Mei karena Kesalahan Masa Kecil

3. Mei karena Kesalahan Masa Kecil

Mei adalah keturunan etnis Cina. Kini dia menjadi seorang pemilik bakery yang sukses dengan memiliki beberapa cabang toko roti. Kesetiaannya membaca blog Tansen pada akhirnya mempertemukan mereka berdua. Pertemuan itu lebih didorong tentang cerita madre yang diunggah di blog Tansen. Selain keberuntungan, pertemuan Mei dengan Tansen juga membawa konflik batin terhadap Mei. Hal tersebut dipertegas dengan kutipan berikut ini.

“Buat saya, ngikutin blog kamu itu kayak berlibur,” Mei nyengir. “Nah, jadi bisa dibayangin kan gimana kagetnya saya waktu baca kamu cerita tentang roti, tentang madre? Saya langsung niat dalam hati, pokoknya

harus ketemu kamu selama kamu masih di Jakarta.” “Aha,” aku manggut-manggut, “Jadi alasan menghubungi saya waktu itu bukan cuma madre?” “Delapan puluh persen karena madre. Dua puluh persen karena saya nge-fans sama kamu.” Mei berkata lugas. (Lestari, 2011:46)

Rasa bersalah Mei terhadap kakeknya sewaktu kecil mendorong Mei untuk menebusnya. Id dalam diri Mei memberikan dorongan-dorongan bagaimana Mei meredakan ketegangan-ketegangan rasa bersalahnya terhadap kakeknya. Rasa bersalah itu, yaitu ketika masih kecil Mei pernah memecahkan biang roti kakeknya. Namun, ketika kecil Mei tidak paham dengan biang. Mei baru sadar bahwa biang adalah sejarah ketika telah dewasa dan sukses. Id di dalam diri Mei seolah menemukan jalan keluar bagaimana meredakan tegangan yang dialami oleh Mei, yaitu dengan membeli Madre. Ego Mei mulai melaksanakan apa yang diinginkan oleh id, yaitu dengan membeli madre. Namun, ketika hendak membeli madre, bukanlah kesenangan yang Mei peroleh, tetapi justru ketegangan. Hal tersebut seperti dalam bagian kutipan berikut ini.

commit to user

“ … . Di Indonesia saya belum pernah ketemu yang kayak gini, Pak,” Mei geleng- geleng kepala, ia seperti pening saking terpukaunya. “Ini bikinan Bapak?” “Si Tansen yang bikin.” “Wow.” Dan Mei menatapku seolah menemukan rockstar berikutnya. “Oke. Berapa banyak yang bisa kalian produksi?” “Kami berdua?” tanya Pak Hadi, “Ya, ndak banyak.” “Kalau gitu, saya akan mengajukan proposal untuk membeli madre. Akan saya hargai tinggi. Saya jamin,” Mei berkata mantap. Otot- otot di muka keriput Pak Hadi tampak mengencang. “Madre ndak dijual,” ia berkata. Garang. (Lestari, 2011:28).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebenarnya superego di dalam diri Mei sudah memberikan langkah yang terbaik dan sesuai dengan moral, yaitu dengan rencana memesan roti ke Tansen dan Pak Hadi. Namun, ketika langkah tersebut tidak mewujudkan kesenangan yang diharapkan oleh Mei untuk memesan roti, id di dalam diri Mei memberontak. Pemberontakan itu dilaksanakan oleh ego, yaitu membeli madre.

Untuk mendapatkan kesenangan yang diinginkan, id di dalam diri Mei tidak berhenti begitu saja. Ketika suasana perbincangan dengan Pak Hadi dan Tansen sudah tidak kondusif lagi, melalui ego-nya, Mei tetap bersikeras dengan cara lain untuk mendapatkan madre. Superego di dalam diri Mei saat itu tidak mendominasi.

