Secercah Harapan, Segudang Cemas

V. Secercah Harapan, Segudang Cemas

Mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 membuka ruang demokratisasi di Indonesia. Momentum ini sekaligus membuka kesem- patan bagi sebagian masyarakat untuk menuntut pengungkapan kebenaran pelbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dipraktikkan rezim Orde Baru. Salah satu tuntutan itu menyangkut peristiwa Talang Sari 1989. Di sini, selain melakukan investigasi atas korban yang meninggal pada 7 Februari 1989 di Cihideung, Way Jepara, Talang Sari, Lampung, Azwar bersama keluarga, di- dampingi oleh Fikri Yasin, Kordinator Komite Solidaritas mahasiswa Lampung (Smalam), Ibrahim Bastari dari KP-HAM, dan juga aktivis dari Lembaga Bantu- an Hukum Lampung, melakukan koordinasi dan pencarian terhadap masyara- kat yang menjadi korban atau pun bagian dari keluarga korban. Harapannya, dengan adanya koordinasi dan pengumpulan seluruh korban yang berada di Lampung, mereka dapat melakukan upaya penuntutan terhadap negara agar kasus tersebut diungkapkan.

Di sisi lain, momentum itu membuat Azwar dan anak-anaknya memiliki ke- sempatan untuk membuka lahan pertanian di Gunung Balak yang ketika itu dikuasai oleh Tomi Soeharto. Ia, sebagai orang yang terlebih dahulu membuka lahan, dibantu oleh kedua anaknya, Aris dan Irwan, memiliki 10 hektar tanah. Kedua anaknya itu, karena merasa mendapatkan lahan tanah begitu mudah, menjual satu hektar demi satu hektar tanah itu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kini, lahan tanah itu tinggal 2 hektar, dan ditanami pohon coklat. Lewat bertanam coklat yang sangat menguntungkan inilah Azwar dan keluarganya menyambung hidup. Di tambah lagi dengan pendapatan harian

22 Wawancara dengan Azwar Kaili, 5 Desember 2008.

Ismini sebagai seorang mantri kesehatan yang membuka praktik di rumahnya, membuat Azwar dan keluarganya lumayan berkecukupan kembali. Kendati,

kondisi ekonomi mereka tidak kembali besar seperti sebelum peristiwa itu. 23 Setelah melakukan konsolidasi internal dan pernyataan sikap dalam jum-

pa pers, Azwar dan korban serta keluarga korban yang lain bersama aktivis Smalam, pada 5 November 1998, melakukan upaya penuntutan kepada neg- ara dengan mendatangi lembaga-lembaga terkait untuk mendengarkan suara mereka. Suara mereka didengarkan oleh DPRD Lampung yang berasal dari lima parpol. Mereka adalah Syafruddin Husin (PUDi-Partai Uni Demokrasi Indonesia), Ibnu Hajar (PAN-Partai Amanat Nasional), Razak, (PBB-Partai Bulan Bintang), Abdul Hakim (Partai Keadilan), dan Matt Al Amin Kraying (PDI Perjuangan). Mereka, bersama kelima parpol ini juga, berunjuk rasa di Pemda Lampung. Mereka bertemu dengan Kariyotmo, Ketua DPRD Lampung,

agar mendesak menuntaskan kasus itu kepada pemerintah pusat. 24 Di sini, kalangan korban dan keluarga korban juga membuat sebuah organisasi untuk menaungi mereka, yaitu Perkumpulan Keluarga dan Korban Pembantaian Ta- lang Sari Lampung (PK2PTL). Yang menjadi kordinator dalam perkumpulan itu adalah Sukardi dan Fauzi Isman, wakil koordinator.

Sebelumnya, pada 4 September 1998, sebagian besar kalangan korban Talang Sari yang lain dengan dipimpin Ahmad Yani Wahid, Ketua Delegasi Masyara- kat Korban Peristiwa Lampung mengadakan unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR. Mereka meminta agar Presiden BJ Habibie mengambil langkah konkret melakukan rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan persoalan poli- tik di masa lalu, agar luka-luka lama dapat dihapuskan. Jika tidak, persoalan itu bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk memecah belah bangsa. Mereka juga menyalahkan pihak aktivis LSM yang baru bergerak saat reformasi ber- gulir. Sementara ketika mereka di penjara para aktivis LSM hanya diam. Selain itu, mereka juga meminta presiden untuk melakukan pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan terhadap korban dan keluarganya, termasuk para tapol dan keluarganya yang hak perdatanya dimatikan. Terlebih lagi, saat itu, masih ada

14 tahanan narapidana politik yang berada di rumah tahanan. 25 Di sini, kalangan korban dan keluarga korban sebenarnya sudah mengalami

perpecahan. Sebagian besar dari mereka lebih menginginkan peristiwa itu di selesaikan secara damai, tidak melalui jalur hukum. Sementara kalangan korban yang lain ingin tetap menuntut, salah satunya adalah Azwar dan ke- luarganya. Perubahan sikap mereka ini berawal dari adanya bujukan untuk

