

N/A Sumber: Badan Pusat Statistik, Indonesia

52 Mangara Tambunan

TABEL 2.

TINGKAT PRODUKSI DAN NERACA PERDAGANGAN TANAMAN PANGAN KACANG TANAH, UBI KAYU, DAN UBI JALAR, 1986-2007

UBI JALAR Tahun

KACANG TANAH

UBI KAYU

Produksi

Produksi Impor (Ton)

(Ton) (Ton)

1.854.000 N/A 2007

1.876.000 N/A Sumber: Badan Pusat Statistik, Indonesia

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 53

TABEL 3. NERACA PERDAGANGAN

SUB-SEKTOR TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN 2005*)

Pertumbuhan

Sub Sektor

Volume (kg) Nilai (USD)

Volume (kg)

Nilai (USD)

Volume Nilai (kg)

(USD)

Tanaman Pangan - Ekspor

-27,46 -10,95 - Impor

28,50 17,75 - Neraca

36,10 22,02 Perkebunan - Ekspor

17,86 34,93 - Impor

-18,48 6,05 - Neraca

23,21 40,44 * Data hingga September pada tahun tersebut

Sumber: Departemen Pertanian RI

Data pada Tabel 4 menunjukkan lebih rinci bagaimana perkembangan ekspor dari komoditas tersebut. Sejalan dengan Tabel 1, tampak bahwa ekspor dari kelompok tanaman pangan yaitu beras, jagung, dan ubi kayu mengalami pertumbuhan ekspor negatif. Hanya ubi jalar yang mengalami pertumbuhan ekspor positif. Pada sub-kelompok perkebunan, terlihat bahwa bahwa secara volume, nilai ekspor kelapa sawit, jarak, dan tebu mengalami pertumbuhan ekspor positif.

TABEL 4.

EKSPOR BEBERAPA KOMODITAS SUB-SEKTOR PANGAN DAN PERKEBUNAN

Pertumbuhan Komoditas

Volume Nilai (kg)

(kg) (USD)

A. Pangan Beras

42.208.959 8.601.778 839.759 447.660 -98,0 -94,8 Beras Olahan

-93,5 -84,2 Jagung Segar

-31,0 -44,1 Jagung Olahan

8.088.882 2.641.593 964.978 329.862 -88,1 -87,5 Ubi jalar segar

5,2 37,6 Ubi kayu segar

106.536.324 11.153.723 53.979.037 6.246.189 -49,3 -44,0 Ubi kayu olahan

79.145.964 14.457.531 5.505.660 1.378.302 -93,0 -90,5 B. Perkebunan Kelapa Sawit

13.306 91.179 32.856 70.582 146,9 -22,6 Tebu

156.058.194 13.587.369 386.507.100 37.133.691 147,7 173,3 * Data hingga September pada tahun tersebut

Sumber: Departemen Perdagangan RI

54 Mangara Tambunan

Meningkatnya kenaikan harga tanaman perkebunan dibandingkan harga tanaman pangan diperkirakan juga turut menjelaskan peningkatan produksi sub- sektor perkebunan yang berimbas pada meningkatnya angka ekspor sub-sektor tersebut, jika dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan. Tabel 5 menggambarkan kenaikan harga yang diindikasikan oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani sejak 2003.

TABEL 5. INDEKS HARGA DITERIMA PETANI, 2003-2006

Indeks Harga 2003 2004 2005 2006 Pertumbuhan 2003-2006

Indeks Tanaman Bahan Makanan

543,08 -12,83 Indeks Tanaman Perkebunan Rakyat

540,09 41,78 Sumber: Departemen Perdagangan RI

Menurunnya produksi tanaman pangan diperkirakan juga merupakan implikasi dari berbagai faktor pendukung lainnya. Salah satu yang diperkirakan sebagai faktor utama penyebab kondisi tersebut adalah meningkatnya pengalihan fungsi lahan. Tabel 6 menyajikan data yang menunjukkan bahwa sejak tahun 1981 telah terjadi konversi penggunaan lahan pertanian dari sawah ke lahan perkebunan sebesar 24,97%, konversi terbesar lainnya adalah pengalihan fungsi lahan untuk pemukiman sebesar 29,64% dan untuk industri sebesar 7,40%, atau menjadi non-produktif (semak belukar dan tanah kosong).

