Belajar Dari Ayah: Ketegasan dan Kemandirian

I. Belajar Dari Ayah: Ketegasan dan Kemandirian

Wanma Yetty lahir di Padang pada 1 Mei 1965. Ia anak pertama dari lima ber- saudara. Ia tumbuh dan berkembang di Medan. Sejak adiknya yang ketiga lahir, Ayahnya, Bachtiar Johan, pergi mencari kakaknya dan melihat kemungkinan situasi di Jakarta untuk meluaskan usaha dan jaringannya dalam berdagang pakaian. Usaha yang dilakukan Bachtiar Johan adalah mengambil konveksi pakaian dari Jakarta lalu menjual dan mendistribusikannya ke beberapa dae- rah. Sementara, Nurcahyati, sang isteri, tetap berdagang aksesoris dan pernik- pernik yang terkait dengan dunia perempuan, mulai dari pita, bandu, pin, karet gelang, cincin, dan pengikat rambut. Ternyata situasi di Jakarta lebih me- mungkinkan untuk memperluas jaringan dan mendapatkan keuntungan lebih besar dalam berjualan pakaian ketika didistribusikan keluar daerah, Bachtiar mulai menetap dan bekerja di Jakarta. Terlebih lagi, yang menjadi agen kon- veksi pakaian itu adalah saudara-saudaranya sendiri, yang menetap di Tanah Abang. Pada tahun 1971, Nurcahyati bersama Wanma Yetty dan kedua adiknya berhijrah ke Jakarta. Mereka tinggal di dekat bandara Halim Perdana Kusuma. Pada tahun itu, Yetty masih kelas 6 Sekolah Dasar. Sejak saat itulah Yetty dan sekeluarga tinggal bersama di dekat Bandara Halim Perdana Kusuma selama

dua tahun. 1 Yetty dan adik-adiknya, oleh kedua orangtua, dididik dengan pola yang keras

dan disiplin, meskipun mereka memiliki kecenderungan gaya mengasuh yang berbeda. Sang ayah, Bachtiar Johan, selalu mengarahkan anak-anaknya belajar segiat dan sepintar mungkin agar meraih hasil maksimal, serta mengajarkan kemandirian. Ia, dengan melihat kecenderungan bakat, selalu mengarahkan anak-anaknya agar mendapatkan hasil maksimal setiap prestasi yang mereka lakukan. Misalnya, Nurhayati, adik ketiga, diarahkan untuk menjadi pemain bulu tangkis, Elly, adik keempat, karena memiliki karakter yang tomboy dan berani dengan laki-laki, dimasukkan ke latihan bela diri Taekwondo. Semen- tara Yetty lebih diarahkan sesuai dengan kemauan ayahnya. Satu bentuk upaya mengajarkan ketegasan sikap dan juga kekuatan mental kepada anak-anaknya inilah ia memasukkan anak-anaknya ke sekolah swasta. Alasannya, di sekolah itu kebanyakan dari guru-gurunya berasal dari etnis Batak. Orang-orang Batak biasanya memiliki watak yang keras dengan suara bahasa yang lantang ketika ingin menyampaikan sesuatu. Sebab itu, mereka cenderung dianggap sebagai

orang yang kasar dan galak. 2

Satu waktu, Yetty pernah dipaksa oleh bapak Purba, guru olah raga, dalam ujian praktik berenang. Namun, ia tidak mau menurutinya. Karena, salah satu kakinya sedang sakit akibat terkena air panas, dan baru beberapa hari diopera-

