Persepsi Pembaca terhadap Konflik

D. Persepsi Pembaca terhadap Konflik

Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog (Pradopo, 2005:106). Pengertian tersebut berarti bahwa sebuah karya sastra akan memiliki makna apabila dimaknai oleh pembaca itu sendiri. Tanggapan pembaca terhadap karya sastra pun berbeda-beda sehingga dapat menambah kelengkapan makna yang muncul. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Jauss dalam Pradopo

commit to user

(2005:234) bahwa karya sastra selalu memberikan wajah yang lain kepada pembaca yang lain, dari generasi yang satu ke generasi yang lain selalu memberikan orkestrasi yang berbeda.

Persepsi, tanggapan, dan apresiasi terhadap cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang pun juga bermunculan dari pembaca. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan pemaknaan yang utuh terhadap cerpen tersebut.

1. Konflik Batin yang Dialami Tokoh Bisa Terjadi di Dunia Nyata

Munculnya konflik-konflik yang kompleks di dalam cerita dapat digunakan untuk mematangkan alur sehingga cenderung disenangi pembaca. Bahkan sebenarnya, yang dihadapi dan menyita perhatian pembaca sewaktu membaca suatu karya naratif adalah (terutama) peristiwa-peristiwa konflik, konflik yang semakin memuncak, klimaks, dan kemudian penyelesaian (Nurgiyantoro, 2009:122).

Konflik-konflik di dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang pun banyak bermunculan. Konflik yang dimunculkan oleh Dewi Lestari pun menurut seluruh informan sangat mungkin terjadi di dunia nyata. Cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang dinilai masuk akal untuk dapat terjadi di dunia nyata. Kehadiran cerpen sebagai sebuah karya sastra pun muncul karena adanya fenomena yang terjadi sehingga kepribadian-kepribadian yang ada di dunia nyata dimunculkan ke dalam sebuah karya.

Cuma kalau cerpenkan lebih dikembangkan, lebih didramatisir melalui bahasanya. (Nurul Rismayanti).

Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pendapat Retno Puji Lestari yang menyatakan, “Bisa karena kepribadian-kepribadian itu ya ada di dunia nyata .” Hal serupa juga diungkapkan oleh Arnellis Melema. Menurut Arnelis, konflik yang ada di dalam kedua cerpen tersebut jelas sangat mungkin terjadi

di dunia nyata karena cerpen ini masuk akal untuk bisa hadir di kehidupan nyata.

commit to user

2. Perjuangan dalam Madre Lebih Kentara, sedangkan Menunggu Layang- layang Soal Percintaan Biasa

Menurut Murtini, di dalam cerpen Madre, Dewi Lestari ingin mengungkapan bagaimana peranan ibu yang sebenarnya, „ibu‟ di luar negeri yang diwakili Spanyol dan „ibu‟ di Indonesia. Menurutnya, Dewi Lestari ingin memadukan „ibu‟ di Spanyol dan „ibu‟ di Indonesia dengan tetap memegang pandangan nilai-nilai kebebasan orang Timur. Hal berbeda diungkapkan oleh Retno. Retno mengungkapkan bahwa pada awalnya ia mengira madre adalah sebuah nama orang, tetapi ternyata madre adalah sebuah biang roti.

Isi cerpen Madre menurut sebagian besar informan, yaitu mengungkapkan bagaimana kerja keras untuk mewujudkan dan mempertahankan biang madre oleh beberapa tokoh di cerpen tersebut yang masing-masing memiliki karakter berbeda. Kehadiran tokoh-tokoh ini antara yang satu dengan yang lain saling memberikan pengaruh baik secara langsung ataupun tidak.

Dia tahu, sebenarnya dia merasa nggak punya ikatan sama madre, tapi di sisi lain dia itu kasihan sama Pak Hadi, sudah lanjut usia tapi masih berjuang mati-matian untuk mempertahankan si madre ini. Akhirnya itu dia peka, merasa kasihan. (Retno Puji L.)

Beberapa responden mengaku lebih menyukai cerpen Madre. Dari hasil wawancara, sejumlah responden menyatakan bahwa banyak nilai positif dan pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, misalnya anjuran untuk selalu berusaha dan menjaga apa yang telah diamanahkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Dewi Lestari berhasil menciptakan tokoh yang menjadi nilai lebih di dalam kumpulan cerita Madre.

Saya lebih suka dari Madrenya sendiri mas, banyak sekali nilai-nilai positif, kayak kita diajarkan untuk terus berusaha, menjaga apa yang diwariskan kepada kita, lebih ke nilai-nilai pendidikannya. (Aprilia P.)

commit to user

Selain itu, beberapa responden pun menyatakan lebih menyukai cerpen Menunggu Layang-layang . Hal ini dikarenakan cerpen tersebut menggunakan tema yang biasa terjadi di dalam kehidupan remaja. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Retno, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indones ia, “Kalau Menunggu Layang-layang ini sebenarnya cerita biasa, tetapi penulis ini membuat cerita yang sebenarnya biasa menjadi luar biasa dengan penyajiannya.”

Komentar dan tanggapan yang beragam tersebut membuktikan bahwa Dewi Lestari berhasil memberikan sesuatu yang baru dalam dunia sastra. Komentar dan tanggapan tersebut dapat memberikan timbal balik yang positif, baik bagi penulis maupun pembaca. Dengan adanya komentar maupun tanggapan, penulis dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan terhadap karya sastra yang diciptakannya. Di sisi lain, pembaca dapat meningkatkan kemampuan dan pemahamannya untuk mengapresiasi karya sastra.

commit to user