Menghadapi Stigma sebagai Penjarah

IV.4. Menghadapi Stigma sebagai Penjarah

Pandangan negatif masyarakat terhadap keluarga korban kerusuhan Mei tidak dapat dilepaskan dari stigma atas mereka sebagai penjarah. Keluaga korban cukup heran dengan respon aparat desa yang cukup cepat dalam menangga- pi masalah penjarahan. Di desa Penggilingan, Cawang Jakarta Timur tempat Ruyati tinggal bersama keluarganya, aparat desa sudah berkeliling kampung mengumumkan supaya warga yang telah mengambil barang-barang di super- market mengembalikan barang-barang tersebut ke kantor kelurahan begitu segera setelah kerusuhan terjadi, bahkan ketika perkabungan belum selesai. (berapa hari setelah kerusuhan, tanyakan lagi kepada bu Darwin!). Karena pen- gumuman itu masyarakat merasa bersalah, khawatir dan banyak yang merasa takut. Beberapa warga yang bukan bukan asli segera pindah ke lokasi lain. Beberapa yang lain bersembunyi di tempat saudara. Hal yang cukup meng- herankan bagi keluarga Ruyati adalah kenyataan bahwa tindakan menjarah dilakukan oleh warga yang sedang menonton kebakaran dikarenakan anju- ran kelompok massa provokator, tindakan aparat desa yang segera meminta warga yang mengambil barang untuk segera mengembalikan ke kantor desa dan negara tidak menyatakan kerusuhan Mei sebagai pelanggaran HAM sep- erti kasus lainnya, misalnya penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, kasus Semanggi I dan kasus Semanggi II. Hal ini membuat para ang- gota Paguyuban berpikir bahwa selama 10 tahun ini mereka berjuang dan ti- dak didengarkan oleh pemerintah karena mereka dianggap penjarah. Peristiwa ini seperti sebuah skenario yang disengaja, dimana pemerintah mengabaikan mereka dan masyarakat pun mendukung sikap pemerintah karena mengang- gap mereka adalah penjarah, dan semua ini sudah diatur sejak semula. Warga masyarakat Penggilingan juga tidak tahu, dan tidak mencari tahu, di mana barang-barang yang sudah dikumpulkan di kantor kelurahan itu, untuk apa

dan siapa yang mengelolanya? 20 (Bisa ditanyakan kepada aparat desa yang bersangkutan, apakah ini perlu, karena hal ini tidak dilakukan sebab diluar konsen penelitian ini)

19 Wawancara dengan Ruyati tanggal 22 Januari 2009. 20 Wawancara dengan Ruyati pada tanggal 20 dan 22 Januari 2009.

Selain pandangan negatif terhadap keluarga korban kerusuhan Mei 1998, respon lain dari masyarakat lebih merupakan pertanyaan keingintahuan war-

ga mengenai aktivitas para keluarga korban yang aktif di paguyuban. Bagi sebagian tetangga, mereka cukup perhatian baik dengan nada sinis, cibiran hingga yang berpandangan netral terhadap aktivitas dan penampilan keluarga korban. Misalnya Ruyati sering mendapat cibiran mengenai kaos yang sering dipakainya sebab tertulis slogan kampanye “IKOHI”, “MELAWAN IMPUNI- TAS” dan lain-lain.

Keluarga Paguyuban Korban Mei 1998 melakukan berbagai aktivitas untuk menghilangkan stigma sebagai penjarah bagi mereka. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pemutaran film Munir, seorang pejuang HAM yang pada ta- hun 2004 dibunuh di pesawat Garuda dalam perjalanannya menuju Belanda untuk melanjutkan studi. Semula warga lingkungan dan pengurus Rukun Tet- angga (RT) dan Rukun Warga (RW) merasa khawatir dengan pemutaran film ini, sehingga sebagian dari mereka menyarankan pemutaran film dilakukan di dalam rumah, bukan di tempat umum. Respon seperti ini sudah diantisi- pasi oleh Paguyuban untuk memberi informasi kepada warga dan melakukan dialog mengenai siapa Munir, mengapa Munir terbunuh, apa yang dilakukan Munir sehingga dia terbunuh, untuk siapa Munir bekerja. Di sela-sela diskusi mengenai Munir tersebut, mereka juga menjelaskan dalam konteks yang lebih luas mengenai kerusuhan Mei 1998 di mana mereka dan sebagian warga lain menjadi korban, tidak saja korban jiwa, namun juga akibat setelah itu yang di- tanggung oleh keluarga korban. Mereka membahas apa hubungan Munir dan kerusuhan Mei 1998, siapa KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dan siapa IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang) itu.

Pemutaran film yang sudah dilakukan selama tiga kali itu membawa dampak positif di mana masyarakat mulai paham dengan konteks kerusuhan Mei 1998, dan stigma penjarah mulai berkurang terhadap keluarga korban. Terhadap Munir, ada sementara warga yang merasa kasihan, namun ada juga warga lain

yang menganggap film ini terlalu melihat Munir sebagai orang besar, pada- hal dia biasa saja. Ada juga yang merasa takut dengan pemutaran film ini di tempat umum sebab saat dilakukan ini bersamaan dengan persidangan terkait dengan pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Poerwopranjono (man- tan Deputi V Badan Intelijen Negara) yang didakwa bertanggungjawab atas terbunuhnya Munir.