Pembangunan infrastruktur pedesaan yang dirasa masih kurang memadai juga memicu stagnasi perkembangan sub-sektor tanaman pangan tersebut. Lambatnya pengembangan dan penggunaan teknologi di sektor pertanian juga menunjang kondisi ini. Menurunnya efektivitas aplikasi teknologi per satuan hektar dapat menjadi indikasi rendahnya pengembangan teknologi tersebut. Sebagai gambaran perbandingan, dibandingkan negara-negara Asia lainnya, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina, pengeluaran pemerintah untuk pengembangan Research & Development untuk sektor pertanian masih rendah (Tambunan, 2008).

Begitu pula dalam hal kualitas sumber daya, tingkat pendidikan masyarakat pada sektor pertanian jauh lebih rendah dibanding tingkat pendidikan masyarakat yang bergerak pada sektor industri maupun jasa, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 7. Data menunjukkan bahwa hanya 7,42% dari total tenaga kerja sektor pertanian yang berpendidikan setingkat atau lebih tinggi dari SLTA, sementara untuk sektor industri, serta keuangan dan jasa masing-masing proporsi tenaga kerja berpendidikan SLTA atau sederajat sebesar 29,49% dan 24,75%.

Rendahnya pengembangan teknologi dan tingkat pendidikan sumber daya manusia tersebut jelas berpotensi berdampak pada pertumbuhan sektor pertanian di jangka panjang.

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 55

TABEL 6.

REKAPITULASI LUAS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN

TA. 1981/1982 S/D TA. 1999/2000

Perubahan Lahan Sawah ke Non Sawah (Ha)

Provinsi Pemukiman Industri

Lain-lain Jumlah

D.I. Aceh ---- ---- - Sum-Ut

---- ---- - Sum-Bar

495,57 22,21 12,00 392,00 0,00 0,00 0,00 610,00 1.531,78 Riau

---- ---- - Jambi

---- ---- - Bengkulu

---- ---- - Sum-Sel 61,28 - - - 105,00 11,50 - - 77,78 Lampung 4.221,00 197,00

- 463,00 4.881,00 Jawa Barat 15.847,00 10.771,00 8.080,99 6.952,00 5,00

20,71 1.650,02 281,26 Ja-Tim 20.872,87 2.870,42 14.177,67 51.577,00 - 30,23 6.316,25 10.626,90 06.471,34

13,72 - - - --- 334,00 487,72 NTT

-- - ---- - Kal-Bar

---- ---- - Kal-Tim

---- ---- - Kal-Sel 4.315,00 1.620,00 - 13,00 ---- 5.948,00 Kal- Tengah - - - - ---- - Sul-Sel

---- ---- - Sul-Tengah 11,68 - - - - 1,60 10,00 15,75 39,03 Sul-Ut

---- ---- - Irian Jaya

---- ---- - Maluku

---- ---- - Jumlah

73.134,12 18.262,38 50.640,16 61.599,85 110,00 106,66 9.004,23 33.885,23 246.742,63 Persentase

29,64 7,40 20,52 24,97 0,04 0,04 3,65 13,73 100,00 *) merupakan hasil tabulasi dari dua sumber yaitu :

- Hasil survei Direktorat Perluasan Areal dengan PT. Indeco TA. 1992 untuk TA 1981/1982 s/d 1985/1986 - Data BPN TA 1998/1999 untuk TA 1988/1999 s/d 1999/2000, Departemen Pertanian RI

Melihat ketahanan pangan dari sisi permintaan akan dianalisa melalui kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan yang dapat diindikasikan dari daya beli penduduk. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu sebesar ± 6% per tahun sejak tahun 1984 hingga 1997, mengindikasikan pada periode tersebut rata-rata daya beli penduduk Indonesia dapat terjaga dengan baik. Penggunaan angka pertumbuhan ini memang bersifat general mengingat daya beli sebagian penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sangatlah terbatas. Sejak terjadinya krisis ekonomi 1997 hingga saat ini, tingkat

56 Mangara Tambunan 56 Mangara Tambunan

TABEL 7.

TINGKAT PENDIDIKAN PER SEKTOR LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA, 2007

Sektor Usaha

Tingkat Pendidikan

Keuangan dan Jasa Jumlah

Belum Pernah 3.938.536 9,56