1 Wawancara dengan Yetty, Keluarga Korban Peristiwa Priok, 20 Januari 2009 2 Ibid

Sementara satu bentuk kemandirian yang diajarkan itu, salah satu con- tohnya adalah saat Yetty meminta sang ayah untuk mengijinkan mengikuti bimbingan belajar yang diikuti oleh hampir seluruh teman kelasnya. Selain itu, ia merasa kesusahan mempelajari ilmu fisika dan matematika. Alih-alih diijinkan, Bachtiar Johan malah pergi ke toko Gunung Agung yang berada di Kwitang. Ia membelikannya buku saku yang bertuliskan Belajar Tanpa Guru. Buku saku itu menjelaskan kiat-kiat bagaimana mendalami ilmu fisika dan matematika. Tetap saja, jika tidak ada yang membimbing dalam menjelaskan, Yetty tidak akan mengerti. Alasan sang ayah mengapa ia tidak mengijinkan untuk mengikuti bimbingan belajar adalah karena guru itu manusia. Begitu pula dengan Yetty. Perbedaannya terletak pada pengalaman saja di mana Guru Pembimbing les itu lebih mengetahui, sedangkan Yetty belum. Selain itu, ia kurang belajar secara serius. Apalagi, sang ayah juga bisa berposisi sebagai seorang guru untuknya. 3

Menurut Yetty, mengapa ayahnya mendidiknya dengan pola seperti itu, dengan memberikan kesempatan belajar yang telah disediakan, adalah agar anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Tidak seperti dirinya yang hanya men-yelesaikan pendidikan Sekolah Dasar. Ayahnya, meskipun saat itu adalah anak yang cerdas, tidak diperbolehkan oleh Ibu tirinya untuk melanjutkan sekolah. Saking takut dengan ibu tirinya, dengan rasa keinginan belajar begitu tinggi, ia sering belajar di bawah kolong meja ketika kecil. Obsesi dan sikap kekecewaan untuk tidak mau mengulangi hal yang serupa dan meneruskan cita-cita yang terhempas inilah yang diwariskan anak-anaknya. Sebab itu, sang ayah akan memberikan apapun selama itu masih berhubungan mengenai pen-

3 Wawancara dengan Yetty, keluarga korban peristiwa Priok, 22 Januari 2009.

toh bagi adik-adiknya. Dalam beberapa hal, ia kerap harus bersaing dengan adiknya yang ketiga, Nurhayati dalam berprestasi. Kalau tidak bisa menya- mai dan mengungguli adiknya, ia akan dipukul dengan penggaris panjang berukuran besar oleh ayahnya. Sementara, dalam segi tanggung jawab sebagai anak tertua tidak pernah terkurangi. Selain harus mengasuh adiknya yang paling kecil, Yetty juga harus membantu sang Ibu untuk mencuci piring atau- pun membantunya berjualan pernak-pernik yang terkait dengan perempuan di pasar. Dari segi kecerdasan pun, diakui Yetty, adiknya memiliki kelebihan ketimbang dirinya. Hal itu ditunjang dengan banyaknya waktu luang yang di- miliki Nurhayati untuk membaca buku. Sebab itu, Yetty, dengan sekuat tenaga selalu kerja keras untuk belajar, meskipun harus “diganggu” dengan kehadiran adiknya terakhir. Ini karena, sang ayah tidak mau menerima alasan apa pun. Bagi sang Ayah, ia bisa melakukannya selagi ia memiliki kemauan dan usaha. 4

Sedangkan Nurcahyati, sang ibu, dalam pola mendidik juga cenderung keras. Namun makna keras di sini lebih mengarahkan pada kekolotan dan kecuekan kepada anak-anaknya. Ia kurang begitu memperhatikan sejauh mana prestasi pendidikan anak-anaknya. Ia lebih menyerahkan pengasuhan anak-anak ke- pada pembantu, dari mulai membangunkan tidur, memandikan, merapikan tempat tidur, dan mengganti pakaian ketika ingin sekolah. Tugasnya hanya mengecek kepada pembantunya, apakah anak-anaknya sudah melakukan aktivitas rutin harian itu. Ia disibukkan dengan usahanya, berangkat ke kios pagi hari, dan pulang di sore hari. Kendati demikian, ia tidak membolehkan anak-anaknya untuk mengikuti aktivitas yang sekiranya tidak berguna, seperti tidak membolehkan anak-anaknya untuk belajar berenang, karena tidak ada manfaatnya.

