Tokoh Tansen

1. Tokoh Tansen

Dewi Lestari menggambarkan tokoh Tansen sebagai orang yang memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya meskipun di Bali tansen hidup bebas. Tanggung jawab Tansen terhadap kehidupannya ini terlihat ketika Tansen rela untuk tinggal di Jakarta sampai urusannya dengan Mei selesai. Selain itu, Tansen juga digambarkan sebagai orang yang pekerja keras. Tansen berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan toko roti tersebut meskipun hal itu dilakukan dengan bantuan dan dukungan Mei. Penggambaran tokoh Tansen dalam tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.

commit to user

a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan fisik. Tokoh Tansen di dalam cerpen Madre digambarkan sebagai sosok pria yang memiliki kulit gelap, rambut gimbal, hidung panjang, mata besar berbulu lentik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada bagian kutipan cerita berikut ini.

Keganjilan itu sebegitu mencoloknya. Di tengah TPU etnis Tionghoa, muncul seorang pria berkulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan, jins sobek-sobek. Sendirian. ... Jadilah aku. Tansen Roy Wuisan. Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “Tansen”, hidung panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang tersisa padaku. (Lestari, 2011:3)

b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan kehidupan sosial tokoh di dalam cerita. Tokoh Tansen di dalam cerita memiliki kehidupan yang bebas dan tidak terikat pada siapapun, bahkan dalam hal pekerjaan. Namun, kehidupan bebas itu memang harus berubah ketika Tansen memperoleh warisan untuk merawat madre. Hal tersebut dapat seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.

Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3)

Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi. “Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya. “Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis

kadang- kadang, ... .” “Oh. Serabutan.” Dengan datar Pak Hadi menyimpulkan. (Lestari,

2011:15) Dalam kasusku, “serabutan” adalah gaya hidup. Menclok dari satu

pekerjaan ke pekerjaan lain, satu tempat ke tempat lain, tidak ingin terikat. Aku selalu punya masalah dengan rutinitas. Mungkin aku belajar dari ayahku, atau mungkin aku justru berontak atas ketidakjelasannya. Tidak tahu pasti. (Lestari, 2011:17)

Kutipan di atas menegaskan secara tersirat bahwa Tansen memiliki kehidupan yang bebas, seperti ayahnya. Tansen pun memiliki protes terhadap tingkah laku yang dilakukan oleh ayahnya terhadap dirinya.

commit to user

Tansen menganalogikan hal tersebut seolah-olah dirinya adalah sebuah tumbuhan. Namun, Tansen tetap menjalani apa yang memang telah menjadi jalan hidupnya.

c. Dimensi psikologis, yaitu sebuah dimensi yang mana digunakan untuk menggambarkan tentang kejiwaan tokoh di dalam cerita. Di dalam cerpen Madre , Tansen digambarkan memiliki jiwa yang kuat. Kondisi kejiwaan tersebut digambarkan ketika Tansen memang harus hidup sendiri. Tansen pun mencoba untuk tetap maju setelah ia mengalami kebingungan terhadap warisan yang baru diperolehnya dari orang yang tak pernah dia kenal sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.

Tepat saat aku tiba di pemakaman orang yang tak kukenal. Siapa aku? Itu pertanyaan pertamaku. Kenapa aku? Itu pertanyaanku berikutnya. (Lestari, 2011:1)

“Nak Tansen ndak pulang ke Bali, toh?” tanya Pak Joko. “Saya bakal tinggal sampai semua urusan lancar antara Pak Hadi dan

Mei,” jawabku. “Saya juga masih harus tanggung jawab soal modal produksi. Terus terang, modal uang saya nggak punya, Pak. Tapi mungkin saya bisa cari pinjaman ke teman- teman saya di Bali.” (Lestari, 2011:36)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tansen tetap berusaha untuk menghidupkan kembali toko roti meskipun sebenarnya ia tidak memiliki cukup modal untuk melakukan itu. Namun, kelemahan dalam hal modal tersebut tidak menyurutkan niat Tansen untuk menghidupkan kembali toko roti. Hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mencari pinjaman.

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, kepribadian Tansen disebutkan sebagai orang yang bebas dan mengalir. Selain itu, pertemuannya dengan Pak Hadi dan Mei juga membuat Tansen menjadi orang yang bertanggung jawab dan mau belajar. Responden pun menyebutkan bahwa Tansen memiliki keinginan yang kuat untuk menghidupkan kembali toko roti itu.