Advokasi bagi Keluarga Orang Hilang

III. Advokasi bagi Keluarga Orang Hilang

Menlu Hassan Wirajuda yang dalam pidato pembukaan Sidang Pertama De- wan HAM PBB tanggal 22 Juni 2006 yang menyatakan Indonesia “akan mem- prioritaskan perlindungan non-derogable rights (hak dasar yang tidak bisa di- tunda pemenuhannya), dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing (pembunuhan di luar prosedur hukum) dan enforced disappearances (penghi-

langan paksa). 16 Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu kini mendirikan Ikatan Ke-

luarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) sebagai wadah bagi keluarga dan me- reka yang peduli untuk memperjuangkan kembalinya 13 aktivis yang masih belum kembali itu jika masih hidup. Apabila sudah meninggal keluarga bisa mengetahui di mana letak lokasi pusaranya.

“Saya merasa beruntung, beberapa teman belum ketahuan rimbanya. Korbanlah yang harus turut memperjuangkan nasibnya, tidak bisa menyerahkan kepada orang lain,” Mugiyanto memaparkan alasan pendirian organisasi yang tidak punya cukup dana itu.

Dengan Ikohi, dia telah melakukan advokasi bagi korban maupun keluarga orang hilang di dalam dan di luar negeri untuk mengembalikan 13 rekannya tersebut. Ikohi tentu juga meminta pertanggungjawaban negara karena semua korban meyakini bahwa negara melalui tentara melakukan penculikan ini se- cara sistematis.

Keengganan Jaksa Agung melakukan penyidikan penghilangan paksa ini tidak membuat Ikohi putus asa. Pria kelahiran Jepara, 2 November 1973 itu yakin

15 Usulan untuk Pansus DPR, Ibid. 16 www.mugiyanto.blogspot.com, Januari 2007. Diakses pada 22 Juni 2009.

III.1. Mugiyanto, Penyintas yang Berjuang

Mugiyanto lahir dari keluarga tani di Jepara Jawa Tengah pada 2 November 1973 di Jepara. Pada tahun 1998 ketika terjadi peristiwa penculikan para ak- tivis penentang Orde Baru, Mugiyanto masih berstatus mahasiswa Fakultas Sastra Inggris Unversitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sejak masuk ku- liah di UGM pada tahun 1992 kesadaran politik Mugiyanto mulai terbangun seiring dengan kesempatan membaca yang melimpah. Lingkungan pendidi- kan di kampus dengan berbagai diskusi kritis mengenai isu sosial, ekonomi dan politik merupakan ladang yang subur bagi pengembangan wawasan ke-

sadarannya. Dengan modal bacaan yang selalu diasah dalam aktifitas diskusi membangun pandangannya yang kritis saat melakukan eskposure ke dalam

kehidupan nyata. Kepekaan sosial politiknya tumbuh semakin kuat ketika dia bergabung dengan SMID Yogyakarta, sebuah organisasi yang kritis terhadap

kondisi sosial politik dengan pandangan yang cukup radikal yang berafiliasi dengan PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang juga dimusuhi oleh Orde Baru. 18

Lingkungan lain yang turut mendukung tumbuhnya kesadaran dan kuatnya kepekaan terhadap masalah sosial adalah keluarganya sendiri. Kedua orang tuanya, Pak Sipin dan Bu Sipin, sangat mendukung apa yang telah diper- juangkan oleh anaknya. Walau tidak ada yang tamat sekolah dasar, keduanya menghargai dan bangga atas pilihan hidup Mugiyanto, putranya itu. Terhadap risiko ancaman pada masa Orde Baru, kedua orang tuanya berpesan: “Hati-hati, karena yang kamu hadapi adalah negara. Mereka sangat kuat”. Restu orang tua ini juga yang menjadi pendorongnya untuk tetap memperjuangkan idealisme wa- laupun harus berulang kali menghadapi ancaman dan berseberangan dengan kebijakan negara. 19

Aktivitas politiknya dalam SMID yang kritis terhadap kebijakan Orde Baru mengantarkannya pada peristiwa yang tak pernah dia lupakan, yaitu pencu- likan terhadap para aktivis yang memperjuangkan perubahan, termasuk di- rinya sendiri. Dia diculik oleh kelompok pria kekar pada tanggal 12 Maret di rumah susun Klender Jakarta Timur, tempat dia mengontrak bersama Aan Rus-

17 www.mugiyanto.blogspot.com, diposting oleh Mugiyanto pada 26 Mei 2008, diambil dari Media Indonesia Cetak Siang, xatria@mediaindonesia.co.id diakses pada 22 Juni 2009.

