ANALISIS HARGA PANGAN, HARGA BAHAN BAKAR MINYAK, INFLASI DAN KEMISKINAN

III. ANALISIS HARGA PANGAN, HARGA BAHAN BAKAR MINYAK, INFLASI DAN KEMISKINAN

Analisis keterkaitan harga pangan, harga BBM, dan inflasi pada makalah ini dilakukan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR), yaitu suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem tersebut. Jika data yang digunakan stasioner, maka metode VAR dapat digunakan. Tetapi jika data yang digunakan tidak stasioner (mengandung unit root atau I(1)) dan terkointegrasi, maka dapat digunakan model Cointegrated VAR atau disebut juga sebagai Vector Error Correction Model (VECM).

Beberapa tahapan yang digunakan dalam analisis harga pangan, harga BBM, dan inflasi, diantaranya :

1. Uji kestasioneran data dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.

2. Apabila hasil dari uji ADF mengandung akar unit atau dengan kata lain tidak stasioner pada tingkat level, maka harus dilakukan diferensiasi sampai data stasioner. Dalam hal ini dilakukan pengujian pada tingkat first difference atau

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 253 Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 253

3. Uji lag optimal VAR. Pada tahap pertama, akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria Akaike Information Criterion (AIC).

4. Uji kointegrasi dilakukan dengan pendekatan Johansen dengan melihat nilai Trace Statistic.

5. Analisis Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD) dilakukan masing-masing untuk melihat perilaku dinamis dan peran shock masing- masing variabel terhadap variabel tertentu. Secara umum model VAR dapat dituliskan sebagai berikut :

Z t = AZ i ti − ε t

Dalam makalah ini, Z t adalah vektor dari variabel-variabel endogen (CO, PREMIUM, SOLAR, KEROSENE, IPANGAN, IHK ), A 1 ,...,A k , adalah matriks-matriks

koefisien yang akan diestimasi, dan ε t adalah vektor dari residual-residual yang secara kontemporer berkorelasi tetapi tidak berkorelasi dengan nilai-nilai lag

mereka sendiri dan juga tidak berkorelasi dengan seluruh variabel yang ada dalam sisi kanan persamaan di atas. Tiap variabel tersebut dinyatakan dalam bentuk logaritma, sebagai berikut :

LCO

: harga minyak internasional

LPREMIUM

: harga premium

LSOLAR

: harga solar

LKEROSENE

: harga minyak tanah

LIPANGAN

: Indeks harga pangan

LIHK

: indeks harga konsumen

Data time series yang digunakan dalam makalah ini dibagi atas dua kelompok: kelompok pertama, untuk analisis keterkaitan harga pangan, harga bahan bakar minyak (BBM) dan inflasi dalam model VAR. Kelompok kedua untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Semua data estimasi yang dipergunakan VAR dalam bentuk logaritma kecuali data yang sudah dalam bentuk persen. Salah satu alasannya adalah, untuk mempermudah analisa, karena baik dalam impulse response maupun variance decomposition pengaruh shock dilihat dalam persentase. Berdasarkan hal tersebut, semua variabel diubah dalam bentuk logaritma. Data yang digunakan untuk kelompok satu, yaitu analisis dengan menggunakan model VAR, merupakan data statistik bulanan mencakup periode 2001.1-2007.12. Untuk kelompok kedua, tidak dilakukan pengujian awal (pre-test) untuk data ini. Data langsung diestimasi dengan menggunakan metode pooled least square. Data ini terdiari atas variabel jumlah orang miskin, indeks harga konsumen (2000=100), rasio output (PDRB) pertanian terhadap PDRB industri, PDRB provinsi, angka lama sekolah serta angka harapan hidup. Data yang digunakan untuk kelompok kedua adalah data statistik tahunan per provinsi mencakup periode 1999, 2002 dan 2005.

