Panggilan Untuk Pekerjaan yang Belum Usai

IV. Panggilan Untuk Pekerjaan yang Belum Usai

Peristiwa meninggalnya suami tercinta terasa sangat mengagetkan, sangat memukul. Pada tanggal 7 September 2004 itu sejarah kelam menorehkan tin- ta hitamnya dalam kehidupan Suciwati. Munir dikabarkan meninggal dalam pesawat karena terkena racun arsenik. Suciwati mengungkapkan perasaan- nya secara tertulis dalam facebook-nya setelah mendengarkan kabar kematian suaminya dari telepon Usman Hamid, sahabat almarhum di KontraS sebagai berikut:

”Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang

yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada..Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi”.

Dan ketika anaknya yang masih kecil menanyakan kabar kematian abahnya, dia tak bisa menjawabnya. ”Maafkan anakku, aku tak bisa menjawab pertan- yaanmu”, tangisnya dalam hati.

Setelah kesadarannya bangkit, Suciwati segera mencari kabar lebih jelas men- genai berita kematian suaminya. Sebagian dari dirinya ingin percaya bahwa berita itu bohong, maka segera dia menghubungi kantor Garuda di Jakarta dan Bandara Schippol Belanda, juga kepada teman-teman Munir di Belanda. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Dicobanya lagi menghubungi kantor Garuda di Jakarta, mereka menyatakan tidak tahu menahu soal kematian Munir, hal yang menambahkan kesedihan dan sakit hati Suci. Kemudian setelah menel- pon lagi kantor Garuda di Belanda dengan marah, seorang staf bernama Yan menjawab sambil meminta untuk tidak dipublikasi namanya, menjawab benar bahwa Munir, suaminya meninggal di pesawat GA-974. Peristiwa aneh ini se- makin membuatnya bertanya-tanya.

Pada tanggal 8 September 2004 itu Suci memutuskan untuk menjemput jen- azah suaminya ditemani beberapa sahabat. Sampai di sana semua orang ber- duka, menangis bahkan histeris. Suasana agak membaik setelah dilantunkan do’a-do’a oleh Usman Hamid. Dia melihat jenazah suaminya di ruang Mortu- arium Schippol, terbujur kaku.

“Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amin.” 9

Kembali ke Indonesia, para sahabat, handai taulan, kawan jaringan dan ma- syarakat banyak yang telah menunggu dan ber-ta’ziah mengungkapkan duka cita. Setelah jenazah Munir dikebumikan pada tanggal 12 September 2004, Suci berpikir keras dalam ketakberdayaannya itu untuk keluar dari situasi bu- ruk yang ia hadapi. Dia tidak tahu mengapa perasaan perjuangan itu begitu membetot semangatnya. Baginya hidup adalah bergerak, tidak boleh terus berkubang dalam perkabungan. Dia akan merasa bermakna jika melaksanakan sesuatu, sesuatu untuk diselesaikan. Di saat para sahabat masih menangisi al- marhum, Suciwati justru telah memulai sikap untuk bergerak. Hal ini mem- buat para sahabatnya menganggap bahwa dia sangat kuat hati. Tak pelak almarhum sendiri ketika masih hidup menilainya sebagai orang yang begitu rasional. Namun sesungguhnya tidak, Suciwati juga merasakan kesedihan tak terperi. Setelah penguburan jenazah suaminya, dia merasa tidak sendiri karena banyak sahabat yang mengelilinginya. Namun setelah para sahabat pulang ke rumah masing-masing, tiba-tiba rasa sepi seperti mengepung, menusuk dan

9 Suciwati, Ibid

IV.1. Memulihkan Diri dengan Bangkit Bergerak

Kondisi di atas tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Dia berpikir dia harus berger- ak, harus melakukan sesuatu untuk keluar dari situasi ini. Maka dua hari setelah itu dia memutuskan untuk pindah ke rumah kontrakan lamanya di Bekasi. Namun saat dia melakukan persiapan untuk pergi, tiba-tiba dia mera- sa tanpa daya, dia tidak punya tenaga bahkan untuk bergerak. Otaknya terus memerintah menyiapkan berbagai hal untuk disiapkan, namun tubuhnya ti- dak mau merespon. Dia bingung dan mengaduh, ”Allahu akbar, inikah yang disebut kesedihan itu Tuhan?”. Baru kali itu dia mengerti bagaimana rasanya makna kehilangan yang sesungguhnya.