Kembali ke figur sang ayah. Bachtiar Johan paling suka dengan dunia politik. Saking sukanya, ia tidak pernah jauh dari harian Kompas. Dari media inilah ia sering mengikuti politik internasional dan juga gencatan senjata yang se- dang berlangsung, misalnya mengenai Negara Amerika, ketegangan antara Irak-Iran, dan bagaimana peristiwa yang terjadi di Bosnia. Ia tidak membo lehkan anak-anaknya untuk membaca korban Poskota. Selain secara intelek- tual kurang mendidik, menurutnya, koran itu juga banyak berisi unsur porno-

grafinya. Dengan usia yang belum terlalu dewasa, mau tidak mau, Yetty dan adik-adiknya membaca koran yang dibaca oleh sang ayah.

Di Jakarta, keluarganya Yetty hanya bertahan dua tahun di daerah Halim Per- dana Kusuma. Mereka lalu pindah ke daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ala-

4 Wawancara dengan Yetty, keluarga korban peristiwa Priok, 23 Januari 2009

Di Tanjung Priok inilah Yetty dan adik-adiknya mengalami bagaimana keras dan rawannya hidup di Tanjung Priok yang notabene dihuni oleh masyarakat urban kelas bawah. Semasa itu, sebagian besar masyarakat itu buruh pelabu- han dan juga pabrik. Ada sebagian pula dari mereka yang hidup dengan berdagang. Di sana pulalah pengangguran banyak terjadi dengan tingkat pen- didikan mereka yang rendah. Sebab itu, dalam kondisi yang demikian, tingkat kejahatan, pemakaian narkoba, dan juga pencurian kerap terjadi. Yetty, hampir setiap hari, melihat orang meninggal di depan rumahya akibat overdosis peng- gunaan narkoba. Ketika melihat mayat di daerah Tanjung Priok, baginya pun menjadi suatu hal yang biasa. Meskipun keadaan di wilayah Tanjung Priok demikian, hal itu tidak menyurutkan ayahnya untuk menjalin interaksi dengan para tetangga. Bahkan dari mereka yang datang ke rumah keluarga Yetty untuk bersenda gurau bersama sang ayah. Bachtiar Johan memang keras terhadap anak-anaknya, namun ia bisa bersikap humoris dengan para tetangga. Saking akrab dengan mereka, setiap kali pembagian rapot, teman-teman seusia dan sekelas dengan Yetty meminta bapaknya untuk mengambilkan rapot. Begitu dekatnya sang ayah dengan para tetangga sehingga setiap kali ia ada di rumah,

mereka sering datang untuk mengobrol. 5

Sejak di Tanjung Priok inilah Bachtiar mulai mengikuti pengajian-pengajian yang berada di mesjid dan musholla. Setiap pengajian yang diikuti, sebagian besar materi ceramah biasanya berkisar tentang maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, penolakan terhadap program Ke- luarga Berencana (KB), penolakan terhadap larangan penggunaan jilbab bagi siswi SLTA, hingga kritik keras terhadap rencana pemerintah untuk menjadi- kan Pancasila sebagai asas tunggal bagi ormas dan orsospol. Di samping dalam bentuk ceramah, kritik terhadap kebijakan dan perilaku rezim Orde Baru juga dilakukan melalui media cetak, seperti pamflet yang tidak hanya ditempel di tempat-tempat umum, melainkan juga di masjid dan musholla. Terlebih lagi, ketika terjadi peristiwa penangkapan empat warga Koja yang ditangkap oleh aparat keamanan dan isu Sertu Hermanu yang masuk ke Musholla As-Sa’adah

5 Wawancara dengan Yetty, Keluarga Korban Peristiwa Priok, 23 Januari 2009

itu. 6