254 Hermanto Siregar, Siti Masyitho

3.1 Hasil Pengujian Awal

Uji akar unit dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut bertujuan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model autoregressive yang ditaksir mempunyai nilai atau tidak. Dalam kasus data time series yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang palsu. Regresi palsu (Spurious Regression) yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik, padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar sebagaimana yang nampak dari regresi yang dihasilkan, sehingga dapat mengakibatkan misleading dalam pengambilan keputusan (Enders, 2004).

Suatu upaya untuk menghindari terjadinya regresi palsu adalah dilakukannya uji akar unit pada tingkat first difference. Pada prinsipnya uji akar unit adalah mengamati apakah koefisien variabel tertentu dari model autoregressive yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Metode pengujian akar unit yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Berdasarkan uji tersebut, apabila nilai statistik ADF untuk masing-masing variabel lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut stasioner.

TABEL 5. UJI AKAR UNIT (LEVEL)

Nilai Kritis MacKinnon

VARIABEL Nilai ADF KETERANGAN 1% 5% 10%

Log CO -3,08007 -4,07242 -3,46487 -3,15897 Tidak Stasioner Log Premium

-1,96310 -4,07242 -3,46487 -3,15897 Tidak Stasioner Log Solar

-2,54376 -4,07242 -3,46487 -3,15897 Tidak Stasioner Log Kerosene

-2,48034 -4,09060 -3,47345 -3,16397 Tidak Stasioner Log Indeks Harga Pangan

-2,58635 Tidak Stasioner Log Indeks Harga Konsumen

-3,15897 Tidak Stasioner

Tabel 5 menunjukkan bahwa data deret waktu yang digunakan mengandung unit root, atau tidak stasioner, karena nilai ADF seluruh variabel lebih besar dari nilai kritis MacKinnon, maka uji dilanjutkan terhadap tiap variabel yang telah di- difference. Pada uji ini, data di-difference pada derajat tertentu, sampai semua data menjadi stasioner. Berdasarkan hasil uji akar unit tingkat first difference pada Tabel 6, diketahui bahwa semua data stasioner pada uji derajat integrasi satu I(1).

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 255

TABEL 6. UJI AKAR UNIT (FIRST DIFFERENCE)

Nilai Kritis MacKinnon

VARIABEL Nilai ADF KETERANGAN 1% 5% 10%

Log CO

-1,61418 Stasioner Log Premium

-1,61418 Stasioner Log Solar

-1,61418 Stasioner Log Kerosene

-1,61384 Stasioner Log Indeks Harga Pangan

-1,61415 Stasioner Log Indeks Harga Konsumen

Tahapan berikutnya adalah menentukan tingkat lag optimal, yang dimulai dengan melihat stabilitas model/sistem VAR tersebut. Dari hasil estimasi nilai inverse roots karakteristik AR polinomial untuk sistem VAR dengan lag 10, diketahui bahwa seluruh roots memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem VAR dengan lag sepuluh tersebut adalah stabil. Pada metode VAR penetapan lag optimal menjadi sangat penting karena variabel independen yang dipakai tidak lain adalah lag dari variabel endogennya. Hasil penentuan tingkat lag optimal dengan mempertimbangkan nilai statistik AIC dapat dilihat pada Tabel 7. Perhitungan nilai statistik AIC untuk setiap lag mengindikasikan bahwa nilai maksimum AIC didapatkan saat lag 1. Oleh karena itu dapat ditetapkan bahwa lag optimal yang digunakan dalam model VAR adalah lag 1. Uji kointegrasi Johansen juga dilakukan, namun karena keterbatasan tempat, tidak dituliskan pada makalah ini.