23 Wawancara dengan Ismini, isteri Azwar Kaili, Korban Peristiwa Talang Sari, 4 De- sember 2008. 24 “Lima Parpol Minta Kasus Talang Sari Diusut”, Kompas, 5 November 1998 25 “Unjuk Rasa Soal Lampung”, Kompas, 4 September 1998

Kesepakatan islah antara para pelaku dan korban tragedi Talang Sari dilakukan kurang lebih sebanyak dua kali. Pertama, kurang lebih satu bulan paska refor- masi, seiring dengan naiknya Habibie sebagai presiden. Kesepakatan damai yang diwakili sejumlah korban, seperti Nurhidayat, Sudarsono, Maulana dan Ahmad Yani Wahid (tapol kasus Imran atau Woyla). Dari pihak militer diwakili Hendropriyono, yang dahulu menjabat sebagai Komandan Korem 043 Garu-

da Hitam, berpangkat kolonel. Kedua, islah dilakukan pada tahun 1999. Islah ini satu bentuk negosiasi antara Hendropriyono dan para korban yang men- jadi tahanan politik. Hasil negosiasi itu adalah dibebaskannya tiga belas dari empat belas narapidana dari kalangan korban. Pembebasan dilakukan lewat grasi (pengampunan) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101/G/1998. Dibebaskannya mereka menandakan bahwa kasus Talang Sari telah “sele- sai”. Mereka dan Hendropriyono kemudian mendeklarasikan gerakan islah

nasional sebagai gerakan moral bangsa. 26

Bagi korban dan keluarga korban yang tidak islah, era reformasi masih sama seperti dahulu, meskipun dalam kadar yang berbeda. Mereka memang sudah bebas dari belenggu stigma atas masa lalu yang diciptakan rejim Orde Baru, tapi bukan berarti intimidasi itu hilang begitu saja. Sebagaimana direkam oleh laporan internal kontras, mereka (20 orang), pada tahun 1999, sepulang dari Komnas HAM pernah dikumpulkan Kasimin, Pamong Dusun Talang Sari, dan Sukimin, Kepala Rukun Tangga (RT). Selain menanyakan perihal alasan

26 Mengapa muncul isu dan gerakam moral islah begitu cepat? Sebagaimana diketahui, naiknya Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto, telah memberikan peluang besar bagi Hendropriyono untuk menggantikan Wiranto sebagai Panglima ABRI. Saat itu, Wiranto dianggap sebagai dalang di balik beberapa peristiwa, seperti kasus pen- culikan aktivis, kerusuhan Mei 1998, Semanggi, Banyuwangi, dan juga tragedi Ambon berdarah. Hal ini memperburuk citranya di mata masyarakat. Akan tetapi, berbagai tarik-ulur kekuatan politik yang ada tidak menghendaki Hendropriyono mengganti- kan Wiranto. Habibie hanya bisa menempatkan Hendropriyono sebagai Menteri Trans- migrasi dan PPH (Pemukiman Perambah Hutan). Meskipun sudah menjadi Menteri, bukan berarti posisinya tidak tergoyahkan. Ia masih memiliki cacat di masa lalu, yaitu tragedi Talang Sari, 1989. Jadi, ide pengajuan islah yang diprakarsai ini adalah salah satu upaya menutup dosa-dosa politik yang pernah dilakukannya. Lihat, Irfan S. S Awwas, Trauma Lampung Berdarah: Di balik Manuver Hendropriyono, Yogyakarta: Wihdah Press, 2000, hal. 19, 99, 155-156; “Tiga belas Napol GPK Warsidi Dibebaskan” Kompas,

18 Januari 1999; Kontras Report, Peristiwa Talang Sari 1989: Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan, tt, Dokumen Kontras (2006), Surat Pernyataan Korban Talang Sari Keluar dari Kesepakatan Islah.

sambil mengeluarkan senjata api. 27 Bagi Azwar dan keluarganya intimidasi itu lebih pada kontrol aparatus negara yang selalu datang ke rumahnya, dan menanyakan perihal aktivitas yang ia lakukan.

Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya kalangan korban dan ke- luarga korban yang sudah terpengaruhi dengan tawaran iming-iming islah. Ironisnya, korban yang terpengaruh tersebut adalah adalah kordinator, dan wakil kordinator PK2PTL itu sendiri, yaitu Sukardi dan Fauzi Isman. Padahal, mereka berdualah yang dahulu sangat keras agar peristiwa tersebut dapat di- ungkapkan. Karena itu, lewat mereka, sampai tahun 2001, hampir 90 persen kalangan korban, baik yang di Lampung, Jakarta, dan Solo sudah melakukan

islah. 28 Di sini, kalangan korban dan keluarga korban yang hanya beberapa gelintir bersama dengan Komite Smalam, LBH Lampung, dan juga KontraS tetap memperjuangkan kasus tersebut diungkap. Sementara, tampuk kepimpi- nan perkumpulan korban dan keluarga korban itu dipegang oleh Azwar. Selain terus melakukan penuntutan dengan pelbagai cara, baik demonstrasi, audensi ke DPR dan MPR, atau pun ke Komnas HAM, Azwar dan para pegiat HAM itu tetap berusaha merangkul kembali kalangan korban dan keluarga yang sudah terpengaruhi dan bergabung dalam kelompok islah.