“Nanti saya kirim e-mail,” kata Mei padaku seraya meletakkan selembar l ima puluh ribuan di atas meja. “Permisi,” ia lalu pergi tanpa

sempat menyentuh kopinya. Pak Hadi bergeming di kursi. Wajahnya ditekuk. Di depan pintu, Mei berkata, “Kalau baca e-mail saya nanti, kamu pasti berubah pikiran.” Dan dengan langkah mengentak karena hak

sepatunya yang menjulang, ia berjalan masuk ke mobil Mercedes perak, menenteng bungkusan roti. Roti pertamaku. Bahkan belum sempat kucicipi. (Lestari, 2011:29)

Namun, di sisi lain sebenarnya Mei juga tidak berharap Tansen akan menjual madre tersebut kepadanya. Id yang menginginkan kesenangan itu dirintangi oleh superego Mei. Superego memberikan arahan bahwa sejarah tak seharusnya dijual dan Mei pun yakin bahwa tanpa artisan yang andal, bakery -nya akan berhasil. Meski begitu, melalui ego-nya, Mei tetap

commit to user

memberikan penawaran untuk membeli madre melalui e-mail. Penawaran itu benar-benar direalisasikan. Di sini, id masih mendominasi di dalam diri Mei meskipun superego juga mengambil peran. Namun, peran superego ini muncul ketika terjadi penolakan dari Tansen terhadap penjualan madre, seperti kutipan berikut ini.

“Kamu pasti mau bilang, saya nggak jadi melepas madre adalah sebuah kebodohan,” kataku getir. “Di tangan kamu, madre nggak akan sia-sia. Ya, kan?” Mei menggeleng pelan. “Sebetulnya saya agak lega kamu nggak jadi melepas madre. Biar madre di tangan saya, tetap saya nggak punya artisan dengan kemampuan kayak Pak Hadi. Dan biar ditawari gaji tinggi, saya yakin mereka nggak akan pernah mau ninggalin Tan de

Bakker.” (Lestari, 2011:48) Mei pun akhirnya melakukan kerja sama pembuatan roti dengan Tansen

dan Pak Hadi, tanpa membeli madre, untuk dipasok ke bakery-bakery-nya. Pesanan yang banyak dari Mei membuat Tansen dan Pak Hadi kewalahan. Mei pun akhirnya mengusulkan untuk menanam sahamnya ke toko roti Tan

de Bakker dengan usulan nama baru Tansen de Bakker karena pemilik toko roti tersebut adalah Tansen. Manajemennya pun diperbarui demi kelancaran pesanan.

“Saya sih mengusulkan namanya diganti supaya nggak ada masalah dengan keluarga Pak Tan,” Mei tersenyum, “Tapi, ya, saya akan tanam

modal di toko Bapak. Kita buka lagi tempat itu. (Lestari, 2011:67) Id Mei tetap berpikir untuk mencari kesenangan dan meredakan

ketegangan yang dimilikinya. Tegangan-tegangan itu membuat Mei khawatir kalau dia tak akan mendapatkan roti seenak roti yang dibuat oleh Pak Hadi dan Tansen dengan menggunakan biang madre. Ego yang berperan untuk melaksanakan perintah id pun merealisasikannya dengan memperhatikan superego . Superego di dalam diri Mei memberikan impuls bagaimana supaya produksi roti tidak terhenti dan Pak Hadi tetap bekerja sesuai dengan porsinya. Hal tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik oleh ego. Di dalam

commit to user

kondisi ini, antara id, ego, dan superego dalam diri Mei dapat berjalan beriringan untuk mendapatkan kesenangan dan meredakan ketegangan- ketegangan yang dimiliki serta menggunakan cara-cara yang baik.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, sebenarnya Mei ingin menebus kesalahan yang Mei lakukan di masa kecil karena di masa kecil, ego -lah yang baru berkembang dalam diri Mei. Setelah dewasa, Mei mulai menyadari tentang arti biang sebagai sejarah. Secara alam bawah sadar, id dan ego, Mei ingin menyambung sejarah dengan cara membeli madre karena pembelian madre ini sebagai kekuatan superego Mei. Namun, di sisi lain ketika Tansen tak jadi menjual madre, akhirnya Mei melakukan kerjasama dengan Tansen. Kerjasama ini sebagai bentuk perantara untuk menyambung sejarah yang telah hilang. Penjelasan tersebut diperkuat dengan kutipan berikut ini.

“Mei menyimpan penyesalan sejak kecil ketika ia "membinasakan" adonan biang kakeknya. Ia kemudian mengembangkan bisnis roti keluarganya masih dengan rasa penyesalan tersebut, dan karena itulah ia sangat tertarik dengan Madre. Madre merupakan jalan keluarnya untuk membayar penyesalanny a.” (Dewi Lestari)