TABEL 7. PENENTUAN LAG OPTIMAL DENGAN AIC

Lag AIC Statistic

0 -18,71196 1 -19,03056* 2 -18,89596 3 -18,76824 4 -18,35751 5 -18,33172 6 -18,10326

3.2 Variance Decomposition

Variance Decomposition (VD) digunakan untuk menganalisis kontribusi relatif setiap guncangan yang terjadi di dalam sistem/model terhadap suatu variabel tertentu. Baik VD maupun IRF cukup sensitif terhadap pengurutan variabel, oleh karena itu pengurutan tersebut hendaklah dilakukan dengan alasan yang memadai. Pengurutan variabel pada makalah ini didasarkan pada faktorisasi

256 Hermanto Siregar, Siti Masyitho

Choleski, di mana variabel yang relatif paling sulit dipengaruhi oleh variabel- variabel lainnya diletakkan paling awal, sementara variabel yang kurang memiliki nilai prediksi terhadap varaibel lainnya diletakkan di posisi paling akhir. Harga minyak mentah internasional cenderung sulit dipengaruhi oleh variabel lain (yang semuanya adalah untuk cakupan domestik), oleh karena itu diletakkan paling awal, kemudian diikuti oleh harga premium, harga solar, harga minyak tanah, harga pangan, dan terakhir adalah inflasi.

Analisis VD difokuskan untuk menelaah kontribusi relatif setiap guncangan terhadap harga pangan dan inflasi. Hasil analisis VD terhadap harga pangan dapat dilihat pada Tabel 8. Variasi harga pangan pada bulan terjadinya guncangan, 74% dijelaskan, atau merupakan kontribusi dari, guncangan terhadap harga pangan itu sendiri, yang bisa terjadi dari perubahan teknikproduksi maupun kebijakan yang menyebabkan berubahnya harga. Pada periode yang sama, faktor yang juga berpengaruh/menentukan terhadap bervariasinya harga pangan ialah guncangan terhadap harga minyak tanah (dengan kontribusi sekitar 15%) dan guncangan terhadap harga solar (dengan kontribusi sekitar 10%). Dalam jangka panjang (60 bulan setelah terjadinya shock), kontribusi kedua guncangan ini berkurang; satu-satunya faktor yang dominan mempengaruhi variasi harga pangan adalah guncangan terhadap harga pangan itu sendiri (dengan kontribusi sekitar 85%).

TABEL 8.

VARIANCE DECOMPOSITION TERHADAP HARGA PANGAN

Periode S.E. LCO LPREMIUM LSOLAR LKEROSENE LIPANGAN LIHK

Hasil VD terhadap inflasi dapat dilihat pada Tabel 9. Inovasi atau guncangan terhadap harga premium ternyata memiliki kontribusi yang sangat kecil terhadap variasi inflasi (LIHK). Pada jangka sangat pendek (1 periode sejak terjadinya guncangan), variasi inflasi dijelaskan oleh guncangan harga solar dengan kontribusi sekitar 9%, guncangan harga minyak tanah dengan kontribusi sekitar

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 257

15%, dan guncangan harga pangan dengan kontribusi hampir 75%. Dalam jangka panjang, faktor-faktor yang berperan dalam menjelaskan variasi inflasi didominasi oleh guncangan/inovasi harga pangan dengan kontribusi sekitar 82%, guncangan harga minyak tanah dengan kontribusi sekitar 7%, dan guncangan terhadap inflasi itu sendiri dengan kontribusi sekitar 4%.

TABEL 9.

VARIANCE DECOMPOSITION TERHADAP INFLASI

Periode S.E. LCO LPREMIUM LSOLAR LKEROSENE LIPANGAN LIHK

Lonjakan harga pangan menjadi faktor pendorong tingginya inflasi. Selain belum berhasilnya program konversi minyak tanah ke gas menyebabkan permintaan terhadap minyak tanah masih tetap tinggi, hal ini menyebabkan harga komoditas tersebut melonjak dan memberikan sumbangan yang besar terhadap inflasi. Data BPS 2007, menunjukkan bahwa sumbangan bahan pangan terhadap inflasi 0,74%. Dari 0,74% sumbangan pangan terhadap inflasi sebesar 0,27% disumbang dari beras. Komoditas yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras, stabilisasi harga beras dapat membantu mengurangi kemiskinan. Lonjakan harga tak hanya terjadi pada komoditas pangan, tetapi juga komoditas minyak tanah yang harganya diatur oleh Pemerintah (administrative price). Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, kenaikan harga-harga dan inflasi pada gilirannya akan mempengaruhi kemiskinan, sebagaimana akan dianalisis di bawah ini.