Pada tahun 2001 sebagian besar kalangan korban yang berada di Lampung ke- mudian menyatakan keluar dari kesepakatan Islah dengan membuat surat per-

nyataan. 29 Mereka merasa telah dikhianati atas perjanjian tersebut. Salah satu contohnya adalah mengenai persoalan tambak. Setiap korban, awalnya, akan diberikan tambak. Mereka lalu diikutkan dalam pelatihan Program Plasma Tambak Inti Rakyat (TIR) di Lampung oleh Hendropriyono, saat itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH. Penyelenggaranya adalah PT Central

27 KontraS Report, Peristiwa Talang Sari 1989: Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan, tt, Dokumen Kontras (2006), hal. 14. 28 Wawancara Azwar Kaili dan Ujang, puteranya, 2 Desember, 2008. 29 Mereka yang keluar dari kesepakatan itu dan korban yang juga tetap menuntut

peristiwa Talang Sari untuk diungkapkan berjumlah 28 orang, di antaranya adalah Jayus, Joko, Bibit, Warsidi SM, Siswanto, Rosnim, Kasman, Budi, Mino, Mardi, Su- trisno, Edi Arjadat, Parmo, Mahmud, Marzuki, Jamiran, Salim, A. Syamsudin, Bustanul Arifin, Jumadi, Sutrisno, Paimin, Margono, Sinar, Akmal, Aji Waluyo, Azwan, dan Purwoko. Lihat. “Surat Pernyataan Keluar Korban dan Keluarga Korban Talang Sari”, Dokumen KontraS, 2001.

Pertiwi Bahari bekerjasama dengan Departemen Transmigrasi dan PPH. 30 Alih- alih mendapatkan modal dan tambak udang yang dijanjikan, mereka malah

menjadi buruh untuk perusahaan tersebut. Bahkan, setelah pelatihan kedua lembaga itu tidak membiayai dan memberikan modal kepada mereka. 31

Tidak dipungkiri, peran Azwar cukup besar dalam mempengaruhi kalangan korban dan keluarga korban yang berada di Lampung, sehingga mereka mau keluar dari kesepakatan tersebut dan bergabung kembali bersamanya. Salah satu cara merayu mereka adalah dengan membohonginya. Ia sering berbohong kepada mereka bahwa ia juga pernah ditawari uang ratusan juta rupiah, mobil, dan juga rumah agar ikut islah. Tapi, ia tetap tidak mau. Baginya, yang terpent- ing adalah adanya pengusutan tuntas terlebih dahulu atas peristiwa Talang Sari, dan pemerintah mau meminta maaf atas apa yang telah menimpa kalan- gan korban dan keluarga korban. Karena itu, ia tidak mau menerima islah dan mementingkan hasrat kepentingan sendiri. Ia lebih mementingkan perjuangan bersama dengan kalangan korban yang lainnya untuk menuntut peristiwa tersebut. Dengan kata lain, ia saja dengan iming-iming begitu besar tidak mau terlibat dalam islah, bagaimana dengan mereka yang selama ini lebih dihargai kecil oleh orang suruhan Hendropriyono. Benar saja. ternyata omongan Azwar itu dapat dibuktikan. Satu ketika anggota Kodim Lampung pernah datang ke rumah Azwar. Ia menawarkan kepadanya untuk membangun rumahnya kem- bali, jika Azwar mau ikut terlibat dalam islah. Sebagian besar kalangan kor- ban yang saat itu sedang berkumpul di rumahnya pun menjadi percaya bahwa ternyata Azwar memang benar-benar tidak berbohong. 32

Selain itu, ia juga menggunakan kasus lain untuk menguatkan perjuangan solidaritas di antara mereka. Tepatnya, pada 20 Agustus 2004, pasca putusan Pengadilan HAM adhoc Peristiwa Tanjung Priok menetapkan negara harus memberikan kompensasi materiil sejumlah Rp 658 juta dan imateriil sejumlah Rp 357.5 juta kepada korban dan keluarga korban yang tidak terlibat dalam islah 33 . Lewat putusan pengadilan HAM Adhoc Priok inilah Azwar menguat- kan kalangan korban dan keluarga korban peristiwa Talang Sari yang lainnya bahwa jika mereka mau tetap menuntut pengungkapan kebenaran mereka akan mendapatkan kompensasi seperti teman-teman korban peristiwa Tanjung Priok.

Sejak itulah Azwar dan korban dengan didampingi KontraS terus memper- juangkan kasus Talang Sari. Beragam cara yang mereka lakukan untuk menun-

30 Irfan S. S Awwas, Trauma Lampung Berdarah: Di balik Manuver Hendropriyono, hal. 84.