18 Mugiyanto, Sebuah Kesaksian, http://mugiyanto.blogspot.com/ Diposting pada 27 April 2009. Diakses pada 22 Juni 2009. 19 www.mugiyanto.blogspot.com, diposting oleh Mugiyanto pada 26 Mei 2008, diambil dari Media Indonesia Cetak Siang, ibid

balikan oleh penculiknya. Dia menduga dirinya selamat dari pembunuhan karena ditangkap dan sempat menjadi rebutan beberapa pihak, seperti Kodim, Koramil, Babinsa, polisi, dan Tim Mawar Kopassus. Tiga hari setelah disekap sejak tanggal 13 Maret 1998, tepatnya pada tanggal 15 Maret 1998 dia dialihkan penahanannya ke rutan Polda Metro Jaya hingga 6 Juni 1998.

III.2. Apa yang Dia Alami dalam Peristiwa Penculikan?

Jumat, 13 Maret 1998, pukul 18.30 adalah hari naas bagi saya. Begitu masuk rumah kontrakan yang baru kami tempati selama seminggu, saya menemui be- berapa kejanggalan. Nezar dan Aan harusnya ada dirumah itu, karena 20 me- nit sebelumnya saya meneleponnya untuk menunggu dan mereka mengatakan “ya”. Tetapi mereka berdua tidak ada. Mereka hanya meninggalkan segelas air jeruk yang masih panas. Mereka pasti sedang keluar sebentar, pikir saya waktu itu.

Saya juga sempat mengirim pesan lewat pager yang dipegang Nezar. “Nez, kamu di mana? Aku tunggu di rumah ya”. Begitu bunyi pesan yang saya sampai- kan lewat operator. Pesan itu saya sampaikan 2 kali, setelah yang pertama tidak mendapat respon. Sekitar 5 menit kemudian pikiran saya jadi macam-macam. Memikirkan berbagai kemungkinan buruk. Maklum, saat itu kami memang se- dang dalam masa perburuan. Kami dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Sebuah peristiwa penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta oleh orang-orang berbadan kekar dan berambut cepak, yang menyebabkan ra- tusan orang meninggal danhilang.

Lalu ada 2 orang kawan yang menelepon ke rumah. Mereka berdua panik, salah satunya menangis sambil meninggalkan pesan, “Kalian hati-hati, jangan ada yang tertangkap lagi”. Bukannya membesarkan hati, pesan itu justru me- nguatkan bahwa sesuatu yang sangat buruk sedang mengancam diri saya. Lalu saya membayangkan puluhan kawan-kawan PRD yang sedang dipenjara saat itu, Budiman Sudjatmiko, Dita Sari, Petrus Harianto dan lain-lain.

Ternyata benar. Saya mendekati jendela rumah kontrakan lantai 2 itu. Saya me- nyibakkan gorden untuk mengintip keluar. Badan saya lemas, dibawah sana sudah berjejer orang-orang berbadan tegap menatap saya. Dari jendela yang lain, saya melihat hal yang sama. Lalu saya berjingkat jalan ke dapur, memikir- kan loncat ke bawah dan melarikan diri. Tetapi di bawah sana, ada berjajar puluhan orang yang lain. Rumah kontrakan saya sudah dikepung. Badan saya

20 Ibid

pada saat itulah mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!”. Kunci pintu kubuka, lalu sekitar 10 orang masuk. Satu dari mereka adalah orang tua berpeci seperti perangkat kelurahan. Ia Sangat sopan dan menenangkan, “Mas, ikuti bapak-bapak ini saja ya”. Dua orang berpakaian tentara dinas lapangan. Selebihnya berpakaian preman.