3.3 Analisis Pengaruh Inflasi dan Faktor-faktor Lainnya terhadap Kemiskinan

Mengingat data time series tingkat kemiskinan di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya belum memiliki data yang panjang. Pada analisis kemiskinan ini, panel data yang digunakan berupa data time series tahunan dalam periode waktu 1999, 2002, dan 2005 dan cross section sejumlah 26 provinsi. Sehingga total observasi sebesar 78 (3x26). Jumlah provinsi di Indonesia saat ini sebanyak 30 provinsi, adapun 4 provinsi baru yang dalam

258 Hermanto Siregar, Siti Masyitho 258 Hermanto Siregar, Siti Masyitho

Model yang dibangun pada bagian ini terdiri dari dua submodel, pertama yang menggunakan data PDRB secara total, kedua menggunakan PDRB secara sektoral. Variabel dependen yang digunakan adalah angka kemiskinan provinsi, sedangkan variabel independennya mencakup PDRB (total maupun sektoral), indeks harga konsumen (IHK), angka lama sekolah (LAMA_SEKOLAH) dan angka harapan hidup (HARAPAN_HIDUP). Sumber data berasal dari BPS (Susenas), CEIC data dan Bank Indonesia. Semua variabel independen tersebut dilogaritmakan, sehingga koefisien regresi yang diperoleh dapat diinterpretasikan sebagai elastisitas. Hasil pendugaan model, menggunakan pooled least square untuk submodel-1 disajikan pada Tabel 10.

Pada Tabel 10, terlihat bahwa seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap angka kemiskinan provinsi, kecuali variabel dummy pulau. Kenaikan 1% pada laju inflasi akan mendorong peningkatan angka kemiskinan provinsi sekitar 42 ribu jiwa. Sementara itu, kenaikan PDRB 1% dapat menurunkan kemiskinan sekitar 1.750 jiwa. Begitu pula dengan peningkatan angka rata-rata lama sekolah sebesar 1% dapat menurunkan kemiskinan sekitar

18 ribu jiwa, dan kenaikan 1% pada angka harapan hidup dapat menurunkan kemiskinan sekitar 26 ribu jiwa.

TABEL 10.

HASIL ESTIMASI MODEL PANEL DATA AGREGAT (POOLED LEAST SQUARE) Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.

D(LOG(IHK)) 42,36299 8,669260 4,886575 0,00000 LOG(PDRB)

-1,754734 0,533315 -3,290240 0,00190 LOG(LAMA_SEKOLAH)

-18,40865 4,190631 -4,392810 0,00010 LOG(HARAPAN_HIDUP)

-25,53162 10,91515 -2,339100 0,02370 D1 -0,718246 1,527417 -0,470240 0,64040

Dependent Variabel : Kemiskinan R-squared = 0,839701

Keterangan : IHK

= Indeks Harga Konsumen

PDRB

= PDRB Total

Lama_Sekolah

= Angka rata-rata lama sekolah

Harapan_Hidup = Umur Harapan Hidup D1 = Dummy Jawa-Luar Jawa

Analisis regresi yang dilakukan seperti ditampilkan dalam tabel di atas, memberikan kesimpulan bahwa inflasi jangka panjang yang tinggi berasosiasi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang menurun juga berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Penggunaan dummy untuk Jawa-Luar Jawa juga berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, namun secara statistik tidak signifikan.

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 259

TABEL 11.

