Penjara tanpa Pengadilan
II. Penjara tanpa Pengadilan
Apa yang dialami oleh Bedjo Untung tidak berbeda dengan yang dialami oleh banyak anggota keluarga PKI di seluruh Indonesia. Pihak yang terlibat dengan aktivitas PKI baik itu anggota aktif maupun simpatisan akan diburu, ditangkap, dibunuh dan dihilangkan pada tahun 1965-1966. Tidak hanya itu, keluarga mereka juga akan diperlakukan sama dan status yang sama sebagai penjahat yang perlu disingkirkan. Semua tindakan ini dilakukan tanpa melalui proses pengadilan dan prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law). Perampasan hak-hak sipil dan penghilangan orang secara paksa melalui operasi rahasia yang dilakukan di seluruh Indonesia, di mana tindakan terse- but dibenarkan sebagai legitimasi atas sebuah kondisi untuk menghadapi ke- lompok makar yang akan memberontak.
Banyak orang mulai mempertanyakan apakah PKI benar-benar melakukan pemberontakan tersebut? Apakah PKI ingin merebut kekuasaan dari presiden Sukarno yang mereka dukung secara penuh? Apakah mereka perlu melaku- kan kudeta untuk merebut kekuasaan dari tangan pemerintah yang sah di saat mereka secara politik memiliki dukungan dari masyarakat luas, dan hanya menunggu waktu yang tepat melalui proses prosedural pemilu untuk mereng- kuh kemenangan mutlak? Apakah mereka benar-benar siap dan memiliki sen- jata yang memadai untuk melakukan sebuah kudeta? Dari mana senjata itu mereka miliki, di mana senjata itu disimpan? Apakah ada laporan data yang meyakinkan tentang itu semua? Bagaimana peran partai-partai lain yang kalah dalam pemilu sebelumnya? Siapakah Dewan Jenderal tersebut? Apakah cukup masuk akal para pengikut Sukarno seperti Jendral M. Yani akan membunuh Sukarno bersama Jendral lainnya? Mengapa letkol Untung sebagai pasukan pengawal presiden Cakrabirawa saat akan bertindak menumpas Dewan Jen- dral dibantu oleh Suharto dengan mendatangkan dua batalyon siap tempur dari Jawa Tengah (Yon 454 Banteng Raider Diponegoro) dan Jawa Timur (Yon 530 Brawijaya)? Dan, apa hubungan Dewan Jenderal dengan PKI sebenarnya?
II.1. Mencabut Akar Rumput
Pada tahun 1966 dilakukan sidang MPRS untuk membubarkan PKI selaman- ya sebagai entitas partai politik di Indonesia melalui tap MPRS No. 25/1966. PKI sudah bubar dan tidak diakui sebagai satuan politik setahun setelah 1965. Setahun kemudian, setelah para tokoh utama ditangkap dan dipenjarakan, larangan dilanjutkan melalui tap MPRS No. 33/1967, berisi tentang aturan ber- sih diri, bersih lingkungan dari ajaran-ajaran dan keterkaitan dengan eks PKI. 7
Dengan dua aturan ini ditambah aturan-aturan yang diskriminatif, PKI men- jadi organisasi terlarang, paham marxisme sebagai ideologi PKI dilarang untuk dipelajari dan diajarkan, dan seluruh bekas anggota PKI beserta keluarganya dilarang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, kehilangan hak dan kebebasan sipil dan berbagai hak-hak dasar warga negara lainnya. PKI dan paham marxisme telah dicabut sampai ke tingkat akar rumput.
II.2. Dihabisinya Hak Asasi Manusia
Menempatkan konteks HAM untuk memahami tragedi 1965/1966 menjadi sesuatu yang membingungkan. Di masa itu tidak banyak orang mengenal apa itu hak asasi manusia. Mungkin hanya sedikit orang yang sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dan kebetulan mengambil pelajaran hukum dengan tema hak asasi manusia, sedikit banyak bisa memahaminya. Dengan pengertian sederhana dan sumir-nya pengertian atas terminologi HAM, maka publik tidak akan peka untuk menyangkutpautkan konteks PKI – tragedi 1965/1966 dengan perkembangan konsep HAM di dunia. Mereka adalah pen- jahat, dan penjahat perlu dipenjara. Dengan demikian, hakekatnya pemerintah telah mencerabut hak asasi dari masyarakat yang memilikinya. Pemerintah tidak saja merampas dan mencabut seluruh hak itu dari korban 1965/1966, yang notabene diidentikan dengan anggota PKI, simpatisan dan seluruh kelu- ar ganya, namun juga dari seluruh masyarakat Indonesia; karena membatasi akses informasi, akses keadilan dan kebenaran untuk mengetahui apa yang se- sungguhnya terjadi dalam peristiwa tersebut.
Para korban yang menjadi eks tapol dan seluruh dan keluarga besar mereka juga mengalami trauma mendalam terhadap peristiwa yang menimpa diri mereka. Peristiwa itu tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang besar, namun juga peristiwa itu telah mengorbankan banyak kesempatan atas hidup yang lebih baik dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Para korban dan keluarga korban yang kini sudah berusia lanjut masih banyak memendam cerita yang belum berani mereka bagi. Cerita itu bersumber dari ingatan atas
7 DPP. LPR-KROB, DPP. LPKP 65 dan DPP. PAKORBA, ibid, hal. 36.