Penyelesaian Ketahanan pangan dan Energi: Trade-Off?

4.1. Penyelesaian Ketahanan pangan dan Energi: Trade-Off?

Keterbatasan persediaan energi berbasis fosil untuk memenuhi permintaan energi dunia telah ditransmisikan pada tingginya harga energi berbasis fosil tersebut. Kondisi ini mendorong berbagai negara untuk mengkaji potensi alternatif energi, khususnya renewable energy, dan mengembangkan teknologi yang tepat guna. Brazil, China, dan Amerika Serikat merupakan contoh kisah sukses bagaimana suatu negara berhasil mengembangkan teknologi dan sistem energi sehingga dapat menjadikan bio-etanol sebagai sumber energi yang dapat diandalkan. Sementara Brazil mengembangkan bio-etanol berbasis tebu, Amerika Serikat dan China mengembangkan bio-etanol berbasis jagung, yang kesemuanya dalam skala besar. Dengan berbagai penyesuaian dalam teknologi dan sistem, Indonesia semestinya bisa mengikuti langkah ini dalam upaya memenuhi kebutuhan energinya.

Analisa potensi sumber daya alam menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengembangkan bahan bakar alternatif dari 60 jenis tanaman yang ada. Beberapa diantaranya yaitu kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, bunga matahari, bio-mas, dan kapuk dapat dijadikan bio-diesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar. Sementara itu, tebu, jagung, singkong, ubi, serta sagu dapat dijadikan bio-etanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti premium. Tabel 10 menunjukkan potensi beberapa tanaman untuk dijadikan sebagai sumber energi.

TABEL 10.

POTENSI KOMODITAS PANGAN SEBAGAI SUMBER ENERGI

Ekivalen Energi Jenis Tumbuhan

Produksi Minyak

(Liter per Ha)

(kWh per Ha)

33.900 - 37.700 Jarak Pagar (Jatropha curcas)

Kelapa sawit (Elaeis guineensis)

3.600 - 4.000

19.800 - 26.400 Biji Kemiri (Aleurites fordiI)

2.100 - 2.800

17.000 - 25.500 Tebu (Saccharum officinarum)

1.800 - 2.700

2.450 16.000 Jarak Kepyar (Ricinus communis)

11.300 - 18.900 Ubi Kayu (Manihot esculenta)

1.200 - 2.000

Sumber: Departemen Pertanian

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan menemukan bahwa bioenergi asal residu biomassa tanaman dari sektor pertanian (tanpa industri kayu kehutanan, jagung) adalah sekitar 441,1 juta GJ, atau sekitar 470 juta GJ jika residu industri kayu dimasukkan. Dengan demikian, jika diperhitungkan diperkirakan Indonesia dapat menyediakan bioenergi secara potensial dari hasil pokok komoditas pertanian (nira, gula,

64 Mangara Tambunan 64 Mangara Tambunan

Namun mengikuti hukum ekonomi, meningkatnya permintaan terhadap komoditas pertanian, meski kini untuk tujuan energi, menyebabkan meningkatnya secara umum harga komoditas pertanian tersebut. Dan tak dapat dihindari, seiring naiknya harga komoditas pertanian tersebut, jika penawaran yang diberikan tidak turut bertumbuh, maka imbasnya dirasakan oleh konsumen yang tetap ingin menggunakan komoditas pertanian untuk kebutuhan pangan semata. Sebagai contoh, meningkatnya permintaan terhadap tetes tebu untuk dijadikan etanol menyebabkan berkurangnya pasokan tebu untuk produksi gula. Dengan intensif harga jual yang lebih tinggi, masyarakat petani sendiri akan lebih suka mengkonversi tebu ke dalam bentuk input energi dibandingkan untuk tujuan pangan. Begitu pula dengan komoditas kelapa sawit, dengan tingginya permintaan terhadap crude palm oil (CPO) berikut tingkat harga yang lebih baik dibandingkan dalam negeri, maka produsen akan lebih memilih untuk mengekspor CPO ke luar negeri dan dapat berakibat pada berkurangnya pasokan untuk minyak goreng. Melihat dari sisi ini tampak telah timbul trade-off dalam mengarahkan penggunaan komoditas pertanian tertentu tersebut untuk pemenuhan kebutuhan energi atau kebutuhan pangan.

Bagi para petani selaku produsen komoditas pertanian, harga yang tinggi untuk beberapa komoditas tertentu merupakan insentif dasar untuk mengalihkan produksinya sejak awal pada komoditas yang sedang booming tersebut. Menurunnya produksi tanaman pangan yang vital, seperti beras dikarenakan fungsi lahan dialihkan untuk menanam komoditas pertanian lainnya, sementara permintaan terhadap tanaman pangan tidak menurun, dipastikan menyebabkan peningkatan harga bahan pangan. Hal ini menunjukkan upaya menciptakan ketahanan energi dapat mengancam ketahanan terhadap pangan, yang juga masih belum tercapai. Dengan demikian diperlukan solusi yang cermat mengenai pilihan kebijakan mewujudkan antara ketahanan pangan dan ketahanan energi.