Setelah mengacak-acak rumah, 3 menit kemudian saya dibawa turun. Lalu di- naikkan kendaraan yang tengah menunggu untuk dibawa ke statu tempat yang ternyata adalah Koramil Duren Sawit Jakarta Timur. Setengah jam diinterogasi, lalu “kami” dibawa ke Kodim Jakarta Timur. “Kami” karena sejak dari Koramil itu, saya punya “teman” yang juga ditangkap, namanya “Jaka”. Paling tidak

begitulah ia memperkenalkan diri di hadapan saya dan interogator Koramil. 21 Mugiyanto lalu mengisahkan penculikan dirinya, Jumat, 13 Maret 1998, pukul

19.00 WIB di rumah kontrakan di Klender, Jakarta Timur. Dia sempat diintero- gasi di Koramil Duren Sawit sebelum dibawa ke Kodim Jakarta Timur. Dengan mata tertutup dia kemudian dibawa ke sebuah tempat yang tidak diketahui- nya.

“Ketika turun dari kendaraan, saya langsung dihajar sampai jatuh dan berdarah-darah, ditelanjangi, disetrum dengan kedua tangan terikat di sebuah ruangan yang sangat dingin,” ujar ayah satu anak itu.

“Saya membayangkan hidup akan berakhir di sini. Selama dua hari dua malam bersama Nezar (Patria) dan Aan (Rusdianto), mata saya diikat. Kami dihajar dan disetrum. Teman-teman yang sudah lama di sana, siksaannya lebih parah lagi,” tambah sarjana lulusan Fakultas Sastra Inggris UGM itu.

Dia menduga dirinya selamat dari pembunuhan karena ditangkap dan sempat menjadi rebutan beberapa pihak, seperti Kodim, Koramil, Babinsa, polisi, dan Tim Mawar Kopassus. Anak petani itu lantas ditahan di Rutan Polda Metro Jaya sejak 15 Maret hingga 6 Juni 1998. Mugi mengaku tidak pernah merasakan kesedihan luar biasa kecuali saat ayah dan kakaknya menengok dia saat berada di tahanan polda. Suaranya pun tak terdengar, hanya terdengar isak tangis dan linangan air mata yang membasahi kedua pipinya. 22

21 Mugiyanto, Thursday, Refleksi 10 Tahun Penculikan Mugiyanto; Kami Tidak Akan Pernah Lupa, diunduh dari www.mugiyanto.blogspot.com, diposting oleh Mugiyanto pada 13 Maret 2008, diambil dari terbitan VHR Media; http://www.vhrmedia.net/ diakses pada 22 Juni 2009.

22 Ibid, 26 Mei 2008

III.3. Dampak Traumatik Penculikan

Luka batin Mugiyanto hingga kini belum juga sembuh. Satu dasawarsa berlalu ternyata tak membuat dia lepas dari pengalaman traumatik itu. Terutama jika melihat tatapan mata Oetomo Rahardjo, ayahanda Petrus Bima Anugrah; atau- pun Ibu Nung, ibunda Yadin Muhidin, yang masih berharap anak-anak mereka –dua di antara 13 korban penculikan– suatu hari akan pulang.

Menurut Mugiyanto, sebagai survivor (korban selamat) peristiwa penculikan, perasaan itu awalnya ini hanya soal personal. Dia merasa beruntung sehingga terdorong harus berjuang untuk teman-temannya. “Tapi, kini (sudah berkembang) soal keadilan, kepastian, dan kehidupan. Orang yang diculik bukan hanya teman- temanku,” kata Mugiyanto yang kini menjadi ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) kepada Jawa Pos.

Mugi, sapaan akrabnya, lalu dikejar para penyekap dengan pertanyaan seperti siapa saja teman-temannya. Tak hanya interogasi, dia juga menjalani siksaan seperti disetrum dan dipukuli dalam keadaan tangan diborgol.

