Tokoh Mei

3. Tokoh Mei

Tokoh lain yang juga memegang peranan penting di dalam cerpen Madre , yaitu Mei. Ketika toko roti Tan de Bakker masih hidup, Mei merupakan salah satu pelanggan setia toko roti tersebut. Mei selalu diajak oleh ayahnya untuk membeli roti di Tan de Bakker. Ketika kecil, Mei memiliki sifat yang hiperaktif hingga Mei pernah memecahkan biang roti kakeknya dengan menggunakan sepeda. Dimensi tentang karakter Mei di dalam cerita, yaitu sebagai berikut.

a. Dimensi fisiologis Mei di dalam cerita, yaitu Mei digambarkan memiliki mata besar dan bulat, kulitnya kuning bersih, rambutnya dicat kepirangan, dan memiliki betis yang mungil. Kutipan yang mendukung penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.

Untuk ukuran etnis Tionghoa, mata Mei terbilang besar dan bulat. Yang tipikal darinya hanya warna kulitnya yang kuning bersih dan warna rambut yang dicat kepirangan. Ia berpakaian sepuluh tahun

commit to user

lebih tua dari umurnya; sepatu setebal batu bata menopang betisnya yang mungil, terusan dengan kain berkilau dan tas tangan haute couture yang entah asli atau KW-aku tak bisa membedakan. (Lestari, 2011:25)

b. Dimensi sosiologis Mei digambarkan sebagai wanita yang berdarah etnis Tionghoa. Selain itu, Mei merupakan seorang pemilik bakery yang sukses dengan memiliki beberapa cabang. Usaha tersebut merupakan warisan dari keluarga Mei yang kini ia kembangkan sehingga menjadi berhasil. Hal tersebut seperti terlihat dalam bagian kutipan berikut ini.

“Sekarang kami sudah ganti konsep, Pak. Yang di Bogor masih ada, tapi fokus kami sekarang di Jakarta. Kami sudah buka outlet di lima

mal. Cabang keenam s egera menyusul,” Mei menjelaskan dengan bangga. “Sekarang saya in-charge gantikan Papi.” (Lestari, 2011:26)

c. Dimensi psikologis Mei digambarkan sebagai orang yang pekerja keras dan menggapai kesuksesan, ia tetap memiliki perasaan bersalah. Perasaan bersalah itu ketika Mei dewasa, ia mengetahui betapa berharga biang madre kakeknya yang ia pecahkan sewaktu kecil. Dulu, Mei tidak tahu apa-apa, yang ia tahu biang itu adalah adonan biasa. Perasaan bersalah itu terbawa hingga ia dewasa dan sampai-sampai Mei pernah menawar untuk membeli biang madre. Kutipan yang menegaskan penjelasan di atas adalah sebagai berikut.

“Dari dulu produksi bakery kami memang sudah campur dengan ragi instan. Nggak semua pakai adonan biang. Jadi kami nggak simpan

banyak-banyak. Cuma ada dua stoples. Dua- duanya ...,” Mei menelan ludah, “Nggak sengaja saya pecahkan. Umur saya masih tujuh tahun

waktu itu. Saya tubruk meja pakai sepeda. Dua stoples isi adonan biang yeye ambruk ke lantai. Lagi nggak ada siapa-siapa di dapur. Karena nggak ngerti dan takut dimarahin, saya lap sendiri adonan yang tumpah. Saya buang.” Suara Mei tercekat. (Lestari, 2011:64-65)

“Lha. Adonan itu kan bisa dibuat lagi?” “Pak Hadi bisa bayangkan kalau adonan itu madre?” sahut Mei getir. “Apa bisa madre dibuat lagi?”

Pak Hadi terdiam. “Betul, Yeye bikin adonan biang lagi. Tapi buat dia nggak pernah sama.”

commit to user

“Saya sedih karena saya menghancurkan sejarah Yeye,” kata Mei pelan. (Lestari, 2011:65-66)

Dari hasil wawancara pun disebutkan bahwa kepribadian Mei digambarkan sebagai orang yang tekun dan mau berjuang untuk toko rotinya. Toko roti sebagai turunan dari ayahnya itu Mei kembangkan menjadi besar.

Selain tiga tokoh utama di atas, di dalam cerpen Madre ini didukung beberapa tokoh yang memiliki hubungan langsung dengan toko roti Tan de Bakker kala itu. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu Bu Cory, Bu Sum, Bu Dedeh, dan Pak Joko. Mereka semua adalah karyawan-karyawan Tan Sin Gie kala itu. Penggambaran tentang karakter tokoh-tokoh tersebut di dalam cerita tidak terlalu banyak. Hanya sedikit kisah yang disampaikan oleh pengarang mengenai para karyawan Tan Sin Gie, terutama ketika madre hendak dijual oleh Tansen.