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DAN SEKTOR-SEKTOR LAINNYA

TERHADAP PDB INDONESIA

No Sektor 1971 1980 1999 2000 2005

1. Pertanian 44,83 30,70 19,42 15,60 14,54 2. Pertambangan & Penggalian 8,01 9,30 15,19 12,07 9,30 3. Industri Pengolahan 8,36 15,30 19,35 27,75 28,10

4. Listrik, Gas & Air Bersih

5. Bangunan 3,49 5,70 5,80 5,51 5,91 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 16,11 16,60 16,13 16,15 16,83 7. Pengangkutan & Komunikasi 4,41 5,40 5,53 4,68 6,26 8. Keuangan, Persewaan, & Jasa

9. Jasa-Jasa 2,11 2,80 3,46 9,34 9,14 Total 100 100 100 100 100

Sumber : BPS

Terlihat dari Tabel 11 adanya perubahan struktur ekonomi, di mana kontribusi (share) sektor pertanian menunjukkan kecenderungan yang terus menurun, dan perannya digantikan oleh industri pengolahan yang tumbuh relatif pesat sejak tahun 1990-2000. Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian cenderung berfluktuasi, sektor-sektor yang lain relatif stabil, kecuali sektor keuangan yang terus tumbuh pada masa sebelum krisis dan akhirnya menurun drastis setelah krisis ekonomi.

TABEL 12.

HASIL ESTIMASI MODEL PANEL DATA SEKTORAL (POOLED LEAST SQUARE) Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.

D(LOG(IHK)) 43,757700 9,189500 4,761706 0,0000 RASIOPERTANIAN -0,045705 0,097289 -0,469790 0,6408 LOG(PDRB_LAINNYA) -1,873992 0,585493 -3,200707 0,0025 LOG(LAMA_SEKOLAH) -15,937750 4,375461 -3,642531 0,0007 LOG(HARAPAN_HIDUP) -34,636470 11,409780 -3,035682 0,0040 D1 -0,075152 1,685138 -0,044597 0,9646 Dependent Variabel : Kemiskinan R-squared = 0,837261

Keterangan : IHK

= Indeks Harga Konsumen RASIOPERTANIAN = Rasio PDRB pertanian terhadap PDRB industri pengolahan PDRB_LAINNYA

= PDRB Total –(PDRB Pertanian+PDRB Industri Pengolahan) Lama_Sekolah

= Angka rata-rata lama sekolah Harapan_Hidup

= Umur Harapan Hidup D1 = Dummy Jawa-Luar Jawa

260 Hermanto Siregar, Siti Masyitho

Pada sub-model 2, PDRB provinsi seyogianya dipecah menjadi PDRB sektoral, yang biasanya dikelompokkan dalam sektor pertanian, industri, dan lainnya. Hasil estimasi awal menunjukkan bahwa tanda dari koefisien regresi bertentangan dengan kondisi aktual, sehingga yang digunakan ialah rasio PDRB pertanian terhadap PDRB industri serta PDRB lainnya. Adapun variabel-variabel lainnya tidak berubah. Hasil estimasi menggunakan pooled least square disajikan pada Tabel 12.

Hasil analisis pada Tabel 12 hampir sama dengan yang telah disajikan pada Tabel 10. Semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, kecuali rasio PDRB pertanian terhadap PDRB industri dan variabel dummy pulau yang tidak signifikan mengurangi angka kemiskinan. Hal ini merupakan pertanda bahwa pertumbuhan sektor pertanian akhir-akhir ini belum efektif dalam mengurangi kemiskinan. Pada kenyataannya, diharapkan bahwa peningkatan PDRB pertanian seharusnya berpengaruh signifikan menurunkan kemiskinan karena sekitar 2/3 penduduk miskin berada di pedesaan dengan mata pencaharian utama pertanian. Dengan output atau PDRB pertanian yang semakin besar, diharapkan pendapatan para petani dan penduduk pedesaan akan meningkat, sehingga mengurangi kemiskinan. Bila dikaitkan dengan ketahanan pangan dan ketahanan energi, maka upaya pembangunan pertanian tersebut hendaklah dilakukan dengan fokus pengembangan komoditas pangan dan komoditas bahan baku (feed stock) biofuel.

Prosiding Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional ISEI, Mataram 261