Berorganisasi Dan Berjejaring
IV. Berorganisasi Dan Berjejaring
Penolakan masyarakat sudah di mulai sejak 2003, ketika mereka mengetahui bahwa penandatanganan perjanjian yang mereka lakukan bukan diperuntu- kan pembangunan pabrik keramik melainkan untuk TPST, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bogor tanggal 1 maret 2001 Nomor 591/31/KPTS/Huk/2001 mengenai izin lokasi pembangunan TPST di Bojong. Selain kebohongan pub- lik berupa rekayasa penandatangan yang diciptakan Pemda Bogor, keberadaan TPST diyakini warga akan merusak lingkungan seputar perkampungan Bojong Klapanunggal, lebih dari itu; Pihak Pemda, kabupaten Bogor, PT Wira Guna Sejahtera, dan PEMDA DKI Jakarta telah menyalahi ketentuan hukum yaitu; UU No 42/192 tentang tata ruang, UU No. 23/1997 tentang pengolahan ling- kungan hidup, PP No. 27/1999 Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, serta
Perda No.17/2000 rencana tata ruang daerah 8 .
Sekitar awal tahun 2003, beberapa tokoh masyarakat yang tergabung dalam FKMPL bersama warga mendatangi kawan-kawan LSM di Jakarta. Beberapa diantaranya adalah Walhi, Kontras, LBH Jakarta dll. Mereka mengetahui infor- masi tentang lembaga-lembaga tersebut dari pemberitaan di media massa. Tu- juan mereka datang adalah mereka merasa terdesak karena demo-demo yang dilakukan oleh warga selalu dikriminalisasi dan tidak mendapat tanggapan dari pemerintah.
Dalam perjalanannya, lembaga pendamping yang intens melakukan peng- organisasian di Bojong adalah Walhi (Jakarta dan Eksekutif Nasional) dan Lembaga Studi Advokasi untuk Demokrasi Indonesia. Mereka melakukan pendidikan serta pengorganisasian warga Bojong. Pendidikan-pendidikan, diskusi-diskusi baik secara formal maupun informal, serta rapat-rapat untuk membuat desain advokasi selalu dilakukan secara rutin. Pelibatan partisipasi masyarakat menjadi bagian penting dalam setiap agenda yang dilakukan lem- baga pendamping.
Sejak awal lembaga pendamping selalu menekankan bahwa keterlibatan lem- baga pendamping adalah sebagai pendukung. Yang melaksanakan advokasi adalah masyarakat sendiri. Keberhasilan dan kegagalan dari advokasi pe- nolakan pembangunan TPS Bojong adalah bergantung dari kekuatan warga dan organisasi rakyat yang melaksanakannya. Beberapa lembaga yang terli- bat dalam proses advokasi penolakan pembangunan TPST Bojong antara lain adalah Walhi Jakarta, Walhi Eknas, Kontras, LS-Adi, LBH Jakarta, beberapa
8 Lihat kronologis kasus TPST Bojong dalam Kasus Posisi yang disusun oleh Kontras dan kasus TPST Bojong dalam Kasus Posisi yang disusun oleh Walhi Jakarta (tidak di- publikasikan).
Lembaga pendamping selalu mencoba memfasilitasi agenda-agenda advokasi yang dilakukan oleh warga Bojong, beberapa diantaranya adalah kampanye di media cetak dan elektronik, mempertemukan dengan pihak-pihak terkait, memberikan pelatihan untuk meningkatkan skill advokasi dan pengorganisa- sian serta membantu merencanakan strategi dan taktik advokasi, merencanakan aksi-aksi. Namun ada kalanya terjadi perbedaan persepsi dalam menyusun langkah-langkah advokasi. Seperti diantaranya adalah, Ustadz Mizar sebagai koordinator serta warga lain menyusun rencana untuk mempergunakan cara- cara kekerasan, seperti menggunakan preman untuk melawan intimidasi pre- man yang disewa perusahaan. Hal ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan lembaga pendamping. Tindakan tersebut tentu tidak di- setujui oleh lembaga pendamping. Menurut lembaga pendamping, tindakan tersebut menjadi sebuah kegagalan lembaga pendamping dalam melakukan pendidikan HAM. Kemudian, warga Bojong juga masih kental dengan budaya patronase, yang mengkultuskan orang tertentu, baik terhadap Ustadz Mizar sebaga ikon gerakan maupun terhadap beberapa individu dalam sebuah lem- baga pendamping. Sehingga apabila orang-orang tersebut tidak ada, orang yang menjadi pengganti tidak didengar pendapatnya. Gerakan pun menjadi mandek.
Keterlibatan lembaga pendamping adalah untuk membantu pelaksanaan ad- vokasi penolakan pembangunan TPST-Bojong dan mengembalikan kehidupan warga Bojong seperti semula. Trauma yang diderita warga Bojong terutama perempuan dan anak-anak sangat memprihatinkan. Sweeping dan penangka- pan terhadap laki-laki Bojong membuat desa tersebut menjadi desa yang di- huni oleh perempuan dan anak-anak. Laki-laki yang selamat dari sweeping terpaksa meninggalkan Bojong untuk menghindari penangkapan oleh polisi. Kehidupan mereka menjadi kekurangan pascapenangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh polisi paska terjadi bentrok besar tanggal 22 Novem- ber 2004.