Pada 15 Maret 1998, dia, Nezar, dan Aan diserahkan ke Polda Metro Jaya oleh penculiknya. Di markas korps baju cokelat itu, Mugi cs diproses pidana. Dia dikenai pasal subversif. Tapi, pada 6 Juni 1998, dia dilepaskan dari tahanan setelah mendapat penangguhan penahanan buntut tumbangnya rezim Soehar- to pada 21 Mei 1998.

“Aku baru merasa jadi manusia setelah dibebaskan,” imbuhnya. Darah aktivis Mugi tak pernah berhenti menggelegak hingga akhirnya menjadi ketua IKOHI, or-

ganisasi tempat mendiang Munir menjadi penasihatnya. 23

III.4. Saat di Tahanan

Ditugaskan untuk memastikan bahwa saya tidak jatuh ke tangan kesatuan lain. Setelah mampir 3 menit di Kodim Jakarta Timur, saya dinaikkan kendaraan lagi. Kali ini dengan mata ditutup. Dan dari sinilah, prosesi interogasi dan pe- nyiksaan khas serdadu didikan Amerika dimulai.

Dari tanggal 13 Maret malam hari sampai 15 Maret sore hari saya disekap, di- interogasi dan disiksa. Mata ditutup, dua tangan dan dua kaki diikat di tem- pat tidur velbed. Hanya memakai celana dalam. Di sana ada suara sirine yang meraung-raung, suhu ruangan yang sangat dingin, dan alat setrum listrik yang bunyinya seperti cambuk. Ada juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para

23 Ibid, 26 Mei 2008

culik. Pesan pager saya untuk Nezar diterima para penculik yang zalim itu. 24

III.5. Makna Peristiwa Penculikan Bagi Mugi

Mugi memaknai peristiwa penculikan yang ia alami sebagai bentuk konseku- ensi dari apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Apa yang telah dan tengah ia perjuangan saat itu memang bertentangan dengan niat dan keinginan pemer- intah yang tidak menginginkan perubahan.

“Ini menegaskan bahwa bukan berarti saya salah secara hukum dan moral, tetapi saya salah di depan penguasa yang zalim, dan saya benar didepan orang-orang yang ditin- das secara ekonomi dan politik oleh pemerintah Orde Baru waktu itu.”

Penculikan yang dialami oleh Mugi dianggap sebagai konsekuensi oleh di- rinya, namun demikian, kasus penculikan tidak bisa diabaikan oleh negara. bersandar pada norma hukum dan prinsip-prinsip HAM, di mana Indonesia juga telah menjadi negara anggota PBB yang telah meratifikasi sejumlah per- janjian internasional terkait dengan penegakan HAM, maka sudah seharusnya pemerintah Indonesia melaksanakan berbagai perlindungan yang bisa dilaku- kan kepada tiap-tiap warganya.

“Harus ada pertanggungjawaban hukum atas apa yang telah terjadi pada diri saya dan teman2 saya, dan terhadap siapapun yang telah dilanggar hak-hak dasarnya olehnegara. Itulah kewajiban negara. Sementara kami, masyarakat dan terutama korban (istilah hukum, mengenai relasi antara pelaku dan ko- rban) memiliki hak-hak yang juga diatur dalam norma hukum nasional dan internasional. hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan.”

Sikap semacam ini, yang membedakan Mugiyanto dengan orang-orang yang bukan saja tidak menuntut pertanggungjawaban pidana atas tindakan yang di- lakukan para pelaku pelanggaran HAM yang menimpa diri mereka, namun tidak disangka mereka (baca: korban penculikan) mengambil sikap untuk berkolaborasi dengan para pelaku pelanggaran HAM. mereka yang disebutkan oleh Mugiyanto seperti, Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Haryanto Taslam yang kesemuanya ikut beraktivitas di Partai Gerindra saat ini.

24 Mugiyanto, Thursday, Refleksi 10 Tahun Penculikan Mugiyanto; Kami Tidak Akan

Pernah Lupa, ibid . 112