Dia memang pernah merasa kehilangan saat ibunya meninggal dunia pada ta- hun tahun 2003, namun kehilangan suami tercinta merupakan kesedihan yang terasa sempurna. Dia terus berpikir untuk keluar dari situasi ini. Saat cukup kuat untuk berdiri, dia memaksakan diri untuk keluar rumah mencari sesuatu untuk berpegang. Dia masih sadar dengan hobinya jajan, maka ia memutus- kan untuk naik becak mencari sesuatu untuk dimakan. Dia berhenti di sebuah ujung jalan dan memutuskan untuk berjalan kaki. Dia tidak menyadari ternya- ta dia menangis sepanjang jalan itu, dia bertanya-tanya akan berapa lama per- asaan seperti ini menyelimutinya. Beginikah rasanya kesedihan itu, pertanyaan itu diulangnya kembali. Namun dia tidak bisa terus menerus terlarut di dalam suasana ini. Sekembalinya ke Jakarta lebih kurang tanggal 15-16 September 2004, seminggu setelahnya Diva Suuky, anaknya yang baru 2 tahun saat itu, sakit dan harus masuk rumah sakit. Sekalipun berat, namun kesibukan mengu- rus anak juga dapat memecah rasa kesedihan karena meninggalnya suaminya. Tidak lama setelah itu Suciwati memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di Yayasan Tifa yang telah ditawarkan padanya beberapa saat setelah kematian Munir.

IV.2. Meneruskan Pekerjaan yang Belum Selesai

Sebetulnya Suci cukup kecewa terhadap otoritas resmi negara, mengapa ka- bar kematian suaminya tidak datang dari Departemen Luar Negeri (Deplu). Dia juga cukup kecewa bahwa kawan-kawan LSM tidak lekas menindaklanjuti pencarian informasi begitu kabar kematian Munir. Suci berharap besar pada mereka karena percaya pada Munir yang sejauh ini selalu berjuang bersama mereka. Ternyata tidak begitu, sehingga Suci mencari kabar sendiri sampai mendapat jawaban dari Deplu. Mungkin karena para sahabat masih berduka.

Justru Suci yang melakukan semua, mencari informasi. Suci merasa, ini adalah semacam insting yang membimbing, dan ini semua berasal dari-Nya, respon dari Tuhan untuk memberikan semacam sikap mempercayakan.

Maka peristiwa terbunuhnya Munir bagi Suciwati dimaknai sebagai pekerjaan yang harus dilakukan, yang diberikan Tuhan, karena Dia percaya padanya. Ini bukan pelimpahan dari Munir, tapi sebentuk kepercayaan dari Tuhan kepadan- ya untuk dapat melakukan pekerjaan ini. Maka dia merasa seperti menan- datangani kontrak dengan Tuhan untuk melaksanakan pekerjaan ini, perjuan- gan menuntut keadilan bagi kasus Munir, juga bagi para korban pelanggaran HAM yang lainnya.

Salah satu upaya untuk menguak kebenaran mengenai kematian sang suami adalah dengan aktif dalam jaringan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir). KASUM berdiri bermula dari beberapa orang dan beberapa lembaga melakukan diskusi. Sampai suatu ketika ada beda pendapat antara kawan- kawan yang menggagas KASUM perihal pendekatan penanganan penuntasan advokasi kasus Munir. Ada di antara sebagian kawan yang ingin lebih tajam dan keras, dan ada yang ingin lebih taktis. Oleh karena itu dibutuhkan seorang sebagai penengah, dan dipilihlah Asmara Nababan. Hasil diskusi itu adalah didirikannya KASUM, tepatnya tanggal 4 Desember 2004. KASUM dibentuk pada di Jakarta oleh sejumlah elemen NGO dan aktivis HAM, antara lain: Kon- tras, Imparsial, Demos, VHR, PBHI, HRWG, YLBHI, Todung Mulya Lubis, Ade Rostina Suyanto, Dadang Trisasongko, Smita Notosusanto dan Binny Bucho-

ry. 10 Suciwati bukan pemilik KASUM, tapi dia bagian darinya, bahkan mungkin

nyawanya. Suci merasa hidup di dalam dan menghidupi KASUM. Suci terse- mangati oleh KASUM, namun juga pernah kecewa. Untuk orang seistimewa Munir respon para sahabatnya masih dirasakan kurang. Untuk Munir yang kepeduliannya terhadap kawan sangat tinggi, teman-temannya tidak melaku- kan hal itu padanya. Dia sempat menyatakan kekecewaan ini kepada saha- batnya, Usman Hamid, “Kalau Munir ada kawan yang meninggal, dia tidak diminta sudah berdiri di paling depan. Apa yang kalian lakukan?” ternyata Usman menjawab, “Aku siap Mbak!” Jawaban yang membuat Suci juga merasa kaget, sebab bukan itu yang dia minta, karena Usman juga masih harus men- gurus KontraS. Suciwati tidak mau Usman meninggalkan Kontras yang adalah roh-nya Munir juga. Usman, salah satu orang yang terlahir dari dorongan Mu- nir. Menuntaskan masalah pembunuhan Munir bukan hal sederhana. Pihak yang dihadapi adalah pihak-pihak yang berkuasa, pihak yang sangat berbepenga-

10 http://www.munir.or.id/?dir=pages&hal=aboutus&pgs=2#top

Menagih Masa Lalu Yang Dirampas

Wanma Yetty

Keluarga Korban Peristiwa Priok 1984