Negara Mengabaikan Perlindungan bagi Korban

IV.3. Negara Mengabaikan Perlindungan bagi Korban

Sistem keamanan ketika kerusuhan berlangsung juga tidak berjalan. Para warga yang mengadu ke kantor polisi resort Pulogadung yang jaraknya tidak seberapa jauh dari lokasi kerusuhan di Yogya Plaza Mal menolak untuk mere- spon mereka. Polisi enggan mengamankan suasana karena mereka mengaku terancam serangan massa juga. Polisi yang ada di tempat kerusuhan juga han- ya memperhatikan dari atas jembatan layang. Patroli polisi yang mendatangi lokasi kerusuhan langsung berlari karena mendapat serangan dari kelompok massa provokator. Satuan tentara baru datang berjaga di sekitar Yogya Plaza pada hari ketiga kerusuhan, yakni tanggal 15 Mei 1998 ketika evakuasi para korban dilakukan oleh PMI dan tim lainnya.

Menjelang 40 hari dari kejadian kerusuhan, tim relawan dari jaringan TRK (Tim Relawan Kemanusiaan) pimpinan Romo Sanyawan mendatangi rumah para korban di sekitar Klender untuk mendukung para korban menghadapi masa sulit. Hal pertama yang dilakukan adalah mengundang para korban untuk berkumpul di sekretariat TRK, yaitu di Jalan Arus Cawang, memberi- kan para korban sedikit bantuan finansial untuk menyiapkan peringatan 40 hari kematian para korban. Hal berikutnya adalah mendampingi para korban dalam proses pemulihan, mengorganisir para korban untuk dapat beraktivitas normal kembali, memberi dana bagi mereka untuk usaha ekonomi dan men- dorong mereka untuk membangun paguyuban yang akhirnya berdiri sebagai “Paguyuban Korban Mei 1998” (Paguyuban). Kegiatan kemanusiaan dari tim

TRK diperkuat dengan dampingan dari berbagai organisasi lain semisal Elsam, KontraS, Solidaritas Ibu Peduli dan lain-lain. Melalui pertemuan Paguyuban para keluarga korban Mei 1998 mendapatkan dukungan, dorongan supaya tetap kuat, mendapat penyadaran mengenai konteks mengapa kerusuhan ter- jadi, mengapa anak dan keluarga mereka menjadi korban. Dari aktivitas ini peguyuban melakukan advokasi kepada pemerintah supaya kasus kerusuhan Mei 1998 diakui sebagai praktik pelanggaran HAM karena negara membiarkan kerusuhan terjadi dan merenggut banyak korban, dan dengan demikian negara dituntut untuk bertanggungjawab atas peristiwa ini.

Isu keamanan yang muncul ketika Paguyuban bersama dengan para pendamp- ing antara lain ancaman 1) Mendapatkan teror, 2) Ancaman tindakan pasukan keamanan ketika mengadakan aksi demonstrasi dan 3) Ancaman mendapat- kan pandangan negatif dari masyarakat sebagai keluarga penjarah. Romo San- dyawan dan kantor TRK tidak bisa dilepaskan dari aktivitas Paguyuban ketika mendapatkan teror bom, tidak lama setelah beraktivitas bersama dengan mere- ka. Kantor Romo Sandyawan juga pernah dijarah oleh massa yang mencari-cari dokumen tertentu untuk mereka bawa. Teror ini tak pelak mempengaruhi para anggota Paguyuban dalam beraktivitas bersama. Ruyati, koordinator Paguyu- ban, mengaku bahwa untuk beberapa lama dia harus melihat kanan dan kiri jika harus beraktivitas di jalan Arus, kantor TRK, karena waspada dan khawatir terhadap kemungkinan orang yang mengikuti. Selain itu, Ruyati dan korban lainnya kadang merasa takut saat dilihat orang dengan ekspresi aneh, karena terdapat desas-desus ada yang menyamar, dan karena pembakaran itu disen- gaja, ada orang di belakang terjadinya pembakaran itu.

Menghadapi pasukan huru-hara, ibu-ibu sering diletakkan di barisan depan ketika melakukan aksi demonstrasi. Ruyati sering berada di garis depan, bah- kan sering menjadi orator menuntut hak-hak korban yang telah lama diabai- kan oleh pemerintah. Kadang-kadang Ruyati merasa takut juga bila saja aparat keamanan akan marah. “Tapi saya sering menanyakan dulu pada mereka ketika orasi, apakah kalian bisa merasakan sebagai ibu, anak kalian di bakar di sana...” begitu ujar Ruyati dalam mengatasi rasa takutnya di depan para aparat pengaman demonstrasi. “Sekarang para polisi yang berjaga biasa-biasa saja, hanya diam saja, ada yang sopan, mungkin karena kita orang-orang tua”. Suatu ketika para keluarga korban dari berbagai kelompok korban 1998 ber- demonstrasi di depan supermarket Sarinah, Jalan Tamrin Jakarta Pusat bers- ama Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). Saat itu demonstras mendapat reaksi keras dari aparat keamanan. Sekonyong-konyong ada yang kena tem- bak, namanya Tigor dari TRK. “Tigor melihat ibu seakan diinjak aparat, dan ditekan pakai rotan, kelihatan dari arah Tigor berdiri seperti menginjak saya, maka dia berdiri untuk menyelamatkan saya, dan dia tertembak oleh aparat.

Lalu dia ditangani oleh ibu Arif” papar Ruyati. 19

Merespon pengalaman demi pengalaman menghadapi risiko keamanan, Ruyati dan Paguyuban tidak melakukan tindakan khusus untuk membuat mereka lebih nyaman. Mereka tidak melaporkan teror-teror di atas kepada pi- hak kepolisian. Kepolisian dalam konteks kerusuhan 1998 bukan tempat yang nyaman bagi para korban. Para korban bahkan marah kepada mereka karena tidak mau melindungi masyarakat ketika kerusuhan terjadi.