Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi dan Harga

2.2 Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Produksi dan Harga

Industrialisasi “yang berlebihan” menghasilkan eksternalitas yang mengancam keberlanjutan keseimbangan alam maupun perekonomian. Akhir- akhir ini terjadi peningkatan secara tajam emisi karbondioksida serta gas-gas lain di atmosfer bumi. Peningkatan temperatur udara, akan melanda semua negara yang ada di seluruh penjuru dunia, tanpa terkecuali Indonesia. Apabila trend emisi karbondioksida itu dibiarkan berlangsung terus, bukan tidak mungkin perubahan iklim akan terjadi. Eksternalitas yang terjadi sebagai akibat industrialisasi yang berlebihan yang tidak mengindahkan aspek-aspek kelestarian lingkungan, yang memicu terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian, serta mendorong terjadinya percepatan deforestasi, juga menyebabkan menurunnya kemampuan tanah untuk mengikat air. Kedua masalah ini menyebabkan gangguan serius terhadap usaha tani dan produk pertanian (Siregar dan Winoto, 2007).

Dampak perubahan iklim terhadap produksi mengakibatkan perubahan pola hujan tahunan baik dari segi musim maupun intensitas, pola distribusi ketersediaan air berubah secara spatial dan temporal yang mengakibatkan peluang banjir di musim hujan lebih tinggi, dan sebaliknya peluang kekeringan di musim kemarau meningkat. Sistem produksi pangan juga terganggu, yang mengakibatkan awal tanam mengalami kemunduran, intensitas tanaman berkurang, dan intensitas organisme pengganggu tanaman meningkat. Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, anatara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah.

Akibat perubahan iklim, masa tanam dan masa panen lebih tidak bisa diperkirakan. Hal ini disertai risiko kegagalan yang lebih besar, baik akibat kekeringan ataupun kebanjiran. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk semakin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1,93 juta hektar. Dari jumlah itu, 472 ribu hektar diantaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2,13 juta hektar, yang 328 ribu hektar diantaranya gagal panen. Adapun tahun lalu, 190 ribu hektar tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577 ribu hektar sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektar, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006 mencapai 0,95 juta ton (Tempo, 2007).

World Bank pada penelitiannya tahun 2008, menyimpulkan bahwa harga pangan internasional memiliki trend yang cenderung meningkat saat ini, dan paling cepat peningkatannya pada tahun 2008 ini. Harga ekspor gandum Amerika Serikat naik dari US$ 375/ton di bulan Januari menjadi US$ 440/ton di

252 Hermanto Siregar, Siti Masyitho 252 Hermanto Siregar, Siti Masyitho

Dari pengamatan yang ada meningkatnya harga pangan saat ini bukan merupakan fenomena temporer, namun kemungkinan besar bersifat persisten. Harga pangan masih akan tetap tinggi pada tahun 2008 dan 2009. Menurut prediksi, tingginya harga pangan saat ini kemungkinan besar merupakan pengaruh dari kebijakan peningkatan ketahanan energi dan juga dalam rangka penurunan emisi karbondioksida. Meningkatnya harga pangan dunia berkontribusi pada tingginya inflasi pangan. Pada banyak negara dan wilayah, inflasi harga pangan lebih tinggi dibandingkan inflasi agregat dan kontribusinya sangat besar terhadap inflasi keseluruhan. Sebagai contoh, di Eropa dan Asia Tengah, inflasi keseluruhan pada tahun 2007 rata-rata 10%, inflasi pangan 15%, inflasi padi-padian 23%. Sementara pada tahun 2006, inflasi keseluruhan 6% dan inflasi pangan 6,4%. Pendistribusian menyebabkan kenaikan harga pangan merupakan masalah yg sangat serius. Pada banyak negara dan wilayah di mana pengurangan kemiskinan berjalan lambat, meningkatnya harga pangan berpengaruh negatif pada kemiskinan.